Cerita Lari Mandiri Jogja Maraton 2018 (Terakhir): Inong, Apakah Aku Anak Ikan?


Di suatu pagi.

“Inong, apakah aku memang anak ikan?” tanya anak lelakiku itu. Air mata membiak di pipinya.

“Kata siapa?”

“Kata Among.”

“Kenapa Among berkata seperti itu? Ada apa?” tanyaku mendesak. Aku cemas. Ada yang tak beres hari ini dan untuk hari-hari berikutnya.

“Aku bawa nasi dan lauk yang Inong suruh tadi ke ladang. Tapi aku lapar. Aku makan sebagiannya di tengah jalan.” Tubuhnya gempa. Ia masih menahan isak yang semakin menariknya ke bumi. “Lalu setelah makan aku ke ladang. Di sana, Among murka melihat makanannya sudah tinggal sedikit. Lalu bilang kalau aku anak yang kurang ajar, karena aku keturunan ikan.”

Baca Lebih Lanjut.

Advertisement

RIHLAH RIZA #8: MEULABOH DAN 105 TAHUN YANG LALU


RIHLAH RIZA #8: MEULABOH DAN 105 TAHUN YANG LALU

Meulaboh. Di waktu sahur. Akhir Ramadhan 1316 H (11 Februari 1899 M). Suaminya tertembak di dada dan di perutnya. Tembakan prajurit Van Heutsz merobohkan dan menyebabkan suaminya meninggal dunia. Jenazah suami keduanya ini dibawa para pengikutnya untuk dikuburkan di sebuah tempat yang dirahasiakan agar tidak diketahui Penjajah Belanda yang ingin memastikan kalau “pengkhianat” yang bernama Teuku Umar ini benar-benar tewas.

    **

Kami bertiga tiba di Bandara Kualanamu jam 8.15 pagi (27/10) dan harus menunggu tiga jam lebih agar bisa naik pesawat ke Meulaboh. Untuk ke sana kami harus ganti pesawat yang lebih kecil lagi. Dari Jakarta menuju Kualanamu kami memakai pesawat Boeing yang dioperasikan Lion Air, sedangkan ke Meulaboh kami menggunakan maskapai Wings Air dengan pesawat ATR72-500 berbaling-baling dua buatan perusahaan Perancis-Italia. Tentu dengan kapasitas penumpang yang lebih sedikit daripada Boeing. Berkisar 70-an penumpang.

    Penerbangan kami ini merupakan penerbangan connecting. Kami cukup membeli tiket sekali saja. Ada beberapa jadwal penerbangan dari Jakarta mulai dari jam lima sampai jam delapan pagi. Semua penerbangan di jam tersebut transit di Kualanamu menunggu pesawat ATR72-500 yang dijadwalkan berangkat jam 10.45 siang. Saya sarankan jangan terbang dengan pesawat yang berangkat dari Jakarta jam delapan pagi karena dikhawatirkan ditinggal oleh pesawat ke Meulaboh itu jika ada keterlambatan atau delay di Bandara Soekarno Hatta.

(Koleksi Foto Pribadi)

    Ada keterlambatan. Oleh karenanya jam 11 lebih kami baru diminta untuk segera naik pesawat. Kami naik bus yang telah disediakan menuju pesawat yang diparkir jauh dari tempat tunggu kami. Karena pesawat ATR72-500 ini masuknya melalui pintu belakang maka tak perlu ada garbarata. Perlu waktu lima puluh menit penerbangan untuk sampai ke Bandara Cut Nyak Din, Meulaboh. Kalau ditarik garis lurus kami harus menempuh perjalanan sepanjang 295 km.

    Dua teman saya bertujuan akhir Meulaboh. Tetapi Meulaboh bukan tujuan saya. Tapaktuanlah yang menjadi tujuan. Tentu banyak jalan menuju Tapaktuan. Banyak pertimbangan yang perlu dipikirkan untuk memilih jalan itu.

    Pertama, Jakarta-Banda Aceh melalui udara dilanjut dengan menempuh 439 km perjalanan darat menggunakan travel menuju Tapaktuan selama kurang lebih delapan jam. Jalanan mulus. Harga tiket pesawat dan lamanya perjalanan Jakarta-Banda Aceh tentunya lebih mahal dan lebih lama daripada Jakarta-Kualanamu apalagi kalau transit dulu.

    Kedua, Jakarta-Kualanamu melalui udara dilanjut menuju Meulaboh dengan pesawat dan masih ada 200-an km menuju Tapaktuan dengan perjalanan darat atau sekitar tiga sampai empat jam lebih. Harus ada yang menjemput di Bandara Cut Nyak Din. Jalanan mulus.

    Ketiga, Jakarta-Kualanamu melalui udara dilanjut menuju Tapaktuan dengan pesawat Susi Air berjenis Cessna Grand Caravan C 208 B berpilot dua orang dan berpenumpang dua belas orang. Tarifnya murah karena telah disubsidi pemerintah. Jadwalnya tidak setiap hari dan hanya di jam-jam tertentu. Untuk menyiasati waktu dan daripada menempuh perjalanan darat yang lama maka banyak teman di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Tapaktuan bila berangkat dari Jakarta ia mengambil perjalanan paling malam lalu menginap—tidur di mana saja—di Bandara Kualanamu kemudian lanjut dengan pesawat kecil menuju Bandara Kelas IV Teuku Cut Ali, Pasie Raja, Tapaktuan. Jadwalnya itu yang sering tidak bersahabat. Dari Tapaktuan sekitar jam empat sore sedangkan dari Kualanamu jam tujuh pagi. Tentu ini bikin terlambat (TLB) atau pulang cepat (PC) dalam catatan kehadiran kita.

    Keempat, Jakarta-Kualanamu melalui udara. Kemudian naik bus, kereta api, atau taksi menuju Medan. Lalu dari Medan naik travel atau bis menuju Tapaktuan. Menempuh tujuh hingga delapan jam perjalanan dengan jarak 390-an km. Jarak tempuhnya lebih pendek daripada rute dari Banda Aceh namun jalanan tidak mulus. Dengan perpindahan bandara dari Polonia, Medan ke Kualanamu, Deli Serdang menambah waktu tempuh untuk bisa sampai di Tapaktuan.

    Saran penting dari saya berdasarkan informasi dari teman-teman adalah lebih baik naik travel dari Medan ke Tapaktuan daripada naik bis jika ingin memburu waktu sampai di Tapaktuan pagi-pagi. Travel hanya ada di Medan. Belum ada di Kualanamu. Jam terakhir travel adalah jam 9 malam. Setelah itu tak ada lagi.

    Itulah empat rute menuju Tapaktuan. Sedangkan perjalanan dengan rute Jakarta Meulaboh ini saya tempuh karena ini merupakan perjalanan pertama, bersama teman, bawa banyak barang, dijemput juga oleh teman-teman, dan tidak mengetahui jalur langsung dari Kualanamu ke Tapaktuan. Rute ini tidak akan saya tempuh lagi Insya Allah. Yang masih masuk akal bagi saya adalah rute ketiga dan keempat.

    Ohya, penting juga diketahui, bahwa  ketika pesawat ini bertujuan Meulaboh, maka sesungguhnya pesawat ini mendaratnya di Bandara Cut Nyak Din yang berada di Kabupaten Nagan Raya. Kabupaten ini merupakan pecahan dan bersebelahan dengan Kabupaten Aceh Barat yang beribu kota Meulaboh. Masih 45 km dari Bandara Cut Nyak Din menuju kota Meulaboh.

Pesawat ATR72-500 saat tiba di Bandar Udara Cut Nyak Din, Kabupaten Nagan Raya. (Foto Pribadi)

    Saya tiba di Bandara Cut Nyak Din jam 12.15. Saya berpisah dengan dua orang teman saya yang ditempatkan di KPP Pratama Meulaboh. Lalu saya melanjutkan perjalanan dengan teman-teman dari KPP Pratama Tapaktuan yang menjemput saya satu jam kemudian. Mereka adalah Mas Yan Permana, Mas Hasbul—teman lama saya di KPP Penanaman Modal Asing Empat dulu, Mas Suardjono dan Mas Oji Saeroji.

    Mulailah perjalanan panjang kami menuju Tapaktuan. Melewati perkebunan kelapa sawit, jalanan mulus yang sepi, tak bertemu dengan bis gede-gede seperti di Pantura Jawa, jarang ketemu truk, tak ada angkot, yang ada pesaing kami: motor. Perjalanan kami diselingi dengan berhenti dua kali di masjid yang berbeda, lalu makan di rumah makan Jokja (Pakai k bukan g), dan berhenti sebentar di SPBU. Saya mengira perjalanan darat ini berlangsung singkat tapi ternyata lama. Saya sampai terkantuk-kantuk karena tempat tujuan tak kunjung tiba.

    Kami banyak disuguhi pemandangan elok. Bukit-bukit lebat seperti di jalanan Garut-Tasikmalaya. Bahkan suatu saat kami melewati barisan bukit yang diatasnya ditutupi kabut dan dari kumpulan kabut itu muncul lengkung pelangi yang luar biasa indahnya. Kebetulan habis hujan saat itu. Subhanallah. Indah banget. Apalagi kalau sudah sampai di Kecamatan Sawang, Tapaktuan kita akan melihat pemandangan pantai yang eksotis. Bagian tentang keeksotisan inilah yang saya tidak sabar untuk menuliskannya segera. Tapi nanti satu per satu saya akan menyuguhkannya di bagian lain.

Plang KPP Pratama Tapaktuan (Koleksi Pribadi)

Akhirnya pada pukul 18.15 saya tiba di Tapaktuan. Mobil yang kami kendarai mampir sebentar melihat kantor kami. Kata teman agar saya tidak shock dulu sebelum benar-benar bekerja esok harinya. Mess tempat saya akan tinggal berjarak tidak jauh dari kantor ini. Kurang lebih 75 meter.

So, total jenderal 14,5 jam perjalanan Citayam menuju Tapaktuan. Dengan kecanggihan teknologi perjalanan 2400-an km itu hanya ditempuh beberapa jam saja. Saya tak bisa membayangkan berapa hari perjalanan dengan menaiki kuda. Ngapain lagi bayangin naik kuda. Dengan kecanggihan teknologi itulah setidaknya mengurangi lelah yang diderita jika perjalanan itu harus kudu naik kuda atau perjalanan darat berhari-hari.

Tinggal ke depannya perlu dipikirkan lagi moda transportasi yang mengubah benda padat menjadi partikel tak terlihat dan memindahkannya dalam sekejap ke tempat yang dituju lalu menjadikan partikel itu seperti semula. Fiksi dan Hollywood banget. Tapi semua bermula dari mimpi seperti mimpi Leonardo Da Vinci yang merancang bangun alat yang bisa menerbangkan manusia. Atau seperti pintu doraemonkah?

Alat yang mampu menuntaskan rindu kepada orang dan kampung halaman, tanpa lelah, dan bisa setiap saat. Yang akan menuntaskan rindu seperti  rindu Cut Nyak Din akan negeri tempat ia dilahirkan. Ia terbuang di masa tuanya. Ke sebuah tempat yang jaraknya ribuan kilometer dari makam suaminya. Sebab suatu alasan: keberadaannya di Aceh membuat semangat perlawanan rakyat Aceh tetap berkobar. Tentu jangankan pesawat, bus pun tak ada pada masa itu.

Gunung Puyuh, Sumedang. Di 105 tahun yang lalu dari tanggal ini, tepatnya 6 November 1908 ia menghembuskan nafasnya yang terakhir. Keterasingan yang dibawa sampai mati. Tapi jasanya tak pernah terasing di jiwa anak bangsa atas semangat dan perlawanannya yang tak mengenal lelah dan sakit. Dan saya hampir dekat dengan Meulaboh. Suatu saat, jika ada waktu dan kesempatan saya akan mengunjungi makam suaminya dan berdoa di sana: agar Allah menggabungkannya ke dalam golongan orang-orang yang syahid.

***

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

Tapaktuan, 5:51 6 November 2013

Tags: Jakarta-Meulaboh, Pesawat dari Jakarta ke meulaboh, Jakarta-tapaktuan, pesawat dari Jakarta ke tapaktuan, citayam, tapaktuan, kpp pratama tapaktuan, nagan raya, aceh selatan, aceh barat, bandara teuku cut ali, bandara cut nyak din, garut-tasikmalaya, garut, tasikmalaya, pesawat ke tapaktuan, pesawat ke meulaboh, jadwal ke meulaboh, jadwal ke tapaktuan, kpp pma empat, kpp penanaman modal asing empat, rumah makan jokja, pesawat atr72-500, kualanamu, banda aceh, medan, yan permana, oji saeroji, hasbul, suardjono, polonia, deli serdang, pasie raja, kpp pratama meulaboh, teuku umar, sumedang, van heutsz, gunung puyuh.

RIHLAH RIZA #7: MADU BUAT RINDU, GANDIWA BUAT ARJUNA


RIHLAH RIZA #7:

MADU BUAT RINDU, GANDIWA BUAT ARJUNA

 

Sehebat-hebatnya seorang Hawkeye di The Avengers ataupun seorang Legolas di The Lord of the Ring, mereka tetap kalah dengan sosok bernama Arjuna. Dua kantung panah yang dimilikinya tak pernah habis dengan anak panah. Tetapi mereka bertiga tak berarti apa-apa tanpa busur. Padang luas, bengis nan amis, dan kejam—Kurusetra—menjadi saksi saat langit-langit di atasnya menghitam karena hujan panah putra ketiga Kunti ini.

**

Dini hari jam setengah tiga pagi saya terbangun. Saya harus bersiap-siap mengejar pesawat yang akan membawa saya ke Kualanamu. Dari bandara yang baru dibuat itu saya akan naik pesawat menuju Meulaboh. Tepat satu jam kemudian kami sudah berangkat. Kinan dan Ayyasy melanjutkan tidurnya di samping Ummu Haqi. Di sebelah saya ada adiknya yang membawa mobil ini.

Untuk pergi ke bandara kali ini saya tidak lewat pintu tol Citeureup Jagorawi karena saya pikir perjalanan akan lancar-lancar saja. Nanti kami akan masuk tol dalam kota melalui pintu tol Pancoran. Saya perkirakan sampai di bandara sekitar jam setengah lima pagi.

Ternyata ada sesuatu yang tidak saya duga. Hari itu Jakarta akan mengadakan lomba Jakarta Marathon International 2013 yang diikuti oleh peserta dari dalam dan luar negeri seperti Ethiopia dan Kenya—dua negara yang konsisten mencetak pelari-pelari jarak jauh dunia. Saya tahu akan ada kegiatan besar itu dan saya juga tahu kalau ada penutupan ruas jalan di sekitar rute lari marathon itu. Tetapi saya tak menyangka kalau jalan Pancoran menuju Mampang ditutup dan diblokir polisi lebih dini.

Akhirnya saya putuskan untuk masuk lewat pintu tol di depan Menara Saidah. Kami pun dari Pancoran menuju Cawang Bawah untuk memutar. Ternyata pintu tolnya belum buka. Saya sedikit cemas karena teman-teman yang sudah ada di Bandara Soekarno Hatta sudah mulai check-in. Kami balik lagi ke Pancoran dan memutuskan untuk kembali ke Cawang Bawah menuju Cawang UKI. Dari sana masuk tol dalam kota melalui pintu tol terdekat.

Bunyi tang tung tang tung tanda notifikasi Whatsapp semakin terdengar. Teman-teman sudah memutuskan untuk meninggalkan saya. Tak masalah. Karena dengan sedikit ngebut saya akan sampai jam lima pagi. Masih satu jam lagi dari jadwal penerbangan. Tapi seharusnya saya memikirkan ketersediaan waktu lebih untuk penghitungan bagasi saya. Sepanjang perjalanan menuju bandara itu saya isi dengan istighfar dan shalawat. Insya Allah ini solusi dan ikhtiar selamat.

Sampai di terminal 1B yang penuh itu saya turun, menurunkan koper besar dengan berat lebih dari 25 kg, dan menyalami satu per satu anggota keluarga. Lalu langsung masuk antrian tanpa menengok ke belakang. Petugas imigrasi mengecek tiket dan tas para calon penumpang. Setelah lolos pemeriksaan saya segera menuju tempat check-in maskapai penerbangan. Saya tidak terlambat karena masih menjumpai dua teman saya di sana. Pyuhhh…

Butuh waktu empat puluh menit sejak kedatangan saya untuk check-in dan membayar kelebihan bagasi kami. Ini berarti teman-teman sudah mengantri satu jam. Lebih lama daripada saya. Ada panggilan buat para calon penumpang untuk segera naik pesawat ke Kualanamu. Kami bergegas ke atas setelah sebelumnya membayar airport tax. Kami melalui pemeriksaan imigrasi kembali.

Di ruang tunggu sudah tidak ada orang lagi. Semua telah memasuki pesawat, tinggal kami bertiga yang belum masuk. Bahkan ketika kami akan masuk pun ada petugas imigrasi yang meminta tas teman saya karena di dalamnya masih berisi dua logam panjang kunci sepedanya. Itu seharusnya berada dalam tas bagasi dan tidak boleh masuk kabin pesawat. Untuk mudahnya tas itu dititipkan di awak kabin.

Ketika sudah menghempaskan tubuh di kursi pesawat itulah kelegaan muncul. Soalnya tak lama kemudian pesawat benar-benar menggerakkan rodanya. Ini jadi pengalaman berharga buat saya. Pesawat jarang delay kalau pagi. Antrian check-in juga panjang. Lamanya check-in dengan barang bawaan yang berat dan masuk bagasi pun perlu diperhitungkan. Pokoknya kalau berangkat dari Citayam menuju bandara harus tiga sampai empat jam sebelum batas waktu take-off pesawat. Bahkan lebih baik jika dari batas mulai check-in. Jangan lupa, lewat tol Jagorawi saja.

**

Saat pesawat mulai terbang, saya pejamkan mata. Sambil memikirkan momen yang seharusnya ada tapi terlewatkan. Saya tadi terburu-buru tidak sempat mencium dan memeluk Kinan dan Ayyasy. Sesuatu yang tidak biasa. Ini membuat ruang hampa di hati. Rasa yang hampir sama saat meninggalkan pertama kali bapak dan ibu waktu kelas satu SMA karena saya harus indekos di kota lain.

Berpisah dengan sesuatu yang kita cintai adalah hal terberat dalam hidup. Dan saya merasakannya sekarang. Merasakan apa yang senior-senior saya alami dulu. Mungkin ini pula yang menyebabkan banyak teman melepaskan statusnya sebagai pegawai pajak karena penempatan di tempat yang jauh dan berpisah dengan keluarga. Sebagian besar teman-teman saya tetap memilih bertahan. Yang terakhirlah yang saya pilih. Karena yakin ini yang terbaik yang Allah berikan kepada saya sebagai jawaban atas doa: Robbi ‘anzilni munzalan mubarakan wa anta khoirun munzilin.
Ya Robbi, tempatkanlah aku pada tempat yang diberkati, dan Engkau adalah sebaik baik yang memberi tempat.

Kalau sudah berpikir demikian, penempatan di Tapaktuan sejatinya adalah sebuah hadiah yang diberikan Allah kepada saya. Ini yang terbaik buat saya, keluarga saya, ruhani saya, perjalanan hidup saya, instansi saya, dan akhirat saya. Insya Allah.

Serupa Ibrahim meninggalkan Hajar dan Ismail, saya tinggalkan Ummu Haqi, Kinan, Ayyasy, dan Mas Haqi dalam perlindungan Allah. Saya pasrahkan semuanya kepada Allah. Dialah yang akan menjaga mereka. Dialah pemilik sejati mereka. Biarlah pemiliknya yang menjaga mereka. Cukup doa yang tak kurang-kurang buat mereka.

**

Bandara Kualanamu. Saya masih harus menunggu beberapa jam lagi di sana. Ada notifikasi status facebook yang masuk. Dari Ummu Haqi.

Dan Allah selalu tahu bagaimana caranya menenangkan hati kita dan anak-anak. waktu kedatangan yang berkejaran dengan jadwal keberangkatan, nyaris tak memberi ruang bagi kita untuk mengumbar kesedihan. Cukuplah cium tangan mengiringi ketergesaan. Alhamdulillah, semoga Allah mudahkan semua urusan. Fii ‘amanillah abi….”

Ini menguatkan. Apalagi ketika sudah sampai di tujuan, foto live ini terkirim malam-malam.

Kinan dan Ayyasy

Fasad sudah lelah! Hancur sudah letih! Luluh lantak sudah semua payah yang mendera sekujur tubuh. Ini madu buat rindu saya. Serupa busur gandiwa buat Arjuna. Semoga kita bisa berkumpul lagi Nak.

***

 

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

Tapaktuan, 3 November 2013

Hujan, sendiri, dan pantai yang berkabut.

 

 

Tags: Kunti, hawkeye, legolas, arjuna, the avenger, the lord of the ring, kualanamu, meulaboh, tapaktuan, kpp pratama tapaktuan, kantor pelayan pajak pratama tapaktuan, kabupaten aceh barat daya, kabupaten aceh selatan, blangpidie, kinan, ayyasy, kinan fathiya almanfaluthi, yahya ayyasy almanfaluthi, ria dewi ambarwati, ummu haqi, haqi, soekarno hatta, tol citeureup, tol dalam kota, jagorawi, citayam