Kukila dan Perempuan yang Melelehkan Bening dari Matanya yang Telaga


Tulislah sebuah surat untuknya. Tulislah dengan memakai tangan. Tidak perlu dengan cetakan printer. Permintaan coach dari sebuah Life Academy itu aku turuti.

Aku menulis banyak dengan menggunakan pena, menggunakan tangan kananku, di atas lembaran-lembaran kertas putih. Dengan penuh kesungguhan seperti para pecinta zaman pujangga lama menulis surat.

Baca Lebih Lanjut

Mahaguru Alas Kencono Wungu


 

Syahdan Mahaguru Kucing di Alas Kencono Wungu sedang bersantai-santai di tepian Kali Bluwak.

Matanya tajam mengamati permukaan kali. Sebagai sebinatang sakti mandraguna, ia tak seperti satoan lainnya yang hanya bisa menangkap apa yang ada di permukaan.

Baca Lebih Lanjut.

Cerita Lari Mandiri Jogja Maraton 2018 (Terakhir): Inong, Apakah Aku Anak Ikan?


Di suatu pagi.

“Inong, apakah aku memang anak ikan?” tanya anak lelakiku itu. Air mata membiak di pipinya.

“Kata siapa?”

“Kata Among.”

“Kenapa Among berkata seperti itu? Ada apa?” tanyaku mendesak. Aku cemas. Ada yang tak beres hari ini dan untuk hari-hari berikutnya.

“Aku bawa nasi dan lauk yang Inong suruh tadi ke ladang. Tapi aku lapar. Aku makan sebagiannya di tengah jalan.” Tubuhnya gempa. Ia masih menahan isak yang semakin menariknya ke bumi. “Lalu setelah makan aku ke ladang. Di sana, Among murka melihat makanannya sudah tinggal sedikit. Lalu bilang kalau aku anak yang kurang ajar, karena aku keturunan ikan.”

Baca Lebih Lanjut.

TITIN BARIDIN


 
 

Sebenarnya saya tidak akan mengunggah cerita pendek (cerpen) ini. Biar jadi sejarah bagi saya. Namun ternyata setelah tidak sengaja menemukan cerpen ini telah ditayangkan di situs Galeri Karya FLP Depok, mau tidak mau ya sudah saya unggah saja sekalian untuk bisa dinikmati bersama.

Sebelum membaca cerpen ini kiranya memang layak untuk membaca ulasan berikut di tautan ini:

Menolak Si Titin

Setelahnya baru baca cerpen sesungguhnya di bawah ini.

TITIN BARIDIN

 
 

“Brak!” suara berat dari pintu lapuk yang didorong paksa terdengar. Begitu nyaring bagi si pemuda bermuka pucat yang sedang duduk di sudut dipan dengan memeluk kedua kakinya rapat-rapat. Mukanya hampir-hampir menelan lahap lututnya. Sarung yang menggulung dirinya tak mampu membuatnya terpisahkan dari dunia nyata. Buktinya ia masih saja mendengar suara pintu itu. Pula suara dari janda tua yang telah renta dengan bau tanah yang cukup menyengat. Miminya.

“Baridin! Baridin! Sudah tiga hari kau masih saja melamun. Apa sih Cung yang
kau pikirkan?” Miminya bertanya sambil menengok ke sekeliling ruangan kamar yang begitu berantakan, gelap, dan suram. Sesuram keduanya yang masih saja terjerat dengan kemiskinan absolut sejak bapaknya Baridin yang juragan beras kaya raya jatuh bangkrut sepuluh tahun lalu gara-gara ditipu teman bisnisnya. Setelah itu, bapaknya Baridin mati mengenaskan dengan perut membuncit, darah segar keluar dari mulutnya yang terbuka menganga, mata melotot mendelik ke atas. Bisik-bisik tetangga mampir ke telinga mereka, bapaknya Baridin mati disantet musuhnya.

Kehidupan berubah seratus delapan puluh derajat. Rumah mewahnya dijual. Sawah, pekarangan pun mengalami nasib yang sama. Emasnya digadaikan yang pada akhirnya tak sanggup untuk ditebus. Dari hasil gadaian itu sebagian untuk menutupi semua hutangnya. Sebagian lainnya dibelikan gubug reot yang berada di sisi kuburan seberang kali.

Miminya cuma menjadi tukang cuci. Ia, Baridin, dengan keterpaksaan hanya sanggup jadi kuli panggul di pasar desa. Ia menerima nasib yang digariskan di telapak tangannya. Walaupun awalnya ia tak mau meminggul nasib itu. Tapi apa boleh buat perutnya tidak sanggup untuk bertahan menahan lapar. Sejak saat itu pula Baridin menyendiri bahkan pada miminya. Tertutup dari dunia pergaulan dengan pemuda-pemuda sebayanya. Setiap hari bangun pagi, pergi ke pasar, siang pulang, lalu tidur.

“Cung, ayo kerja sana, beras kita sudah mau habis,” miminya berkata sambil meletakkan piring seng berisi bubur di dekatnya. Tidak ada jawaban. Wanita tua itu cuma menghela nafas dan segera keluar dari kamar.

“Baridin mau kawin, Mi.”

Langkah wanita itu terhenti. Segera ia menoleh saat mendengar suara yang baru didengarnya lagi sejak tiga hari lalu itu. Terlihat wajah anaknya mendongak menatap dirinya. Ada selubung harap memenuhi wajahnya yang menghitam terbakar merah matahari. Kembali miminya duduk di sudut lain dari dipan itu.

“Dengan siapa?” hanya itu yang terlintas dalam pikirannya untuk menjadi sebuah awal dari rerimbunan pertanyaannya.

“Titin.”

“Anak Juragan Saeni itu?” tanyanya lagi sambil membayangkan raut wajah gadis yang menjadi kembang desa. Terlihat gerakan kepala ke bawah berulangkali dari anaknya, mengiyakan.

“Mimi cepat saja melamarnya, sekarang juga,” sebuah permintaan yang menyentak.

“Apa Baridin enggak mikir kita ini siapa? Juragan Saeni itu siapa? Juragan tanah, Baridin, juragan tanah. Kita cuma debu bahkan kotoran untuk keluarga mereka.”

“Tidak, pokoknya Mimi lamar dulu saja sekarang. Baridin sudah tidak tahan dengan semuanya.” Baridin tahu dirinya sedang dalam puncak kerinduan. Kerinduan yang ia tahan-tahan selama sebulan ini. Kerinduan yang muncul sejak pertama kali ia melihat sosok perempuan yang teramat cantik bagi dirinya. Menggoda naluri kelaki-lakiannya. Sangat, sangat menggoda.

“Kang, siapa tuh Kang? tanyanya pada Talib, seniornya. Yang ditanya sampai kaget karena biasanya anak ini tidak berkata sepatah katapun kalau memang tidak perlu untuk dirinya berkata pada dunia. “Itu Titin, anak orang paling kaya di desa ini. Dia baru saja datang dari Dermayu ikut ibunya, sekarang ia kembali ke bapaknya. Semua istri muda juragan pelit itu tidak bisa punya anak.”

Berhari-hari Baridin cuma bisa memandang Titin dari kejauhan. Ada sebongkah rasa melesak dari dasar jurang hatinya. Dengan harapan yang semakin melangit. Dan ia terpaksa jatuh ke lembah kenelangsaan tiada berdasar saat tiga hari lalu itu ia menyapa TItin.

Nok Titin, ayu temen sira Nok.”

Yang diterimanya hanyalah pandangan jijik, “cuih…!”. Lesatan air kental keluar dari mulut Titin. Tidak ke muka Baridin yang setengahnya berwarna merah karena tanda lahir, tapi ke tanah. Tapi itu sudah cukup dimengerti Baridin. Ia mundur. Tapi tetap dengan lenguhan, “Nok Titin, ayu temen sira Nok.”

Nelangsa yang menjadi sengsara. Mengurung diri di kamar tak berjendela, tiga hari tak ke pasar membuatnya semakin menderita. Mulutnya terkunci kepada siapa-siapa. Bahkan sebongkah otak di kepalanya tidak sanggup untuk memikirkan yang lain, cuma Titin satu-satunya.

“Baridin tidak kasihan sama Mimi? Isin cung…isin,” pipi miminya terlihat menganak sungai dengan air mata. “Kita itu orang belih gableg. Seharusnya tak perlu mikir macam-macam. Duitnya mana lagi buat lamaran. ”

“Sarung Baridin saja,” setelah itu Baridin tidak berkata-kata lagi. Kembali ia mengurung dirinya di balik sarung. Ia nyaman di sana, karena itu hanya dunia satu-satunya yang dimilikinya.

*

Persangkaannya tepat. Lamarannya ditolak mentah-mentah oleh Juragan Saeni. Sarung anaknya yang dijadikan barang seserahan dilempar ke kakinya. “Berkaca Bu. Tidak pantas untuk si Titin. Terus mau dikasih makan apa si Titin? Kalau saja suamimu masih hidup saya pasti akan menertawakannya. Najis!”

“Anakmu jelek minta ampun,” ucap Titin meningkahi.

Sang mimi pulang dengan membawa kehinaan. Herannya ia mau-mau saja memenuhi permintaan Baridin untuk melamar Titin. Tapi ia tak tega melihat kondisi anaknya yang sudah sepekan ini berpesta dengan kesenyapan.

Baridin hanya diam mendengar semua cerita miminya. Isak tangisnya menjadi soundtrack yang memilukan. Tiba-tiba Baridin bangkit. Segera ia makan dengan lahap bubur yang sedari pagi ia belum sentuh. Lalu tanpa menengok pada miminya ia pergi begitu saja dengan sarungnya yang tak sempat terberikan pada pujaan hati.

“Baridin! Baridin! Kemana kau Cung?” teriak sang mimi. Tidak terjawab. Cuma lenguhan, “Nok Titin, ayu temen sira Nok.”

Baridin bergegas pergi ke sebuah bangunan tua jauh dari desanya. Di dalamnya terdapat Makam Ki Buyut Leluhur. Ada makam-makam lainnya yang terletak di luar. Beringin besar dan kokoh menjadi kanopi yang melindungi komplek makam kecil itu dari terpaan sinar matahari.

Baridin berniat untuk menuntaskan tekadnya agar tidak sekadar menjadi lenguhan tapi memiliki sepenuhnya diri Titin. Untuk itu ia akan puasa tiga hari tiga malam. Tanpa makan tanpa minum. Sebelumnya ia mandi di sungai kecil di belakang. Cukup dengan kembang pohon mangga yang berjatuhan di pinggir kali sebagai syarat ritualnya.

Lalu tepat jam satu malam, sambil menghadap ke arah rumah Titin dan membayangkan wajahnya ia berucap mantera:

Teka idep, teka madep. Teka pangleng, teka puyeng, teka welas, teka asih. Laking pangkon ingsun. Duduh ngejok-ngejok bumi. Ngejok hatine Titin. Nyen lagi turu. Gageh Tangiah. Nyen wis tangi, madep maring badan ingsun.

Baridin gemetar. Jaran guyang pun berputar. Sangat ritmis. Seirama dengan Titin yang tiba-tiba terbangun dari tidur. “Arghhhhh…” teriak Titin gemetar. Tubuhnya basah dengan keringat dingin. Dalam mimpi tubuhnya limbung terseret putaran arus deras air sungai. Tangannya menggapai-gapai permukaan. Tapi ia tak sanggup untuk melawan. Semakin menjauh dan tenggelam. Ada tarikan kuat dari dasarnya.

Keesokan pagi, seisi rumah Juragan Saeni heboh. Titin tidak terbangun dari ranjangnya. Bukan karena tak mau tapi ia tak sanggup. Tubuhnya lemas lunglai. Wajahnya pucat. Dari mulutnya terdengar ceracau tidak jelas, tapi sempat terucap nama seseorang. Ceracau itu berhenti saat maghrib jelang. Cukup memberikan waktu kepada penghuni rumah itu untuk beristirahat menjaga Titin.

Tapi, jam satu malam, kembali Titin tersentak. Terbangun duduk. Gemetar. Ia meningkahi suara Tokek yang terdengar satu-satu.

“Tokek!” suara pertama dari reptil itu membahana.

“Kang Baridin ganteng.”

“Tokek!”

“Kang Baridin sayang.”

“Tokek!”

“Tunggu Nok, Kang!”

Paginya, seiisi rumah terkejut karena Titin sanggup untuk bangun. Tapi bangun hanya untuk mondar mandir antara dapur dan teras rumahnya yang besar. Kadang berjalan pelan, kadang setengah berlari. Mulutnya tetap menyeracau. Dukun yang datang ke rumah mereka memastikan Titin kena gendam yang amat kuat.

Pada malam yang ketiga. Titin kembali terbangun dengan gemetar. Tidak lagi duduk. Kini ia langsung bangkit dengan mata terbuka lebar.. Salah satu kakinya menjejak-jejakan tanah seperti kuda betina yang sedang birahi. Tiba-tiba dari mulutnya terdengar suara ringkikan. Panjang.

“Kang Baridin…! Kang Baridiiiiiin….!” teriaknya kencang. Ia tendang pintu kamar kuat-kuat. Beberapa orang yang berusaha untuk menenangkan dirinya tak mampu untuk menahan kekuatan dahsyat yang ada pada diri Titin. Ia bagaikan banteng ketaton. Meronta, memukul, dan menendang kesana-kemari. Lalu ia berhasil lari keluar rumah menerobos gelapnya malam. “Kang Baridin, tunggu Nok Titin, Kang!” teriaknya. Sambil meringkik.

Satu desa geger. Semalaman tidur mereka terganggu. Jalanan dipenuhi tawa mengerikan dan sedu sedan menyayat menuju batas desa. Desa sebelah pun geger. Ada perempuan baru meringkik terus menerus menuju ujung desa ditingkahi lengkingan yang samar, “Kang Baridin, Nok Titin sayang sama Kakang.”

Desa sebelahnya lagi geger pula. Berita tentang perempuan yang tetap dengan ceracauannya, tetap dengan ringkikannya, lebih dulu sampai ke warga desa daripada raga Titin. Bahkan beritanya menjadi lebih dahsyat, perempuan berwajah kuda. Mereka berbaris di pinggir jalan hanya untuk melihat tingkah gadis desa yang dulunya terkenal kemana-mana karena kecantikannya yang luar biasa itu.

Tapi mereka kecewa saat melihat Titin datang. Pengharapan mereka melihat sesuatu yang mengejutkan dan mengerikan tak terwujud. Muka Titin tidak muka kuda, tapi suara yang keluar dari mulutnya itulah yang mirip kuda.

Titin tetap berlari. Meringkik. Menyeracau. Dan mereka mengikuti Titin sampai ujung desa. Tiba-tiba Titin berhenti. Warga pun ikut berhenti, menunggu apa yang akan dilakukan olehnya. Titin berbelok ke kanan melalui jalan setapak penuh belukar. Kini warga urung mengikutinya, karena tahu Titin sedang menuju ke komplek makam angker. Tak ada yang berani ke sana selama bertahun-tahun.

“Kang Baridin…!” teriak Titin sambil meraup tubuh pemuda yang tergeletak lemah di sudut bangunan makam. Masih ada nafas satu-satu. Matanya membuka. Menatap Titin lekat-lekat. Ia menguatkan diri untuk berkata: “Nok Titin ayu temen sira Nok.”

“Kang Baridin, Titin cinta sama Kang Baridin. Titin rindu. Titin mau dikawin sama Kang Baridin. Titin tidak mau ditinggal Kakang. Titin sayaaaaaaaang sekali sama Kang Baridin,” suaranya keluar tak mampu berhenti, tapi kini dengan tangis dan tawa yang meledak bergantian.

Baridin tersenyum. Ringkikan Titin seperti nyanyian merdu ditelinganya. Mati pun ia tak penasaran, walaupun bayang-bayang neraka sudah memberatkan mata . Dan Izrail sudah marah hendak merenggut sisa-sisa kehidupannya. Bahkan saat Juragan Saeni datang mendekat menghunjamkan keris di dadanya, Baridin tersenyum. Tapi senyum itu bagi Juragan Saeni adalah seringai bapaknya Baridin yang ia santet dulu. Bengis penuh kemenangan.

 
 

***

 
 

 
 

Keterangan Bahasa Cirebon:

Cung        : Panggilan kepada anak laki-laki

Nok        : Panggilan kepada gadis/anak perempuan

Mimi        : Ibu

Temen        : sekali/sangat

Belih gableg    : Tidak berpunya

Isin        : Malu

 
 

 
 

 
 

Riza Almanfaluthi

Dedaunan di Ranting Cemara

Pabuaran, 26 Juli 2007

 
 

 
 

 
 

 
 

 
 

 
 

 
 

 
 

 
 

 
 

 
 

 
 

 
 

 
 

 
 

  

KAMAR


KAMAR

Aku masih saja terdiam di sudut. Di atas ranjang memandang sekeliling kamar yang sudah sekian tahun tidak berubah. Aksesorisnya belaka yang berubah seiring dengan mandala waktu.
Kalau engkau bayangkan sebuah kamar yang luas, dengan keharmonisan warna cat menyiratkan sebuah keseimbangan alam, ranjang yang besar, lemari-lemari tinggi, meja rias dengan kekokohan pohon jati, cermin yang bening, keramik Italia kualitas terbaik yang mempercantik lantai, tirai lebar berbordir penghalang sinaran mentari pagi dan hembusan angin yang masuk dari jendela, kamar mandi yang tak kalah indah, dan luasnya setengah darinya, maka bayangan itu cuma ada di sinetron-sinetron Indonesia. Jangan engkau bayangkan itu.
Kamar si pemilik rumah ini hanya cukup untuk memuat dua meja pingpong. Bercat hijau muda. Dengan satu jendela berkaca nako—tanpa tirai—yang mengemis-ngemis cahaya. Maklum saja kamar ini berada di bagian belakang, bersebelahan dengan dapur. Suara berisik pun dominan sekali di setiap pagi.
Karena tiada kecukupan dengan cahaya, maka lampu hemat energi 25 watt menjadi sumber penerangan yang ampuh untuk mengusir kegelapan selamanya, terkecuali kalau ia sudah kehilangan daya. Tapi cukup lama biasanya, berkisar dua warsa.
Lantainya hanya ditutup dengan keramik kelas dua. Hijau muda juga. Baru terlihat mengilat dan harumnya memenuhi ruangan jika dipel dengan cairan khusus pembersih lantai.
Pintu kamarnya cukup kokoh. Terbuat dari kayu yang dipelitur seadanya. Maunya sih nyeni, tapi apa lacur tukang bangunan yang memasangnya bukan tukang kayu ahli, jadinya masih terlihat kasar. Dan pintu ini pun harus didorong dengan kuat agar bisa menutup rapat.
Lemarinya cukup tinggi juga. Nah, ini baru bikinan tukang kayu asli. Kayunya dibuat halus dan dipelitur mengilat sekali. Sayang ada yang merusak keindahannya. Ada selot terpasang di bagian luar. Tentunya untuk menutup pintu lemari yang tidak bisa terkunci dari dalam.
Isinya? Ah, engkau pasti tahu apa yang ada di dalamnya. Sekadar tumpukan penutup aurat sebagai pembeda keberadaban manusia zaman batu dengan masa kini. Dan sekadar lembaran-lembaran kertas penanda keberadaan seseorang di dunia ini.
Ho…ho…ho…ada pula lembaran-lembaran lain yang lebih kecil ukurannya, bergambar, dan bernomor seri tertumpuk rapi. Biasanya setiap pagi si pemilik rumah ini membagi-bagikan itu kepada para penghuni rumah yang lain. Yang biasa kudengar mengiringi pembagian itu adalah celotehan dari si kecil: ”Mi, kok cuma seribu?”
Di sebelah lemari itu ada meja kecil setinggi lutut orang dewasa. Cukup untuk menaruh sebuah tape recorder. Lebih tepatnya lagi meja ini berguna untuk menaruh apa saja. Kaset-kaset yang bertumpuk tidak teratur, kunci sepeda motor, sobekan-sobekan kertas, brosur-brosur penawaran kredit bank, buku diary, majalah, makalah, pulpen, dan banyak lagi lainnya. Sepertinya meja ini tak layak muat untuk menerima segalanya. Yang pasti: berantakan sekali.
Tidak hanya itu. Di sisi lain dari lemari ada juga rak kecil berwarna biru laut terbuat dari plastik. Niatnya mungkin untuk menaruh peralatan sembahyang, tapi itu cuma di bagian atasnya.Lagi-lagi yang tampak adalah tumpukan kertas, buku dan majalah. Namun terlihat pula tiga buah tas kerja di sana.
Di sudut kamar yang lain teronggok meja rias dengan begitu banyak kosmetik di atasnya. Ada cermin besar di sana. Cukup untuk melihat setengah tubuh manusia. Tentu hanya fisik yang terlihat. Tidak ada isi hati yang tampak. Tapi memang jujur sekali sang cermin ini memantulkan bayangan.
Kulit yang menghitam, rambut yang memutih, kulit yang mengeriput, mata yang menyayu tanpa cahaya, tubuh yang membongkok karena tulang yang merapuh, senyum yang enggan bangkit dari sudut bibir, gigi yang tinggal satu dua ditampilkan apa adanya pula. Tidak dilebihkan atau dikurangkan sedikitpun. Jujur, jujur sekali. Terkecuali sumber bayangan itu memakai topeng. Pun saat ia benar-benar memakai topeng pada galibnya itu adalah sebuah bentuk kejujuran pula. Sebuah pantulan, sebuah penegasan: Ia memakai topeng!
Lalu persis di antara rak plastik dan meja rias itu ada sebuah pintu lagi. Pintu kamar mandi. Yup, kamar ini mempunyai kamar mandi di dalamnya. Kecil dan tidak luas. Sekilas aku melihat di sana ada kran, ember, gayung dan tentunya…ah, aku geli menceritakannya kepada engkau. Lain kali aku membisikkan segalanya padamu, tidak saat ini, dan hanya untuk kamu saja, tidak untuk yang lain.
Kini, saatnya membicarakan tempat di mana aku sedang memandang sekeliling kamar ini. Ranjang ini. Aku berdiri di tempat di mana biasanya sepasang pemilik rumah ini membaringkan kepalanya di ranjang ini. Terlihat sekali bayanganku ada di cermin meja rias di seberang sana.
Ranjang ini empuk sekali. Saking empuknya ketika seseorang menggeser tubuhnya terasa sekali goyangannya. Ini berarti, ranjang itu cuma spring bed murahan. Kalau yang benar-benar mewah, asli, dan mahal maka jalinan kawat spiral yang menyusunnya tidak konvensional tetapi dirancang khusus dengan per sejajar yang terpisah, tidak saling terkait, terbungkus kantong kain satu per satu dan tidak dikaitkan dengan kawat helical yang dapat mengurangi gunjangan. Ini jelas akan menambah kenyamanan bertidur. Saat orang bisa nyaman tidur maka sehatlah ia.
Engkau pasti bertanya, kenapa aku bisa tahu sejauh itu? Ah, aku ini bisa melihat apa saja walaupun mereka menyangka aku tidak bisa melihat. Aku ini bisa mendengar apa saja walaupun mereka menyangka aku tidak bisa mendengar. Aku ini bisa berbicara apa saja walaupun mereka menyangka aku diam membisu di setiap waktu. Aku ini bisa merasakan apa saja walaupun mereka tidak pernah menyangka aku dapat merasakan segalanya. Bahkan aku bisa kejam membunuh. Faktanya di setiap lenganku ada bercak-bercak—tidak cukup setetes atau sepercik—darah dari musuh-musuh mereka yang bergerilya di setiap malam.
Ohya, ada selimut di atas ranjang itu. Selimut yang biasa tak terpakai oleh mereka berdua—karena kamar tak berpendingin ini sudah cukup membuat mereka kepanasan– Hanya pada saat-saat tertentu saja selimut itu berfungsi. Tak perlu kuceritakan pula kepada engkau tentang semua yang aku lihat, aku dengar, dan aku rasakan. Karena ini bukan cerita stensilan.
“Brak….!” suara pintu terbuka memecahkan perenunganku pada deskripsi kamar ini. Aku melirik. Sosok perempuan terlihat memasuki kamar. Memandang sebentar ke sekeliling kamar. Melangkah ke ranjang. Membereskan bantal dan selimut. Lalu memungutku.
Aku sadar kini waktunya untuk bertugas. Aku kencangkan otot-ototku. Energi kusalurkan pada setiap lenganku yang panjang, ramping, dan lurus. Persis saat ia menjerembabkan aku di permukaan kasur. Membersihkan segala macam debu dan tungau yang tidak bisa terlihat oleh mata biasa. Berkali-kali aku dipukulkan ke kasur dan menyapu bersih segala macam benda-benda kecil di atasnya. Aku sudah terbiasa. Paling cuma belasan kali.
Tidak berhenti sampai di situ. Ada tugas lain. Kini aku melayang-layang di seantero kamar. Mencari makhluk-makhluk kecil bersayap dan penghisap darah. Kamar yang lembab ini memangnya menjadi habitat terbaik untuk tumbuh kembang mereka. Perempuan itu melihat seekor terbang menghindari terjanganku yang digerakkan oleh tangan perempuan ini. ”Wusss…!” Masih menerpa angin. Dan aku masih waspada dengan tetap menyalurkan tenaga ke sekujur lenganku.
”Tap…” Aku merasakan momentum luar biasa. Saat lenganku menangkap dan menggencetnya. Ada cairan merah keluar dari tubuh nyamuk itu. Mungkin ia sempat menggigit penghuni rumah ini. Tidak lama aku dibiarkan menggeletak di atas meja rias. Kudengar perempuan itu berkata kepada lelaki yang baru saja memasuki kamar, ”Nanti belikan satu lagi sapu lidi untuk di kamar depan. Yang ini biar di sini saja.” Tiba-tiba kamar itu gelap.
Tapi jangan dikira aku ini buta karena aku bisa melihat apa saja walaupun mereka menyangka aku tidak bisa melihat. Jangan dikira aku ini tuli karena aku bisa mendengar apa saja walaupun mereka menyangka aku tidak bisa mendengar. Jangan dikira aku ini bisu karena aku bisa berbicara apa saja walaupun mereka menyangka aku diam membisu di setiap waktu. Jangan dikira pula aku ini tidak perasa karena aku ini bisa merasakan apa saja walaupun mereka tidak pernah menyangka aku dapat merasakan segalanya.
Kegelapan ini tidak akan lama.

Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
16:14 05 Juni 2006

Dua Kertas dan Satu Kamboja


4.7.2005 – dua kertas dan satu kamboja

cerpen buat kalian seorang ummi dan abi yang berkarier
ditulis di atas tumpukan buku:
dua kertas dan satu kamboja

“Qi, ummi titip ini untukmu…” suara berat menyadarkanku dari lamunan. Memaksaku memalingkan wajah pada sosok tua yang tengah menyodorkan amplop putih.
Aku terdiam
“Buka saja,” sambil membereskan letak duduknya di samping gundukan bermawar merah masih basah. Dengan papan tertera nama Sabrina Hanifa. Ummiku.
Ada dua lembar kertas usang di dalamnya. Dengan sisi-sisinya tampak bekas terbakar.
“Hanya dua itu yang bisa ummimu selamatkan waktu rumah kita terbakar,” suara berat itu kembali mengguncang kesunyian.
Aku pun memeras memori mengenang dengan jelas peristiwa 20 tahun lampau. Rumah kami setengah hancur saat terjadi kebakaran besar menimpa komplek perumahan kami. Namun kami sempat menyelamatkan diri dengan membawa barang sebisanya. Ummi kulihat masih sempat membawa buku diarinya yang setengah terbakar.
“Jangan kau baca, Qi!” seru ummi menegurku, saat aku intip isinya. “Kelak ini akan ummi berikan padamu,”tambahnya. Aku masih mengokang tanda tanya yang siap kuberondongkan padanya.
“Cukup sayang…, ayo bereskan lagi rumah kita ini,” sambil ada jari lembut menempel di bibirku.
Hari ini ia meninggalkan dua lembar itu padaku. Tapi tanpa ia yang siap menerima serangan pertanyaanku. Sudah terpejam abadi adanya. Tulisannya indah sekali. Ya, Ummiku selalu dapat nilai paling bagus untuk pelajaran menulis halus di sekolah dasar dulu.
14 Mei 2005
Mengingat tatapanmu, Haqi, ada yang membuat perasaan ummi tidak enak pagi ini. Entah karena apa. Mungkin karena ummi melihatmu duduk sendiri saat kami meninggalkanmu.
Qi, maafkan ummi yang telah membiarkan hampir sepanjang usiamu tanpa kehadiran ummi. Membiarkanmu menikmati sepanjang hari-harimu, sendiri, selama dua tahun ini.
Qi, mata polosmu tadi pagi mungkin mengandung sejuta tanya. Kenapa ummi selalu pergi dan hanya mampu menemanimu saat hari mulai gelap. Itu pun dengan kondisi ummi yang tidak lagi segar dan ceria.
Sekali lagi, maafkan ummi, nak. Jauh di lubuk hati ummi pun tidak menginginkan ini. Sungguh ummi ingin berperan penuh sebagai ummi-mu sebagaimana ibu layaknya.
Menyambutmu dengan senyum saat matamu terbuka, memandikanmu, mengajakmu jalan-jalan sambil makan, menemanimu bermain, hingga mengantarmu menjelang mimpi.
Sedih Qi, hati ummi. Saat melihatmu susah makan, saat orang-orang yang mengasuhmu kurang telaten menghadapimu. Tapi ummi tak akan dan tak boleh marah. Karena sesungguhnya kamu memang bukan anak mereka. Kamu anak ummi. Jadi sudah semestinya ummilah yang harus bertanggung jawab atasmu. Atas segala perkembanganmu.
Qi, ummi rindu menjadi ibu seutuhnya, Bagimu dan bagi calon adekmu yang baru lima bulan ini. Doakan ummi ya, Qi. Agar Allah segera menunjukkan dan memberikan jalan yang terbaik untuk kita. Sehingga ummi dapat mewujudkan cita-cita ummi tanpa beban rasa bersalah. Baik terhadapmu maupun terhadap janji saat ummi hendak bekerja.
Satu bulir air disusul lainnya menurun deras dari pipiku yang sudah menganak sungai. Yang mata airnya sebenarnya sudah kering sejak meninggalkan Vyborg, dekat St. Petersburg, kota nelayan di Teluk Finlandia.
“Ummi…, Haqi sayang ummi,” desisku berusaha mengalahkan gelegak tak tertahankan lagi.
Kalau saja aku tak menerima tawaran itu, aku masih menemani ummi dalam kesendiriannya melawan kanker hati. Tawaran yang menggodaku. Melakukan ekspedisi Kelautan di Laut Baltik, dengan menyusuri tepi pantai Arhus, Denmark, terus ke pantai barat St. Petersburg, hingga berakhir di Malmo, Swedia.
Kompensasi yang didapat bila aku ikut selama tiga bulan perjalanan itu adalah beasiswa program doktoral di Universitas Rhode Island.
“Siapa yang akan menemani ummi di sini, Qi…”tanyanya getir, “Baru saja setahun yang lalu kau temani Ummi, kau mau pergi lagi.”
“Mr. Jan Brinkhuis mendesakku,” membayangkan mantan profesorku di Universitas Stockholm. “Ini kesempatan langka buat mahasiswa Asia seperti saya, Mi…”
“Sudah kau beritahukan hal ini pada abimu….”
“Tak perlu!” sahutku cepat. Buat apa memberitahukan pada orang yang telah menyia-nyiakan kasih sayang ummi selama 10 tahun ini. Tapi mengapa Qinan ikut dengannya, saat perpisahan itu terjadi. Walaupun dapat ditebak Qinan pasti ikut abi, mereka dekat sekali.
“Mi, nanti Bulik Indah yang menemani Ummi,” rajukku sambil bersimpuh, meraih tangannya, dan kucium. Kuletakkan kepalaku di pangkuannya.
“Ridhoi aku Mi, sesungguhnya ridho Allah ada pada ridho Ummi”. Biarkan aku berlama-lama di pangkuan ini, Mi. Biarkan aku menjadi penadah airmatamu.
Kukuatkan untuk membaca lembar kedua ini. Lembaran yang ditulis dengan sepenuh hatinya.
04 Juni 2005
Hari ini hati ummi kembali tidak enak, Qi. Entahlah rasanya badan ummi lelah sekali. Mungkin karena pengaruh adekmu, ya Qi.
Haqi sayang, lagi-lagi ummi diliputi rasa bersalah saat mengingat kejadian tadi pagi, saat ummi mau berangkat ke kantor. Maafkan ummi ya Qi, yang sering menghadapi ulahmu dengan kesabaran yang terbatas.
Entah kenapa tiba-tiba kamu menjadi anak yang susah di atur di mata ummi. Padahal jika mengingat usiamu yang baru menapak dua tahun, bukanlah kamu yang susah di atur, melainkan ummi saja yang kurang bekal kesabaran sebagai seorang ibu menghadapimu.
Iya Qi, Anak seusiamu memang sedang giat-giatnya bereksplorasi dengan lingkunganmu. Dan seharusnya ummi menyadari itu, sehingga ummi tidak perlu marah menghadapi ulahmu. Sekali lagi maafkan ummi, Nak. Janji, ummi akan berusaha memperbaiki semuanya. Walau dengan kelelahan, ummi akan menghadapimu dengan senyum kesabaran, Karena itu memang hakmu. Insya Allah.
(Air mata menjadi saksi ummi).
Sedanku masih lirih terdengar.
Kalau saja ekspedisi itu bisa tepat waktu, aku mungkin dapat pulang cepat. Ekspedisi ini terlalu lama berkutat di daerah sekitar Turku, Finlandia, yang seharusnya kalau menurut jadwal kami sudah berada di Malmo. Apalagi kami kehilangan sampel berharga berupa fosil purba plankton itu. Terpaksa kami kembali ke pos di Vyborg, untuk memulai penyelaman lagi.
Baru sehari di sana, aku mendapat email dari Bulik Endah, mengabarkan ummi kembali masuk rumah sakit karena kanker itu. Katanya, ummi selalu memanggil-manggil namaku ketika mengigau.
Kondisi penyelaman akan mengalami masa kritis tanpa aku supervisi kegiatan itu. Sebagai bentuk tanggung jawabku, aku percepat pekerjaan yang menjadi bagianku. Tapi dengan kecemasan yang luar biasa, dan kadang air mata ini turun begitu saja.
“It’s done,” hari ini aku selesaikan semuanya dengan sempurna untuk mendapatkan sampel itu.
Aku pamit barang satu dua minggu pada timku. Malam ini perjalanan darat menuju St. Petersburg terasa lama. Paginya perjalanan udara dimulai menuju Moskow, ganti pesawat di Abu Dhabi. Esok sorenya aku tiba di Cengkareng.
Saat di dalam taksi, hpku tiada henti-hentinya menerima sms dari Bulik. Memang selama di dalam pesawat kumatikan hpnya. Menanyakan keberadaanku, sampai dimana, dan memberitahukan perkembangan ummi setiap setengah jamnya.
Ringtone Brother kembali menyalak mengusik kesibukanku membaca sms.
“Assalaamu’alaikum, Bulik, gimana kabar ummi sekarang” tanyaku cepat.
“Nggak usah ke rumah sakit, langsung aja pulang ke Cibinong,” jawabnya dibalik sedu sedannya itu.
Lemas sudah badan ini. Lemas sudah batin ini. Angin yang menerobos kencang dari jendela taksi menusuk-nusuk wajahku tak peduli dengan lipatan kesedihanku. Bahkan mentari senja yang sinarannya jatuh di pelipisku lewat sela gedung-gedung pencakar langit, tak mampu mengetuk-ngetuk nurani buat menikmati keindahannya.
Dering ringtone kuabaikan untuk kembali memeras kantong air mata ini dengan segunduk penyesalan yang mulai menggunung. Hingga kutinggalkan maghrib dibelakangku.
Sepucuk kamboja jatuh di pundakku, dan langsung turun di atas kertas yang masih kupegang. Harum mewangi saat kucium ia. Kulipat lembaran itu dan kumasukkan kembali ke tempatnya. Kamboja putih kutaruh pada papan nisan yang hanya dapat diam membisu.
“Pff..sudah saatnya aku kembali,” pikirku. Sudah cukup aku berada di sini, melantunkan doa-doa pembuka pintu langit, melantunkan sejuta harap pada-Nya agar Munkar dan Nakiir yang wajahnya sejuk membawa suluh penerang. Penerang tempat abadinya.
“Assalaamu’alaikum,” hanya itu yang kuucapkan sambil bergegas menjauh pada sosok tua yang masih duduk bersimpuh.
“Mau meninggalkan kami lagi ,Qi ….” suara itu menghentikan langkahku yang sudah ke tujuh. Aku terdiam tanpa membalikkan badan.
“Percayalah…, abi mencintai ummimu,” tambah suara itu. Aku masih diam saja. Sesaat tanpa suara, kuputuskan untuk beranjak lagi.
“Satu lagi Qi, Ummu Qinan nanti adalah bulikmu,” sesaat pula langkah ini terhenti. Tapi hanya sesaat. Cuma sesaat. Seperti bunga kamboja yang cuma sesaat menemani papan nisan, terbang ditiup angin siang yang tiba-tiba bertiup kencang.
Pintu gerbang telah kutinggalkan untuk mencari taksi yang membawaku ke bandara.
“Ang Haqi….,” suara lembut yang menyebut panggilan masa kecil memaksaku untuk menoleh.
“Qinan…!” Jilbabnya masih seperti dulu, lebar dan rapih.
“Aang mau pergi lagi Kapan kembali…” berondongnya.
“Entahlah, biarkan Aang pergi dulu, untuk melupakan kesedihan ini.” Jawabku lirih.
“Aang belum mau memaafkan Abi”
Aku terdiam. Kurengkuh ia dalam pelukanku.
“Bilang padanya, Aang mencintai Abi, seperti Aang mencintaimu,” bisikku ditelinganya.
“Qinan mau melihat Aang menjadi orang yang dimurkai Allah Sudah cukup ego ini menguasai Aang. Aang tak mau lagi kehilangan kalian. Tapi beri kesempatan pada Aang untuk bisa menghilangkan sakit hati ini,” ujarku lancar.
Isak tangisnya menyadarkanku untuk melepas peluk erat ini.
“Jangan lupakan ini, Ang…” katanya sambil menyodorkan mushaf kecil.
Aku meninggalkan siang yang semakin kuning.
Sebulan kemudian.
Bandara Kopenhagen masih sepi pagi ini. Mushaf ini masih menjadi teman setia. Satu juz terlampaui. Kini aku sedang menunggu penerbangan ke New York. Dari sana aku menuju Providence, Rhode Island.
Tim kami sukses dengan ekspedisi yang memuaskan dan menggegerkan dunia. Fosil spora Azola berusia 40 juta tahun yang lampau ditemukan. Aku berhak mendapatkan beasiswa itu.
Namun seminggu setelah pengumuman itu, Mr. Henk Ovelgonne ahli paleontologi Universitas Utrecht, mengajakku melakukan ekspedisi dengan timnya mencari bukti fosil ganggang yang lebih tua lagi di samudra purba Kutub Utara. Tawaran yang menantang . Tapi ajakan itu aku tolak. Aku ingin istirahat.
Apalagi dengan adanya sesuatu dalam kotak kecil disampingku. Bunga kamboja putih. Masih mewangi. Kotak itu bertulis nama pengirimnya: Abiku.
Bandara mulai menggeliat, diramaikan langkah-langkah sibuk. Sedangkan pagi sudah beranjak ke kuning yang semakin kuning.
dedaunan & rda, 03 Juli 2005, di antara tebaran buku.