Sehari Dengan Dua Sungkawa


Sehari Dengan Dua Sungkawa

 

Dua kabar duka membuat hari Sabtu ini menangis. Habis shubuh, saya sudah mendapatkan berita meninggalnya Ustadzah Yoyoh Yusroh—anggota DPR RI dari Fraksi Keadilan Sejahtera yang getol sekali mengusulkan pembolehan pemakaian jilbab buat perempuan anggota TNI. Ia meninggal setelah mobil yang ditumpangi dari Yogyakarta itu mengalami kecelakaan di Cirebon, Jawa Barat.

Satu kabar lagi adalah meninggalnya tetangga satu RT saya. Pak Syamsiar namanya—mantan ketua RT 11, RT kami. Ketika itu jam sepuluh pagi kurang. Saya dikejutkan dengan berita pingsannya dia. Maka saya bergegas ke rumahnya dan melihat kalau ia sedang dimasukkan ke dalam mobil oleh tetangga yang lain dalam kondisi tidak sadarkan diri.

Adik ipar yang menyetir, saya disampingnya, dan istri beliau di belakang memangku kaki suaminya. Badannya masih hangat. Saya tidak panik karena sudah pernah mengalami hal ini, sewaktu mengantarkan bapak yang kondisinya lebih buruk darinya. Kami akan mengantarnya ke rumah sakit. Ada dua pilihan: Rumah Sakit (RS) Mitra Keluarga Depok atau Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Cibinong.

Bu Syamsiar—karena pernah mendapatkan pelayanan yang kurang memuaskan dari RSUD Cibinong—menginginkan untuk segera menuju ke RS Mitra Keluarga Depok tetapi karena jalanan Citayam menuju Depok selalu macet maka kami sepakati menuju RSUD Cibinong terlebih dahulu. Dekat dengan komplek Pemerintah Daerah (Pemda) Cibinong. Bu Syamsiar hanya pasrah dan menyerahkan segala urusannya kepada kami.

Dari kursi depan saya memegang tangan Pak Syamsiar dan terasa hangat. Sepanjang perjalanan, kami berempat hanya memanjatkan dzikir dan doa pada Allah agar tidak terjadi sesuatu apapun pada Pak Syamsiar.

Ketika sampai di Unit Gawat Darurat (UGD) RSUD Cibinong, barulah kami tahu bahwa ia sudah tidak bernafas lagi dari dokter jaga yang memeriksanya. Menurut istrinya, pagi itu suaminya memang mengeluhkan sakit di ulu hati namun tidak dihiraukan sampai ia duduk-duduk di kursi teras rumah. Barulah ketahuan kalau kemudian ia sudah tak sadarkan diri.

Saya segera menelepon pengurus RW, RT, dan Masjid Al-Ikhwan. Di komplek kami itu, kalau ada kejadian begini, maka sudah ada tugasnya masing-masing. Pengurus RW mengurus urusan pemakaman mulai dari mengontak ambulan, tukang penggali kuburan, dan pengurus Tempat Pemakaman Umum (TPU). Sedangkan Pengurus RT mengurus persiapan di rumah duka, dan pengurus masjid menyiapkan tim pengurusan jenazah, tempat pemandian, proses pemandiannya juga, pengafanan, dan penyolatannya.

Pulangnya saya duduk di kursi depan ambulan sebagai penunjuk arah. Setelah sampai di rumah duka segera menghubungi tim pengurusan jenazah supaya siap-siap bertugas setelah sholat dzuhur. Masker dan sarung tangan sudah ada. Kami bertiga dari tim ini lalu mulai menggunting kain kafan dan mempersiapkan semuanya sebelum mulai memandikan. Kalau urusan membuat rangkaian kembang dengan daun pandan itu urusannya ibu-ibu. Setelah itu kami memandikan jenazah almarhum dan syukurnya kami dibantu pihak keluarga sehingga prosesi pemandian dapat berjalan cepat.

Kemudian kami mulai mengafani. Tidak ada hambatan pula. Sekarang tinggal menunggu waktu ashar. Kami akan menyolatkannya di Masjid Al-Ikhwan. Lalu langsung menuju pemakaman di TPU Pondok Rajeg. Setelah semua selesai, kami segera ke TPU walau diiringi insiden ambulan mogok, ternyata hanya karena kehabisan bensin.

Rangkaian penunaian hak terhadap saudara seiman itu akhirnya selesai saat jenazah Almarhum Pak Syamsiar diturunkan ke liang lahat lalu dikuburkan. Sudah. Urusan mendoakan bisa di tempatnya masing-masing.

Saya jadi teringat suatu saat Kanjeng Nabi pernah mengatakan kalau hak seorang muslim atas muslim lainnya ada lima: menjawab salam, menengoknya jika sakit, mengantarkan jenazahnya, memenuhi undangannya, dan menjawab seorang yang bersin. Dalam perkataannya yang lain Kanjeng Nabi menambahkannya dengan jika meminta nasehat maka nasehatilah.

Sabtu itu, Insya Allah sudah banyak salam yang terjawab. Syukurnya pula tak ada teman dan tetangga yang kabarnya sedang sakit, sehingga tak ada yang perlu ditengok. Kalaupun ada semoga cepat sembuh dan saya diberikan kekuatan oleh Allah untuk dapat menengoknya. Belum ada undangan hajatan atau syukuran yang datang ke rumah, jika pun ada semoga Allah memberikan kesempatan yang luas kepada saya untuk bisa menghadiri undangan tersebut. Namun di depan saya tak ada yang bersin, jadi tak bisa bilang Alhamdulillah.

Mengantarkan jenazah sudah dikerjakan di Sabtu ini. Amalan ini terbagi dua tahap kata ulama. Mengantarkan jenazah dari rumah sampai selesai dishalatkan di masjid. Lalu mengantarkan dari masjid sampai selesai dikuburkan.

Dan yang terakhir jika meminta nasehat maka nasehatilah. Hari itu tak ada yang meminta nasehat kepada saya. Dan seharusnya tak perlu mereka meminta itu, karena saya seharusnya yang banyak-banyak dinasehati. Banyak lupa, lalai, dan apalagi dosa. Seharusnya pula seharian mendengar duka dan mengurusi kematian ini menjadi nasehat yang besar buat saya. Kalau nasehat besar saja tak sampai ke hati bagaimana pula dengan nasehat-nasehat biasa?

“Za, kau dengar?” terdengar suara dari Nur’aeni nurani.

Saya cuma bisa terdiam.

***

 

Selamat jalan Ustadzah Yoyoh Yusroh dan Pak H. Syamsiar.

 

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

count the chapter flattered

03.42 22 Mei 2011

 

 

 

 

Tags : Fraksi keadilan sejahtera, yoyoh yusroh, syamsiar, RSUD Cibinong, pemda cibinong, pengurusan jenazah,

PEMANDI MAYAT


PEMANDI MAYAT

    Yang menulis dan membaca artikel ini adalah calon mayat. Tentunya tak perlu tersinggung untuk dikatakan demikian. Karena sewaktu-waktu kita akan menjadi layon tak berguna. Entah sedetik setelah ini atau 100 tahun yang akan datang.

    Sudah siap? Belum. Saya mau hidup seribu tahun lagi. Itu kata-kata kita di dalam hati. Tapi sayangnya malaikat maut tak mau mendengar kata hati itu. Ia cuma sudah siap bergerak sesuai dengan waktunya. Tak maju dan tak mundur.

    Sayangnya saya sering lupa kalau malaikat maut senantiasa mengincar kehidupan. Yang ada adalah bagaimana mengejar kenikmatan duniawi selama 24 jam sehari, tujuh hari seminggu. Menggesakan obsesi. Memburu antusiasme. Melelahkan diri bergumul dengan cita dan sejuta keinginan.

    Barulah tersadar kalau ada pengumuman di masjid: “Innalillaahi wainnailaihi rooji’uun 3x. Telah berpulang ke rahmatullah dengan tenang Bapak Fulan bin Fulan pada pukul 23.00 WIB hari ini di Rumah Sakit Umum Daerah Cibinong. Jenazah akan dikuburkan besok hari. Kita doakan semoga segala amalnya diterima Allah swt.”

    Dan setelah itu, pengurus Rukun Tetangga (RT) akan datang ke rumah meminta kepada saya agar tim pengurusan jenazah masjid kami bersiap untuk mengurus semuanya. Memandikan, mengafankan, menyolatkan, serta mengantarkannya ke liang lahat.

    Tubuh yang kaku menyadarkan saya betapa kenikmatan yang diburu setiap saat itu tak berguna lagi. Tak bisa menolongnya. Perlahan setiap usapan berbalur sabun, siraman air ke seluruh tubuh, sekaan handuk kering, gotongan tubuh ke kain putih yang terhampar, peletakan kapas di setiap lubang dan persendian, pembungkusan yang membebatkan, simpulan dengan tujuh ikatan, membuat saya senantiasa ingat betapa saya akan menjadi objek dari semua itu. Suatu saat.

    Dzikrul maut (mengingat kematian) betul momen itu. Malamnya, saya cuma bisa tercenung. Merenung wajah almarhum di pelupuk mata. Merenung seberapa banyak amal yang akan dibawa sebagai bekal.

    Dunia? Cita? Obsesi? Nafsu? Hasrat? Syahwat? Sirna semuanya ke laut. Tidak butuh. Terlupakan. Tergantikan. Seperti dijatuhkan dari pesawat yang sedang terbang di ketinggian 10000 kaki. Untuk tersadar dari mimpi dan angan yang muluk-muluk. Pantas saja disebut dalam agama kalau maut adalah pemutus segala kenikmatan. Buat yang mati dan yang hidup—yang mau memikirkannya tentu.

    Saya bersyukur saya dapat bergabung dalam tim itu. Tim yang walaupun dulu banyak anggotanya, sekarang cuma dua orang saja, saya dan pengurus masjid yang lain. Bersyukur kenapa? Sudah pasti, selalu diingatkan tentang nasehat besar itu.

    Tapi yang namanya dunia dengan segala pesonanya atau lemahnya imun iman saya, terkadang dzikrul maut itu hanya bisa bertahan dua atau tiga hari. Setelahnya sama saja dengan hari-hari biasa. Apa harus memandikan mayat lagi baru ingat mati? Apa harus ada yang meninggal dulu lalu ingat mati kembali. Tanya yang kebanyakan tak berjawab.

    Dzikrul maut itu ibarat vitamin. Terlalu sedikit tak berefek apa-apa. Terlalu banyak malah jadi penyakit. Tidak menjadi peka. Sensitivitasnya berkurang. Bisa diuji pada para penunggu kamar jenazah di rumah-rumah sakit atau para penggali kuburan.

    Maka wajarlah Umar bin Khaththab menjarangkan untuk datang ke Ka’bah di masjidil haram, karena takut ia tidak akan bisa merindu lagi saat jauh darinya. Takut sensitivitasnya hilang.

    Saudaraku, tak perlu menunggu kematian untuk dapat mengingat tentang sebuah ajal dan kemudian kita bisa merenunginya serta mengambil hikmah, karena akhir hayat itu bisa datang kapan saja. Oleh karenanya yang terpenting adalah sudahkah kita packing amal kebajikan ke dalam tas perjalanan abadi kita?

    Belum dan belum banyak? Ayo bareng-bareng dengan saya mempersiapkannya. Tapi patut dicatat, bukan sebagai pemandi mayat peran itu saya lakoni.

***

Artikel ini untuk teman-teman di forum shalahuddin. Semoga bermanfaat.

 

 

 

    Riza Almanfaluthi

    dedaunan di ranting cemara

21.32 16 Desember 2010

 

Tags: dzikrul maut, memandikan jenazah, mengurus jenazah, umar bin khaththab, umar al faruq, antikebal, ilmu kebal, belajar ilmu kebal, cara pengurusan jenazah, fikih janaiz

AMATEUR MASSEUR


AMATEUR
MASSEUR

Suasana masjid yang biasa disinggahi saat pulang kerja terlihat sepi ketika saya menyelesaikan sholat maghrib di sana. Ada marbot yang tergeletak tertidur di
bagian belakang, sedangkan di dekat mihrab ada seorang tua yang saya tahu ia adalah imam yang biasa memimpin sholat
berjama'ah di sana. Dari mulutnya terdengar dzikir tasbih, tahmid, takbir, dan tahlil. Seperti sebuah senandung
yang meritmis ke seantero ruangan masjid.

Saat saya menyelesaikan doa
dan beristirahat sejenak sambil memandang ke seluruh penjuru ruangan, mata saya terantuk lagi pada orang tua itu.
Yang kini ia telah melepas kopiahnya lalu merebahkan dirinya ke lantai masjid yang berkarpet. Ah, ia kini telah
berbaring, tetap dengan dzikir dan tangan yang senantiasa menghitung-hitung biji tasbihnya. "Subhanallah,
walhamdulillah, Allohuakbar, walaahaulaa walaaquwwata illa billah…"

Saat ia berbaring itulah
entah kenapa hati saya trenyuh. Saya jadi teringat mendiang ibu saya. Lalu tiba-tiba muncul keinginan untuk
memijat kakinya. Ah, tapi kan ia
tidak kenal saya. Saya cuma musafir yang hanya singgah sebentar untuk sholat dan setelah selesai langsung cabut untuk
melanjutkan perjalanan lagi. Bagaimana tanggapan dia? Ah biarkan saja. Saya, Insya Allah, berniat baik. Dan saya
tetap bulatkan tekad untuk menghampirinya.


"Assalaamu'alaikum…" sapa saya.

"Wa'alaikum
salam," jawabnya sambil berusaha bangkit dari rebahannya itu.

"Pak, saya pijit kaki
Bapak yah?

"Memang situ tukang
pijat?

"Enggak sih Pak, cuma
ingin memijat kaki bapak saja. Ayo Pak, Bapak rebahan saja, teruskan dzikirnya." Saya melihat ada tanda tanya di
matanya, yang saya balas dengan sebuah permohonan dari mata saya.

"Situ mau kemana?
" tanyanya sambil merebahkan badannya kembali.

"Saya dari kantor mau
pulang pak."

Setelah itu ia tidak
bertanya-tanya lagi dan meneruskan kembali dzikirnya. "Subhanallah, walhamdulillah…" Dzikir yang terlantun
dengan nafas terengah-engah dari seorang kakek.

Tubuhnya kurus dan ringkih. Rambutnya telah memutih. Wajahnya penuh keriput dengan
satu mata yang tertutup sebelah karena keriputnya itu. Dan betis yang saya pijit pun adalah betis seorang tua yang
kecil dengan daging yang sudah melunak. Karenanya pelan-pelan saya memijatnya. Mulai bawah lutut hingga telapak
kakinya yang terasa dingin. Dengan teknik memijat seadanya yang saya tiru dari tukang pijat langganan.

Setelah beberapa saat saya memijat kakinya ia tiba-tiba menelungkupkan badannya.
Ia masih tetap berdzikir. Sepertinya ia merasakan keenakan dan nyaman. Dan saya tahu maksudnya. Kini sisi bawah
betisnya yang saya pijat dengan pelan, pelan, dan pelan.

Lalu setelah dirasa cukup lama olehnya, ia pun bangkit.

"Cukup, anak saya juga
tukang pijat. Sering dipanggil-panggil. Ia sering ke Jakarta untuk memijat. Makanya kalau saya lagi enggak enakan
badan, saya panggil dia," uajrnya.

"Bapak sehat kan sekarang?" tanya saya.

"Banyak penyakit,
namanya juga orang tua."

"Memang Bapak sekarang
umurnya berapa sih," tanya saya dengan polos.

"Sekitar delapan
puluhan lebih."

"Subhanallah… Bagaimana
supaya saya bisa seperti Bapak, berumur panjang?"

"Banyak bersyukur
saja," tukasnya. Jawaban yang amat berharga bagi saya.

Di tengah perbincangan
hangat saya dengan kakek itu, saya melihat di pelataran masjid seseorang telah menunggu saya dengan sabar.

"Pak, saya pamit dulu
yah. Istri saya sudah menunggu di luar."

"Oh iya, ya…" Ia
melongokkan kepalanya keluar mencari-cari sosok yang disebut saya itu.

Saya genggam tangannya dan
menciumnya. "Pak saya minta doanya."

"Ya, ya semoga selamat
sampai di rumah."

Saat itu saya melangkahkan
kaki keluar masjid dengan hati yang damai. Tenang sekali. Dan…indah nian.

***

Semenjak Ibu saya meninggal,
selalu ada pelajaran yang tumbuh setelahnya yang didapat oleh saya. Terutama kecintaan dan penghormatan saya kepada
orang-orang yang berusia lanjut. Dari sanalah saya sering mengambil sari pati kehidupan agar lebih bermakna. Mereka
mempunyai sesuatu yang tidak pernah saya dapatkan, yaitu pengalaman
menjadi tua
. Mereka sudah berpengalaman menjadi muda, saya juga. Tetapi untuk menjadi tua, saya belum. Hanya
sedikit tandanya saja yang mulai terlihat di rambut saya.

Dan maghrib itu, dari
sekadar menjadi tukang pijat amatir saya mendapatkan satu nasehat. Banyak bersyukur adalah kunci berumur panjang.
Bukankah bersyukur adalah suatu amal kebaikan. Benarlah apa yang dikatakan teladan kita rasulullah SAW kepada umatnya
yang ingin mempunyai umur yang panjang. Menyambung tali silaturahim dan memperbanyak
amal kebaikan.

Walaupun entah
dipanjangkannya umur kita itu adalah dalam bentuk kualitatif berupa penambahan taufik dan hidayah Allah untuk selalu
berbuat baik atau benar-benar secara kuantitatif. Dua-duanya tidak menjadi persoalan, asalkan diperpanjangkannya umur
kita itu adalah bukan sebagai bentuk istidraj [3].

Ikhwatifillah, akhir semua
ini saya mau berbagi kepada Anda semua. Buka hati dan sikap kita. Perbanyaklah silaturrahim, karena silaturrahim itu
mengenyangkan [4]. Mengenyangkan batin kita. Percayalah.

Allohua'lam
bishshowab.

***

"Barangsiapa yang suka diluaskan rizkinya dan dipanjangkan umurnya maka
hendaklah ia menyambung tali silaturahmi," kata Rasulullah
SAW [1]. Di lain waktu beliau juga pernah berkata: "Tiada sesuatu yang dapat menolak takdir kecuali doa, dan
tiada yang dapat menambah umur kecuali amal kebajikan.
Sesungguhnya seorang diharamkan rezeki baginya disebabkan dosa yang diperbuatnya." [2]

1.
Hadits Riwayat Bukhari 7/72, Muslim 2557, Abu Dawud 1693

2.
HR. Attirmidzi dan Al Hakim

3.
Berupa pemberian nikmat Allah kepada manusia yang mana pemberian itu tidak
diridhai oleh Nya karena digunakan untuk perbuatan maksiat kepada-Nya.

4.
Mengutip tagline blogger Edittag:
Mengedit itu Mengenyangkan.

Maraji' (bahan bacaan):

Resensi Buku Republika: Irfan Afandi; Resep Panjang Umur; 07 Desember 2003.

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

10:52 10:55

PALESTINA DAN SOEHARTO


PALESTINA DAN SOEHARTO (ABU SIGIT AL-KIMUSIKY)

Siang hari kemarin, berombongan kami dari Pabuaran menuju MONAS untuk bergabung bersama-sama ikhwah yang lain untuk menyuarakan solidaritas kami terhadap rakyat Palestina yang sampai tulisan ini dibuat pun masih saja dianiaya dengan kezaliman Israel La’natullah. Dari Pabuaran kami melalui tol Jagorawi dari Citeureup, lalu masuk ke tol dalam kota untuk nantinya keluar dari pintu tol Cempaka Putih. Dari sana kami lalu menuju Masjid Istiqlal untuk menunaikan sholat dhuhur.
Di pintu Al Fatah Masjid Istiqlal itulah saya merasakan getar-getar yang jarang saya rasakan kembali pada tahun-tahun terakhir ini. Yaitu keharuan untuk berkumpul dengan saudara-saudara seperjuangan. Dengan banyak pemuda yang memancarkan kesalehan dari wajah-wajah mereka. Yang berombongan datang dari daerah masing-masing entah dengan berkendaraan motor, mobil, angkutan umum yang disewa ataupun jalan kaki.
Bahkan saya melihat ada beberapa ikhwah yang walaupun tidak diberikan kesempurnaan secara fisik untuk berjalan tegap karena kakinya cacat, dapat meluangkan dirinya berpartisipasi di acara itu dengan berjalan jauh di tengah hari yang terik . Saya sungguh terenyuh dan terharu. Subhanallah, semoga Allah membalasnya dengan kebaikan yang berlipat ganda.
Dua anak saya pun kiranya dapat menahan kelelahan mereka untuk berjalan jauh dari Masjid Istiqlal menuju Monas, lalu berdiam diri di sana selama setengah jam, dan kemudian berjalan kaki lagi menuju Kedubes Amerika Serikat dan kembali ke Masjid Istiqlal sekitar pukul 16.30 WIB.
Sedari dini saya mengajarkan kepada mereka yang kini sudah duduk di kelas dua SD dan TK B untuk turut merasakan solidaritas ini. Betapa mereka masih diberikan banyak kenikmatan di negeri Indonesia ini dengan makanan yang Insya Allah terjamin, bermain setiap saat tanpa diiringi dentuman senjata atau rudal yang meledak di tengah kerumunan mereka, pendidikan yang mencukupi, dan perdamaian yang ada. “Nak, sungguh beruntunglah kamu,” batinku.
Sudah saatnya mereka juga turut mensyukuri itu dengan merasakan panasnya berdemo , lapar dan haus mereka , karena betapa sengsaranya mereka di acara itu belumlah sebanding dengan keadaan yang dialami oleh saudara-sudara mereka di Palestina. Kelelahan itu semoga dibayar oleh Allah SWT. Bukti bahwa kami telah berbuat dengan upaya kami dan semampu kami. Daripada banyak yang teriak-teriak tapi tanpa aksi nyata. Semoga walaupun sebagian dari mereka tidak berdemo, juga turut mendoakan perjuangan rakyat Palestina di sana. Yang aneh adalah yang tidak ikut, yang tidak berinfak, yang juga tidak mendoakan mereka, tapi bisanya cuma mencela terhadap upaya saudara-saudaranya di sini untuk menyuarakan penderitaan rakyat Palestina. Sungguh Allah tidak tidur melihat mereka.
Lalu tidakkah kita terlalu perhatian dengan rakyat Palestina sedangkan rakyat Indonesia sendiri masih banyak yang kudu dibantu? Tentu kita tidak melupakan mereka, kita tidak melupakan saudara-saudara terdekat kita dulu, karena sesungguhnya sedekah terbaik adalah sedekah yang diberikan kepada saudara-saudara terdekat kita sendiri. Dan kita juga tidak perlu gembar-gembor kepada dunia bahwa kita telah berusaha membantu dengan sekuat tenaga mungkin untuk membantu negeri ini. Biarlah Allah saja yang melihat semua upaya itu. Tetapi yakinilah bahwa upaya itu Insya Allah sudah banyak dilakukan.
Setidaknya dengan upaya kemarin itu adalah upaya yang menyadarkan kepada masyarakat dunia dan bangsa Indonesia sendiri, bahwa tidaklah layak kita sebagai orang yang beriman mendiamkan kekejian itu berlangsung terus di hadapan mata dunia tanpa ada campur tangan dari negara lain untuk bertindak menghentikan semua itu. Ya, Negara lain cuma diam saja.
Setidaknya pula, upaya kemarin itu adalah upaya untuk membangkitkan semangat rakyat Palestina bahwa mereka tidak sendiri, masih ada saudara-saudara mereka yang berusaha bertindak nyata dan mendoakan mereka. Ini akan membuahkan efek positif yang luar biasa, memberantas segala rasa keputusasaan, dan membangkitkan jiwa kepahlawanan.
Jikalau, pada hari ini tidak ada sedikitpun pemberitaan demonstrasi kemarin karena bertepatan dengan meninggalnya Abu Sigit AlKimusuky (Bapak HM Soeharto), tidaklah mengapa, karena kami berdemo bukanlah untuk mengharapkan pemberitaan yang kiranya dapat memberikan celah ketidakikhlasan kami atas perjuangan ini. Sungguh, Allah mboten sare. Cukuplah menyerahkan segala sesuatunya kepada Allah karena Ia maha menilai segala sesuatu dengan teliti.
Hari kemarin, Ahad (Minggu) tanggal 27 Januari 2008, adalah hari yang begitu mengguncang bagi saya. Di sanalah keharuan saya masih menyentak (yang sempat pesimis masihkah saya mempunyai keharuan itu saat melihat geliat semangat para ikhwah) dan keharuan atas sebuah ibrah (pelajaran) penting bahwa manusia yang pernah berkuasa dulu dengan segala yang dimilikinya tidak bisa berkuasa apa-apa terhadap sebuah kematian.
Ia gagah, dulu, tetapi ia lemah kini. Kaku. Tidak berdaya. Tinggal mempertanggungjawabkan semua perbuatan di dunianya. Saya mendoakan sosok kaku yang saya lihat di televisi itu dengan sebuah pengharapan semoga Allah melapangkan kuburnya, mengampuni segala dosanya, biarlah Allah yang mengadili dengan pangadilan yang seadil-adilnya.
Sungguh sejak kematian ibu saya, saya menjadi orang yang sering terhanyut dengan perasaan. Saya menjadi orang yang mudah menangis melihat sosok yang terbujur kaku dengan kafan putih yang menutupi sekujur tubuhnya. Begitu pula kepada Anda wahai Abu Sigit Al-Kimusuky, mata saya berkaca-kaca. Sekali lagi, semoga Allah mengampuni Anda dan senantiasa Anda ditemani dengan amal-amal kebajikan di kubur di saat menunggu hari kiamat tiba.
Anda dan anak-anak Palestina, Ibu-ibu palestina, tua renta Palestina, para pemuda Palestina, pejuang-pejuang Palestina adalah tetap saudara bagi saya. Tidak berbeza. Anda sangatlah layak mendapatkan doa dari saya, sama dengan layaknya mereka di Palestina. Karena Anda adalah seorang muslim. Sama dengan mereka.
Allohua’lam bishshowab.

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

12:08 28 Januari 2007

JANGAN SEPERTI NIRINA ZUBIR


JANGAN SEPERTI NIRINA

Pagi ini, tidak biasanya jalanan di Margonda begitu macet dengan antrian sepanjang kurang lebih 500 meter. Biasanya cuma dua penyebabnya, mungkin ada mobil mogok di ujung jalan Margonda yang sempit menuju Jakarta atau satu lagi ada kecelakaan.
Ternyata benar dari kejauhan sudah terdengar sirine mobil polisi. Saat melewati tempat itu sudah teronggok Xenia rongsok di pinggir jalan. Dan jalanan penuh dengan pecahan kaca. Hal lain yang menarik selain dari kerumunan orang-orang yang ingin melihat kejadian itu adalah kantung mayat berwarna kuning mencolok mata. Tentu di dalamnya sudah ada isinya, sebuah jasad yang tiada bernyawa.
”Mobil ketimpa mobil,” kata penyapu jalanan yang sempat saya tanyai. Cuma itu saja. Setelahnya saya tidak mendapatkan informasi apapun. Yang pasti perjalanan pagi itu menambah bahan pemikiran saya yang ada di otak yang sudah penuh sebelumnya. Ah, batas antara hidup dan mati begitu tipis.
***
”Mas, saya dapat file berekstensi 3gp, muternya pake apaan yah?” tanya saya pada seorang teman.
”He…he…he…inilah kalau orang tidak pernah dapat kiriman ”gituan”. Coba pakai real player. Emangnya elo dapat file apaan sih?” tanya dia setengah mendesak.
“Eksekusi Saddam Hussein,” jawab saya.
Setelah saya mencari di sebuah situs di intranet yang terkenal dengan gudang software gratisannya, saya menemukan program itu dan langsung melakukan instalasi. Tidak lama setelah itu barulah saya bisa memutar klip yang membuat kaum Sunni marah besar melihat penghinaan yang diterima Saddam saat akan dilakukan eksekusi.
Kamera handphone ini merekam dari bawah panggung tempat eksekusi. Dan terlihat sosok tinggi besar itu keluar dari sebuah pintu. Sambil disambut yel-yel dari para penonton—ditengarai bahwa mereka adalah para pendukung pentolan Syiah Muqtada Sadr—Saddam masih sempat untuk berkata-kata.
Dan kalimat terakhir yang terucap adalah asysyhadu anlaa ilaaha illallah, wa asysyhadu anna muhammadarrasuulullaah. ”Brak…!!!” Suara papan penahan tubuh Saddam terbuka. Gambar terakhir yang terlihat adalah kepalanya yang mendongak ke atas dengan leher patah.
Saya tidak bisa membayangkan bagaimana sosok itu adalah sosok saya. Lalu saya pun berpikir apa yang Saddam rasakan pada saat itu, saat-saat terakhir berpisah dengan dunia dan menjumpai Sang Raja Sebenar-benarnya Raja.
Ah, batas antara hidup dan mati begitu tipis.
***
Dalam sebuah lingkaran kecil pekanan, seorang gadis yang baru beranjak dewasa sambil menangis tersedu-sedu mencurahkan perasaan yang dideritanya pada seorang ibu muda yang biasa mereka panggil dengan sebutan Ummi.
”Mi…apakah orang yang mau mati itu selalu mendapatkan firasat sebelumnya?”
”Memangnya kenapa?”
”Seminggu ini saya selalu bermimpi didatangi Adi Firiansyah. Dia ngajak saya ikutan dia, Mi” jawabnya masíh sambil menangis.
[Ohya, Adi Firiansyah itu artis sinetron yang meninggal dalam kecelakaan motor]
”Jangan mau dong, emang mau diajakin mati.” sahut sang Ummi sambil setengah bercanda mencairkan suasana.
”Ya , tapi gimana ya Mi. Jadinya perasaan ini kok sedih banget, berat, dan takut matinya itu loh Mi.”
Sang Ummi menghela nafas. ”Sikapi dengan baik mimpi itu. Jangan tiru Nirina”.
”Nirina siapa Mi?” tanya gadis remaja yang lain mewakili kepenasaran teman-temannya.
”Mirror..mirror” kata Ummi.
”Oh si Kikan itu….” mereka sudah paham.
[Nirina Zubir pemeran Kikan dalam film berjudul Mirror]
”Ya…sudah ’tahu’ mau mati, malah cemas, bingung, kelabakan, amburadul, hidupnya dibawah titik nadzir, mengendarai mobil serabutan, meninggal juga akhirnya.”
”Bagaimana sikap yang baik? Itulah saat yang seharusnya menjadi saat terbaik untuk kita kembali pada-Nya. Untuk lebih dekat, lebih dekat, dan lebih dekat lagi. Untuk menumpuk bekal amalan yang akan kita pergunakan menempuh perjalanan selanjutnya. ”
”Amalan baik apa yang bisa membuat neraca di sana itu miring ke kanan, tidak ke kiri. Amalan apa? Sedangkan banyak orang yang tertipu dengan amal baiknya yang begitu banyak, padahal tidak berisi apa-apa. Inilah saatnya untuk lebih dekat lagi dengan-Nya. Karena kematian itu bukan akhir dari segalanya.”
”Sesungguhnya tiada yang tahu kematian itu kapan akan merengkuh kita, kecuali Ia. Inilah ujian bagi orang-orang yang beriman.” Ummi mengakhiri.
***
Tiga peristiwa di atas memberikan kepada saya nasehat utuh dan penyikapan dari sebuah kematian. Kematian itu kapan saja bisa terjadi. Tidak ada yang mengetahuinya, kecuali tentunya Sang Pemilik Kehidupan. Masalahnya adalah bagaimana bisa sebuah penyikapan yang baik lahir dari jiwa-jiwa yang kering dari ruh kebaikan, mata-mata yang nanar menikmati syahwat, telinga-telinga yang peka terhadap keburukan orang lain, mulut-mulut penuh nafsu mengumbar aib saudaranya sendiri. Duh…bekalku ternyata sangat sedikit sekali.
Pun, batas antara hidup dan mati begitu tipis.

Aku Takut Mati


Beberapa menit hanya memandangi layar kosong di depan mata. Tak tahu memulai dari mana untuk mengurai kejadian-kejadian tragis di depan mata selama sepekan ini. Bagaimana tidak, saya melihat dua kecelakaan membawa maut pada sore hari menjelang berbuka. Membuat saya tercenung cukup lama. Bergeming memikirkan sebuah awal mula episode kehidupan lain yakni kematian.
Selasa sore, seperti biasanya jalanan dari arah Pasar Minggu menuju Depok begitu padat, sampai menjelang flyover Tanjung Barat. Selepas itu barulah saya bisa menggeber kendaraan di atas enam puluh kilometer per jam. Tapi ada yang aneh di sore itu, sejak Stasiun Tanjung Barat kendaraan mulai memadat dan semakin lama semakin macet. Tapi dengan motor yang anti kemacetan ini, saya bisa terus melaju bersama motor-motor yang lain. Ini tidak seperti biasanya.
Terbukti, antrian panjang disebabkan para pengguna jalan melambatkan kendaraannya untuk melihat apa yang telah terjadi, ditambah dengan sepeda motor yang diparkir sembarangan dan ditinggal di pinggir jalan oleh pemiliknya untuk melihat peristiwa kecelakaan di pinggir rel. Saya pun ikut-ikutan berhenti untuk melihat apa yang terjadi.
Sosok muda itu terbaring kaku dengan darah segar yang keluar dari lubang hidung dan telinganya, membasahi rambutnya, kental, hampir mengering dan mulai dikerubuti lalat. Sebagian tubuhnya ditutupi beberapa helai koran. Wajahnya yang sudah ditutupi pun seringkali dibuka kembali oleh orang-orang yang ingin melihat siapa yang menjadi korban, untuk memastikan apakah korban adalah orang yang dikenalnya atau bukan. Dari saksi mata diketahui korban dipastikan terjatuh dari KRL Jakarta-Bogor karena terbentur tiang listrik besi yang amat dekat sekali dengan rel.
Dadaku berdegup kencang.
Jum’at sore, kejadian yang hampir sama, di waktu yang sama terjadi lagi. Namun kali ini tempatnya berbeda. Kalau anda termasuk pelaju KRL Bogor-Jakarta atau sebaliknya atau pemakai kendaraan bermotor, pasti tahu pintu lintasan kereta api antara Stasiun Universitas Pancasila dan Universitas Indonesia. Kembali yang menjadi korban adalah anak muda dan kali ini berseragam SMU. Di tasnya ditemukan clurit dan sebotol bensin. Bisa ditebak, pelajar ini termasuk yang doyan tawuran.
Dari keterangan saksi mata diketahui, pelajar itu ditendang dari atas KRL Nambo yang melaju dengan kecepatan tinggi. Bagian kepala yang jatuh terlebih dahulu, membentur bebatuan dan aspal jalanan. Bagian belakang kepala bocor, darah kental mengalir dari lubang telinga dan hidung. Setelah sekarat beberapa detik langsung tewas di tempat. Sangat kebetulan sekali, pelajar itu tewas tidak jauh dari rumahnya.
Setahun yang lalu, persis di bulan ramadhan, di tempat yang sama pernah terjadi kecelakaan. Kepalanya tidak berbentuk lagi karena dihantam KRL. Kata orang sekitar, perlintasan itu sering kali memakan korban, dan sayangnya disikapi oleh sebagian warga dengan mengaitkan hal-hal klenik, makanya setiap tahun ada yang berani momotong kambing di bawah pohon dekat rel hanya untuk dijadikan tumbal. Sayang…
Tidak biasanya, sepanjang sisa perjalanan pulang saya hanya fokus terhadap dua peristiwa itu. Saya pikir, saya banyak disadarkan tentang satu hal yang seringkali manusia lupa dan merasa akan hidup selamanya yakni kematian. Batas antara hidup dan mati sungguh amat tipis. Karena kematian bisa menjemput kapan saja, di mana saja, dengan cara apa saja. Entah dengan kesakitan yang luar biasa atau tidak. Di atas tempat tidur atau di medan laga. Ketika subuh kan menjelang atau saat mentari tenggelam di ufuk barat. Entah dengan utuh harum mewangi atau tiada berbekas, bahkan busuk.
Setelah melewati pintu kematian, maka terbentanglah di hadapan kita dunia lain. Dunia dengan segala keekstrimannya. Diawali dengan kegelapan kubur yang amat dan sangat pekat ataukah terang benderangnya cahaya. Penjaga dengan kelemahlembutannya atau sebaliknya penjaga berwajah sangar dengan alat pemukul yang luar biasa besarnya.
Lalu padang yang amat luasnya. Tentang mahkamah yang amat adilnya menghitung satu dzarrah setiap perbuatan. Tentang manusia dalam karakter dan perwujudan yang disesuaikan dengan perbuatannya di muka bumi. Tentang wadah pembalasan segala kemungkaran yang amat panasnya dan kejam siksanya. Atau tentang wahana keindahan yang tak bisa terbayangkan oleh manusia.
Saya bergidik. Tiba-tiba saya tersadar, saya jadi takut mati. Saya belum siap untuk mati. Dan saya sadar yang menentukan baik tidaknya pembalasan yang akan diterima adalah amal atau semata-mata karena rahmat Allah Yang Maha Luas. Yaa Rabb, betapa amat sedikitnya amal saya. Jangan-jangan ketakutan saya pada kematian ini adalah karena saya sudah kena penyakit wahn. Cinta dunia dan takut mati. Semuanya berbanding terbalik dengan timbangan keimanan.
Saya teringat perkataan Abu Darda’: “Sesungguhnya aku mencintai kematian karena tidak ada yang mencintainya kecuali orang yang mukmin sedangkan kematian akan dapat melepaskan seorang mukmin dari penjara. Juga aku mencintai harta dan anak yang sedikit karena yang demikian akan dapat menimbulkan satu bencana dan yang dapat menyebabkan condong pada keduniaan. Padahal nantinya satu keharusan untuk berpisah dengan dengan penuh kedukaan. Dan segala sesuatu yang diluar ingatan pada Allah adalah satu keharusan untuk ditinggalkannya nanti ketika telah tiba ajalnya.”
Duh Gusti, ampuni hamba.

dedaunan di ranting cemara
di sekitar LA
dengan sedikit revisi di 25 Juli 2005