RIHLAH RIZA #10:
ENTAH DI BATANG ARAU ATAU DI RINDU ALAM
Pada suatu petang sedang matahari akan tenggelam ke dasar lautan di Batang Arau, di antara Hujung Gunung Padang, di celah-celah ombak yang memecah ke atas pasir yang putih di Pulau Pandan, di waktu saya sedang berjalan seorang diri di pesisir Batang Arau yang indah, melihat perahu keluar masuk, tiba-tiba……
(Hamid,1920-an, Di Bawah Lindungan Ka’bah—Hamka)
**
Mess bekas Pos Pajak Bumi dan Bangunan ini luas. Ada enam kamar di dalamnya dengan dua kamar mandi. Di tengahnya ada ruangan lebar buat tempat kami berkumpul. Ada satu buah pesawat televisi dengan dua saluran televisi berbayar. Baru di Tapaktuan inilah saya bisa nonton sepuasnya saluran kesayangan saya, saluran televisi yang menayangkan bintang-bintang telanjangnya tanpa sensor, kebuasan mereka, dan perikebinatangan mereka: National Geographic Wild.
Kami bertujuh. Berarti di mess ada yang sekamar berdua. Ya betul. Saya dan Mas Oji Saeroji satu kamar berdua, berbagi privacy. Mas Oji Saeroji ini dulu pernah menjadi Penelaah Keberatan terbaik di Kantor Wilayah DJP Riau dan Kepulauan Riau. Selain kami berdua ada Pak Rahmadi Kuncoro dan Pak Dodik Krido Rahardjo. Ada juga Pak Tulus Mulyono yang merupakan Kepala Seksi Terbaik se-Kantor Wilayah DJP Aceh. Ada juga Bang Budianto Purba, yang pernah jadi Account Representative Terbaik di Kantor Pelayanan Pajak Madya Medan. Ada Bang Dony Abdillah yang pernah menjadi Penelaah Keberatan Terbaik se- Kantor Wilayah Sumatera Utara II.
Nah, kantor kami—Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Tapaktuan—tidak jauh dari mess. Cukup berjalan kaki ke arah utara kurang lebih tiga menit saja sudah sampai. Tak perlu berdesak-desakan di Commuter Line dan tak perlu berangkat dini hari ke kantor.
Kantor kami ini berdiri tahun 2008 dan merupakan pecahan dari KPP Pratama Meulaboh. Kami belum memiliki kantor sendiri. Ada empat ruko berlantai tiga yang dikontrak dan dijadikan sebagai kantor kami.
Sebagian penampakan kantor kami. (Foto koleksi teman)
Kantor baru sedang dalam proses pembangunan. Letaknya lebih ke utara lagi. Dekat dengan bong, kompleks pekuburan cina yang berada di perbukitan. Diperkirakan tahun depan kantor baru ini sudah bisa ditempati.
Bong (Kuburan Cina) Tapaktuan (Foto koleksi pribadi)
Kantor baru under construction(Foto koleksi pribadi)
KPP Pratama Tapaktuan ini berdasarkan peraturan tentang pola mutasi jabatan karier DJP berada di kelompok V C atau dalam bahasa yang lebih sederhananya berada di Ring 5. Limanya juga lima C. Setara dengan KPP Pratama Subulussalam, KPP Pratama Ketapang, KPP Pratama Timika, dan KPP Pratama Merauke.
KPP Pratama Tapaktuan ini berdasarkan peraturan yang sama juga masuk dalam kriteria daerah tertentu (remote area) di daerah Sumatera. Setara kantor pajak yang berada di daerah tertentu di Pulau Kalimantan seperti Sendawar, di Pulau Sulawesi seperti Tilamuta, di Kepulauan Nusa Tenggara seperti Soe, di Provinsi Maluku Utara seperti Soasio, di Provinsi Maluku seperti Namlea, di Pulau Papua seperti Teminabuan. Nama-nama asing dalam pendengaran saya.
Tapi seterpencil-terpencilnya Tapaktuan setidaknya masih ada akses internetnya. Rata-rata instansi negeri ataupun swasta memasang wifi sebagai fasilitas yang harus ada. Saluran televisi juga masih bisa terjangkau. Fasilitas telepon tidak seperti dulu lagi yang hanya disediakan beberapa di kantor desa, sekarang sudah mobile karena adanya telepon genggam dan antena BTS operator telekomunikasi. Fasilitas anjungan tunai mandiri dua bank nasional juga ada. Kantor pos pun ada walaupun media surat sudah banyak tergantikan dengan SMS dan email. Maka kiranya tak ada lagi lagu Said Effendi berjudul Fatwa Pujangga yang dinyanyikan Arai di jendela rumah Zakiah Nurmala:
T’lah kuterima suratmu nan lalu
Penuh sanjungan kata merayu
Syair dan pantun tersusun indah, sayang
Bagaikan madah fatwa pujangga
Ada teman yang bilang kalau KPP Pratama Tapaktuan ini bisa juga disebut dengan KPP Kehutanan dan Kelautan karena belakangnya hutan dan depannya laut. Memang betul sih, hutan dan perbukitan di belakang kami ini masuk dalam deretan hutan dan bukit pegunungan Leuser tempat beradanya Taman Nasional Gunung Leuser. Lalu depan kami adalah Samudera Hindia, samudera terbesar ketiga di dunia setelah Samudera Pasifik dan Atlantik. Cucok sudah…
Berkaitan dengan masalah laut itu suatu hari saya naik sepeda ke masjid untuk salat asar. Letaknya satu kilometer ke arah utara mess. Masjid ini pun berada di pinggir laut juga. Habis salat saya tidak segera pulang, seperti biasa menikmati pemandangan laut yang tak habis-habisnya untuk dipandangi. Duduk di bangku kayu yang sengaja dibuat dan menghirup udara laut dalam-dalam. Karena ada tembok besar jadi tak bisa nyemplung ke sana. Kalau mau masuk ke air bukan di sini tempatnya. Saya langsung ingat tempat indah lainnya. Saya bangkit dan segera menuju ke sana.
Pemandangan laut dari pinggir masjid di Tapaktuan (foto koleksi pribadi)
Namanya pantai Rindu Alam, arahnya lebih ke selatan lagi dari masjid itu. Kalau yang sering melewati puncak Bogor mendengar nama itu langsung teringat nama sebuah restoran yang ada di sana. Orang sini sering menyebutnya pantai Rindam. Orang pajak zaman dulu ingatnya Rindam yang ada di Condet, Jakarta. Rindam yang di Jakarta itu merupakan akronim dari Resimen Induk Daerah Militer tempat pelatihan samapta buat pegawai DJP.
Pintu Masuk Pantai Rindu Alam Tapaktuan (Foto Koleksi Pribadi)
Pantai Rindam ini bisa buat nyemplung. Pantainya landai berwarna putih. Kalau anak-anak mau mandi tetap harus diawasi. Banyak saung didirikan di sana. Pohon yang berada di sana kebanyakan adalah pohon pinus. Masuknya gratis melalui pintu gerbang utama. Saya ke pantai itu tidak melewati pintu utama. Saya memilih masuk dari lapangan bola . Langsung ke pinggir pantainya dengan deretan pohon kelapa tinggi.
Pemandangan pantai Rindu Alam Tapaktuan dari pintu masuk utama.
(foto koleksi pribadi)
Pemandangan pantai Rindam dari sudut pantai yang dipenuhi dengan pohon kelapa (Foto koleksi pribadi)
Izin menumpang kelihatan di foto (Koleksi Pribadi)
Pantai ini asyik buat tafakur alam. Silakan datang di pagi atau sore hari. Kalau sore tentu kita akan sering menikmati sunset. Saya lama berada di situ. Jalan-jalan. Bolak-balik. Membiarkan kaki dijilat buih ombak. Pandangi cakrawala. Menunggu senja. Atau bikin tulisan di pasir. Susah juga karena kebetulan air lautnya pas mau pasang. Jadi belum sempat menyelesaikan satu kalimat saja sudah kehapus. Niatnya mau tulis begini: Abi Loves Kinan.
Mungkin seperti inilah Hamid, tokoh dalam novel Buya Hamka Di Bawah Lindungan Ka’bah, yang sedang berjalan di pesisir Batang Arau, Sumatrera Barat. Kali ini, Hamid abad 21 ini, sedang berjalan sendirian di pesisir Tapaktuan, Aceh. (Foto koleksi pribadi)
Dan begitulah saya akhir-akhir ini di jelang dua minggu keberadaan saya di tanah rantau. Fokus pada tujuan ditempatkannya saya di Tapaktuan ini tentu tetap yang menjadi utama: memberikan yang terbaik dengan apa yang saya bisa. “Dengan bekal ilmu ikhlas,” kata Pak Tulus Mulyono, Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi II KPP Pratama Tapaktuan.
Pada akhirnya saya teringat ada tagline menarik dari seorang blogger dari instansi lain yang ditempatkan di Blangpidie, Aceh Barat Daya. Kabupaten ini termasuk wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak Pratama Tapaktuan. Ia bilang: “Setiap hari baru, selalu ada harapan baru. Setiap hari baru, selalu ada pengalaman baru. Bila hidup adalah perjalanan nikmatilah pemandangan yang ada disekitarmu. Fokus pada tujuan perjalanan memang penting. Tapi, menikmati perjalanan juga tak kalah penting. Enjoy your life, Dude!”
Entah di Batang Arau atau di Rindu Alam ini… Ya, nikmatilah perjalananmu Riza.
***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
Tapaktuan, 10 November 2013 8:13
semoga enjoy pak..salam dari sesama ring 5..=)
LikeLike
Sama-sama…. 🙂
LikeLike
Semangat pak
LikeLike
Terima kasiiiih… 🙂 On 2014 10 1 15:00, “Blog Riza Almanfaluthi” wrote:
>
LikeLike
saya sekali ke Tapaktuan, tapi cuma sebentar karena mengejar waktu untuk ke Medan.padahal pengen lama-lama n eksplore wisatanya. pengen kesana lagi tapi belum tau kapan 🙂
LikeLike
Ditunggu… 🙂 On 2015 2 2 12:09, “Blog Riza Almanfaluthi” wrote:
>
LikeLike