Jangan Baper: Sekarang Siapa yang Gila Hormat?



Gila hormat itu tidak boleh, tetapi menjadi orang yang terhormat haruslah jadi tujuan hidup.

(Buya Hamka dalam buku Tasawuf Modern)

Ingat cerita tentang Nabi Khidir yang melubangi perahu nelayan miskin lalu membunuh seorang anak muda. Jelas secara akal sehat ini adalah sebuah kezaliman. Dan ini diprotes oleh Nabi Musa as yang baper.

Tapi dalam rangkaian QS Alkahfi diterangkan akhir cerita di atas bahwa ada hikmah atas semua kejadian itu. Hikmahnya seringkali kita harus berkhusnudzan dan jangan mengambil kesimpulan buruk terhadap seseorang karena yang nampak secara lahir belum tentu sama secara batin.

Maka dalam peristiwa kali ini kita pun perlu menggunakan perspektif Nabi Khidir agar tidak baper dan tidak berburuk sangka. Tentu bukan pada pembunuhan dan pelubangan itu, karena untuk realitas zaman sekarang—seperti yang dikatakan teman saya—rasanya sulit untuk berkhusnudzan terhadap orang yang melubangi perahu dan membunuh anak muda. Polisi akan turun tangan untuk menangkap pembunuh.

Baca Lebih Lanjut.

MILITANSI SEBATAS SOMAY DAN CENDOL


MILITANSI SEBATAS SOMAY DAN ES CENDOL

Yang sering twitteran dan mampir ke hashtag #IndonesiaTanpa JIL insya Allah tahu kalau Senin malam (15/5) Hard Rock FM mengundang Akmal Sjafril (anti JIL) untuk dialog dengan Abdul Moqsith Ghazali, tokoh Jaringan Islam Liberal (JIL).

Moqsith tidak bisa hadir karena istrinya sakit dan pihak Hard Rock FM telah mengundang berbagai tokohnya untuk menggantikan Moqsith. Seperti Ulil Abshar Abdilla, Lutfie Assyaukanie, dan kawan-kawan. Tetapi semuanya saling lempar sampai-sampai acara itu hanya diisi oleh Akmal Sjafril.

Pembatalan diskusi itu sebenarnya memunculkan sebuah pandangan kalau JIL yang digadang-gadang oleh banyak tokoh “cendekiawan” hanya nama kosong belaka. Mengapa? Karena untuk menghadirkan satu tokoh dan demi mempertahankan gagasan mereka saja tidak bisa. Padahal diskusi ini adalah cara elegan daripada tweetwar di Twitter.

Seringkali mereka menganggap diri mereka sebagai orang yang anti kekerasan dan selalu mengedepankan dialog. Tetapi malam tadi fakta meruntuhkannya. Mereka sejatinya adalah pendukung kekerasan ala tweetwar. Mereka lebih suka ngebuli dan berucap kata kotor di Twitter daripada diskusi dan dialog. Kata bangsat (yang diucapkan Saidiman) dan anjing (yang diteriakkan RoriUddarojat) sudah jadi makian biasa. Tak mungkin keluar dari hati yg bersih. Tetapi itulah liberal. Anti aturan.

Harusnya mereka berani datang untuk diskusi. Pun karena tempatnya adalah tempat netral, tempat sebagian besar komunitas mereka sering kongkow-kongkow dan bukan di masjid. Tak perlu khawatir kalau Front Pembela Islam (FPI) datang atau diskusi itu akan dihadiri oleh banyak massa seperti yg terjadi di Universitas Islam Jakarta (UIN) beberapa tahun silam.

Tak perlu khawatir dihujat oleh peserta diskusi. Wong yang ada cuma host, Akmal Sjafril , dan penelepon. Kalau karena takut biasanya yang takut itu karena punya salah. Atau karena diskusinya cuma di radio yang pendengar terbatas. Tidak seperti di televisi yang bisa juga nampang jual muka?

Atau karena cuma Akmal Sjafril yang datang dan dia tidak selevel dengan mereka. Akmal Sjafril baru menulis dua buku. Dia pun cuma lulusan strata dua. Dia juga bukan santri. Akmal sekelas santri pesantren kilat ramadhan. Kalau demikian adanya, sejarah kembali memutar ulang jarumnya. Dulu Nurcholis Madjid pernah meremehkan ustadz Daud Rasyid karena belum bergelar Doktor dan cuma MA.

Tapi memang kecendekiawanan seseorang bukan dinilai dari gelar yang diraih dan statusnya melainkan dari kekuatan narasinya. Akmal Sjafril telah membuat mereka takut karena kekuatan narasi itu. Akmal cuma jebolan INSISTS sebuah grup diskusi yang belum lama eksis daripada Komunitas Utan Kayu atau Freedom Institute atau bahkan dari JIL itu sendiri.

Dengan ketidakhadiran mereka dalam diskusi tadi malam semakin meyakinkan saya kalau JIL itu cuma nama doang yang dikarbit media tapi minim militansi. Contohnya Guntur Romli yang enggak datang ke Hard Rock FM karena honornya yang hanya pantas untuk beli somay dan es cendol. Mana buktinya?

(Sumber gambar dari sini)

Ketidakhadiran mereka pun meyakinkan saya kalau hukum menghadapi mereka itu fardu kifayah sama seperti hukum memandikan jenazah. Tidak perlu banyak-banyak orang untuk mengurusi itu. Tak harus semua potensi umat dikerahkan melawan mereka. Cukup orang-orang yang konsisten dan fokus untuk itu. Orang-orang itu layak dijadikan jenderal besar melawan mereka. Jenderal besar perang pemikiran. Dan upaya memperluas dukungan dengan mencari dan menjadikan pendukung-pendukung Indonesia tanpa JIL sebagai prajurit-prajurit perang pemikiran itu tetap perlu sekali.

Terpenting pula kita meyakinkan diri bahwa kebatilan mereka akan selalu kalah. Karena mereka sejatinya rapuh seperti rumah laba-laba. Semoga kita dilindungi Allah dari setiap kesesatan. Tetap berjuang.

***

 

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

ngetwit 16 Mei 2012 yang ditulis ulang pada:

16:12 18 Mei 2012

 

Tags: Abdul Moqsith Ghazali, moqsith, ulil, Ulil Abshar Abdilla, Lutfie Assyaukanie, Twitter,Tweetwar, Saidiman, Front Pembela Islam, FPI, Universitas Islam Jakarta, UIN, Akmal Sjafril, Nurcholis Madjid, Daud Rasyid,INSISTS,Komunitas Utan Kayu, KUK, Freedom Institute, Guntur Romli,Hard Rock FM, Indonesia tanpa JIL, perang pemikiran, #indonesiatanpajil, #itj

PLURALISME ITU SAMPAH


PLURALISME ITU SAMPAH

    Seorang penuhan akal bilang di suatu jum’at, “jangan jadikan mimbar jum’at sebagai panggung untuk menebar kebencian terhadap pluralisme.” Tentu saya tak sepakat dengan pemikiran dari orang yang mendewakan akal ini dan ketika beragama maka Al Qur’an dan hadits diposisikan sebagai sesuatu yang layak untuk dikritisi. Dan itulah, menurutnya, cara berislam yang benar.

Kali ini tidak membahas akal manusianya itu, tetapi saya mengomentari pendapatnya dengan mengatakan padanya bahwa pluralisme agama itu hanya sampah. Tetapi sebelumnya saya akan mengenalkan definisi pluralisme sesuai dengan definisi Majelis Ulama Indonesia (MUI). Soalnya mereka yang mengusung pluralisme ini masih tak sepakat dengan definisi dari pluralisme itu sendiri.

Pluralisme menurut Fatwa MUI Nomor: 7/Munas VII/MUI/11/2005 tentang Pluralisme, Liberalisme, dan Sekularisme Agama, adalah:

Pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme agama juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga.


*Lambang-lambang agama (Sumber: di sini)

    Sekarang mengapa pluralisme itu sampah? Simak twit ini di @rizaalmanfaluth :

#mereka itu kalau ngeliat orang arab berjubah, langsung paranoid. Ini rasisme. Diskriminatif. Buah dari Plurali$me. Makanya sybilang: sampah

  1. Pluralisme: sampah. Karena memandang semua agama sama. Syariat di agama itu baik. Syariat Islam juga baik. Makanya kata #mereka, rukunlah
  2. Pluralisme: Sampah. Padahal Islam sudah dari dulu junjung pluralitas. Tolong bedain pluralisme dan Pluralitas.
  3. Pluralisme: sampah. Dg klaim semua agama sama, maka ini penghancuran syariat. Zina & Riba di Islam dilarang. Di agama lain belum tentu.
  4. Pluralisme:sampah walau tak mematikan smua agama melainkan memandulkannya . Gak ada kebaikanagamakarena dibalikin ke nafsu pribadi.
  5. Plurali$me: sampah krn jungkirbalikkan syariat. Alqur’an jadi mainan. Putar-putar ayat.Asal comot.Bebas tafsir. Pantes #mereka
    #salaharah
  6. Plurali$me=sampah Alqur’an digituin. Apalagi hadits. Ditolak kalau gak sesuai dg akal. Sholawat & kawinnya RasulSAW dipertanyakan.
  7. Pluralisme:sampah krn pd akhirnya #mereka ingin juga punya otoritas tafsir tersendiri. Tafsir sekarang yg dipakai umat adalah ortodoks.
  8. Pluralisme=sampah karena pengusungnya cuma omong doang. Harusnya #mereka berikan contoh. Mereka bisa rukun sama agama lain.
  9. Pluralisme=sampah. Kalo contoh itu mah Islam dah ngajarin dari dulu. Inklusifitas dalam sosial itu mah kudu sbg muslim.
  10. Plurali$me=sampah. Tetapi inklusifitas dalam akidah itu yang dilarang. #mereka
    #gagalpaham. Toleransi/campur baur dlm akidah NO WAY.
  11. Plurali$me=sampah. Kegagalan #mereka yg paling besar adalah mereka gagal memberikan contoh plurali$me yg #mereka usung dlm hidup sehari2
  12. Plurali$me=sampah.Anak #mereka gak mau anaknya kawin dg di luar agama mereka. Kasih contoh dong #mereka yang sudah praktikan?
  13. Plurali$me=sampah. Kalau #mereka mati, enggak dikubur, tetapi dibakar, dikremasi, dan abunya dibuang or mayat #mereka dilarung diGangga
  14. Plurali$me=sampah. #mereka gak kasih contoh haji di bulan muharram. Ke arafah, muzdalifah, mina. Iyalah gak ada temennya. Di sana sepi.
  15. Plurali$me=sampah. #mereka kan klaim bahwa jalan keselamatan ada pd semua agama. Tetapi #mereka gagal beri contoh untuk melepaskan…
  16. Plurali$me=sampah…melepaskanklaim formalitas keislamannya. #Mereka gak mau murtad. #mereka maunya jadi muslim tpi aturan Islam ditolak
  17. Plurali$me=sampah. Tapi ada salah satu dari #mereka yg berhasil memberikan contoh plurali$menya dg selingkuh. Selingkuh emang nikmat.
  18. Plurali$me=sampah. #mereka menolak poligami berketertiban, tapi sukses terapkan poligami barbar dg selingkuh. #mereka kan sdg bericontoh
  19. Plurali$me=sampah. Kalau urusan seks #mereka emang sukses tuk terapin formula plurali$menya, krn seks urusan paling dasar slain uang.
  20. Plurali$me=sampah, wajar kalau #mereka bilang kalau ciuman itu sedekah. Tapi sayang @syukronamin gak mau praktikkan plurali$me itu
  21. Plurali$me=sampah, dg mencium salah satu santri perempuan/jama’ah pengajiannya di hadapan audiennya. Padhal kalau sedekah dibalas 700x.
  22. Plurali$me=sampah, ini contoh terbesar kegagalan #mereka. artinya? #mereka takut tuk terapin apa yg diyakini mereka benar. @assyaukanie
  23. Plurali$me=sampah, #mereka masih gila hormat. Masih ingin dianggap sbg ustadz, kyai, gus, habib, lulusan yaman, agar bisa didengar massa
  24. Plurali$me=sampah. oleh masyarakat yg #mereka anggap sebagai fundamentalis karena mo menerapkan Islam dg kaffah. @syaltout
  25. Plurali$me=sampah, #mereka alergi sama term kaffah,makanya @assyaukanie sang generalisator & provokator ini PANIK UI ngadain lomba ngaji
  26. Plurali$me=sampah, atau gara2 paranoid sama yg berbau Arab Saudi?
  27. Plurali$me=sampah, padahal adalah hal lumrah UI mengadakan pekan budaya. Iran, China, Jawa, Kamoro dll. Tapi @assyaukanie & antek cuma
  28. Plurali$me=sampah, RISAU, GALAU, PANIK kalau pekan budaya itu berlabel Islam atau ada bau Arab Saudi. Tp #mereka tetep mau haji kesana.
  29. Plurali$me=sampah, so #mereka tak yakin dg kebenaran agama sendiri. Klo begitu knp masih ngotot sebagai muslim? #mereka tak bisa jawab .

Kita berlindung dari godaan pluralisme agama yang menyesatkan. Amin.

 

riza almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

11:11 29 April 2012

 

Tags: jaringan iblis liberal, jil, luthi assyaukanie, ulil, ulil abshar abdilla, syukronamin, syukron amin, syaltout, pluralisme, pluralitas, pluralis, mui, majelis ulama indonesia

TUHAN TIDAK PERLU DIBELA?


TUHAN TIDAK PERLU DIBELA?

Ketika kita berbicara tentang Tuhan yang tidak perlu dibela 1) maka kita yakin betul bahwa Allah adalah mahabesar, mahakuat, mahaperkasa. Dengan kemahaanNya, maka Ia tak butuh apapun. Dengan ibadah kita, tak akan menambah perbendaharaan kekayaanNya. Dengan kemungkaran seluruh manusia di muka bumi, tak akan sedikit pun mengurangi kemuliaanNya. Kita beribadah karena kita butuh, tak semata itu adalah kewajiban. Sampai di sini saya sepakat.

Tapi kalimat Tuhan yang tidak perlu dibela itu seringkali menjadi argumentasi bahwa Allah tak perlu pembelaan kita. Dengan demikian Islam pun tak perlu pembelaan dari umatnya. Ketika ada yang berbicara anjinghu akbar dalam sebuah forum maka sepatutnya kita diam. Waktu ada yang menghina nabi Muhammad, ya cukup diam saja. Kalau ada yang bilang ada nabi setelah Rasul Muhammad saw, ya cukup hormati saja pendapat itu karena hanya beda tafsir dalam memandang suatu dalil.

Atau paling banter dengan memberikan nasihat yang baik, tidak memberikan stigma sesat, dan jika tidak berubah, show must go on, hidup terus berlanjut karena Allah saja yang memberikan hidayah dan membolak-balikkan hati seseorang serta tidak ada yang mampu menyesatkan manusia jika manusia itu telah mendapat petunjuk Allah. Dalilnya adalah Al-Maidah ayat 105.

Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudarat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk. Hanya kepada Allah kamu kembali semuanya, maka Dia akan menerangkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.

Dengan ayat itu maka kalau ada aliran-aliran yang dianggap sesat oleh umat Islam, ya biarkan saja mereka untuk mendakwahkan ajaran mereka, karena Allah sudah jamin buat orang yang beriman bahwa orang yang beriman itu tidak akan pernah terjerumus dalam kesesatan karena dijaga Allah. Ini menjadi dalil implisit bahwa Allah tidak perlu dijaga, karena Allahlah yang menjaga manusia dari setiap kesesatan.

Atau dengan kata lain pula kalau Jaringan Islam Liberal mendakwahkan pemikirannya maka kalau orang yang beriman tentu tidak akan terpengaruh sama sekali. Juga kalau ada misi dan ajakan dari agama lain maka yang disalahkan adalah umat Islam yang mudah begitu saja kehilangan imannya. Kalau umat sudah diberikan petunjuk Allah maka misi itu tidak akan berpengaruh sama sekali. Tetapi apakah betul memang demikian?

Ujung dari pernyataan Tuhan yang tak perlu pembelaan itu adalah Islam yang tak butuh pembelaan dari umatnya. Ujung-ujungnya adalah pelemahan semangat jihad umat. Karena umat Islam cukup pasif saja. Cukup menjadi objek derita dari apa yang menimpanya. Mulai dari serangan pemikiran, invasi, pembusukan, perpecahan umat, kemiskinan, kebodohan, pembodohan, penindasan, diskriminasi, penyakit masyarakat, dan semua yang melemahkannya.

Ketika umat dituntut untuk tak perlu pembelaan, maka sebenarnya pula ini menihilkan makna dari iman kepada Allah itu sendiri. Mengapa demikian? Karena ketika kita beriman kepada Allah swt, maka konsekuensinya adalah kita cinta kepada Allah. Cinta ini akan menghasilkan sebuah loyalitas terhadap siapa dan apa yang dicintai Allah serta menghasilkan pelepasan diri dari siapa dan apa yang dibenci Allah.

Mudahnya adalah cinta kepada Allah akan mewujudkan kerelaan untuk berkorban. Berkorban apa yang dimilikinya—bahkan jiwanya, untuk membela syariatNya, saudara-saudaranya, dan keyakinannya.

Dalam bahasa yang lebih sederhana, Akmal menggambarkan bahwa cinta itu butuh pembuktian meskipun tak ada yang meminta. Orang tua mungkin tidak pernah meminta agar anak-anaknya menanggung kehidupannya pada masa tua kelak. Namun orang yang mengabaikan orang tuanya yang sudah renta, maka kecintaannya niscaya dipertanyakan. Kalau istri dimaki orang, tak perlu diminta pun suami harus memberikan pembelaan. Akal siapa pun akan mampu memahami hal ini. Cinta dan pembelaan adalah dua sisi mata uang; jika ada cinta, pasti ada pembelaan. Dengan kata lain, jika tak ada pembelaan pastilah tak ada cinta. 2)

Dan cukupkah ketika melihat penistaan, pembusukan, serta kemungkaran itu umat berdiam diri? Umat cukup pasif? Tidak. Karena diam adalah selemah-lemahnya iman. Kanjeng Nabi SAW pernah berkata, “barangsiapa di antara kalian melihat suatu kemungkaran maka hendaklah ia merubah dengan tangan, jika tidak bisa maka dengan lisannya, jika tidak bisa juga maka dengan hatinya, itulah selemah-lemah iman.” 3)

Ketika dikehendaki bahwa diam adalah laku seorang muslim saat menjadi objek penderita maka sama saja menjadikan umat Islam menjadi umat yang fatalis, umat yang sangat pasif, pasrah, dan tak punya pilihan sama sekali dalam hidup. Tidak. Tidaklah begini tuntutan iman kepada Allah, hari akhir, dan qadha qadarnya.

Dan ketika berhadapan dengan penyeru kesesatan, cukupkah umat diam atau paling banter menasehatinya? Tentu, nasehat adalah jalan agama. Bukankah agama adalah nasehat? Tetapi ketika nasehat sudah direalisasikan, belumlah cukup menyerahkan semuanya kepada Allah yang mahakuasa dan berkehendak atas segala sesuatu, sepanjang mengubah kemungkaran dengan tangan belum pernah dilakukan atau tak terbersit dalam hati untuk melakukannya. Bukankah nasehat itu adalah jalan kedua beramar ma’ruf nahi munkar? Dan setelahnya adalah dengan hati. Walau itu selemah-lemahnya iman.

Memberikan nasehat pun perlu parameter yang jelas untuk mengukur letak sebuah kesalahan. Parameter-parameter yang sudah ditentukan oleh para ulama dalam memandang kesesatan adalah salah satu yang bisa dijadikan contoh.

Majelis Ulama Indonesia mempunyai kriteria untuk menentukan kesesatan sebuah kelompok yang menistakan agama Islam. Dan mau tidak mau fatwa MUI mematok ukuran sesat itu adalah sebuah nasehat. Nasehat yang memberikan stigma agar umat awas.

Dengan kata lain, sebagai umat yang senantiasa bersemangat membela agamanya sebagai bentuk rasa cinta kepada Allah, maka berdiam diri membiarkan kesesatan dan pembusukan terhadap umat adalah memastikan azab Allah turun dan tak akan pernah ada doa dari para hambaNya yang dikabulkan. 4)

Ketika saya ditunjukkan Al-Maidah ayat 105 oleh santri pendukung JIL itu, maka menurutnya, jika saya beriman tentu saya akan menuruti perintah dan permintaan Tuhan yang tidak memerlukan pembelaan. Kalau hati saya tidak buta, saya tentu akan menerima ayat itu. Insya Allah saya bukanlah seperti yang dituduhkannya.

Coba kalau kita cermati Al-Maidah 105 itu, jika bisa dianggap dalil bahwa Tuhan tak perlu dibela maka dalil itu adalah dalil implisit. Ada dalil yang nyata dan lebih eksplisit tentang pembelaan terhadap agama Allah yakni dalam surat Muhammad ayat 7:

“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong Allah, maka Dia menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.”

dan Al Hajj ayat 40 :

“…Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolongNya. Sesungguhnya Allah benar-benar Mahakuat lagi Maha Perkasa.”

Tapi sang santri menolak ayat itu sebagai dalil karena Muhammad ayat 7 digunakan dalam konteks tazkiyyah tauhid melawan penyembah berhala. Ini berarti tak bisa digunakan dalam konteks kekinian jika bukan melawan orang-orang musyrik.

Ayat-ayat itu menurutnya tak bisa digunakan sebagai dalil membela agama Allah ketika misalnya Islam dirongrong oleh mereka-mereka yang mengaku sebagai nabi setelah Muhammad, mengaku sebagai Jibril, bahkan mengaku sebagai Tuhan. Atau ketika aturan Islam dilecehkan dan diputarbalikkan sedemikian rupa dikemas dengan argumentasi ilmiah.

Bahkan bisa diartikan pula ayat-ayat itu itu tak bisa digunakan dalam konteks perjuangan dakwah di bidang apapun misalnya pendidikan, kesehatan, politik, dan ekonomi umat. Karena maknanya dipersempit sedemikian rupa (sebuah anomali karena biasanya penyeru JIL anti tekstualis).

Kalau kita cermati lebih dalam lagi, tiga ayat ini mempunyai keterkaitan begitu luar biasa. Antara Al Maidah ayat 105 dengan Al Hajj ayat 40 misalnya. Dalam tafsir Ibnu Katsir membahas Al Maidah ayat 105 urusan tidak disesatkan ini tidak akan pernah bisa lepas dari upaya amar ma’ruf nahi mungkar 5). Al Hajj ayat 41 menerangkan siapa orang-orang yang dimaksud dalam ayat sebelumnya dan ternyata salah satunya adalah mereka yang berbuat makruf dan mencegah dari perbuatan mungkar. Artinya?

Ternyata makna: “tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudarat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk” hanya akan jalan jika kita beramar ma’ruf dan nahi mungkar. Simpelnya: selain mendapat petunjuk dari Allah maka kerja amar ma’ruf dan nahi munkar akan membuat kita tidak bisa disesatkan.

Merujuk pada Muhammad ayat 7, jika kita menolong Allah maka ada dua hal yang didapat, yaitu kita akan ditolong Allah dan diteguhkan kedudukan kita. Di mana dalam Al Hajj ayat 41 itu orang yang diteguhkan kedudukannya niscaya mereka melakukan perbuatan antara lain berbuat makruf dan dan mencegah kemungkaran.

Ringkasnya adalah ketika menyatakan Tuhan tidak perlu dibela dengan dalil implisit Al Maaidah ayat 105, malah ini semakin menegaskan bahwa Allah akan menolong orang yang menolongNya dengan semua kemahaanNya.

Tidak akan pernah disesatkan kecuali orang yang mendapat petunjuk dan beramar makruf nahi mungkar. Tidak akan pernah disesatkan kecuali orang yang mendapat hidayah dan membela agama Allah.

Umat Islam adalah umat yang aktif, yang senantiasa bergerak dan berjuang serta bukan umat yang pasif bahkan fatalis. Amar makruf nahi mungkar adalah kerja nyata untuk membendung dan melindungi umat dari setiap kesesatan dan penistaan agama.

Semoga yang sedikit ini bisa dimengerti. Semoga Allah melindungi kita dari setiap kesesatan. Semoga Allah menjadikan kita sebagai pejuang-pejuang dan pembela-pembela Islam. Semoga Allah menjadikan diri kita penolong-penolongNya.

***

Catatan kaki:

1) Pemikiran Gus Dur yang ditulis dalam bukunya yang berjudul Tuhan Tidak Perlu Dibela;

2) Akmal Syafril, Islam Liberal 101, Depok: Penerbit Indie Publishing, Cetakan Keempat, Februari 2012, halaman 19;

3) HR Muslim dalam Al Iman (49);

4) HR Ahmad dalam musnad-nya, 5/288-289, 391 dari hadits Hudzaifah bin Yaman ra secara marfu’

5) HR Attarmidzi dan HR Ibnu Jarir. Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Jilid 2 Hal 168-169;

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

02:44 25 April 2012