RIHLAH RIZA #16: DARI KERKHOF KE KERKHOF


RIHLAH RIZA #16: DARI KERKHOF KE KERKHOF

 

Melihatnya, ini menjelma diorama. Sebuah bahtera yang berlayar. Bahtera besar. Bahtera Nuh. Berlayar tidaklah di lautan. Melainkan di kuburan. Raga saya berada di sini. Pikiran saya bertamasya. Bahkan terperangkap dalam sebuah kesan. Persis seperti saat membaca satu kalimat dalam sebuah naskah cerpen yang disodorkan kepada saya, satir dan surealisme. “Karena kau telah memelihara anak kembarku: luka dan perih.”

**

Lebih baik pilih mana menempuh perjalanan darat selama delapan jam atau naik pesawat kecil dan jarak 500 km lebih itu ditempuh cukup dengan 65 menit saja? Tentu saya akan memilih yang terakhir. Juga karena tidak ada transportasi jarak jauh di siang hari seperti di Jawa. Semuanya bergerak setelah azan isya berkumandang. Kalau pun ada angkutan di siang hari itu pun harus ngompreng dari kota ke kota. Masalah harga, semuanya ada harga yang harus dibayar atas sebuah efisiensi dan kenyamanan.

Pesawat kecil itulah yang mengantarkan saya ke Banda Aceh dari Tapaktuan. Saya menunggu sebentar di Bandara Internasional Iskandar Muda yang masih sepi. Tak lama kemudian Rachmad Fibrian datang dengan kijangnya menjemput saya. Memet, panggilan akrabnya, adalah pelaksana di Seksi Penagihan Kantor Pelayanan Pajak Pratama Tapaktuan. Nanti dia yang akan mendampingi saya di Forum Penagihan se-Kantor Wilayah (Kanwil) Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Aceh. Selain itu ada Fahrul Hady, jurusita KPP Pratama Tapaktuan yang juga ikut dalam forum tersebut.

Memet mengajak saya untuk sarapan dan ngupi di kedai kopi asli Aceh, kopi Beurawe. Di jam sepuluh pagi itu, kedai masih dipenuhi dengan para pengunjung. “Jam ramainya memang di siang hari sesuai jam buka warung. Kalau malam malah tutup,” jelas Memet.

Antara ada dan tiada, perut saya sudah mulai merajuk. Makanan ringan di pesawat masih kurang nendang rupanya. Mungkin perlu makanan yang nendangnya selevel tendangan David Eric Hirst. Kecepatan tendangannya bisa mencapai 186 km/jam saat bermain untuk Sheffield Wednesday di tahun 1996. Akhirnya saya memesan nasi gurih dengan dendeng sapinya. Ditambah satu gelas kopi Beurawe tentunya.

“Waktu check-in hotelnya masih lama, saya punya niat untuk mampir ke museum tsunami. Bisa nganterin gak Met?”

“Siap, Pak.”

Rasa penasaran terhadap museum itu kiranya akan tertuntaskan hari ini. Waktu kunjungan pertama ke Banda Aceh saat pelantikan dulu saya tidak sempat mampir ke museum itu. Tak tahu mengapa daya tariknya begitu kuat. Ini seperti obsesif kompulsif. Tapi tak parah-parah amatlah. Entah karena desain bangunannya yang menarik, isi museum itu yang kata banyak orang menyalakan elan kita agar tak putus asa terhadap takdir, atau karena latar belakang semuanya itu berupa kiamat kecil bernama tsunami.

Setelah telepon sana telepon sini dikarenakan ada perubahan jadwal dan tempat untuk kehadiran saya di Forum Pelayanan setelah Forum Penagihan selesai, saya dan Memet pun angkat kaki dari kedai itu. Kami segera menuju museum. Tak lama kami sudah sampai di sana. Memet mengarahkan mobil ke lokasi sebelah. Halamannya luas dan cocok buat memarkirkan mobil kami. Dan inilah takdir saya hari itu.

Ternyata halaman itu adalah halaman kuburan militer Belanda yang disebut juga dengan Kerkhof Peutjoet. Di sinilah tempat dikuburkannya dua orang yang sempat saya sebutkan di tulisan terdahulu. Mereka adalah Mayor Jenderal Johan Harmen Rudolf Kohler dan Meurah Pupok. Kohler adalah jenderal Belanda yang tewas tertembak prajurit Kesultanan Aceh pada tanggal 14 April 1873 setelah membakar Masjid Raya Baiturrahman.

Sedangkan Meurah Pupok adalah adik Sultan Iskandar Muda yang dihukum mati oleh kakaknya karena telah berzinah dengan istri perwira. Dari literatur yang saya dapatkan Meurah Pupok merupakan adik sultan, tetapi dalam papan petunjuk yang dibuat oleh Dinas Kebudayaan Provinsi Aceh di tahun 2005 disebutkan kalau Meurah Pupok adalah putra sang sultan sendiri. Peristiwa itulah yang mengenalkan kalimat kuat sang sultan: “Mate anak meupat jirat, gadoh adat pat tamita. Mati anak ada makamnya, mati hukum ke mana akan dicari keadilan.”

Saya tidak berniat mengunjungi kuburan militer Belanda ini. Pun karena saya tak tahu ada lokasi itu di samping museum tsunami. Ketidaksengajaan yang malah membuat saya kaya akan pengalaman tempat-tempat bersejarah.

Kuburan militer ini berpintu gerbang besar. Di atas pintu gerbangnya terdapat teks dalam berbagai bahasa. Di dinding-dinding sampingnya terdapat marmer bertuliskan nama-nama prajurit dari berbagai daerah pertempuran yang dikuburkan di sana. Mulai dari pertempuran awal semisal pertempuran di Masjid Raya yang terjadi di tahun 1873 sampai yang terakhir. Marmer-marmer berisi nama itu pun memenuhi dinding lorong pintu gerbang kuburan hingga di sebelah dalam pintu gerbang.

Tidak hanya prajurit dengan nama-nama londo yang tercantum dalam marmer prasasti di sana, ada juga prajurit dengan nama Ambon, Jawa, dan Manado. Prajurit-prajurit bernama pribumi tersebut adalah bagian dari prajurit marsose Belanda.

Setelah memasuki pintu gerbang kita akan diperlihatkan hamparan tanah luas berisi makam-makam dengan batu nisannya yang besar-besar. Bahkan ada yang paling besarnya di ujung jalan utama pintu gerbang. Namun sebelum ke ujungnya, selurusan dengan pintu gerbang, terdapat tugu besar berwarna putih yang sebenarnya adalah batu nisan dari Kohler.

Di situlah Kohler dikubur. Sebenarnya setelah tewas, mayat Kohler dibawa ke Batavia. Lalu dikuburkan di Kerkhof Laan, Pemakaman Umum Kebon Jahe, Kober, Tanah Abang. Karena ada perkembangan kota Jakarta makam tersebut digusur dan dipindahkan ke kuburan militer Belanda di Kerkhof Peutjoet ini.

“Simbol ular gigit buntutnya sendiri ini berarti simbol apa?” tanya Memet melihat relief yang ada pada salah satu sisi batu nisan Kohler. “Ini pasti ada artinya.” Saya tak menjawabnya karena saya masih mengamati setiap detilnya. Juga karena sama-sama tak tahu maksud dari simbol itu.

Di setiap sudut batu nisan itu diukir dengan tiang berbentuk obor yang terbalik dan dicat warna emas. Di setiap sisinya, di bagian atas, terdapat simbol bintang. Juga ada keterangan-keterangan dalam bahasa Belanda yang menerangkan tanggal kematiannya di Masjid Raya. Keterangan itu antara lain tanggal dikuburkannya di Kerkhof ini yaitu 19 Mei 1978. Kemudian ada dua simbol ular menggigit buntutnya sendiri. Satu simbol berada tepat di tengah salah satu sisi nisan dengan warna cat biru dan hitam. Satu lagi di sisi yang lain dengan bentuk yang lebih kecil dan tanpa warna.

 

Gerbang Utama Kerkhof. Dilihat dari sisi dalam. (Foto koleksi pribadi).

 

Prasasti di depan pintu gerbang. Berisi nama-nama prajurit Belanda yang tewas dalam pertempuran. Salah satunya di Missigit Raiya (Foto koleksi pribadi).

Hamparan kuburan di Kerkhoff (foto koleksi pribadi).

 

Jalan utama Kerkhof (Foto koleksi pribadi).

 

Batu nisan Kohler. Lihat simbolnya. (Foto koleksi pribadi).

 

Ouroboros di Batu Nisan Kohler (Foto koleksi pribadi).

 

Jalanan rindang di kerkhof (foto koleksi pribadi).

 

Makam Meurah Pupok (Foto koleksi pribadi)

 

 

Baru setelah kunjungan itu saya mengetahui arti simbol tersebut dari apa yang ditulis oleh Rizki Ridyasmara. Menurut Rizki, Kerkhof Laan yang di Tanah Abang itu berubah nama menjadi Museum Taman Prasasti. Di sana terdapat prasasti batu nisan Kohler tempat tulang belulangnya dikubur sebelum dipindah ke Banda Aceh. Persis sama dengan apa yang ada di Kerkhof Peutjoet. Bedanya pada warna dan sedikit ornamen nisannya.

Tidak ada warna emas dan biru pada prasasti Kober ini. Prasasti dibiarkan seperti warna khas batu alam. Bentuk bintang yang tercetak adalah bintang david, ini berarti simbol bahwa orang yang dimakamkan adalah orang yahudi. Sedangkan simbol ular gigit ekornya sendiri yang dikenal dengan istilah Ouroboros, menurut Rizki, termasuk simbol setan yang berasal dari kelompok Brotherhood of Snake. Ouroboros ini juga merupakan simbol yang dipakai oleh Freemasonry. Dengan kata lain Kohler ini bukan Yahudi sembarangan.

Kami menyusuri jalanan setapak yang rindang dengan pepohonan untuk melihat-lihat kuburan prajurit Belanda lainnya. Berjalan di kompleks pekuburan ini seperti berjalan di taman kota saking terawatnya. Tidak terasa aroma mistisnya di siang bolong itu. Tidak ada tuh yang namanya angin kencang berhembus tiba-tiba, pepohonan yang bergoyang dahan dan rantingnya, desau angin yang keras, langit yang mendadak menghitam, atau sesuatu yang mengintip kami dari kejauhan di balik batu nisan. Tidak ada. Tidak. Itu hanya ada di film.

Kemudian sampailah kami pada sebuah area pekuburan yang diberi pagar khusus. Di luar pagar terdapat tiga plang yang memberikan informasi tentang siapa yang dikubur di tempat itu. Di dalamnya terdapat pohon besar. Kelebatannya menaungi dua makam yang ada di sana. Dari bentuk makamnya sudah jelas itu bukan makam orang Belanda. Ini makam orang Islam. Batu nisannya dibalut dengan kain putih. Kuburan itulah kuburan Meurah Pupok. Sedangkan kuburan lain dengan nisan tanpa balutan kain putih berukuran lebih kecil.

Sungguh saya tak pernah menyangka bahwa saya akan hadir di tempat ini. Tak menyangka pula kalau kuburan Meurah Pupok itu ada. Karena saya mengira sebelumnya bahwa Meurah Pupok itu hanyalah sekadar cameo dalam sebuah fragmen sejarah Iskandar Muda. Di masa itu ia pendosa layak dilupakan. Lalu buat apa lestari jejaknya hingga saat ini. Ternyata ia ada. Dalam kuburan tentunya. Beserta ceritanya yang hitam.

Setelah berlama-lama di sana kami pun sadar bahwa tujuan kami bukanlah tempat itu, melainkan museum tsunami. Kami pun bergegas keluar. Tapi di saat menyusuri jalanan menuju pintu gerbang itu saya tersentak melihat kuburan yang berserakan itu dengan latar belakang museum tsunami dari kejauhan. Ini menjelma diorama. Sebuah bahtera yang berlayar. Bahtera besar. Bahtera Nuh. Berlayar tidaklah di lautan. Melainkan di kuburan.

Sitor Situmorang mendadak singgah di kepala saya dan bersajak “Malam Lebaran” dengan satu kalimatnya yang terkenal: “Bulan di atas kuburan”. Saat itu Sitor kemalaman dan kesasar setelah gagal berkunjung ke rumah Pramoedya Ananta Toer. Ia melewati sebuah tempat yang dipenuhi dengan pohon-pohon tua, rimbun, dan dikelilingi oleh tembok. Ia penasaran ingin melihat apa yang ada di balik tembok itu. Lalu ia mengintip. Ternyata pekuburan orang eropa berwarna putih penuh salib yang tertimpa cahaya bulan di sela-sela dayangan dedaunan pepohonan. Pikirannya terperangkap dalam sebuah tamasya penuh kesan. Lalu tertulislah kata-kata itu. Entah mengapa feeling saya menyatakan-walau tidak disebut Sitor secara lengkap—bahwa tempat pekuburan itu adalah Kerkhof Laan, Kober, Tanah Abang.

Maka bolehlah saya juga membuatnya, siang itu, saat saya bertamasya raga, saat pikiran saya terperangkap kesan di sebuah Kerkhof Peutjoet, sebuah sajak berjuduk Siang Berisik.

Siang Berisik

Berlayar di atas kuburan.

Sudah cukup.

Berlayar di atas kuburan. (Foto koleksi pribadi)

 

***

 

 

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

11 Desember 2013

 

RIHLAH RIZA #15: BERAPA JUGUN IANFU?


RIHLAH RIZA #15: BERAPA JUGUN IANFU?

Selain sebagai pegiat LSM lingkungan di Conservation International, bintang Hollywood pendukung zionis ini ternyata juga pengoleksi pesawat terbang pribadi untuk pergi ke ranch, mansion atau ke mana saja ia suka. Salah satu yang ia punya adalah jenis pesawat yang saya naiki pertama kali ini dan itu pun dibiayai negara.

*

    Di atas pesawat berbaling-baling satu milik maskapai penerbangan perintis Susi Air yang sedang menaik saya lamat-lamat menatap dari kejauhan Bandar udara Teuku Cut Ali, Pasie Raja, Aceh Selatan. Semakin kecil, kecil, dan kecil saja bangunan yang ada di sana. Dari atas ketinggian itulah saya baru tahu kalau bandara itu dekat dengan pantai indah berpasir putih yang menyambung dengan Pantai Cemara di kejauhan sana. Selanjutnya akan banyak pemandangan memukau yang menemani saya sepanjang perjalanan.

    Pesawat Cessna Grand Caravan C208B ini akan membawa saya menuju Banda Aceh untuk melaksanakan tugas yang diberikan Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama Tapaktuan yakni menghadiri acara Forum Penagihan se-Kantor Wilayah (Kanwil) Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Aceh selama tiga hari. Kemudian lanjut dengan penugasan lainnya yaitu memberikan pelatihan menulis buat teman-teman di Forum Pelayanan dan KP2KP se-Kanwil DJP Aceh di Lhokseumawe. KP2KP merupakan singkatan dari Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan Konsultasi Perpajakan. Kantor instansi vertikal DJP setingkat eselon empat.

    Saya cuma sendirian di atas pesawat itu. Sebelas kursi lainnya kosong. Saya duduk di bagian belakang. Ini bukan kemauan saya. Tapi sudah diarahkan oleh petugas Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, Kementerian Perhubungan untuk duduk di belakang. Kalau yang naik dua atau tiga orang atau lebih pengaturan tempat duduknya pun akan berbeda. Mungkin maksudnya untuk menyeimbangkan beban yang ada.

Di bagian depan ada dua orang yang mengemudikan pesawat ini. Ruangan mereka tanpa sekat dengan ruangan penumpang. Saya tak tahu yang mana dari mereka berdua itu yang menjadi supir benerannya (pilot utama) dan mana yang jadi supir tembak atau keneknya (ko-pilotnya). Kalau lihat film-film Hollywood biasanya yang sebelah kiri yang jadi pilot utama.

Satu orang pilot berkebangsaan Jepang dengan wajah khasnya yang rada-rada bagero itu. Dialah yang duduk di sebelah kiri. Satu lagi orang bule gundul yang saya tak tahu berkebangsaan apa. Dari supir Susi Air yang menjemput saya di mess saya dapat informasi kalau para pilot itu selain dari Jepang juga berasal dari Jerman, Belanda, dan Spanyol.

Sebagai salah satu bentuk pelayanan prima mereka, cabang Susi Air yang ada di Tapaktuan memberikan fasilitas layanan antar jemput dari dan atau menuju bandara. Tentunya dengan tambahan ongkos sebesar dua puluh ribu rupiah. Ini sepadan dengan 45 menit yang dibutuhkan mobil itu melaju dari Tapaktuan menuju bandara atau sebaliknya.

Tidak setiap hari pesawat ini ada di Tapaktuan. Hanya ada pada Hari Senin, Selasa, Jumat, dan Sabtu. Rutenya pun bermula dari Bandara Internasional Kualanamu, Medan yang berangkat jam tujuh pagi. Satu jam kemudian tiba di Bandara Teuku Cut Ali. Lalu berangkat lagi menuju Bandara Internasional Iskandar Muda, Banda Aceh. Dari sana pesawat itu kembali lagi ke Tapaktuan dan Medan.

Susi Air memang melayani semua daerah di Provinsi Aceh yang ada bandaranya. Ongkosnya masih terjangkau karena setengahnya disubsidi oleh pemerintah pusat. Oleh karenanya mereka harus tetap berangkat mengudara walau tidak ada penumpang sama sekali. Sayangnya informasi tentang jadwal penerbangannya sampai dengan saat ini tidak bisa diakses melalui situs internetnya. Para penumpang harus menelepon ke nomor telepon masing-masing cabang yang telah disediakan di situs itu jika ingin memesan tiket. Tiketnya pun masih ditulis dengan tangan seperti tiket travel Tapaktuan-Medan.

Faktor cuaca sangat menentukan apakah pesawat jadi berangkat atau tidak. Walaupun dalam brosur promosinya mesinnya tahan untuk segala jenis cuaca. Jadi bisa saja jadwal terbang kita pada hari itu batal karena pesawat tidak jadi berangkat. Tapi tentunya tiket tidak hangus. Penerbangan akan dijadwalkan keesokan harinya.

Alhamdulillah Senin itu cuaca sangatlah cerah. Saya masih dapat menikmati pemandangan pantai dan kota Tapaktuan saat pesawat ini melintas di atasnya. Pesawat ini sebagian perjalanannya menyusuri pinggiran pantai barat Aceh. Sebagian lainnya di atas pegunungan yang syukurnya masih lebat dengan hutan.

Ini berbeda dengan apa yang saya lihat di tahun 2005 saat saya menaiki sebuah pesawat kecil dari pedalaman Kalimantan Tengah menuju Kota Balikpapan. Yang tampak hanyalah dataran gundul dan bopeng-bopeng sebagai akibat penambangan dan penebangan liar. Paru-paru dunia itu telah mengalami luka dahsyat yang entah bagaimana lagi kondisinya pada saat ini. Itulah yang menyebabkan Harrison Ford dengan kurang ajarnya menyemprot Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan menuntut agar para pelaku deforestasi itu dipenjara.

Bandar Udara Teuku Cut Ali (Foto koleksi pribadi).

Kabin pesawat Cessna Grand Caravan C208B (Foto koleksi pribadi).

Air minum dalam kemasan,kue semacam dorayaki, dan kue yang didalamnya ada kacang ijo. (Foto koleksi pribadi)

Pemandangan pantai di daerah dekat Tapaktuan Aceh Selatan dari atas ketinggian. (Foto koleksi pribadi).

Pemandangan pegunungan dari atas ketinggian (Foto koleksi pribadi).

Persawahan di dekat Kota Banda Aceh (Foto koleksi pribadi).

 

 

Pesawat yang saya naiki saat mendarat di Bandara Internasional Iskandar Muda (Foto koleksi pribadi).

 

Di dalam pesawat, selagi pilot asyik makan wafer, saya pun menyantap snack dalam kotak yang telah diberikan petugas Susi Air sebelum pesawat mengudara. Pilot dari Jepang itu juga menyalakan
hp. Makanya saya pun tak canggung-canggung lagi whatsapp-an, gtalk-an, sms-an dengan teman-teman di hp. Tak ada awak kabin pesawat yang mendemonstrasikan prosedur keselamatan penerbangan seperti di pesawat berpenumpang banyak.

Walau sudah tak terhitung berapa kali mereka melintasi daerah yang sama, entah kenapa pilot asing dari Jepang itu juga masih suka mengambil gambar dengan kamera hpnya. Satu hal yang pasti dan tidak bisa dipungkiri adalah Indonesia itu indah, subur, dan kaya. Ini masih mending pilot Jepang itu cuma mengambil gambar, nenek moyangnya dengan semangat imperialis dan fasisnya mengambil habis raga dan jiwa anak bangsa serta kekayaan negeri ini.

Berapa ribu ton bijih besi yang dikirim ke negeri matahari terbit untuk dibuat senjata-senjata berat mereka? Berapa ratus ribu ton beras yang dikirim buat bekal pasukan mereka bertempur di seluruh asia pasifik? Berapa banyak leher nenek moyang kita terpenggal samurai-samurai mereka? Berapa nyawa hilang untuk romusha mereka? Berapa perempuan-perempuan terhormat kita, ibu-ibu kita yang menjadi Jugun Ianfu mereka? Kalau saja Nagasaki dan Hiroshima tidak dibom angka-angka yang akan menjawab banyak pertanyaan itu menjadi semakin tinggi.

Sekarang penjajahan fisik seperti itu sudah tidak ada lagi. Yang ada adalah penjajahan dalam bentuk ekonomi dan budaya. Itu pun tanpa sadar dirasakan. Atau memang dirasakan bahkan dinikmati dengan sepenuh hati? Mereka mendapatkan harga yang murah dari gas yang dibeli dari kita sedangkan di saat yang sama industri kita masih kekurangan suplai gas dan harganya jauh lebih mahal. Masih bisa menghitung berapa potensi kerugian Pajak Penghasilan yang hilang dari setiap transaksi dividen terselubung yang dibalut dengan istilah royalti dan imbalan atas jasa yang dibayarkan oleh perusahaan Jepang di Indonesia kepada perusahaan induknya?

Aih, mengapa di atas ketinggian ratusan kaki di atas permukaan laut ini saya masih bisa berpikir tentang penjajahan masa lalu dan pertempuran argumentasi di ruang sidang Pengadilan Pajak sewaktu saya masih menjadi anggota Tim Banding Direktorat Keberatan dan Banding, DJP sedangkan di bawah sana masih banyak pemandangan indah yang bisa dinikmati?

Saya tatap kembali alam yang membentang. Pesawat itu bergoncang saat menabrak awan dan mengalami sedikit turbulensi. Saya memperbanyak shalawat seperti saat saya dulu pernah ketakutan menaiki mobil turbo kuning yang dipacu kencang teman saya di jalanan Sudirman menuju Thamrin.

Sudah 60 menit pesawat ini melayang di udara dan sebentar lagi akan mendarat di Bandara Internasional Iskandar Muda. Dari sana saya akan langsung ke hotel saja. Tapi ternyata tidak. Takdir nantinya membelokkan saya ke suatu tempat. Ini mengejutkan saya. Kalau saja saya tahu beberapa jam sebelumnya saya akan tiba di suatu tempat yang tidak pernah terlintas dalam pikiran untuk dikunjungi, saya mungkin tidak akan pernah seterkejut ini. Ya, karena saya tiba di suatu lokasi tempat dikuburkannya manusia setipe Harrison Ford di Banda Aceh.

***

Catatan: Jugun Ianfu adalah wanita yang menjadi budak seks di rumah bordil militer pendudukan Jepang.

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

Banda Aceh, 2 Desember 2013

RIHLAH RIZA #13: SEPERTI SENJA YANG BERGULUNG-GULUNG


RIHLAH RIZA #13:

SEPERTI SENJA YANG BERGULUNG-GULUNG

 

Selain Ibnu Bathuthah ada juga penjelajah Arab yang mendahuluinya—tepatnya di abad 10—bernama Ibnu Fadlan. Manuskrip yang tersisa tentangnya menceritakan pertemuan budaya antara Arab dan Viking.

**

    Jam 20.15, mobil travel yang akan mengantarkan saya ke Medan sudah tiba di mess. Rencananya saya akan pergi ke Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak untuk menghadiri undangan mengikuti workshop sehari
yang diselenggarakan oleh Direktorat Keberatan dan Banding. Workshop ini mengenai organisasi penyelesaian sengketa perpajakan. Atas seizin Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Tapaktuan saya diperbolehkan untuk mengikutinya. Kebetulan pekan ini adalah pekan ketiga keberadaan saya di Tapaktuan, karenanya saya sekaligus memanfaatkannya untuk pulang.

    Saya duduk di bagian depan di samping supir. Tempat duduk yang sudah saya pesan khusus kepada agen travelnya. Pokoknya saya tidak akan berangkat dengan travel itu kalau saya tidak duduk di situ. Karena ini perjalanan darat yang memakan waktu lama tentunya kita kudu milih tempat yang nyaman. Jok di samping dan di belakang supir adalah tempat duduk yang nyaman. Yang paling nyaman tentunya di samping supir. Kalau kita tidak pesan atau tidak beruntung kita bisa saja dapat duduk di bagian tengah. Dan ini bisa-bisa tidak tidur sepanjang perjalanan karena tak ada senderan buat kepala. Apalagi kalau sudah dijepit dua orang.

    Innovanya masih gres. Suara mesinnya halus. Kijang ini masih harus mampir ke rumah-rumah menjemput penumpang. Ini saja butuh waktu satu jam. Ternyata semuanya perempuan. Tentu saya tepat duduk di depan. Selama perjalanan saya mengalami roaming. Persis seperti Antonio Banderas dalam The 13th Warrior yang berperan sebagai Ahmad bin Fadlan yang diselamatkan para petempur Viking dari gangguan penjarah Mongol-Tatar.

    Orang Arab kepercayaan Khalifah di Baghdad namun terusir ini dalam sebuah makan malam jadi bahan olok-olok dari mereka yang menyelamatkannya. Ahmad tahu ia jadi bahan pembicaraan. Tapi ia tak mengerti apa yang dibicarakan. Makanya ia perhatikan gerak bibir mereka. Saking jeniusnya lama-kelamaan orang Arab ini jadi paham dan tahu bahasa mereka. Seketika Ahmad jadi tahu kalau yang dibicarakan dengan nada mengejek itu adalah kudanya yang kecil dan pedangnya yang bengkok. Mereka akhirnya terdiam ketika Ahmad menimbrung dengan mengucap sebuah kata. Lalu berikutnya ngobrol seru dengan bahasa mereka.

    Saya tak sejenius Ahmad bin Fadlan ini. Saya tak mengerti apa yang supir dan perempuan penumpang itu bicarakan. Saya tak mampu membaca gerak bibir mereka. Yang saya paham cuma kata-kata yang sangat familiar seperti ambo. Selebihnya tidak. Lainnya yang bisa terdengar seperti kata “dakik-dakik”. Tak tahulah awak artinya ini. Dengan jaket hitam tipis dan sarung yang sengaja dibelitkan di leher untuk mengurangi terpaan angin malam dari jendela yang sedikit terbuka, saya banyak terdiam. Sesekali mengobrol dengan supir yang enak nyetir-nya ini dan kalau di tikungan tak sedikit pun mengurangi kecepatan.

    Dua kali kami berhenti untuk istirahat. Supirnya makan dan ngupi. Perhentian pertama ini di sebuah warung makan bernama Awak Away di Kota Subulussalam. Kota ini jaraknya tiga jam perjalanan darat dari Tapaktuan dan merupakan satu dari lima kota yang berada di Provinsi Aceh. Empat kota lainnya adalah Kota Banda Aceh, Kota Langsa, Kota Lhokseumawe, dan Kota Sabang. Perhentian kedua saya tak tahu di daerah mana.

    Ketika kami menyusuri gelapnya malam di jalan yang berliku-liku di bawah pegunungan Bukit Barisan, entah di daerah Kabupaten Pakpak Barat atau Dairi (dua-duanya merupakan kabupaten yang berada di wilayah Sumatera Utara) mobil kami dihadang segerombolan orang. Kami harus berhenti juga karena di tengah jalan sudah ada pohon yang melintang. Mereka minta duit. Tapi tidak meminta kepada kami melainkan kepada supir.

Ada sedikit intimidasi mereka dengan cara mengerubuti supir secara bersamaan. Jendela dipenuhi dengan tangan-tangan yang berusaha menggapai-gapai dashboard. Tapi tak ada insiden. Dikasih secukupnya mereka mau. Saat uang sudah diterima pohon tumbang pun dengan mudahnya digeser oleh mereka dari tengah jalan. Sejatinya bukan pohon tumbang, melainkan dahan pohon dengan banyak daun yang sengaja ditebang.

Tidak jauh dari sana, tiga atau lima kilometer setelah gerombolan itu, ada razia polisi di depan posnya. Kami diperiksa sebentar, terutama barang yang ada di atas mobil yang ternyata isinya durian.

    Kami sampai di Medan jam lima pagi. Inilah kali pertama saya singgah di kota Medan seumur hidup saya dan tak menyangka kota ini begitu besarnya. Pantas saja kalau dijuluki sebagai kota terbesar ketiga di Indonesia setelah Jakarta dan Surabaya. Kami melewati Masjid Raya Medan atau Masjid Al Mashun dalam keremangan lampu yang membuat bangunan ini semakin indah dilihat. Kubahnya mirip dengan kubah Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh dengan model Turki-nya.

 

Masjid Raya Medan (Koleksi Yopi Photography)

Enam penumpang turun mendahului saya di sebuah hotel. Saya turun terakhir di Stasiun Medan. Saya akan naik kereta api ke Bandara Internasional Kualanamu. Saya pergi ke stasiun ini dikarenakan saya tiba di Kota Medan masih pagi. Kalau tibanya jam enam pagi saya akan putuskan langsung naik bus Damri di Jalan Gatot Subroto dan tidak berhenti di stasiun kereta api itu. Alhamdulillah waktunya cukup.

Stasiun Medan ini besar, bersih, dan modern. Loketnya bergaya bank. Bukan seperti loket pasar malam. Dilayani oleh petugas berpenampilan seperti awak kabin pesawat maskapai penerbangan. Rapih, ramah, dan penuh senyum. Bagi pengguna Commuter Line Jakarta-Bogor pasti bisa membandingkan gaya mereka dengan gaya petugas loket di stasiun-stasiun Jabodetabek. Serupa langit dan bumi.

Mungkin karena harga tiketnya juga yang membedakan. Saya harus membayar sebesar 80 ribu rupiah untuk sekali pergi dengan jarak tempuh 40 km. Butuh waktu 37 menit untuk sampai di bandara. Tetapi kalau dari bandara ke Kota Medan butuh waktu 44 menit.

Bentuk keretanya seperti kereta rel listrik Jabodetabek. Tetapi posisi dan bentuk kursinya seperti kursi kereta api jarak jauh Jakarta-Surabaya. Di dalam kereta berpendingin ini terdapat rak-rak besi bersusun, tempat menaruh tas penumpang. Letaknya di samping pintu masuk dan bukan di atas kursi penumpang.

Kereta Api di Bandara Kualanamu

 

Sampai di bandara, saya langsung cari tiket ke Jakarta. Untuk jam-jam penerbangan terdekat tiketnya sudah habis. Banyak calo menawarkan tiket kepada saya. Tapi saya tidak mau beli di calo walaupun harganya lebih murah dan jamnya lebih dekat. Saya akhirnya dapat penerbangan untuk jam 11 siang. Sebelum terbang saya sempatkan diri beli bolu gulung khas Medan.

Singkat cerita saya sampai di Bandara Soekarno Hatta. Dari sana menyambung ke Pasar Minggu naik Bus Damri. Turun di Pertigaan Duren Kalibata. Lalu naik Kopaja ke Stasiun Kalibata. Tiba di stasiun sudah ada pengumuman Commuter Line ke Bogor yang akan segera datang. Empat puluh menit kemudian saya sudah tiba di Stasiun Citayam. Saya sudah tak sabar bertemu Ayyasy dan Kinan, tapi hujan deras menghalangi saya untuk segera beranjak dari stasiun.

Setengah jam kemudian, walau hujan masih turun rintik-rintik, saya paksakan diri naik ojek. Dan…

“Abiiiii….!!!,” Kinan berteriak saat melihat saya turun dari motor ojek. “Abi dataaang!”

Kinan berlari menyambut dan langsung memegang tangan saya. Menariknya masuk ke dalam rumah. Mas Ayyash sudah berdiri di depan pintu. Saya gendong dan peluk Kinan. Saya juga memeluk Mas Ayyasy. Ummu Haqi tak menyambut saya karena ia masih di kantor.

Saya bahagia banget bertemu dengan mereka. Pastilah bahagia. Memangnya ada yang tak bahagia bertemu orang yang dicintainya setelah berpisah sekian lama? Padahal belumlah genap tiga minggu. Inilah, bahagia yang sederhana, yang pula dirasakan teman-teman Direktorat Jenderal Pajak yang ditempatkan jauh dari keluarga. Semakin juga merasakan dengan sebenar-benarnya rasa atas nikmat kebersamaan yang terkadang jika tidak ada kata “jauh” di antaranya menjadi biasa-biasa saja, bahkan mengkufurinya.

Kita akan merasakan betapa sehat itu sungguh nikmatnya jika sakit sedang mendera. Kita pun akan merasakan betapa waktu luang itu sungguh berharganya jika masa sibuk terhela di muka. Kita jua akan merasakan betapa kebersamaan itu tak ternilai artinya jika kesendirian mendominasi hari-hari kita.

Lalu kelelahan menempuh perjalanan 20 jam dari Tapaktuan sampai Citayam tak bisa dibandingkan dengan gurat bahagia berjumpa dengan mereka yang dicinta. Sungguh, orang-orang bijak pernah mengatakan bahwa pertemuan dengan yang dicinta adalah salah satu dari empat hal yang bisa membawa ketenangan dalam hati. Ketiga lainnya adalah melihat yang hijau-hijau, melihat air yang mengalir, dan melihat buah-buahan di atas pohonnya. Dua yang pertama saya dapatkan semuanya di Tapaktuan. Alhamdulillah.

Sore itu Kinan tak mau dimandikan kecuali oleh saya. Sewaktu mandi juga dia nyerocos bicara apa saja. Sore itu, bisa memandikan dan mendengar apa saja yang diomongkannya adalah bahagia sederhana saya. Seperti melihat senja yang bergulung-gulung. Senja di Tapaktuan.

 

 

***

 

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

Tapaktuan, 23 November 2013

Malam Minggu Sepi

 

Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak, djp, Direktorat Keberatan dan Banding, kpp tapaktuan, Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama Tapaktuan, Antonio Banderas, The 13th Warrior, arab, Viking, Mongol-Tatar, Khalifah di Baghdad, Ahmad bin Fadlan, Awak Away, Kota Subulussalam, Provinsi Aceh, Kota Banda Aceh, Kota Langsa, Kota Lhokseumawe, Kota Sabang, Bukit Barisan, Pakpak Barat, Dairi, Masjid Raya Medan, Masjid Al Mashun, Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh, Stasiun Medan, bandara internasional kualanamu, Kinan fathiya almanfaluthi, Muhammad yahya Ayyasy almanfaluthi, mas ayyasy, ummu haqi, ria dewi ambarwati, Citayam, Kinan, Senja di Tapaktuan, perjalanan menuju tapaktuan, kpp pratama tapaktuan

 

RIHLAH RIZA #12: “HALO NYET…”


RIHLAH RIZA #12:

“HALO NYET…”

 

Napoleon Bonaparte memasuki Moskow, 14 September 1812. Tapi ia hanya menemui kota itu telah kosong melompong dan dibakar. Ia mundur. Kini, yang dihadapi oleh 650.000 prajurit pimpinannya ini bukan pasukan Rusia melainkan cuaca dingin. Lebih dari dua per tiga pasukannya tewas kelaparan dan kedinginan. Sebagiannya ditawan. Hanya 4% prajuritnya yang mampu menyebrangi Sungai Berezina.

**

“Sudah berapa lama di Aceh, Kapten?” tanya saya kepada Kapten Yudho Komandan Kompi lulusan Akademi Militer Magelang asal Nganjuk ini.

“Sudah lama. Delapan tahun. Kalau Pak Riza?”

“Baru satu minggu.”

Perwira pertama ini tertawa. Karena dibandingkan dengan para prajurit anggota Batalyon Infanteri (Yonif) 115 Macan Leuser ini keberadaan satu minggunya saya ini sungguh tidak berarti apa-apa.

Ini pembicaraan kami di sela-sela acara olahraga bersama yang diselenggarakan oleh Markas Yonif 115 ML. Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Tapaktuan mendapatkan undangan untuk menghadirinya bersama instansi pemerintah yang lain. Bupati Tapaktuan yang baru dilantik pada tanggal 22 April 2013 pun ikut hadir dalam acara tersebut.

Saya mendapatkan banyak kenalan dengan para prajurit dan pejabat dalam acara itu. Dan dunia memang sempit, saya ketemu dengan orang satu kampung di sini. Ia menjabat sebagai Komandan Rayon Militer Kluet Utara. Ia sudah lama menetap dan mempunyai istri orang Aceh.

Saya juga ketemu dengan prajurit lainnya yang ternyata ia punya kakak yang bekerja di kantor pajak. Saya mengenal kakaknya walau tidak begitu dekat. Dan lebih mengejutkannya lagi ia punya istri orang Bojonggede. Yaa…kompleks rumahnya itu tempat saya sering main sebelum saya dipindahtugaskan ke Tapaktuan.

Saya mengobrol akrab dengan mereka diselingi kudapan kacang dan jagung rebus. Tak lupa teh manis dan kopinya. Sekalian pula menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka tentang pajak. Silaturahmi ini jadinya sekaligus ajang sosialisasi. Karena ternyata banyak juga yang belum memahami kalau penghasilan yang mereka terima berasal dari pajak.

Dalam acara itu ada banyak pilihan olahraga seperti bola basket, voli, tenis lapangan, catur, dan main batu. Permainan terakhir ini sebenarnya permainan domino. Saya bersama Kapten Yudho memilih main bola basket bersama prajurit yang lain. Three on three. Sebentar saja saya sudah ngos-ngosan. Sedangkan nafas para prajurit masih panjang. Saya cuma menghasilkan satu assist. Tak lebih. Langsung time out. Minta diganti.


Bermain basket dengan latar belakang pegunungan Leuser (Foto Koleksi Pribadi)

Setelah makan siang, kami berpamitan dengan tuan rumah yang ramah ini. Kami melewati pos penjagaan bertuliskan motto yang menyindir saya: Lakukan yang Terbaik dan Tetap Semangat. Kalau diterjemahkan dalam bahasa yang sederhana maka dapat diartikan: apa pun kondisinya, di mana pun adanya, memberikan yang terbaik dan selalu semangat itu kudu.


Pos Penjagaan Yonif 115 ML (Foto Koleksi Pribadi)

Kami pulang. Ada lebih dari 25 km jalanan harus kami lalui untuk menuju Tapaktuan. Markas Yonif 115 ML ini terletak di Kecamatan Pasie Raja dan di bawah Komando Resort Militer 012/Teuku Umar, Komando Daerah Iskandar Muda.

Karena jalanan menuju Tapaktuan mengalami longsor dan dalam proses perbaikan maka ada jalan alternatif baru yang dibuat melalui pinggiran pantai yang memanjang mulai dari utara sampai selatan. Jalan alternatif ini melalui pinggiran Pantai Cemara. Saking panjangnya pinggiran pantai ini, maka kalau ada rombongan kuda liar yang dilepas berlari kencang di pantai dari ujung ke ujungnya lalu dibuat filmnya ini bisa terekam sampai bermenit-menit.

Di beberapa bagian Pantai Cemara berjejer warung dengan saung-saungnya. Yang memang sedikit kendala adalah masalah kamar kecil. Terkadang warung tidak menyediakannya. Pemilik warung hanya mendirikan tempat tertutup ala kadarnya di atas rawa.

Di pantai ini pun jarang ada yang berenang. Tidak seperti di Pantai Rindu Alam seperti yang sudah pernah saya terangkan sebelumnya. Jadi Pantai Cemara ini hanya cocok untuk sekadar ngupi-ngupi, kongko-kongko, dan jalan-jalan saja.


Pantai Cemara Tapaktuan (Foto Koleksi Pribadi)


Sudut lain Pantai Cemara Tapaktuan (Foto Koleksi Pribadi)

Di sinilah saya mendapatkan sebuah pemandangan yang memikat. Perpaduan unsur-unsur indah dari sebuah lansekap. Ada tanah lapang, deretan pohon cemara, deretan pegunungan, cahaya matahari yang menyinari bagian perbukitan, langit yang setengah gelap, laut, dan pantai. Ini seperti bukan di Indonesia, tapi di Pegunungan Alpen Swiss yang pernah saya kunjungi beberapa waktu yang lalu dalam mimpi.

 


Salah satu pemandangan di Pantai Cemara Tapaktuan (Foto Koleksi Pribadi).

Coba bandingkan dengan gambar pegunungan Alpen yang satu ini:


Pegunungan Alpen sebelas dua belas dengan yang ada di Tapaktuan.


Pantai Cemara dari ketinggian dan kejauhan. (Foto Koleksi Pribadi)

Bandingkan dengan yang satu ini:


Taman Nasional Abel Tasman, Selandia Baru. Kebetulan yang mengambil gambar adalah orang profesional.

 


Monyet yang kami temui di sepanjang perjalanan pulang dari Pantai Cemara Tapaktuan (Foto Koleksi Pribadi)

Dalam perjalanan pulang pun kami menjumpai mamalia berkaki empat dan berekor panjang. Monyet di sini tidak nakal. Tidak seperti baboon di Taman Nasional Table Mountain Afrika Selatan yang akan berubah ganas kalau sudah mendengar suara plastik kresek yang dibawa para wisatawan. Ini berarti tanda ada makanan. Monyet di Tapaktuan ini cuma pasang muka memelas kepada para pengguna jalan agar kiranya sudi melemparkan kepada mereka penganan atau jajanan. Saya sapa salah satu dari mereka, “Halo Nyet…” Dia tak sudi menjawabnya. Melengos.


Cool…dipanggil melengos bae.(Foto Koleksi Pribadi)

Penolakannya tak membuat saya gusar. Saya pergi meninggalkan mereka. Masih ada yang harus saya kerjakan di mess. Terutama lagi pekerjaan yang sudah lama saya tinggalkan dan lupa cara mengerjakannya: mencuci baju. Nanti setelah itu seperti biasa saya akan membuka pintu depan lebar-lebar, mengambil kursi, menghadapkannya ke jalanan, menaruh tangan di belakang kepala, dan memandang kejauhan, memandang kepada apa yang dikatakan Andrea Hirata tentang langit: sebuah kitab yang terbentang.

Ini cara saya membunuh waktu. Sambil berpikir tentang hal-hal yang lalu dan apa yang harus saya lakukan nanti-nanti. Terutama kapan saya bisa pulang ke Citayam. Seminggu sekali? Dua minggu sekali? Tiga minggu atau sebulan sekali? Ini semata soal rindu yang tak bisa dibunuh. Dengan cara apa pun. Ini soal mimpi-mimpi yang tak pernah absen dalam meramaikan tidur di setiap malam. Dan izinkanlah saya untuk selalu bermimpi. Bermimpi bertemu dengan orang-orang yang saya cintai di gampong. Saya tak sama dengan monyet yang hidup di pantai-pantai itu. Mereka tak punya mimpi. Sedangkan saya punya mimpi. Mimpi yang akan selalu saya tulis.

Seperti apa yang dikatakan Napoleon saat ditawan di atas kapal Inggris HMS Bellerophon, “Apa yang harus kita lakukan di tempat terpencil itu? Well, kita akan menulis memoir kita. Kerja adalah parang dari waktu.”

Begitu jua saya.

***

 

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

Tapaktuan, 18 November 2013

 

 


 

RIHLAH RIZA #11: BEGINT DE VREDE


RIHLAH RIZA #11:

BEGINT DE VREDE

Tanggal 7 Juli 1949, para tokoh nasional yang dibuang penjajah Belanda ke Bangka, mulai meninggalkan Bangka menuju Yogyakarta. Dua minggu sebelumnya penjajah Belanda menarik pasukannya sehingga dengan demikian Yogyakarta kembali menjadi ibu kota tanah air.

Dua kejadian ini merupakan konsekuensi buat Belanda dari hasil perundingan Roem-Royen. Yang pada ujungnya nanti—di tanggal 27 Desember 1949—penjajah Belanda secara resmi menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia.

Pemulangan tokoh nasional itu kemudian menjadi slogan yang terkenal: Van Bangka Begint de Victorie. Moh. Roem menerjemahkannya dengan: dari Bangka datangnya kemenangan.

**

Di sebuah pagi yang dingin. Bekas hujan semalam masihlah tampak. Rumput-rumput basah. Jalanan pun basah. Debur ombak di pantai depan masih dengan ritme yang sama. Sinar matahari sedikit-sedikit mampu menembus mendung yang masih menggelayuti kota kecil ini. Saya ambil kursi di ruang tamu dan menaruhnya di teras depan. Saya duduk. Menghirup nafas kesegaran pagi dalam-dalam. Hawa segar terasa di rongga dada. Memandang kejauhan laut dari titik cakrawala yang satu ke titiknya yang lain. Ada satu kata yang sesungguhnya mampu untuk menggambarkan apa yang saya rasakan pada saat itu: tenteram.

    Kata-kata sudah menggelegak dalam kuali kalimat, tinggal dituangkan saja ke gelas puisi. Di dalamnya ada balada hitam dan rindu manis. Cukup diaduk perlahan hingga aromanya menguar kemana-mana. Tapi saya membiarkannya imajiner saja. Tak pernah menjelma sajak. Itu juga sudah cukup. Kemudian setelah lama menenggak rasa pagi di depan rumah, saya putuskan untuk mengeluarkan sepeda. Ada satu tempat yang ingin saya kunjungi sejak pertama kali datang ke Tapaktuan. Sebuah tempat bernama pelabuhan Tapaktuan. Ada sekitar dua kilometer ke arah selatan dari mess kami. Ke sanalah sepeda ini akan saya kayuh. Jalan-jalan pagi dengan sepeda adalah sebuah anugerah yang luar biasa di sini. Jalanan sepi dan tanpa polusi.

    Saya mengayuh dengan cepat, kadang lambat. Tak sampai sepuluh menit saya sudah masuk pintu pelabuhan perintis ini. Tidak ada penjagaan. Orang bebas masuk dan keluar pelabuhan. Pakai sepeda, kereta, ataupun mobil hingga di atas dermaganya silakan-silakan saja.

    Banyak pemancing di dermaga itu dengan joran panjang atau cuma bermodal benang saja dan umpan ikan. Di sinilah besar kecilnya umpan menjadi penentu besar dan kecilnya ikan yang didapat. Sungguh ini perwujudan tentang ada harga yang harus dibayar atas semua hal. Umpannya kecil ya hasil yang didapat pun kecil. Umpannya ikan besar maka ikan yang kena pancing pun ikan besar sekali.

    Seperti jenis perahu yang digunakan para nelayan pun demikian. Semakin besar perahu yang digunakan maka semakin banyak pula ikan yang didapat. Tetapi ada yang anomali di dunia ini, perahu kecil yang digunakan seorang nelayan tua mampu mendapatkan ikan marlin yang besarnya melebihi besar perahu kecilnya itu. Tapi itu cuma fiksi dalam sebuah buku berjudul The Old Man and The Sea dan ditulis oleh Ernest Hemingway yang apa hendak dikata nobel kesusastraanlah yang didapat.

    Di pelabuhan itu, selain para pemancing, ada yang sekadar jalan-jalan dan melihat dari kejauhan pemandangan laut ataupun perbukitan. Ada juga sedikit keramaian dari nelayan yang menurunkan ikan segarnya yang besar-besar. Sebenarnya pelabuhan ini bukanlah tempat pelelangan ikan, karena untuk pelelangan ikan sudah disediakan tempatnya sendiri oleh Pemerintah Kabupaten Tapaktuan.

    Pelabuhan Tapaktuan bukanlah pelabuhan penumpang melainkan pelabuhan barang. Untuk menuju Pulau Simeulue dengan kapal laut maka pelabuhan Tapaktuan bukanlah tempatnya melainkan pelabuhan Singkil di ujung selatan Provinsi Aceh dan pelabuhan Labuhan Haji, satu setengah jam perjalanan dari Tapaktuan.

    Di pelabuhan Tapaktuan ini ada kapal-kapal besar yang membawa bahan bangunan dari pelabuhan lain di Sumatera. Misalnya besi atau semen Andalas yang dibawa dari pelabuhan Teluk Bayur, Padang. Butuh waktu dua hari dua malam untuk sampai ke sini. Dan tak sebentar kapal yang membawa belasan ribu sak semen ini untuk menurunkan bebannya. Butuh waktu tiga hari.

    Dari dermaga pelabuhan ini saya bisa memandang penyu yang berkeliaran di bawah tiang-tiang dermaga. Selain itu saya bisa menyaksikan elang laut yang terbang ke sana ke mari dengan bentangan sayapnya yang panjang dan gaya menukik tajamnya ketika menyambar ikan di laut; tali pancing yang menegang karena umpannya dimakan oleh ikan jabung; raut kemenangan pemancing saat mendapatkan ikan; bukit-bukit dengan kabut berarak yang seperti turun dari atasnya menuju laut; matahari pagi yang malu-malu memunculkan wajahnya dari puncak bukit dan balik awan; ombak-ombak yang menghantam bebatuan di sisi lain pelabuhan; perahu-perahu nelayan yang terombang-ambing.

Dermaga Pelabuhan Tapaktuan (Koleksi Pribadi)

Pelabuhan Tapaktuan dari Kejauhan (Koleksi Pribadi)

Para pemancing (Koleksi Pribadi)

Penyu di dermaga Tapaktuan (Koleksi Pribadi)

Kapal Barang dan Kapal Nelayan yang Bersandar (Koleksi Pribadi)

Bukit di Tepi Pantai. Di baliknya terdapat jejak kaki besar Tuan Tapa. Bangunan besar yang terlihat itu adalah gedung olahraga tempat teman-teman KPP main bulutangkis. (Koleksi Pribadi)

Sudut lain dari sebuah bukit yang menjorok ke pantai (Foto Koleksi Pribadi)

Arah timur pelabuhan. Pantai yang berkabut. (Koleksi Pribadi)

    Di atas pasak yang tertancap di dermaga yang biasa dijadikan sebagai tempat mengikat tali kapal, saya duduk dalam hening, memandang kejauhan laut dari titik cakrawala yang satu ke titiknya yang lain. Ada satu kata yang sesungguhnya mampu untuk menggambarkan apa yang saya rasakan pada saat itu: tenteram.

Ketenteraman yang membuahkan sebuah kesadaran bahwa pagi itu saya terjebak dalam tiga benda ini: bahtera, samudera, dan dermaga. Ketiganya sudah cukup membentuk sebuah landscape dari apa yang kebanyakan kita menyebutnya sebagai sajak, prosa, fragmen, drama, cerita pendek, dan novel.

Bahtera yang singgah di pelabuhan ini tidaklah itu-itu saja. Bahtera senantiasa dirindu samudera. Karenanya ia tidak berlama-lama di dermaga. Hidup kita pun demikian. Kita tak selamanya di samudera, pun kita tak selamanya di dermaga. Ada jeda yang membuat kita berpisah. Jedalah yang membuat kita dipenuhi hasrat. Hasrat sebuah bahtera yang ingin menumpahkan apa yang ada di dalamnya. Hasrat sebuah bahtera yang ingin mengambil apa saja dari samudera.

    Di dunia ini tak selamanya ada kesedihan, begitu pula tak selamanya ada kegembiraan. Jeda yang akan membuat kita berpikir untuk bisa menempatkan diri dengan sebaik-baik perilaku. Di saat sedih kita paham bahwa kesedihan itu tak selamanya ada, setelahnya akan ada senyum, tawa, dan kegembiraan. Di saat kita gembira kita pun sadar akan ada waktunya sedihnya menjadi raja, sehingga kita mampu mengukur seberapa kadar kegembiraan itu layak untuk ditumpahkan. Pada waktunya semua itu akan berlalu. Yakinlah.

    Ah, pagi di pelabuhan membuat saya banyak merenung. Memang, pagi dan senja di pantai adalah cerita tentang keindahan. Tetapi bagi para nelayan dan pemancing ikan, ini adalah kisah tentang kerja keras dan kesabaran *). Begitu pula dengan tax fighters yang ditempatkan di mana saja di daerah terpencil atau jauh dari keluarganya. Semua berujung pada tanya mampukah ia bersabar. Karena semua itu akan berlalu. Resah dan bahagia senantiasa akan dipergilirkan. Yakinlah.

Matahari sudah mulai meninggi. Sinarnya terasa hangat. Saatnya pergi meninggalkan pelabuhan. Saatnya pergi ke warung kupi, sarapan nasi gurih, dan minum segelas kupi Gayo. Di sana saya akan duduk dalam hening, memandang pinggiran gelas dari pinggiran yang satu ke pinggirannya yang lain. Ada satu kata yang sesungguhnya mampu untuk menggambarkan apa yang saya rasakan pada saat itu: tenteram.

Van Tapaktuan begint de vrede. Dari Tapaktuan datangnya ketenteraman. Itulah yang akan saya tulis.

*) Kutipan Majalah Tarbawi

***

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

11 Desember 2013

RIHLAH RIZA #9: AURAD DAN RELEGION


RIHLAH RIZA #9: AURAD DAN RELEGION

Tiga orang aktivis pergerakan itu dibuang oleh Penjajah Belanda karena kepemimpinan mereka yang mampu menggerakkan semangat perjuangan anti kolonialisme Belanda. Soekarno dibuang ke Ende, Flores pada tahun 1933. Hatta dipenjara di tahun yang sama kemudian bersama Syahrir dibuang ke tempat yang menyeramkan buat orang pergerakan pada masa itu: Boven Digoel. Sebuah tempat pembuangan buat para pemberontak Partai Komunis Indonesia tahun 1926.

    Hatta membawa koleksi bukunya sebanyak 16 peti. Di sana ia menulis buku. Juga menulis untuk koran. Penghasilan dari menulis itu dipergunakan sebagai biaya hidupnya di tanah pembuangan. Saking cintanya kepada buku ia menjadikan buku yang ditulisnya di Banda Naira—tempat pembuangan setelah Boeven Digoel—berjudul Alam Pemikiran Yunani sebagai mas kawinnya saat menikah dengan Rahmi Rachim di tahun 1945.

**

Margalaksana, Salawu, Tasikmalaya. Bertahun-tahun lampau. Dalam sebuah kenangan yang tak akan pernah hilang. Ini rumah uwak (kakak ibu) saya. Berada di pinggir jalan lintas Tasikamalaya-Garut. Halamannya luas. Samping-sampingnya sawah luas membentang. Belakangnya kolam ikan mas. Di belakangnya lagi adalah persawahan hingga ke kaki bukitnya. Daerah pegunungan yang sejuk. Desa yang tenang. Ini benar-benar tanah parahyangan. Secuil surga.

    Kalau shubuh airnya dingin bikin menggigil. Jika matahari terbit cahayanya menyinari sawah yang sedang menguning dan pohon-pohon lebat di perbukitan. Masih banyak burung-burung liar yang ribut mencari makan. Gemericik air bening dari pancuran, saung yang sedikit tua tapi bersih, ikan mas yang berenang ke sana kemari di lebak adalah gambaran sedikit tempat dekat rumah uwak. Apalagi kalau sedang hujan. Sempurna sudah seperti lukisan Basuki Abdullah tentang pantai di Teluk Numba yang dipesan oleh Soekarno.

    Suasana dan keindahannya yang dibawa sampai ke alam bawah sadar membuat saya menginginkan untuk bisa tinggal di sana. Atau di suatu tempat yang setidaknya menyamainya. Yang membangkitkan banyak inspirasi seperti Ende bagi Soekarno atau Banda Naira buat Hatta. Dan ternyata Allah membawa saya ke sebuah tempat yang merupakan paduan dari keduanya. Pegunungan dan pantai. Kota Naga: Tapak Tuan.

    Saya tinggal di sebuah mess yang dulunya merupakan bangunan bekas Pos Pajak Bumi dan Bangunan. Halaman mess ini luas sekali. Ditumbuhi dengan rumput liar dan berpagar tembok pendek. Di belakang mess terdapat pekarangan yang luas. Ada satu rumah lagi di situ. Namun tidak sebesar mess kami. Di belakangnya lagi bukit dengan hutan yang masih alami. Tempat tinggal monyet, babi, biawak serta hewan-hewan liar lainnya. Harimau tentunya sudah tidak ada lagi.

Ini mess kami. (Foto koleksi Teman)

    Di depan mess kami yang menghadap ke barat ini adalah jalanan sepi yang merupakan jalur lintas barat Sumatera. Di depannya lagi adalah pantai dari Samudera Hindia. Kalau ditarik lurus ke barat daya, tembus Pulau Simeulue maka ribuan kilometer di sana ada pulau besar yang terkenal bernama Madagascar. Kalau ditarik garis lurus 15 derajat ke barat laut maka itu adalah arah kiblat.

Suasana depan mess kami.(Koleksi Pribadi)


Sunset di suatu hari. (Koleksi pribadi)


Selalu ada senja.(Koleksi pribadi)


Pantai depan mess kami. (Koleksi pribadi)


Pemandangan depan mess kami. (Foto koleksi pribadi)

    Jadi dari pintu mess kami itu saya bisa melihat cakrawala yang memanjang, lautan luas, dan tentu saja senja di sore harinya. Pemandangan matahari tenggelam itu yang seru. Apalagi kalau langitnya tanpa awan.

Pantai di depan kami itu dibatasi tembok tebal. Gunanya untuk membatasi terpaan ombak. Karena sering kali ombak itu sampai ke jalanan. Waktu di malam pertama tidur di mess saya mengira suara yang sering kali terdengar keras dan berdebum itu adalah suara mobil yang melaju kencang. Ternyata bukan. Itu suara ombak besar yang keras. Bum…! Bum…! Bum …!

Pantai di depan kami ini pun bisa buat snorkeling. Ada karang dan ikan warna-warninya. Airnya hijau bening sehingga bisa terlihat dasar bawah lautnya. Saya pernah diajak untuk itu, alatnya sudah tersedia, saya tinggal pakai, tapi saya bilang nanti saja kalau saya sudah siap dan hari libur.

    Tidak takut kena tsunami? Insya Allah tidak. Waktu tsunami tahun 2004 lalu, Tapaktuan tidak mengalami tsunami walau air laut naik karena terhalang Pulau Simeulue ratusan kilometer di depannya. Tanda-tanda tsunami itu adalah ketika ada gempa dan air laut di pantai surut mendadak. Itu tanda yang harus diwaspadai oleh karenanya kami tinggal naik ke bukit belakang saja. Walau tsunami kemarin tidak mengakibatkan dampak signifikan di Tapaktuan, tapi di sana sudah ada tim SAR yang selalu siap untuk memberikan sosialisasi tentang tsunami ini. Bahkan di pelabuhannya ada Stasiun Pasang Surut Tsunami Early Warning System (TWES).

Bangunan tempat alat Peringatan Dini Tsunami. (Gambar koleksi pribadi)

    Jadi benar-benar pemandangan yang luar biasa indah dan tentunya menenangkan. Kalau pagi saya buka pintu depan lebar-lebar agar udara laut masuk ke dalam rumah. Pintu belakang saya buka juga agar udara perbukitan pun masuk. Asal jangan babi hutan saja yang masuk.

    Soal babi hutan ini memang punya story-nya. Waktu malam pertama kali saya menginap di mess itu ada tiga babi hutan yang sedang mencari-cari makanan. Sebuah penyambutan atas kedatangan saya. Kadang kalau kita lagi asyik-asyiknya nonton tv muncul babi-babi hutan itu dengan santainya. Tak mesti tiga, kadang dua ekor, kadang sendirian. Tergantung mood dan mau-maunya si babi. Jangan heran kalau malam-malam ada yang mengais-mengais tong sampah di pinggir jalan. Bukan pemulung seperti di Jakarta tetapi keluarga si Pumba itu. Pumba adalah karakter babi hutan di film kartun Lion King.

Bahkan pagi hari ini saat saya sedang belok ke SPBU ada babi liar yang kesiangan masuk hutan, masih cari-cari makanan di tengah kota. Untung tidak tertabrak. Kayaknya yang lagi menunggu di rumah sudah panik mengapa si babi belum pulang-pulang padahal lilinnya sudah mau habis dan cahaya matahari sudah nongol dari balik bukit. (Ini mah ngepeeeeeet…abaikan).

Selain babi ada biawak ada juga nyomet monyet. Kambing juga ada. Kucing ada juga. Jangkrik setiap malam tidak pernah absen menyuarakan aspirasinya. Krik…krik…krik…Merekalah para binatang yang sering lewat di depan atau belakang rumah.

    Kota Tapaktuan ini berada di Kecamatan Tapaktuan, Kabupaten Aceh Selatan. Kotanya kecil. Se-cret-an saja ini jalanan kota sudah habis dikelilingi. Kalau pakai mobil satu lagu saja tidak habis diputar. Ke mana-mana enak pakai sepeda. Jalanan yang sepi mendukung untuk gowes. Gowes sambil menghirup udara pagi dan menikmati keindahan pantai jadi salah satu cara mengusir jenuh.

    Ada dua jalan utama yaitu Jalan T Ben Mahmud dan Jalan Merdeka. Jalan yang pertama itu jalan tempat pusat pemerintahan. Sedangkan yang terakhir adalah pertokoan dan pusat bisnis.

Kantor Bupati Aceh Selatan di Jalan T. Ben Mahmud (Koleksi teman)

    Di Tapaktuan tidak ada tempat untuk menyalurkan gaya hedon orang ibu kota seperti mal, bioskop, diskotik. Orang pun harus menutup auratnya.    Ini himbauan yang tampak di jalanan Tapaktuan. Dan para warga mematuhinya. Soalnya ada polisi syariat yang disebut Wilayatul Hisbah yang akan mengawasi. Hotel-hotel atau losmen atau penginapan jangan sekali-kali menerima pasangan yang bukan mahram untuk satu kamar kalau tidak mau dirazia.

Seharusnya AURAT bukan AURAD (foto koleksi pribadi).

    Aceh memang terkenal agamis. Ada qanun (peraturan daerah) yang menjaga keterlestarian syariat Islam di daerah istimewa ini. Apalagi Tapaktuan suku aslinya merupakan suku Aneuk Jamee yang merupakan para perantau dari Minangkabau yang sudah menetap di sana sejak abad ke-15. Banyak masjid dan meunasah (musholla) yang dibangun. Agama menjadi urat nadi mereka dalam berperikehidupan. Tak sekadar slogan yang biasa terpampang.

Slogan yang terpampang di SMA Negeri 2 Tapaktuan. Seharusnya RELIGION bukan RELEGION. (Foto Koleksi Pribadi)

Bahasa yang digunakan sehari-hari adalah bahasa Minang dengan logat Aceh.

    “Pake talua?” tanya penjual nasi gurih itu kepada saya.

    “Hah apa?” saya balik tanya karena tak mengerti.

    “Pake talua?” dia mengulang tanyanya.

    “Ohh iya pake telur,” ini hasil berpikir cepat saya. Mengartikan bahwa nasi uduk yang saya makan itu memang pakai telur, bukan pakai ayam gulai. Saya sering disangka asli sana. Mungkin karena melihat kulit saya ini. Rasis juga mereka. Hihihi…

    Inilah sekelumit Tapaktuan. Kota yang terkenal dengan buah palanya. Seperti pula Banda Naira yang menjadi tempat penghasil pala di masa lalu hingga orang-orang Eropa berduyun-duyun datang ke timur Indonesia memperebutkannya. Pala pada saat itu lebih tinggi nilainya daripada emas.

Tidak seperti Hatta, saya cuma membawa buku tiga biji. Tak sebanding. Tapi suasana kebatinannya memenuhi rongga dada saya. Membuncah dan memuara. Sampai waktunya itu tiba.

***

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

Tapaktuan, 05:50 7 november 2013

RIHLAH RIZA #8: MEULABOH DAN 105 TAHUN YANG LALU


RIHLAH RIZA #8: MEULABOH DAN 105 TAHUN YANG LALU

Meulaboh. Di waktu sahur. Akhir Ramadhan 1316 H (11 Februari 1899 M). Suaminya tertembak di dada dan di perutnya. Tembakan prajurit Van Heutsz merobohkan dan menyebabkan suaminya meninggal dunia. Jenazah suami keduanya ini dibawa para pengikutnya untuk dikuburkan di sebuah tempat yang dirahasiakan agar tidak diketahui Penjajah Belanda yang ingin memastikan kalau “pengkhianat” yang bernama Teuku Umar ini benar-benar tewas.

    **

Kami bertiga tiba di Bandara Kualanamu jam 8.15 pagi (27/10) dan harus menunggu tiga jam lebih agar bisa naik pesawat ke Meulaboh. Untuk ke sana kami harus ganti pesawat yang lebih kecil lagi. Dari Jakarta menuju Kualanamu kami memakai pesawat Boeing yang dioperasikan Lion Air, sedangkan ke Meulaboh kami menggunakan maskapai Wings Air dengan pesawat ATR72-500 berbaling-baling dua buatan perusahaan Perancis-Italia. Tentu dengan kapasitas penumpang yang lebih sedikit daripada Boeing. Berkisar 70-an penumpang.

    Penerbangan kami ini merupakan penerbangan connecting. Kami cukup membeli tiket sekali saja. Ada beberapa jadwal penerbangan dari Jakarta mulai dari jam lima sampai jam delapan pagi. Semua penerbangan di jam tersebut transit di Kualanamu menunggu pesawat ATR72-500 yang dijadwalkan berangkat jam 10.45 siang. Saya sarankan jangan terbang dengan pesawat yang berangkat dari Jakarta jam delapan pagi karena dikhawatirkan ditinggal oleh pesawat ke Meulaboh itu jika ada keterlambatan atau delay di Bandara Soekarno Hatta.

(Koleksi Foto Pribadi)

    Ada keterlambatan. Oleh karenanya jam 11 lebih kami baru diminta untuk segera naik pesawat. Kami naik bus yang telah disediakan menuju pesawat yang diparkir jauh dari tempat tunggu kami. Karena pesawat ATR72-500 ini masuknya melalui pintu belakang maka tak perlu ada garbarata. Perlu waktu lima puluh menit penerbangan untuk sampai ke Bandara Cut Nyak Din, Meulaboh. Kalau ditarik garis lurus kami harus menempuh perjalanan sepanjang 295 km.

    Dua teman saya bertujuan akhir Meulaboh. Tetapi Meulaboh bukan tujuan saya. Tapaktuanlah yang menjadi tujuan. Tentu banyak jalan menuju Tapaktuan. Banyak pertimbangan yang perlu dipikirkan untuk memilih jalan itu.

    Pertama, Jakarta-Banda Aceh melalui udara dilanjut dengan menempuh 439 km perjalanan darat menggunakan travel menuju Tapaktuan selama kurang lebih delapan jam. Jalanan mulus. Harga tiket pesawat dan lamanya perjalanan Jakarta-Banda Aceh tentunya lebih mahal dan lebih lama daripada Jakarta-Kualanamu apalagi kalau transit dulu.

    Kedua, Jakarta-Kualanamu melalui udara dilanjut menuju Meulaboh dengan pesawat dan masih ada 200-an km menuju Tapaktuan dengan perjalanan darat atau sekitar tiga sampai empat jam lebih. Harus ada yang menjemput di Bandara Cut Nyak Din. Jalanan mulus.

    Ketiga, Jakarta-Kualanamu melalui udara dilanjut menuju Tapaktuan dengan pesawat Susi Air berjenis Cessna Grand Caravan C 208 B berpilot dua orang dan berpenumpang dua belas orang. Tarifnya murah karena telah disubsidi pemerintah. Jadwalnya tidak setiap hari dan hanya di jam-jam tertentu. Untuk menyiasati waktu dan daripada menempuh perjalanan darat yang lama maka banyak teman di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Tapaktuan bila berangkat dari Jakarta ia mengambil perjalanan paling malam lalu menginap—tidur di mana saja—di Bandara Kualanamu kemudian lanjut dengan pesawat kecil menuju Bandara Kelas IV Teuku Cut Ali, Pasie Raja, Tapaktuan. Jadwalnya itu yang sering tidak bersahabat. Dari Tapaktuan sekitar jam empat sore sedangkan dari Kualanamu jam tujuh pagi. Tentu ini bikin terlambat (TLB) atau pulang cepat (PC) dalam catatan kehadiran kita.

    Keempat, Jakarta-Kualanamu melalui udara. Kemudian naik bus, kereta api, atau taksi menuju Medan. Lalu dari Medan naik travel atau bis menuju Tapaktuan. Menempuh tujuh hingga delapan jam perjalanan dengan jarak 390-an km. Jarak tempuhnya lebih pendek daripada rute dari Banda Aceh namun jalanan tidak mulus. Dengan perpindahan bandara dari Polonia, Medan ke Kualanamu, Deli Serdang menambah waktu tempuh untuk bisa sampai di Tapaktuan.

    Saran penting dari saya berdasarkan informasi dari teman-teman adalah lebih baik naik travel dari Medan ke Tapaktuan daripada naik bis jika ingin memburu waktu sampai di Tapaktuan pagi-pagi. Travel hanya ada di Medan. Belum ada di Kualanamu. Jam terakhir travel adalah jam 9 malam. Setelah itu tak ada lagi.

    Itulah empat rute menuju Tapaktuan. Sedangkan perjalanan dengan rute Jakarta Meulaboh ini saya tempuh karena ini merupakan perjalanan pertama, bersama teman, bawa banyak barang, dijemput juga oleh teman-teman, dan tidak mengetahui jalur langsung dari Kualanamu ke Tapaktuan. Rute ini tidak akan saya tempuh lagi Insya Allah. Yang masih masuk akal bagi saya adalah rute ketiga dan keempat.

    Ohya, penting juga diketahui, bahwa  ketika pesawat ini bertujuan Meulaboh, maka sesungguhnya pesawat ini mendaratnya di Bandara Cut Nyak Din yang berada di Kabupaten Nagan Raya. Kabupaten ini merupakan pecahan dan bersebelahan dengan Kabupaten Aceh Barat yang beribu kota Meulaboh. Masih 45 km dari Bandara Cut Nyak Din menuju kota Meulaboh.

Pesawat ATR72-500 saat tiba di Bandar Udara Cut Nyak Din, Kabupaten Nagan Raya. (Foto Pribadi)

    Saya tiba di Bandara Cut Nyak Din jam 12.15. Saya berpisah dengan dua orang teman saya yang ditempatkan di KPP Pratama Meulaboh. Lalu saya melanjutkan perjalanan dengan teman-teman dari KPP Pratama Tapaktuan yang menjemput saya satu jam kemudian. Mereka adalah Mas Yan Permana, Mas Hasbul—teman lama saya di KPP Penanaman Modal Asing Empat dulu, Mas Suardjono dan Mas Oji Saeroji.

    Mulailah perjalanan panjang kami menuju Tapaktuan. Melewati perkebunan kelapa sawit, jalanan mulus yang sepi, tak bertemu dengan bis gede-gede seperti di Pantura Jawa, jarang ketemu truk, tak ada angkot, yang ada pesaing kami: motor. Perjalanan kami diselingi dengan berhenti dua kali di masjid yang berbeda, lalu makan di rumah makan Jokja (Pakai k bukan g), dan berhenti sebentar di SPBU. Saya mengira perjalanan darat ini berlangsung singkat tapi ternyata lama. Saya sampai terkantuk-kantuk karena tempat tujuan tak kunjung tiba.

    Kami banyak disuguhi pemandangan elok. Bukit-bukit lebat seperti di jalanan Garut-Tasikmalaya. Bahkan suatu saat kami melewati barisan bukit yang diatasnya ditutupi kabut dan dari kumpulan kabut itu muncul lengkung pelangi yang luar biasa indahnya. Kebetulan habis hujan saat itu. Subhanallah. Indah banget. Apalagi kalau sudah sampai di Kecamatan Sawang, Tapaktuan kita akan melihat pemandangan pantai yang eksotis. Bagian tentang keeksotisan inilah yang saya tidak sabar untuk menuliskannya segera. Tapi nanti satu per satu saya akan menyuguhkannya di bagian lain.

Plang KPP Pratama Tapaktuan (Koleksi Pribadi)

Akhirnya pada pukul 18.15 saya tiba di Tapaktuan. Mobil yang kami kendarai mampir sebentar melihat kantor kami. Kata teman agar saya tidak shock dulu sebelum benar-benar bekerja esok harinya. Mess tempat saya akan tinggal berjarak tidak jauh dari kantor ini. Kurang lebih 75 meter.

So, total jenderal 14,5 jam perjalanan Citayam menuju Tapaktuan. Dengan kecanggihan teknologi perjalanan 2400-an km itu hanya ditempuh beberapa jam saja. Saya tak bisa membayangkan berapa hari perjalanan dengan menaiki kuda. Ngapain lagi bayangin naik kuda. Dengan kecanggihan teknologi itulah setidaknya mengurangi lelah yang diderita jika perjalanan itu harus kudu naik kuda atau perjalanan darat berhari-hari.

Tinggal ke depannya perlu dipikirkan lagi moda transportasi yang mengubah benda padat menjadi partikel tak terlihat dan memindahkannya dalam sekejap ke tempat yang dituju lalu menjadikan partikel itu seperti semula. Fiksi dan Hollywood banget. Tapi semua bermula dari mimpi seperti mimpi Leonardo Da Vinci yang merancang bangun alat yang bisa menerbangkan manusia. Atau seperti pintu doraemonkah?

Alat yang mampu menuntaskan rindu kepada orang dan kampung halaman, tanpa lelah, dan bisa setiap saat. Yang akan menuntaskan rindu seperti  rindu Cut Nyak Din akan negeri tempat ia dilahirkan. Ia terbuang di masa tuanya. Ke sebuah tempat yang jaraknya ribuan kilometer dari makam suaminya. Sebab suatu alasan: keberadaannya di Aceh membuat semangat perlawanan rakyat Aceh tetap berkobar. Tentu jangankan pesawat, bus pun tak ada pada masa itu.

Gunung Puyuh, Sumedang. Di 105 tahun yang lalu dari tanggal ini, tepatnya 6 November 1908 ia menghembuskan nafasnya yang terakhir. Keterasingan yang dibawa sampai mati. Tapi jasanya tak pernah terasing di jiwa anak bangsa atas semangat dan perlawanannya yang tak mengenal lelah dan sakit. Dan saya hampir dekat dengan Meulaboh. Suatu saat, jika ada waktu dan kesempatan saya akan mengunjungi makam suaminya dan berdoa di sana: agar Allah menggabungkannya ke dalam golongan orang-orang yang syahid.

***

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

Tapaktuan, 5:51 6 November 2013

Tags: Jakarta-Meulaboh, Pesawat dari Jakarta ke meulaboh, Jakarta-tapaktuan, pesawat dari Jakarta ke tapaktuan, citayam, tapaktuan, kpp pratama tapaktuan, nagan raya, aceh selatan, aceh barat, bandara teuku cut ali, bandara cut nyak din, garut-tasikmalaya, garut, tasikmalaya, pesawat ke tapaktuan, pesawat ke meulaboh, jadwal ke meulaboh, jadwal ke tapaktuan, kpp pma empat, kpp penanaman modal asing empat, rumah makan jokja, pesawat atr72-500, kualanamu, banda aceh, medan, yan permana, oji saeroji, hasbul, suardjono, polonia, deli serdang, pasie raja, kpp pratama meulaboh, teuku umar, sumedang, van heutsz, gunung puyuh.

RIHLAH RIZA #7: MADU BUAT RINDU, GANDIWA BUAT ARJUNA


RIHLAH RIZA #7:

MADU BUAT RINDU, GANDIWA BUAT ARJUNA

 

Sehebat-hebatnya seorang Hawkeye di The Avengers ataupun seorang Legolas di The Lord of the Ring, mereka tetap kalah dengan sosok bernama Arjuna. Dua kantung panah yang dimilikinya tak pernah habis dengan anak panah. Tetapi mereka bertiga tak berarti apa-apa tanpa busur. Padang luas, bengis nan amis, dan kejam—Kurusetra—menjadi saksi saat langit-langit di atasnya menghitam karena hujan panah putra ketiga Kunti ini.

**

Dini hari jam setengah tiga pagi saya terbangun. Saya harus bersiap-siap mengejar pesawat yang akan membawa saya ke Kualanamu. Dari bandara yang baru dibuat itu saya akan naik pesawat menuju Meulaboh. Tepat satu jam kemudian kami sudah berangkat. Kinan dan Ayyasy melanjutkan tidurnya di samping Ummu Haqi. Di sebelah saya ada adiknya yang membawa mobil ini.

Untuk pergi ke bandara kali ini saya tidak lewat pintu tol Citeureup Jagorawi karena saya pikir perjalanan akan lancar-lancar saja. Nanti kami akan masuk tol dalam kota melalui pintu tol Pancoran. Saya perkirakan sampai di bandara sekitar jam setengah lima pagi.

Ternyata ada sesuatu yang tidak saya duga. Hari itu Jakarta akan mengadakan lomba Jakarta Marathon International 2013 yang diikuti oleh peserta dari dalam dan luar negeri seperti Ethiopia dan Kenya—dua negara yang konsisten mencetak pelari-pelari jarak jauh dunia. Saya tahu akan ada kegiatan besar itu dan saya juga tahu kalau ada penutupan ruas jalan di sekitar rute lari marathon itu. Tetapi saya tak menyangka kalau jalan Pancoran menuju Mampang ditutup dan diblokir polisi lebih dini.

Akhirnya saya putuskan untuk masuk lewat pintu tol di depan Menara Saidah. Kami pun dari Pancoran menuju Cawang Bawah untuk memutar. Ternyata pintu tolnya belum buka. Saya sedikit cemas karena teman-teman yang sudah ada di Bandara Soekarno Hatta sudah mulai check-in. Kami balik lagi ke Pancoran dan memutuskan untuk kembali ke Cawang Bawah menuju Cawang UKI. Dari sana masuk tol dalam kota melalui pintu tol terdekat.

Bunyi tang tung tang tung tanda notifikasi Whatsapp semakin terdengar. Teman-teman sudah memutuskan untuk meninggalkan saya. Tak masalah. Karena dengan sedikit ngebut saya akan sampai jam lima pagi. Masih satu jam lagi dari jadwal penerbangan. Tapi seharusnya saya memikirkan ketersediaan waktu lebih untuk penghitungan bagasi saya. Sepanjang perjalanan menuju bandara itu saya isi dengan istighfar dan shalawat. Insya Allah ini solusi dan ikhtiar selamat.

Sampai di terminal 1B yang penuh itu saya turun, menurunkan koper besar dengan berat lebih dari 25 kg, dan menyalami satu per satu anggota keluarga. Lalu langsung masuk antrian tanpa menengok ke belakang. Petugas imigrasi mengecek tiket dan tas para calon penumpang. Setelah lolos pemeriksaan saya segera menuju tempat check-in maskapai penerbangan. Saya tidak terlambat karena masih menjumpai dua teman saya di sana. Pyuhhh…

Butuh waktu empat puluh menit sejak kedatangan saya untuk check-in dan membayar kelebihan bagasi kami. Ini berarti teman-teman sudah mengantri satu jam. Lebih lama daripada saya. Ada panggilan buat para calon penumpang untuk segera naik pesawat ke Kualanamu. Kami bergegas ke atas setelah sebelumnya membayar airport tax. Kami melalui pemeriksaan imigrasi kembali.

Di ruang tunggu sudah tidak ada orang lagi. Semua telah memasuki pesawat, tinggal kami bertiga yang belum masuk. Bahkan ketika kami akan masuk pun ada petugas imigrasi yang meminta tas teman saya karena di dalamnya masih berisi dua logam panjang kunci sepedanya. Itu seharusnya berada dalam tas bagasi dan tidak boleh masuk kabin pesawat. Untuk mudahnya tas itu dititipkan di awak kabin.

Ketika sudah menghempaskan tubuh di kursi pesawat itulah kelegaan muncul. Soalnya tak lama kemudian pesawat benar-benar menggerakkan rodanya. Ini jadi pengalaman berharga buat saya. Pesawat jarang delay kalau pagi. Antrian check-in juga panjang. Lamanya check-in dengan barang bawaan yang berat dan masuk bagasi pun perlu diperhitungkan. Pokoknya kalau berangkat dari Citayam menuju bandara harus tiga sampai empat jam sebelum batas waktu take-off pesawat. Bahkan lebih baik jika dari batas mulai check-in. Jangan lupa, lewat tol Jagorawi saja.

**

Saat pesawat mulai terbang, saya pejamkan mata. Sambil memikirkan momen yang seharusnya ada tapi terlewatkan. Saya tadi terburu-buru tidak sempat mencium dan memeluk Kinan dan Ayyasy. Sesuatu yang tidak biasa. Ini membuat ruang hampa di hati. Rasa yang hampir sama saat meninggalkan pertama kali bapak dan ibu waktu kelas satu SMA karena saya harus indekos di kota lain.

Berpisah dengan sesuatu yang kita cintai adalah hal terberat dalam hidup. Dan saya merasakannya sekarang. Merasakan apa yang senior-senior saya alami dulu. Mungkin ini pula yang menyebabkan banyak teman melepaskan statusnya sebagai pegawai pajak karena penempatan di tempat yang jauh dan berpisah dengan keluarga. Sebagian besar teman-teman saya tetap memilih bertahan. Yang terakhirlah yang saya pilih. Karena yakin ini yang terbaik yang Allah berikan kepada saya sebagai jawaban atas doa: Robbi ‘anzilni munzalan mubarakan wa anta khoirun munzilin.
Ya Robbi, tempatkanlah aku pada tempat yang diberkati, dan Engkau adalah sebaik baik yang memberi tempat.

Kalau sudah berpikir demikian, penempatan di Tapaktuan sejatinya adalah sebuah hadiah yang diberikan Allah kepada saya. Ini yang terbaik buat saya, keluarga saya, ruhani saya, perjalanan hidup saya, instansi saya, dan akhirat saya. Insya Allah.

Serupa Ibrahim meninggalkan Hajar dan Ismail, saya tinggalkan Ummu Haqi, Kinan, Ayyasy, dan Mas Haqi dalam perlindungan Allah. Saya pasrahkan semuanya kepada Allah. Dialah yang akan menjaga mereka. Dialah pemilik sejati mereka. Biarlah pemiliknya yang menjaga mereka. Cukup doa yang tak kurang-kurang buat mereka.

**

Bandara Kualanamu. Saya masih harus menunggu beberapa jam lagi di sana. Ada notifikasi status facebook yang masuk. Dari Ummu Haqi.

Dan Allah selalu tahu bagaimana caranya menenangkan hati kita dan anak-anak. waktu kedatangan yang berkejaran dengan jadwal keberangkatan, nyaris tak memberi ruang bagi kita untuk mengumbar kesedihan. Cukuplah cium tangan mengiringi ketergesaan. Alhamdulillah, semoga Allah mudahkan semua urusan. Fii ‘amanillah abi….”

Ini menguatkan. Apalagi ketika sudah sampai di tujuan, foto live ini terkirim malam-malam.

Kinan dan Ayyasy

Fasad sudah lelah! Hancur sudah letih! Luluh lantak sudah semua payah yang mendera sekujur tubuh. Ini madu buat rindu saya. Serupa busur gandiwa buat Arjuna. Semoga kita bisa berkumpul lagi Nak.

***

 

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

Tapaktuan, 3 November 2013

Hujan, sendiri, dan pantai yang berkabut.

 

 

Tags: Kunti, hawkeye, legolas, arjuna, the avenger, the lord of the ring, kualanamu, meulaboh, tapaktuan, kpp pratama tapaktuan, kantor pelayan pajak pratama tapaktuan, kabupaten aceh barat daya, kabupaten aceh selatan, blangpidie, kinan, ayyasy, kinan fathiya almanfaluthi, yahya ayyasy almanfaluthi, ria dewi ambarwati, ummu haqi, haqi, soekarno hatta, tol citeureup, tol dalam kota, jagorawi, citayam