RIHLAH RIZA #14: MASING-MASING PUNYA CERITANYA
Di pertengahan Juli, di sebuah pantai di utara Jakarta, Ancol, kami berlima menikmati liburan akhir pekan. Kami mengambil lokasi paling timur tempat wisata terkenal di Jakarta ini. Sudah lama kami tak menghirup aroma laut sejak bertahun-tahun lampau. Kami ingin mendengar, melihat, dan merasakan deburan ombak yang menghantam pinggiran pantai.
Di atas pasir putih yang sengaja didatangkan dari tempat lain untuk memperindah pantai ini, saya dan istri duduk-duduk sambil mengawasi anak-anak mandi dan main bola. “Kita tak seharusnya di sini. Ini bukan pantai yang kita cari. Mana ombaknya coba?” cetus saya sambil memandangi bibir pantai yang tidak ada sama sekali ombaknya itu. “Yang ada cuma riak,” tambah saya. Istri saya tidak berkomentar apa-apa.
Tiga bulan kemudian orang yang mencari-cari ombak itu dikasih sama Allah pantai putih bukan imitasi plus ombak yang besar dan bergulung-gulung. Muntah-muntah dah tuh.
Di sebuah senin di awal September, di sebuah kota, Pekanbaru, Riau. Asap dari kebakaran lahan dan hutan masih menyelimuti kota itu. Asap yang selalu menjadi agenda tahunan kota dan dampaknya hingga ke negeri tetangga. Seorang petugas pajak tetap berangkat ke kantor seperti biasanya menembus pekatnya asap yang dapat mengakibatkan gangguan kesehatan seperti iritasi mata dan sesak nafas itu. Ada ribuan orang mengalami hal ini.
“Ah, kapan saya bisa menghirup udara yang bersih? Kapan mata bisa melihat tanpa rasa perih?” pikir petugas pajak itu dalam hati. Tujuh minggu kemudian orang yang mendamba kebersihan udara dan sehatnya mata itu tiba di sebuah daerah yang berhawa segar dan memanjakan mata karena hutannya yang hijau dan lautnya yang berubah-ubah warna.
Di sebuah sudut Kota Bekasi, pegawai pajak yang satu ini seperti biasanya punya tugas untuk melakukan kunjungan kepada Wajib Pajak. Untuk itu ia bersama-sama temannya sering menaiki kendaraan berplat merah yang telah disediakan kantor. Sayangnya mobil dinas itu butut dan jauh dari layak apalagi kenyamanan. Tetapi tetap bisa dipakai. Tentunya sebagai petugas pajak yang baik dan berdedikasi keadaan itu tak menjadi masalah. Tugas negara tetap yang utama. Kepentingan pribadi bukanlah segala. Bukan tujuan. Inilah cerminan pegawai yang berintegritas dambaan masyarakat.
“Kapan ya dapat mobil dinas baru?” mungkin itulah yang terbersit dalam pikiran manusiawinya saat menyusuri jalanan di Bekasi yang cenderung panas, berdebu, berasap yang berasal dari kendaraan bermotor dan pabrik. Beberapa waktu kemudian orang yang mendambakan mobil dinas yang pantas untuk menunjang aktivitasnya yang padat sebagai seorang account representative kantor pajak itu mendapatkan mobil dinas yang jauh lebih baik di sebuah Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang letaknya jauh dari ibu kota provinsi apatah lagi ibu kota negara.
Masing-masing punya ceritanya. Dan Allah mengabulkan semua pinta kami, dengan sadar atau tanpa sadar kami. Di sinilah kami bertiga ditempatkan. Di sebuah daerah yang bernama Tapaktuan. Di kantor pajak yang bernama Kantor Pelayanan Pajak Pratama Tapaktuan.
Kami punya misi sama: ngumpulin duit buat negara. Tepatnya begini, saya jadi tukang nagih utang pajak. Orang kedua punya tugas memberikan pelayanan kepada Wajib Pajak dengan sebaik-baik pelayanan. Orang ketiga mikirin dapat duit dari objek pajak yang mana lagi buat negara.
Orang bijak pernah berkata, “Tindakanmu saat ini menentukan masa depanmu.” Ini bisa berarti bahwa apa yang terjadi saat ini adalah buah dari usahamu di masa lalu. Ini bisa berarti pula bahwa celetukan kami semuanya didengar dan dikabulkan oleh Allah dengan sebaik-baik pengabulan.
Masing-masing punya ceritanya. Itu terungkap saat kami melewati Pantai Cemara Tapaktuan sehabis kunjungan ke Markas Batayon Infanteri 115/ Macan Leuser dalam rangka pembicaraan kegiatan internalisasi corporate value. Rencananya kantor kami akan bekerjasama dengan mereka dalam penyelenggaraan acara itu.
Mereka yang punya cerita tentang Bekasi, Pekanbaru, dan Ancol. (Foto koleksi pribadi)
Kami bertiga di Pantai Cemara Tapaktuan (Foto koleksi pribadi)
Kok lewat pantai? Ngapain? Piknik? Kalau piknik mah bawa makanan lalu gelar tikar dan makan-makan di pinggir pantai. Sudah dibilang di awal bukan kalau Pantai Cemara saat ini menjadi jalan alternatif dari Tapaktuan menuju Pasie Raja karena jalan utamanya mengalami longsor. Jadi bolehlah sejenak, sembari lewat, kami ambil gambar yang kelak akan menjadi sejarah buat kami bertiga.
Masing-masing punya ceritanya. Masing-masing punya harapannya. Masing-masing punya mimpi. Yang ingin cepat menjadi nyata sebagaimana Allah mengabulkan dengan cepat semua celetukan kami.
Suatu hari datang manusia jelmaan malaikat. Ia meminta kami menyebut satu permintaan yang akan dikabulkan langsung. Mungkin masing-masing akan bilang, “Pulangkan saya.” Malaikat itu berkata, “Atas seizin Allah.” Blop…semua hilang dari Pantai Cemara. Sekarang mereka sudah berada di rumah asal masing-masing.
Jalan cerita seperti ini lebih bagus daripada satu yang terakhir di antara kami menyebutkan permintaannya begini: “kembalikan mereka untuk menemani saya di sini.” Blop…dua orang di antara kami yang sudah ada di rumah kaget karena mereka ternyata kembali lagi di Tapaktuan.
“Mengapa kau lakukan itu kepada kami?” tanya mereka yang sudah bersorak-sorai gembira kumpul dengan keluarga dan baru saja mengambil es teh manis berembun di dalam kulkas.
“Sadarlah, penerimaan kantor ini lagi anjlok. Tenaga kalian sangat dibutuhkan negara di sini,” katanya cool.
Satu orang di antara kami telah sukses membuat dua di antara kami cemberut sepanjang masa. Satu orang yang dicari dan didamba negara. Seperti dambaan Soekarno dulu yang pernah berkata, “Beri aku seribu orang tua, niscaya kucabut Semeru dari akarnya. Beri aku sepuluh pemuda niscaya akan kuguncangkan dunia.”
Jangan dianggap serius. Ini sekadar gurauan. Karena gurauan membuat kami tetap waras. Menjaga kewarasan di tempat seperti ini sangatlah penting. Butuh hormon-hormon berlebih seperti melatonin dan oksitosin yang mendatangkan rasa tenang dan nyaman. Selain itu butuh hormon serotonin dan dopamin sebagai antidepresan. Hormon-hormon itu dihasilkan secara murah dengan tertawa. Jangan halangi kami untuk tertawa di sini. Haghaghag…
Sebuah colekan datang dari istri di facebook, “Seberapa lama mushaf terbiarkan tertutup dan tak terbaca isinya olehmu sahabat? Satu dua hari? Atau satu dua minggu? Atau satu dua bulan? Berharap tak ada yg menjawab satu dua tahun.” Ini sebuah pemberitahuan yang menghentikan tawa. Ini merupakan penyadaran dari ketidaksadaran kalau membaca Al-Qur’an itu adalah obat yang menenangkan, menyamankan, dan antidepresan sejati.
Saya meraba saku. Di saku ada hp. Di dalam hp ada aplikasi. Di aplikasi ada ayat-ayatNya. Sudah berapa lama tak terbaca?
***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
masih waras
Tapaktuan, 30 November 2013