KPP Madya Batam: Dari FTZ hingga Toilet


Dalam edisi kali ini Intax melakukan liputan ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Madya Batam. Selain memiliki unit khusus yang tidak ada di KPP lain, kantor ini memiliki strategi khusus pengawasan terkait tipikal wajib pajak yang ditanganinya. Menariknya KPP Madya Batam juga tak melupakan kebutuhan dasar para pemangku kepentingannya: toilet bersih.

*

Provinsi Kepulauan Riau merupakan hasil pemekaran dari Provinsi Riau dan terbentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 25 tahun 2002. Provinsi ini mencakup lima kabupaten: Bintan Kepulauan, Karimun, Kepulauan Anambas, Lingga, Natuna, dan dua kota: Batam dan Tanjungpinang. Kota terakhir ini terletak di Pulau Bintan serta menjadi ibukota Kepulauan Riau.

Baca Lebih Lanjut.

Advertisement

Standardisasi Pelayanan Pajak Se-Indonesia, Ditjen Pajak Konsolidasi di Bali


Beleid tentang standar pelayanan di Tempat Pelayanan Terpadu (TPT) sudah diluncurkan di akhir 2016 lalu. Aturan itu berusaha menyeragamkan dalam pemberian pelayanan prima kepada wajib pajak di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dari Aceh sampai Papua. Pemahaman yang komprehensif tentang standar pelayanan dan pengimplementasiannya penting untuk diketahui oleh seluruh Kepala Seksi Pelayanan sebagai manajer yang mengawal pelayanan Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) di TPT.

“Terutama informasi dan pengetahuan terkini berkaitan dengan standardisasi pelayanan,” kata Ketua Panitia sekaligus Kepala Subdirektorat Pelayanan Perpajakan, Direktorat Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat, Ditjen Pajak Anita Widiati dalam Acara Bimbingan Teknis Standardisasi Pelayanan pada Tempat Pelayanan Terpadu I Tahun 2017, di Kuta, Badung, Bali, (Senin, 15/5).

Baca Lebih Lanjut.

RIHLAH RIZA #11: BEGINT DE VREDE


RIHLAH RIZA #11:

BEGINT DE VREDE

Tanggal 7 Juli 1949, para tokoh nasional yang dibuang penjajah Belanda ke Bangka, mulai meninggalkan Bangka menuju Yogyakarta. Dua minggu sebelumnya penjajah Belanda menarik pasukannya sehingga dengan demikian Yogyakarta kembali menjadi ibu kota tanah air.

Dua kejadian ini merupakan konsekuensi buat Belanda dari hasil perundingan Roem-Royen. Yang pada ujungnya nanti—di tanggal 27 Desember 1949—penjajah Belanda secara resmi menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia.

Pemulangan tokoh nasional itu kemudian menjadi slogan yang terkenal: Van Bangka Begint de Victorie. Moh. Roem menerjemahkannya dengan: dari Bangka datangnya kemenangan.

**

Di sebuah pagi yang dingin. Bekas hujan semalam masihlah tampak. Rumput-rumput basah. Jalanan pun basah. Debur ombak di pantai depan masih dengan ritme yang sama. Sinar matahari sedikit-sedikit mampu menembus mendung yang masih menggelayuti kota kecil ini. Saya ambil kursi di ruang tamu dan menaruhnya di teras depan. Saya duduk. Menghirup nafas kesegaran pagi dalam-dalam. Hawa segar terasa di rongga dada. Memandang kejauhan laut dari titik cakrawala yang satu ke titiknya yang lain. Ada satu kata yang sesungguhnya mampu untuk menggambarkan apa yang saya rasakan pada saat itu: tenteram.

    Kata-kata sudah menggelegak dalam kuali kalimat, tinggal dituangkan saja ke gelas puisi. Di dalamnya ada balada hitam dan rindu manis. Cukup diaduk perlahan hingga aromanya menguar kemana-mana. Tapi saya membiarkannya imajiner saja. Tak pernah menjelma sajak. Itu juga sudah cukup. Kemudian setelah lama menenggak rasa pagi di depan rumah, saya putuskan untuk mengeluarkan sepeda. Ada satu tempat yang ingin saya kunjungi sejak pertama kali datang ke Tapaktuan. Sebuah tempat bernama pelabuhan Tapaktuan. Ada sekitar dua kilometer ke arah selatan dari mess kami. Ke sanalah sepeda ini akan saya kayuh. Jalan-jalan pagi dengan sepeda adalah sebuah anugerah yang luar biasa di sini. Jalanan sepi dan tanpa polusi.

    Saya mengayuh dengan cepat, kadang lambat. Tak sampai sepuluh menit saya sudah masuk pintu pelabuhan perintis ini. Tidak ada penjagaan. Orang bebas masuk dan keluar pelabuhan. Pakai sepeda, kereta, ataupun mobil hingga di atas dermaganya silakan-silakan saja.

    Banyak pemancing di dermaga itu dengan joran panjang atau cuma bermodal benang saja dan umpan ikan. Di sinilah besar kecilnya umpan menjadi penentu besar dan kecilnya ikan yang didapat. Sungguh ini perwujudan tentang ada harga yang harus dibayar atas semua hal. Umpannya kecil ya hasil yang didapat pun kecil. Umpannya ikan besar maka ikan yang kena pancing pun ikan besar sekali.

    Seperti jenis perahu yang digunakan para nelayan pun demikian. Semakin besar perahu yang digunakan maka semakin banyak pula ikan yang didapat. Tetapi ada yang anomali di dunia ini, perahu kecil yang digunakan seorang nelayan tua mampu mendapatkan ikan marlin yang besarnya melebihi besar perahu kecilnya itu. Tapi itu cuma fiksi dalam sebuah buku berjudul The Old Man and The Sea dan ditulis oleh Ernest Hemingway yang apa hendak dikata nobel kesusastraanlah yang didapat.

    Di pelabuhan itu, selain para pemancing, ada yang sekadar jalan-jalan dan melihat dari kejauhan pemandangan laut ataupun perbukitan. Ada juga sedikit keramaian dari nelayan yang menurunkan ikan segarnya yang besar-besar. Sebenarnya pelabuhan ini bukanlah tempat pelelangan ikan, karena untuk pelelangan ikan sudah disediakan tempatnya sendiri oleh Pemerintah Kabupaten Tapaktuan.

    Pelabuhan Tapaktuan bukanlah pelabuhan penumpang melainkan pelabuhan barang. Untuk menuju Pulau Simeulue dengan kapal laut maka pelabuhan Tapaktuan bukanlah tempatnya melainkan pelabuhan Singkil di ujung selatan Provinsi Aceh dan pelabuhan Labuhan Haji, satu setengah jam perjalanan dari Tapaktuan.

    Di pelabuhan Tapaktuan ini ada kapal-kapal besar yang membawa bahan bangunan dari pelabuhan lain di Sumatera. Misalnya besi atau semen Andalas yang dibawa dari pelabuhan Teluk Bayur, Padang. Butuh waktu dua hari dua malam untuk sampai ke sini. Dan tak sebentar kapal yang membawa belasan ribu sak semen ini untuk menurunkan bebannya. Butuh waktu tiga hari.

    Dari dermaga pelabuhan ini saya bisa memandang penyu yang berkeliaran di bawah tiang-tiang dermaga. Selain itu saya bisa menyaksikan elang laut yang terbang ke sana ke mari dengan bentangan sayapnya yang panjang dan gaya menukik tajamnya ketika menyambar ikan di laut; tali pancing yang menegang karena umpannya dimakan oleh ikan jabung; raut kemenangan pemancing saat mendapatkan ikan; bukit-bukit dengan kabut berarak yang seperti turun dari atasnya menuju laut; matahari pagi yang malu-malu memunculkan wajahnya dari puncak bukit dan balik awan; ombak-ombak yang menghantam bebatuan di sisi lain pelabuhan; perahu-perahu nelayan yang terombang-ambing.

Dermaga Pelabuhan Tapaktuan (Koleksi Pribadi)

Pelabuhan Tapaktuan dari Kejauhan (Koleksi Pribadi)

Para pemancing (Koleksi Pribadi)

Penyu di dermaga Tapaktuan (Koleksi Pribadi)

Kapal Barang dan Kapal Nelayan yang Bersandar (Koleksi Pribadi)

Bukit di Tepi Pantai. Di baliknya terdapat jejak kaki besar Tuan Tapa. Bangunan besar yang terlihat itu adalah gedung olahraga tempat teman-teman KPP main bulutangkis. (Koleksi Pribadi)

Sudut lain dari sebuah bukit yang menjorok ke pantai (Foto Koleksi Pribadi)

Arah timur pelabuhan. Pantai yang berkabut. (Koleksi Pribadi)

    Di atas pasak yang tertancap di dermaga yang biasa dijadikan sebagai tempat mengikat tali kapal, saya duduk dalam hening, memandang kejauhan laut dari titik cakrawala yang satu ke titiknya yang lain. Ada satu kata yang sesungguhnya mampu untuk menggambarkan apa yang saya rasakan pada saat itu: tenteram.

Ketenteraman yang membuahkan sebuah kesadaran bahwa pagi itu saya terjebak dalam tiga benda ini: bahtera, samudera, dan dermaga. Ketiganya sudah cukup membentuk sebuah landscape dari apa yang kebanyakan kita menyebutnya sebagai sajak, prosa, fragmen, drama, cerita pendek, dan novel.

Bahtera yang singgah di pelabuhan ini tidaklah itu-itu saja. Bahtera senantiasa dirindu samudera. Karenanya ia tidak berlama-lama di dermaga. Hidup kita pun demikian. Kita tak selamanya di samudera, pun kita tak selamanya di dermaga. Ada jeda yang membuat kita berpisah. Jedalah yang membuat kita dipenuhi hasrat. Hasrat sebuah bahtera yang ingin menumpahkan apa yang ada di dalamnya. Hasrat sebuah bahtera yang ingin mengambil apa saja dari samudera.

    Di dunia ini tak selamanya ada kesedihan, begitu pula tak selamanya ada kegembiraan. Jeda yang akan membuat kita berpikir untuk bisa menempatkan diri dengan sebaik-baik perilaku. Di saat sedih kita paham bahwa kesedihan itu tak selamanya ada, setelahnya akan ada senyum, tawa, dan kegembiraan. Di saat kita gembira kita pun sadar akan ada waktunya sedihnya menjadi raja, sehingga kita mampu mengukur seberapa kadar kegembiraan itu layak untuk ditumpahkan. Pada waktunya semua itu akan berlalu. Yakinlah.

    Ah, pagi di pelabuhan membuat saya banyak merenung. Memang, pagi dan senja di pantai adalah cerita tentang keindahan. Tetapi bagi para nelayan dan pemancing ikan, ini adalah kisah tentang kerja keras dan kesabaran *). Begitu pula dengan tax fighters yang ditempatkan di mana saja di daerah terpencil atau jauh dari keluarganya. Semua berujung pada tanya mampukah ia bersabar. Karena semua itu akan berlalu. Resah dan bahagia senantiasa akan dipergilirkan. Yakinlah.

Matahari sudah mulai meninggi. Sinarnya terasa hangat. Saatnya pergi meninggalkan pelabuhan. Saatnya pergi ke warung kupi, sarapan nasi gurih, dan minum segelas kupi Gayo. Di sana saya akan duduk dalam hening, memandang pinggiran gelas dari pinggiran yang satu ke pinggirannya yang lain. Ada satu kata yang sesungguhnya mampu untuk menggambarkan apa yang saya rasakan pada saat itu: tenteram.

Van Tapaktuan begint de vrede. Dari Tapaktuan datangnya ketenteraman. Itulah yang akan saya tulis.

*) Kutipan Majalah Tarbawi

***

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

11 Desember 2013

HAJI KHOIR DAN SANG BANGOR


HAJI KHOIR DAN SANG BANGOR

clip_image001

 

 

Gedoran keras di pintu kamar itu membuat saya terbangun. “Bangun! bangun! Siap-siap Shubuh!” teriak paman saya. Dengan malas saya bangkit dari ranjang besi dan melongokkan kepala sambil teriak, “Iya Liiik!”

Setelah tahu kalau saya sudah bangun, maka ia beranjak pergi ke musholla tua untuk adzan. Saya yang juga tahu kalau ia sudah pergi, maka saya datangi kembali kasur untuk saya dengkuri. Tapi itu tak lama, karena bibi sudah datang menggedor, “Bangun Za! Bangun!”

Itu berarti titah tak terbantahkan. Saya pun ke kamar mandi, ambil wudhu, dan pergi ke musholla. Shubuh dilakoni dengan mata terpejam, dengan kantuk yang luar biasa akibat begadang. Maklum, karena semalam belajar matematika habis-habisan.

Setelah sholat shubuh saya punya tugas yang tak bisa dialihkan kepada siapa-siapa. Saya hampiri bibi yang tengah memasak nasi dengan kayu bakar. “Nih uangnya. Beli tahu dan tempe seperti biasa,” katanya sambil menyodorkan gumpalan uang lusuh dari dompet kecilnya. Saya terima uangnya dan mengambil sepeda ontel tua yang masih enak dipakai itu.

Saya pergi ke warung yang jaraknya 500 meter dari rumah bibi. Bibi memang jualan nasi yang dicampur dengan oreg. Tahu dan tempe goreng menjadi teman yang enak buat nasinya. Saya kesengsem sama tahu dan tempe gorengnya itu. Setelah dari warung saya harus mengisi bak kamar mandi yang ukurannya tiga meter kubik. Biasanya pada timbaan yang keseratus bak kamar mandi sudah penuh. Dan itulah aktivitas saya di pagi hari selama tiga tahun di rumah bibi, waktu masih di SMA. Antara tahun 1991 sampai dengan 1994 yang lampau.

Bibi saya ini sebenarnya saudara jauh sepupu Bapak. Tetapi karena berdasarkan catatan nasab keluarga besar, bahwa keluarga Bapak itu termasuk yang paling tua, maka saya tidak memanggil bibi—yang umurnya bahkan jauh lebih tua daripada Bapak—dengan panggilan uwak. Dalam keseharian saya juga sebenarnya tidak memanggil beliau dengan sebutan Bibi, tapi memanggilnya dengan sebutan Mimi. Mimi itu panggilan khas masyarakat Cirebon, panggilan anak kepada ibunya.

Kepada suaminya yang bernama Haji Khoir, saya tetap memanggilnya Lik (paman). Tubuh lelaki ini sudah membungkuk sebagai pertanda usia yang telah sepuh. Dia adalah guru ngaji saya setiap bakda isya setiap harinya. Mengaji kitab kuning. Salah satunya kitab safinatunnajah. Tapi khusus malam minggu ada liburnya karena beliau pergi ke pesantren Kempek, pergi ke komunitasnya untuk ngaji bareng lagi belajar kitab. Walau sudah tua semangat menuntut ilmunya juga masih tinggi.

Aktivitas bakda maghrib saya saat itu adalah belajar mengaji Alqur’an pada anaknya—ini berarti sepupu saya—yang sudah hafidz 30 juz. Kepada semua muridnya dipersyaratkan seperti ini: untuk bisa membaca kitab Alqur’an yang tebal itu—yang merupakan prestise dan level pembeda—semua muridnya harus hafal juz 30 terlebih dahulu. Mulai dari surat Alfatihah , Annaas, sampai surat Annaba.

Kalau sudah hafal Annaba lalu sudah boleh pegang Alqur’an begitu? Tidak. Harus kembali diperdengarkan (disimak) kepadanya dari Annaba sampai ke Annaas, dan Alfatihah. Satu hari satu surat. Kalau ada bacaannya yang masih salah jangan harap berpindah surat untuk esok harinya. Alfatihah saja lama banget untuk pindahnya. Butuh waktu satu bulan supaya melafalkan alfatihah dengan benar.

Ohya jangan lupa, tongkat rotannya siap menghantam paha kalau kita salah. Padahal yang tasmi’ kepadanya tidak satu orang dalam waktu bersamaan melainkan bisa sampai empat orang. Tapi kok ia tahu saja kalau saya salah lidah. Kayaknya ia punya telinga banyak deh. Enggak hanya dua. Dan tahukah kalian, dalam tiga tahun itu saya ‘sukses’ enggak pernah pindah ke Alqur’an. Masih saja menghafal juz 30. Kalah sama anak SD.

“Za, pergi ke kebun sana. Ambil setandan pisang,” kata Lik Haji pada sebuah siang. Saya ambil dan kayuh sepeda ontel kesayangannya yang berat tapi mantap itu. Sepertinya saya juga sudah sejiwa dengan sepeda itu karena ketika saya mengayuhnya saya sampai bisa lepas tangan tak pegang kemudi, jauh dan lama.

Sepeda itulah yang selalu nemenin saya pergi ke komplek perumahan pabrik semen untuk main basket, atau pergi ke Kempek setiap malam minggunya, bukan untuk ke pesantrennya, tapi untuk “main”. You know-lah.

Yang saya ingat dari diri Lik Haji ini adalah pesannya saat kami mengaji kitab di musholla, di suatu malam, di bawah lampu bohlam lima watt yang temaram, kepada dua muridnya ini, saya dan teman saya. “Jangan buku pelajaran umum saja yang dipelajari, tapi kitab juga kudu dibuka. Kudu dibaca. Buku umum saja yang bisa sampai rusak karena sering dibaca, tapi kalau kitab kuning bukunya bagus terus karena tak pernah tersentuh, tak pernah dibuka-buka.” Sebuah pesan kuno tapi benar yang hari ini kalah dan takluk dengan semarak gaya hedonisme yang abai pada hal-hal transendental.

Pesan itu memang ditujukan buat saya dan untuk menyindir saya. Karena pada saat itu—ditengah bangor dan badegnya (baca: kebandelan) saya—beliau selalu melihat saya rajin belajar, selalu buka-buka dan membaca buku pelajaran. Tapi tidak untuk kitab kuning. Kalau dalam pemahaman saya waktu itu, inti pesannya adalah: sebaiknya buku pelajaran itu ditinggal saja. Biar fokus ngaji kitab kuning belaka.

Belasan tahun kemudian salah satu cucunya bisa diterima di STAN, yang saya yakini betul kalau cucunya ini selalu rajin belajar, selalu buka-buka dan membaca buku pelajaran. Kalau tidak? Enggak akan mungkin diterima di almamater saya itu.

**

Rabu pukul 20.41. Kecipak air tanda pesan japri Whatsapp masuk terdengar. Dari Ma’am, cucu Lik Haji Khoir yang telah ditempatkan di salah satu kantor pelayanan pajak di Sumatera sana.

“Assalaamu’alaikum wrwb ang rija.”

“Maap wasap bengi2, nembe kelingan ngupai kabar.”

“Mama tuwa tutup yuswa mau awan.”

Deg…Innalillaahi wainnaailaihi rooji’uun. Pesan yang mengagetkan. Paman saya, guru ngaji saya, telah berpulang ke Rahmatullah siang tadi dalam umur 87 tahun. Saya segera menelepon Bapaknya Ma’am dan meminta maaf karena tak bisa datang. Darinya saya mengetahui kalau penguburan dilangsungkan bakda isya tadi. Insya Allah khusnul khotimah. Akhir yang baik buat Lik Haji Khoir yang meninggal dengan wajah tersenyum bercahaya serta jasad yang mewangi berdasarkan persaksian banyak orang.

Saya cuma bisa berdoa semoga Lik Haji Khoir diampuni dosa-dosanya oleh Allah swt, dilapangkan kuburnya, ditemani dengan amal baiknya, dan diberikan tempat yang terbaik di sisi Allah swt. Insya Allah ada pahala yang selalu mengalir karena ada ilmu yang bermanfaat yang telah diwariskan kepada saya dulu. Ya Rabb, kabulkanlah doa ini.

**

Terjemah:

“Assalaamu’alaikum wrwb Ang Riza.”

“Maaf WhatsApp malam-malam, baru teringat untuk memberi kabar.”

“Mama tua tutup usia tadi siang.”

*Mama tua panggilan Ma’am kepada kakeknya, Lik Haji Khoir.

*Bangor; badeg; bahasa sunda yang sepadan dengan bandel.

***

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

03.30 13 Desember 2012

Gambar diambil dari situs ini.

Tags: bangor, badeg, bandel, haji khoir, stan, kantor pelayanan pajak, ma’am, ma’muroh, whatsapp, stan, safinatunnajah

GUGATAN ATAS PROSES PERMOHONAN PENGURANGAN SANKSI ADMINISTRASI YANG TELAH LEWAT WAKTU


PROSES PERMOHONAN PENGURANGAN

SANKSI ADMINISTRASI YANG LEWAT WAKTU

 

Ini kasus menarik dalam persidangan di Pengadilan Pajak yang bisa dijadikan pembelajaran buat Wajib Pajak dan fiskus. Kasus gugatan yang ditangani tim kami. Saya utarakan fakta-faktanya sebagai berikut:

  1. Wajib Pajak dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan oleh Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP) untuk tahun pajak 2007.
  2. Dari hasil pemeriksaan itu diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) oleh Kantor Pelayanan Pajak (KPP) pada tanggal 9 Februari 2010.
  3. Wajib Pajak tidak keberatan untuk membayar pokok pajak dalam SKPKB tersebut namun keberatan membayar sanksi administrasinya dengan alasan kondisi keuangan.
  4. Oleh karena itu Wajib Pajak mengajukan permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi ke KPP pada tanggal 15 April 2010.
  5. Permohonan itu diteruskan KPP untuk diproses oleh Kanwil DJP. Kemudian Kanwil DJP mengeluarkan surat Keputusan Direktur Jenderal Pajak yang isinya menolak permohonan Wajib Pajak tersebut pada tanggal 27 Oktober 2010.
  6. Wajib Pajak tidak terima atas penolakan tersebut kemudian mengajukan gugatan ke Pengadilan Pajak dengan alasan:

     

  • Sesuai dengan Pasal 36 ayat (1c) Undang-undang (UU) KUP No.28 Tahun 2007 disebutkan bahwa “Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diterima, harus memberi keputusan atas permohonan yang diajukan.”

     

  • Sesuai dengan Pasal 36 ayat 2 UU yang sama disebutkan bila jangka waktu 6 bulan itu terlewati dan Direktur Jenderal Pajak belum memberikan keputusan maka permohonan pengurangan sanksi dianggap dikabulkan.
  • Sesuai Pasal 36 ayat 2 UU yang sama disebutkan bahwa ketentuan pelaksanaan permohonan pengurangan diatur berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Peraturan yang terkait itu adalah PMK Nomor 21/PMK.03/2008.
  • Pada Pasal 11 PMK tersebut disebutkan bahwa pada saat berlakunya Peraturan Menteri Keuangan ini, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 542/KMK.04/2000 tentang Tata Cara Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi dan Pengurangan atau Pembatalan Ketetapan Pajak tidak dinyatakan berlaku kecuali permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi, dan pengurangan atau pembatalan ketetapan masa pajak, bagian tahun pajak, atau tahun pajak sebelum 01 Januari 2008.
  • Maka menurut Wajib Pajak sebagai Penggugat seharusnya atas permohonan pengurangan sanksi administrasi itu dianggap dikabulkan karena Direktur Jenderal Pajak tidak mengeluarkan keputusan dalam jangka waktu 6 bulan.

     

Dari fakta-fakta dan argumentasi di atas maka tim kami berpendapat bahwa terdapat perbedaan pemahaman UU dan peraturan perpajakan lainnya dalam sengketa ini. Wajib Pajak (Penggugat) menggunakan UU KUP baru yaitu UU No. 28 Tahun 2007 sedangkan tim kami (Tergugat) menggunakan UU KUP lama yaitu UU No.16 Tahun 2000 sebagai dasar penyelesaian proses permohonan pengurangan sanksi administrasi.

Mengapa demikian?

Karena yang harus dilihat pertama kali adalah sengketa ini terjadi untuk tahun pajak berapa. SKPKB dikeluarkan untuk tahun pajak 2007 walaupun SKPKB tersebut diterbitkannya di tahun 2010. Kalau demikian maka sudah jelas UU KUP baru pun sudah mengisyaratkan bahwa terhadap hak dan kewajiban perpajakan tahun pajak 2001 sampai dengan 2007 yang belum diselesaikan diberlakukan UU lama . Ini ditegaskan dalam Pasal II ayat (1) UU KUP baru.

Jika UU lama yang diberlakukan maka dalam UU KUP lama tidak disebutkan masalah batas waktu penyelesaian permohonan. Karena pencantuman batas waktu penyelesaian permohonan hanya ada di UU KUP baru yakni selama 6 bulan. Di UU KUP lama tidak ada.

Namun tidak berarti tidak diatur. Pasal 36 ayat 2 UU KUP lama menyebutkan bahwa tata cara pengurangan diatur dengan menggunakan Keputusan Menteri Keuangan. Keputusan yang dimaksud adalah Keputusan Menteri Keuangan nomor 542/KMK.04/2000.

Dalam Pasal 3 keputusan itu disebutkan bahwa Direktur Jenderal Pajak harus memberi keputusan atas permohonan pengurangan atau penghapusan paling lama 12 bulan sejak tanggal permohonan diterima. Sehingga dengan demikian jatuh tempo penyelesaian permohonan pengurangan dalam sengketa ini paling lambat tanggal 14 April 2011.

Nah, Wajib Pajak malah tidak mengakui KMK Nomor 542/KMK.04/2000 karena KMK ini telah dihapus dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 21/PMK.03/2008 tepatnya pada Pasal 11 yang berbunyi sebagai berikut:

Pada saat berlakunya Peraturan Menteri Keuangan ini, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 542/KMK.04/2000 tentang Tata Cara Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi dan Pengurangan atau Pembatalan Ketetapan Pajak dinyatakan tidak berlaku kecuali untuk permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi, dan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sebelum 1 Januari 2008.

    Menurut Wajib Pajak bahwa berlakunya Keputusan Menteri Keuangan Nomor 542/KMK.04/2000 hanya untuk permohonan pengurangan yang masuk sebelum tanggal 1 Januari 2008. Sedangkan kami berargumen bahwa titik berat tanggal 1 Januari 2008 itu bukan pada permohonan yang masuk tetapi pada masa pajak, bagian tahun pajak, atau tahun pajak sebelum 1 Januari 2008. Jadi karena untuk kasus ini tahun pajaknya adalah tahun pajak 2007 maka KMK 542/KMK.04/2000 masih tetap berlaku.

    Dengan argumen yang dikemukakan kami, Wajib Pajak mengalihkan argumennya pada Pasal 36 Peraturan Pemerintah No.80 Tahun 2007 yang merupakan petunjuk pelaksanaan UU KUP Baru bahwa permohonan pengurangan ini termasuk salah satu dari 8 item yang diberlakukan UU KUP Baru. Ternyata setelah dicek satu persatu permohonan pengurangan sanksi administrasi tidak termasuk di dalamnya sehingga masih menggunakan UU KUP Lama.

    Dari semua itu kami harapkan gugatan Wajib Pajak tidak dapat diterima atau ditolak oleh Pengadilan Pajak.

***

 

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

21.02 06 Mei 2011

 

TAGS: pengadilan pajak, permohonan pengurangan sanksi administrasi, kantor pelayanan pajak, kantor wilayah , direktorat jenderal pajak, djp,