RIHLAH RIZA #19: JAUH KE MANA-MANA


RIHLAH RIZA #19: JAUH KE MANA-MANA

 

 

Bandara Kualanamu sudah menjadi titik-titik cahaya di bawah sana. Tiga orang dalam satu baris kursi pesawat Airbus A320 itu asyik membincangkan penempatan mereka. Terutama tentang sistem terbaru mutasi dan promosi di DJP. “Kita beruntung ditempatin di Medan. Deket ke mana-mana. Lebih enakan di sini daripada Aceh,” kata salah satu dari tiga orang itu. Mereka tak tahu satu orang yang duduk di belakang kursi mereka, ditempatkan di provinsi yang tak diinginkan mereka.              

**

Panglima Polim, tepatnya di bulan Desember 1903, datang ke Lhokseumawe untuk menyerah kepada Belanda.  Itu pun karena Belanda secara licik menangkap dan menyandera saudara-saudara terdekatnya. Ancamannya adalah membuang mereka dari Tanah Aceh. Ancaman sama yang pernah sukses dilakukan sebelumnya kepada Sang Sultan Muhammad Daud Syah. Cara ini efektif juga melemahkan perlawanan Panglima Polim. Cara keji Belanda:  menjauhkan pejuang dari homeland dan memisahkannya dari orang-orang yang dicintainya.

Lalu 110 tahun kemudian, giliran saya tiba di kota yang sama. Saya tidak pernah menyangka bisa berkunjung ke kota terbesar kedua di Aceh, Lhokseumawe ini. Saya seperti terpana pada ramai dan besarnya kota ini dibandingkan Tapaktuan.  Jalanan Banda Aceh menuju kota penghasil gas itu juga lebih lebar daripada jalanan Banda Aceh menuju Tapaktuan. Plus lebih hidup. Serupa Pantura Jawa minus tarlingnya.

Setelah mengikuti Forum Penagihan Kantor Wilayah (Kanwil) DJP yang berakhir sore itu di suatu hotel di sudut Banda Aceh, saya langsung dijemput oleh Mas Andy Purnomo untuk bareng menuju Lhokseumawe. Butuh waktu enam jam perjalanan darat menuju salah satu kota di pantai timur Aceh ini. Belum termasuk istirahat dua kali. Salah satunya makan malam di rumah makan terkenal di Sigli yang menyediakan ayam penyetnya.

Perjalanan berjalan lancar walaupun hujan mengiringi kami. Mobil yang dikemudikan teman kami, Rudy Zasmana, sampai di Lhokseumawe hampir jam satu malam.  Saya bersama Mas Andy menginap di hotel bintang tiga bernama Hotel Lido Graha. Namanya sama dengan suatu daerah wisata di Jawa Barat, di perbatasan antara Bogor dan Sukabumi.

Hotelnya setengah tua. Seperti hotel di tahun 80-an. Memasuki kamarnya pun tercium aroma lama. Hotel ini dimiliki oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Utara. Kabupaten ini dulu ibu kotanya Lhokseumawe, namun setelah Lhokseumawe dijadikan kota otonom maka ibu kotanya dipindahkan ke Lhoksukon.

Kalau di Aceh seringkali kita dengar nama daerah yang diawali atau diakhiri dengan kata Lhok. Seperti dua daerah yang disebut barusan. Ada juga Lhok Seumira, sebuah gampong yang ada di Bireuen atau  Meusale Lhok, salah satu gampong  di Kabupaten Aceh Besar. Di Tapaktuan ada gampong yang namanya Lhok Bengkuang dan Lhok Rukam. Kata lhok ini berasal dari bahasa Aceh yang artinya teluk, dalam, atau palung laut. Memang betul, dua daerah yang saya sebutkan terakhir itu lokasinya berada di teluk.

Saya harus segera beristirahat. Pagi-pagi saya kudu berangkat ke Kantor Pelayanan Pajak Pratama Lhokseumawe karena acaranya akan diselenggarakan di sana. Setelah bersih-bersih, minum vitamin, menarik selimut,  mematikan lampu, baca doa, mata saya pun langsung terpejam.  Terjerembab dalam mimpi. Mimpi yang rumit. Tak jelas.

Kali ini saya diminta bantuannya oleh Mas Andy Purnomo untuk berbagi ilmu kepenulisan kepada peserta Forum Pelayanan dan Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) se-Kanwil DJP Aceh. Mereka adalah para eselon empat yang terdiri dari tujuh Kepala Seksi Pelayanan dan empat belas Kepala KP2KP.

Forum ini diselenggarakan selama dua hari. Kepala Kanwil DJP Aceh, Bapak Mukhtar, memberikan sambutan dan sekaligus membuka acara itu. Setengah acara di hari pertama dijadwalkan untuk pemaparan permasalahan pelayanan kantor masing-masing, setengah acara berikutnya pelatihan menulis artikel. Di hari kedua, para peserta diajak untuk menyaksikan penandatanganan memorandum of understanding antara Kanwil DJP Aceh dengan Universitas Malikussaleh.

 ???????????????????????????????

Salah satu sesi di acara Forum Pelayanan (Foto Koleksi Pribadi)

Yang saya lakukan dalam pelatihan itu sebagian besarnya hanyalah menumbuhkan motivasi. Selebihnya terkait teknis penulisan artikel. Dengan kata lain softskill lebih saya utamakan daripada hardskill di sesi pelatihan itu. Salah satu softskill itu adalah motivasi.  Motivasi penting buat menulis. Kalau tak ada motivasi jelas tak akan bisa. Bagi saya menulis itu gampang dan bisa dilakukan oleh siapa saja asal punya dua syarat ini: tekad dan selalu menulis. Saya saja bisa mengapa Anda tidak bisa? Itu yang selalu saya katakan kepada para peserta pelatihan.

Tekad dan latihan terus menerus itu perlu, penting, dan wajib. Teknisnya senantiasa berkembang mengikuti kuantitas karya yang dihasilkan. Bagi seorang penulis, bahkan saya yang pemula ini, setiap hari adalah momentum belajar untuk menghasilkan karya yang berkualitas. Setiap proses ‘penciptaan’ tulisan adalah momentum terbaik untuk memperbaiki karya. Bahkan satu ilmu paling dasar dalam menulis pun baru saya ketahui pekan-pekan ini saja. Artinya? Belajar tak akan pernah berhenti walaupun sudah banyak tulisan yang dibuat.

Tips-tips menulis artikel sudah saya berikan dalam pelatihan itu. Selesainya, tinggal kemauan besar dari para peserta untuk mempraktikkan semua yang didapat. Jikalau masih ada hambatan seperti mental block—contohnya menulis itu butuh mood, menulis itu hanya buat orang yang punya bakat, tulisannya jelek—yang menghalangi untuk menulis, yakinlah bahwa semua mental block hasil dari otak kiri itu akan hilang hanya dengan cara menulis menggunakan otak kanan. Abaikan, jangan pedulikan apa pun ketika memulai menulis.  Tulis saja semua yang dirasa, dilihat, didengar, dan diraba. Tetaplah semangat. Yakinlah Anda bisa.

Dari Lhokseumawe saya kembali ke Banda Aceh dengan menggunakan travel L300 sore itu. Dengan menempuh rute yang sama saat berangkat. Sebagiannya akan menyusuri pegunungan Seulawah Agam. Ingat Seulawah tentunya ingat kepada sebuah pesawat angkut pertama yang dibeli dengan menggunakan uang sumbangan rakyat Aceh saat awal-awal berdirinya Republik Indonesia ini: Dakota RI-001 Seulawah. Kalau mau melihat asli dari pesawat ini datang saja ke Taman Mini Indonesia Indah, sedangkan untuk melihat replikanya bisa dilihat di Blang Padang, Banda Aceh.

Pada akhirnya, di tepian kaca jendela L300, sambil memandang keluar menembus kepekatan malam saya merenung. Semuanya selesai dikerjakan dan saya bahagia meninggalkan Lhokseumawe di belakang. Bahagia karena sudah berbagi sedikit pengetahuan yang dipunya kepada orang-orang hebat di garis depan pelayanan DJP di provinsi yang “jauh ke mana-mana” ini: Kepala Seksi Pelayanan dan Kepala KP2KP se-Kanwil DJP Aceh. Juga bisa bertemu dengan anggota Forum Shalahuddin yang sebelumnya saya mengira ia tidak berkantor di KPP Pratama Lhokseumawe. Semoga semua itu bermanfaat.

Kalau saja saya tidak ditempatkan di Tapaktuan atau provinsi yang jauh ke mana-mana ini sepertinya saya tidak akan pernah bisa berkunjung ke Lhokseumawe. Sepertinya pula saya tidak akan pernah singgah di suatu daerah, tempat saya membuat, menyunting, dan menyelesaikan akhir dari tulisan ini: Pekanbaru. Di sebuah bandara. Bandara Sultan Syarif Kasim II.

Plang Bandar Udara Internasional Sultan Syarif Kasim II (Foto Koleksi Pribadi)

 

***

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

Pekanbaru, Riau

08:29 29 Desember 2012

 

 

Advertisement

RIHLAH RIZA #15: BERAPA JUGUN IANFU?


RIHLAH RIZA #15: BERAPA JUGUN IANFU?

Selain sebagai pegiat LSM lingkungan di Conservation International, bintang Hollywood pendukung zionis ini ternyata juga pengoleksi pesawat terbang pribadi untuk pergi ke ranch, mansion atau ke mana saja ia suka. Salah satu yang ia punya adalah jenis pesawat yang saya naiki pertama kali ini dan itu pun dibiayai negara.

*

    Di atas pesawat berbaling-baling satu milik maskapai penerbangan perintis Susi Air yang sedang menaik saya lamat-lamat menatap dari kejauhan Bandar udara Teuku Cut Ali, Pasie Raja, Aceh Selatan. Semakin kecil, kecil, dan kecil saja bangunan yang ada di sana. Dari atas ketinggian itulah saya baru tahu kalau bandara itu dekat dengan pantai indah berpasir putih yang menyambung dengan Pantai Cemara di kejauhan sana. Selanjutnya akan banyak pemandangan memukau yang menemani saya sepanjang perjalanan.

    Pesawat Cessna Grand Caravan C208B ini akan membawa saya menuju Banda Aceh untuk melaksanakan tugas yang diberikan Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama Tapaktuan yakni menghadiri acara Forum Penagihan se-Kantor Wilayah (Kanwil) Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Aceh selama tiga hari. Kemudian lanjut dengan penugasan lainnya yaitu memberikan pelatihan menulis buat teman-teman di Forum Pelayanan dan KP2KP se-Kanwil DJP Aceh di Lhokseumawe. KP2KP merupakan singkatan dari Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan Konsultasi Perpajakan. Kantor instansi vertikal DJP setingkat eselon empat.

    Saya cuma sendirian di atas pesawat itu. Sebelas kursi lainnya kosong. Saya duduk di bagian belakang. Ini bukan kemauan saya. Tapi sudah diarahkan oleh petugas Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, Kementerian Perhubungan untuk duduk di belakang. Kalau yang naik dua atau tiga orang atau lebih pengaturan tempat duduknya pun akan berbeda. Mungkin maksudnya untuk menyeimbangkan beban yang ada.

Di bagian depan ada dua orang yang mengemudikan pesawat ini. Ruangan mereka tanpa sekat dengan ruangan penumpang. Saya tak tahu yang mana dari mereka berdua itu yang menjadi supir benerannya (pilot utama) dan mana yang jadi supir tembak atau keneknya (ko-pilotnya). Kalau lihat film-film Hollywood biasanya yang sebelah kiri yang jadi pilot utama.

Satu orang pilot berkebangsaan Jepang dengan wajah khasnya yang rada-rada bagero itu. Dialah yang duduk di sebelah kiri. Satu lagi orang bule gundul yang saya tak tahu berkebangsaan apa. Dari supir Susi Air yang menjemput saya di mess saya dapat informasi kalau para pilot itu selain dari Jepang juga berasal dari Jerman, Belanda, dan Spanyol.

Sebagai salah satu bentuk pelayanan prima mereka, cabang Susi Air yang ada di Tapaktuan memberikan fasilitas layanan antar jemput dari dan atau menuju bandara. Tentunya dengan tambahan ongkos sebesar dua puluh ribu rupiah. Ini sepadan dengan 45 menit yang dibutuhkan mobil itu melaju dari Tapaktuan menuju bandara atau sebaliknya.

Tidak setiap hari pesawat ini ada di Tapaktuan. Hanya ada pada Hari Senin, Selasa, Jumat, dan Sabtu. Rutenya pun bermula dari Bandara Internasional Kualanamu, Medan yang berangkat jam tujuh pagi. Satu jam kemudian tiba di Bandara Teuku Cut Ali. Lalu berangkat lagi menuju Bandara Internasional Iskandar Muda, Banda Aceh. Dari sana pesawat itu kembali lagi ke Tapaktuan dan Medan.

Susi Air memang melayani semua daerah di Provinsi Aceh yang ada bandaranya. Ongkosnya masih terjangkau karena setengahnya disubsidi oleh pemerintah pusat. Oleh karenanya mereka harus tetap berangkat mengudara walau tidak ada penumpang sama sekali. Sayangnya informasi tentang jadwal penerbangannya sampai dengan saat ini tidak bisa diakses melalui situs internetnya. Para penumpang harus menelepon ke nomor telepon masing-masing cabang yang telah disediakan di situs itu jika ingin memesan tiket. Tiketnya pun masih ditulis dengan tangan seperti tiket travel Tapaktuan-Medan.

Faktor cuaca sangat menentukan apakah pesawat jadi berangkat atau tidak. Walaupun dalam brosur promosinya mesinnya tahan untuk segala jenis cuaca. Jadi bisa saja jadwal terbang kita pada hari itu batal karena pesawat tidak jadi berangkat. Tapi tentunya tiket tidak hangus. Penerbangan akan dijadwalkan keesokan harinya.

Alhamdulillah Senin itu cuaca sangatlah cerah. Saya masih dapat menikmati pemandangan pantai dan kota Tapaktuan saat pesawat ini melintas di atasnya. Pesawat ini sebagian perjalanannya menyusuri pinggiran pantai barat Aceh. Sebagian lainnya di atas pegunungan yang syukurnya masih lebat dengan hutan.

Ini berbeda dengan apa yang saya lihat di tahun 2005 saat saya menaiki sebuah pesawat kecil dari pedalaman Kalimantan Tengah menuju Kota Balikpapan. Yang tampak hanyalah dataran gundul dan bopeng-bopeng sebagai akibat penambangan dan penebangan liar. Paru-paru dunia itu telah mengalami luka dahsyat yang entah bagaimana lagi kondisinya pada saat ini. Itulah yang menyebabkan Harrison Ford dengan kurang ajarnya menyemprot Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan menuntut agar para pelaku deforestasi itu dipenjara.

Bandar Udara Teuku Cut Ali (Foto koleksi pribadi).

Kabin pesawat Cessna Grand Caravan C208B (Foto koleksi pribadi).

Air minum dalam kemasan,kue semacam dorayaki, dan kue yang didalamnya ada kacang ijo. (Foto koleksi pribadi)

Pemandangan pantai di daerah dekat Tapaktuan Aceh Selatan dari atas ketinggian. (Foto koleksi pribadi).

Pemandangan pegunungan dari atas ketinggian (Foto koleksi pribadi).

Persawahan di dekat Kota Banda Aceh (Foto koleksi pribadi).

 

 

Pesawat yang saya naiki saat mendarat di Bandara Internasional Iskandar Muda (Foto koleksi pribadi).

 

Di dalam pesawat, selagi pilot asyik makan wafer, saya pun menyantap snack dalam kotak yang telah diberikan petugas Susi Air sebelum pesawat mengudara. Pilot dari Jepang itu juga menyalakan
hp. Makanya saya pun tak canggung-canggung lagi whatsapp-an, gtalk-an, sms-an dengan teman-teman di hp. Tak ada awak kabin pesawat yang mendemonstrasikan prosedur keselamatan penerbangan seperti di pesawat berpenumpang banyak.

Walau sudah tak terhitung berapa kali mereka melintasi daerah yang sama, entah kenapa pilot asing dari Jepang itu juga masih suka mengambil gambar dengan kamera hpnya. Satu hal yang pasti dan tidak bisa dipungkiri adalah Indonesia itu indah, subur, dan kaya. Ini masih mending pilot Jepang itu cuma mengambil gambar, nenek moyangnya dengan semangat imperialis dan fasisnya mengambil habis raga dan jiwa anak bangsa serta kekayaan negeri ini.

Berapa ribu ton bijih besi yang dikirim ke negeri matahari terbit untuk dibuat senjata-senjata berat mereka? Berapa ratus ribu ton beras yang dikirim buat bekal pasukan mereka bertempur di seluruh asia pasifik? Berapa banyak leher nenek moyang kita terpenggal samurai-samurai mereka? Berapa nyawa hilang untuk romusha mereka? Berapa perempuan-perempuan terhormat kita, ibu-ibu kita yang menjadi Jugun Ianfu mereka? Kalau saja Nagasaki dan Hiroshima tidak dibom angka-angka yang akan menjawab banyak pertanyaan itu menjadi semakin tinggi.

Sekarang penjajahan fisik seperti itu sudah tidak ada lagi. Yang ada adalah penjajahan dalam bentuk ekonomi dan budaya. Itu pun tanpa sadar dirasakan. Atau memang dirasakan bahkan dinikmati dengan sepenuh hati? Mereka mendapatkan harga yang murah dari gas yang dibeli dari kita sedangkan di saat yang sama industri kita masih kekurangan suplai gas dan harganya jauh lebih mahal. Masih bisa menghitung berapa potensi kerugian Pajak Penghasilan yang hilang dari setiap transaksi dividen terselubung yang dibalut dengan istilah royalti dan imbalan atas jasa yang dibayarkan oleh perusahaan Jepang di Indonesia kepada perusahaan induknya?

Aih, mengapa di atas ketinggian ratusan kaki di atas permukaan laut ini saya masih bisa berpikir tentang penjajahan masa lalu dan pertempuran argumentasi di ruang sidang Pengadilan Pajak sewaktu saya masih menjadi anggota Tim Banding Direktorat Keberatan dan Banding, DJP sedangkan di bawah sana masih banyak pemandangan indah yang bisa dinikmati?

Saya tatap kembali alam yang membentang. Pesawat itu bergoncang saat menabrak awan dan mengalami sedikit turbulensi. Saya memperbanyak shalawat seperti saat saya dulu pernah ketakutan menaiki mobil turbo kuning yang dipacu kencang teman saya di jalanan Sudirman menuju Thamrin.

Sudah 60 menit pesawat ini melayang di udara dan sebentar lagi akan mendarat di Bandara Internasional Iskandar Muda. Dari sana saya akan langsung ke hotel saja. Tapi ternyata tidak. Takdir nantinya membelokkan saya ke suatu tempat. Ini mengejutkan saya. Kalau saja saya tahu beberapa jam sebelumnya saya akan tiba di suatu tempat yang tidak pernah terlintas dalam pikiran untuk dikunjungi, saya mungkin tidak akan pernah seterkejut ini. Ya, karena saya tiba di suatu lokasi tempat dikuburkannya manusia setipe Harrison Ford di Banda Aceh.

***

Catatan: Jugun Ianfu adalah wanita yang menjadi budak seks di rumah bordil militer pendudukan Jepang.

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

Banda Aceh, 2 Desember 2013