Buatku, Apalagi yang Ditunggu?



Aku pilih untuk menyudahi malam dengan memintal doa untukmu; untuk bahagiamu. Pada satu doa saat keinginan dan kepasrahan bersatu dalam sujud tanpa syarat, di sanalah kamu sebagai titik tujuannya.

(Moammar Emka)

Saya kembali tidur di musala lantai 2 Bandara Kualanamu tadi malam. Ini untuk kedua kalinya. Yang pertama karena ketinggalan travel menuju Tapaktuan beberapa waktu yang lalu. Sekarang, karena saya menyengaja menghindari naik travel agar bisa berlama-lama dengan keluarga. Dan karena saya sudah sampai pada titik jenuhnya mengarungi gelapnya malam Senin, Kabanjahe, Sidikalang, Subulussalam serta mengorbankan diri untuk duduk berlama-lama selama 10 jam di mobil Kijang Innova.

Makanya saya lebih memilih penerbangan terakhir dari Bandara Halim Perdana Kusumah menuju Bandara Kualanamu dengan menggunakan pesawat Batik Air pada pukul 20.05. Ternyata, saya banyak bertemu dengan teman-teman sejawat yang juga berangkatnya sama: memilih penerbangan terakhir.

Baca Lebih Lanjut.

Advertisement

RIHLAH RIZA #71: Dia yang Telah Pergi Tak Akan Pernah Kembali


IMG-20160830-WA0014

…hanya waktu.

Awalnya bimbang untuk melanjutkan lagi tulisan Rihlah Riza yang sudah mencapai nomor 70. Rubrik yang khusus menulis pengalaman saya selama di Tapaktuan. Pertanyaan besarnya adalah manfaat apa buat pembaca? Memangnya ada yang membaca?

Segala pertanyaan itu akhirnya saya abaikan. Kalau mau saya tulis ya tulis saja. Ini akhir pekan, saat untuk menulis. Saat untuk menghasilkan satu karya. Bukankah ini yang saya selalu tekankan kepada teman-teman saya yang bertanya kepada saya bagaimana caranya supaya bisa menulis. Jawaban saya klise: tulis satu karya setiap pekannya.

Baca Lebih Lanjut.

RIHLAH RIZA #56: Inilah Caranya Orang Tua Kita Naik Kelas di Surga



“Oh yes, the past can hurt. But from the way I see it,

you can either run from it, or… learn from it.”

~~Rafiki to Simba, The Lion King

Ini catatan terakhir di tahun 2014. Tahun yang akan segera berakhir beberapa jam lagi. Tahun penuh keberkahan karena banyak nikmat yang Allah berikan dan tak sanggup saya menghitungnya. Sekaligus tahun kesedihan karena tiga orang dekat saya meninggal dalam tahun itu sedangkan saya berada di sebuah tempat yang jauh dan tidak bisa berbuat apa-apa.

Baca Lebih Lanjut.

RIHLAH RIZA #43: SAAT LAPANG BARU BERBAGI, SEMPIT EUWEUH



…dan Kami lebih dekat kepadanya

daripada urat lehernya. (Alqaaf:16)

Stasiun Kereta Api Medan. Tiga hari sebelum Ramadan 1435 H usai. Saat itu menjelang waktu berbuka puasa. Saya duduk di bangku tunggu stasiun dekat musala. Sembari menunggu pengumuman keberangkatan kereta yang akan mengantarkan saya ke Bandara Kualanamu.

Tidak seberapa lama, seorang laki-laki yang membawa troli bagasi penuh tas dan kardus datang mendekat. Mungkin ia akan ke toilet yang berada di sebelah tempat salat ini, pikir saya. Memandang wajahnya seperti sangat dekat. Pernah saya kenal.

Saya berinisiatif untuk menyapa duluan, “Mas, kayaknya saya kenal. Di mana yah?” Langsung dia menjawab, “Mas Riza yah?” Ia menyebut nama. “Kita pernah satu kos dulu,” katanya lagi. Ingatan saya langsung menuju kampus STAN dulu. Setelah itu kami hanyut dalam perbincangan masa lalu dan sekarang.

Baca Lebih Lanjut.

RIHLAH RIZA #32: PAHLAWAN ITU BUKAN SAYA


RIHLAH RIZA #32: PAHLAWAN ITU BUKAN SAYA

 

 

Suatu waktu kalau Anda berkunjung ke Tapaktuan datanglah sebentar di salah satu sudutnya. Ambillah barang satu atau dua gambar di sana. Itu sudah cukup dikatakan kalau Anda sudah benar-benar datang ke kota kecil ini. Ini sebuah dinding beton penahan longsor dari sebuah bukit. Di dinding itu bertuliskan ucapan selamat datang dan banyak mural sederhana yang menceritakan aktivitas penduduk Tapaktuan. Letaknya berada di ujung jalan masuk terminal atau berada di depan warung kopi terkenal: Terapung. Tempat para supir travel berisitirahat setelah usai perjalanan dari Medan atau pun Banda Aceh. Di suatu waktu itu, di suatu pagi itu, saya mengangkangi sudutnya.

Suatu waktu setelah dari sana Anda juga perlu bergerak ke arah utara. Mengunjungi situs makam Tengku Syaich Tuan Tapa. Tuan yang menjadi legenda di kota ini. Tuan yang pernah bertempur dengan naga dan jejak kaki raksasanya tertancap di karang pinggiran samudera. Makamnya tidak seperti makam orang-orang biasa, bentuknya besar memanjang, dan cukup terawat. Anda bisa masuk ke dalam kompleks makam karena pintu pagarnya tak terkunci. Di sebelah kanan makam terdapat makam dengan ukuran biasa dari seorang penguasa Tapaktuan bernama Datuk Radja Amat Djintan yang wafat pada tahun 1928 M. Di suatu waktu itu, di suatu pagi itu, saya terpekur memandangi rumah keabadian tempat dua manusia berkalang tanah.

Suatu waktu setelah Anda mengunjungi situs makam itu bergeserlah sedikit ke utara lagi. Ke sebuah rumah, tempat seorang Kapiten Belanda di tahun 1929 berfoto bersama dengan teman-temannya dan dua ekor anjing hitam. Mereka berfoto di halaman depan rumah. Rumah yang kini tak berpenghuni. Foto saat mereka mapan dan merasa berhak untuk berbuat apa saja kepada pribumi. Sedangkan di pelosok pedalaman, perlawanan itu tetaplah berlangsung sampai Jepang datang di tahun 1942. Di suatu waktu itu, di suatu pagi itu, saya menggigit dan memamah sejarah tanpa tandas karena saya sisakan sebagian untuk saya simpan di memori kepala.

Suatu waktu setelah Anda mengunjungi semuanya, beristirahatlah sebentar. Sejenak saja. Mendekatlah. Dan jangan menjauh. Duduk bersama saya di tepian pantai ini. Tempat biasa saya melabuhkan atau malah melarungkan rindu. Tempat kata-kata memungut satu per satu dirinya sendiri menjadi sajak dan gigil. Mungkin kita akan duduk di sini sampai matahari bulat di hadapan habis dilahap samudera. Tenang saja di sini, kita nikmati potongan senja, sambil memandang putih buih, mendengar gemuruh ombak, menghirup aroma asin laut, dan merasakan sepoi angin yang membelai wajah. Di suatu waktu itu, di suatu saat itu, saya ingin menceritakan kepada Anda sesuatu. Sudilah Anda mendengarnya.

Suatu ketika saya pulang ke Jakarta dari Bandara Sultan Iskandar Muda, Banda Aceh. Dengan menggunakan “singa terbang”, para penumpang harus transit di Bandara Kualanamu, Medan dan kami harus turun terlebih dahulu dari pesawat. Saat itu sudah jam setengah tujuh malam. Satu jam kemudian kami diminta masuk pesawat kembali. Di situlah kericuhan dimulai, ada dua orang penumpang dari Banda Aceh yang tidak mendapatkan tempat duduk. Tempat duduknya semula telah diisi penumpang dari Bandara Kualanamu. Sedangkan yang tersisa hanya satu kursi kosong dengan nomor yang berbeda.

Pramugari tidak bisa berbuat apa-apa karena sudah dapat dipastikan telah terjadi kesalahan dalam sistem booking mereka. Petugas “Singa Terbang” di bandara turun tangan dan meminta agar salah satu dari penumpang itu terbang dengan menggunakan pesawat lain yang—kata petugas itu—telah siap untuk terbang juga. Tapi sang penumpang tidak mau karena merasa berhak di pesawat ini. Sang penumpang tidak bisa disalahkan karena ia berangkat dari Banda Aceh. Katanya pun, kalau ia berangkat dari Bandara Kualanamu ia masih bisa memahami dan mau pindah pesawat. Tapi karena ia bayar untuk naik pesawat dengan jam dan nomor penerbangan dari Banda Aceh maka ia bersikeras berada di pesawat yang sama.

Perdebatan semakin memanas, ditambah para penumpang lain membela sang penumpang dari Banda Aceh. Sedangkan dua penumpang yang naik dari Bandara Kualanamu santai saja di tempat duduknya, merasa tidak ada masalah. Sampai-sampai kepala kru hendak melaporkannya kepada pilot karena kericuhan tanpa kejelasan akhir ini. Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Saya pikir alangkah eloknya kalau petugas “Singa Terbang” menjanjikan akan memberikan kompensasi layak kepada sang penumpang ketika mau pindah pesawat. Tapi itu tidak pernah terlontar dari mulut petugas. Ujung-ujungnya perdebatan tetap berlangsung.

Di tengah suasana tidak nyaman ini, di antara wajah gelisah para penumpang yang mengharapkan pesawat segera terbang, berdirilah seorang pemuda bertubuh gempal. Tanpa basa-basi ia menawarkan diri kepada pramugari untuk menjadi volunteer. Ia bersedia pindah pesawat. Bergegas ia ambil tasnya dan langsung keluar pesawat. Usai sudah semuanya. Sang penumpang dari Banda Aceh bisa duduk. Penumpang lain ikut senang. Pesawat pun segera bisa terbang. Solusinya sederhana dan tak sulit. Mesti ada yang harus berkorban. Dan pengorbanan itu tidak ditunjukkan dari para empunya masalah. Tapi dari pemuda tidak dikenal. Pemuda yang akan terbang lebih malam dan tiba di Bandara Soekarno Hatta lebih lama dari kami semua. Sebuah solusi yang tidak pernah terlintas dalam benak saya. Di suatu waktu itu, di suatu saat itu, pemuda itu pahlawannya. Bukan saya.

Pahlawan itu adalah orang yang mengorbankan segala. Ia yang berani mewakafkan dirinya bermanfaat buat orang banyak. Di atas pengorbanan itu berdirilah prinsip yang teramat kokoh tak tergoyahkan apa pun. Prinsip tak akan tegak di atas dinar dan dirham yang hanya memuaskan perutnya saja. Maka pada malam itu sebatas kekaguman kepada sang pemuda yang hanya bisa dipersembahkan. Bukankah—mengutip Anis Matta—kekaguman adalah sebagian cara kita membalas utang budi kepada para pahlawan?

Suatu waktu usai sudah cerita ini terkisahkan kepada Anda. Malam telah jelang. Saatnya untuk pulang. Dan saya bukanlah pahlawan karena telah berjasa mengantarkan Anda berkeliling Tapaktuan. Bukan. Terlalu berlebihan soalnya. Cukuplah saya menjadi pahlawan buat kalian di Citayam yang senantiasa saya rindukan setiap malam-malam sepi di tanah seberang. Bukan untuk dikagumi, melainkan diteladani. Itu pun jika saya memilikinya, memiliki keteladanan itu. Di suatu waktu, di saat itu, semoga itu saya adanya.

 

 

Selamat Datang di Kota Naga (Foto koleksi pribadi).

 

Kompleks makam Tengku Syaich Tuan Tapa (Foto Koleksi Pribadi)

Makam Tengku Syaich Tuan Tapa (Foto koleksi pribadi).

Makam Datuk Radja Amat Djintan (Foto koleksi pribadi).

Rumah Kapiten Hofstede Tapa Toean di tahun 1929 (Wikipedia) dan masa kini (Foto koleksi pribadi).

 

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

Tapaktuan 22.59 03 Maret 2014

 

RIHLAH RIZA #19: JAUH KE MANA-MANA


RIHLAH RIZA #19: JAUH KE MANA-MANA

 

 

Bandara Kualanamu sudah menjadi titik-titik cahaya di bawah sana. Tiga orang dalam satu baris kursi pesawat Airbus A320 itu asyik membincangkan penempatan mereka. Terutama tentang sistem terbaru mutasi dan promosi di DJP. “Kita beruntung ditempatin di Medan. Deket ke mana-mana. Lebih enakan di sini daripada Aceh,” kata salah satu dari tiga orang itu. Mereka tak tahu satu orang yang duduk di belakang kursi mereka, ditempatkan di provinsi yang tak diinginkan mereka.              

**

Panglima Polim, tepatnya di bulan Desember 1903, datang ke Lhokseumawe untuk menyerah kepada Belanda.  Itu pun karena Belanda secara licik menangkap dan menyandera saudara-saudara terdekatnya. Ancamannya adalah membuang mereka dari Tanah Aceh. Ancaman sama yang pernah sukses dilakukan sebelumnya kepada Sang Sultan Muhammad Daud Syah. Cara ini efektif juga melemahkan perlawanan Panglima Polim. Cara keji Belanda:  menjauhkan pejuang dari homeland dan memisahkannya dari orang-orang yang dicintainya.

Lalu 110 tahun kemudian, giliran saya tiba di kota yang sama. Saya tidak pernah menyangka bisa berkunjung ke kota terbesar kedua di Aceh, Lhokseumawe ini. Saya seperti terpana pada ramai dan besarnya kota ini dibandingkan Tapaktuan.  Jalanan Banda Aceh menuju kota penghasil gas itu juga lebih lebar daripada jalanan Banda Aceh menuju Tapaktuan. Plus lebih hidup. Serupa Pantura Jawa minus tarlingnya.

Setelah mengikuti Forum Penagihan Kantor Wilayah (Kanwil) DJP yang berakhir sore itu di suatu hotel di sudut Banda Aceh, saya langsung dijemput oleh Mas Andy Purnomo untuk bareng menuju Lhokseumawe. Butuh waktu enam jam perjalanan darat menuju salah satu kota di pantai timur Aceh ini. Belum termasuk istirahat dua kali. Salah satunya makan malam di rumah makan terkenal di Sigli yang menyediakan ayam penyetnya.

Perjalanan berjalan lancar walaupun hujan mengiringi kami. Mobil yang dikemudikan teman kami, Rudy Zasmana, sampai di Lhokseumawe hampir jam satu malam.  Saya bersama Mas Andy menginap di hotel bintang tiga bernama Hotel Lido Graha. Namanya sama dengan suatu daerah wisata di Jawa Barat, di perbatasan antara Bogor dan Sukabumi.

Hotelnya setengah tua. Seperti hotel di tahun 80-an. Memasuki kamarnya pun tercium aroma lama. Hotel ini dimiliki oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Utara. Kabupaten ini dulu ibu kotanya Lhokseumawe, namun setelah Lhokseumawe dijadikan kota otonom maka ibu kotanya dipindahkan ke Lhoksukon.

Kalau di Aceh seringkali kita dengar nama daerah yang diawali atau diakhiri dengan kata Lhok. Seperti dua daerah yang disebut barusan. Ada juga Lhok Seumira, sebuah gampong yang ada di Bireuen atau  Meusale Lhok, salah satu gampong  di Kabupaten Aceh Besar. Di Tapaktuan ada gampong yang namanya Lhok Bengkuang dan Lhok Rukam. Kata lhok ini berasal dari bahasa Aceh yang artinya teluk, dalam, atau palung laut. Memang betul, dua daerah yang saya sebutkan terakhir itu lokasinya berada di teluk.

Saya harus segera beristirahat. Pagi-pagi saya kudu berangkat ke Kantor Pelayanan Pajak Pratama Lhokseumawe karena acaranya akan diselenggarakan di sana. Setelah bersih-bersih, minum vitamin, menarik selimut,  mematikan lampu, baca doa, mata saya pun langsung terpejam.  Terjerembab dalam mimpi. Mimpi yang rumit. Tak jelas.

Kali ini saya diminta bantuannya oleh Mas Andy Purnomo untuk berbagi ilmu kepenulisan kepada peserta Forum Pelayanan dan Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) se-Kanwil DJP Aceh. Mereka adalah para eselon empat yang terdiri dari tujuh Kepala Seksi Pelayanan dan empat belas Kepala KP2KP.

Forum ini diselenggarakan selama dua hari. Kepala Kanwil DJP Aceh, Bapak Mukhtar, memberikan sambutan dan sekaligus membuka acara itu. Setengah acara di hari pertama dijadwalkan untuk pemaparan permasalahan pelayanan kantor masing-masing, setengah acara berikutnya pelatihan menulis artikel. Di hari kedua, para peserta diajak untuk menyaksikan penandatanganan memorandum of understanding antara Kanwil DJP Aceh dengan Universitas Malikussaleh.

 ???????????????????????????????

Salah satu sesi di acara Forum Pelayanan (Foto Koleksi Pribadi)

Yang saya lakukan dalam pelatihan itu sebagian besarnya hanyalah menumbuhkan motivasi. Selebihnya terkait teknis penulisan artikel. Dengan kata lain softskill lebih saya utamakan daripada hardskill di sesi pelatihan itu. Salah satu softskill itu adalah motivasi.  Motivasi penting buat menulis. Kalau tak ada motivasi jelas tak akan bisa. Bagi saya menulis itu gampang dan bisa dilakukan oleh siapa saja asal punya dua syarat ini: tekad dan selalu menulis. Saya saja bisa mengapa Anda tidak bisa? Itu yang selalu saya katakan kepada para peserta pelatihan.

Tekad dan latihan terus menerus itu perlu, penting, dan wajib. Teknisnya senantiasa berkembang mengikuti kuantitas karya yang dihasilkan. Bagi seorang penulis, bahkan saya yang pemula ini, setiap hari adalah momentum belajar untuk menghasilkan karya yang berkualitas. Setiap proses ‘penciptaan’ tulisan adalah momentum terbaik untuk memperbaiki karya. Bahkan satu ilmu paling dasar dalam menulis pun baru saya ketahui pekan-pekan ini saja. Artinya? Belajar tak akan pernah berhenti walaupun sudah banyak tulisan yang dibuat.

Tips-tips menulis artikel sudah saya berikan dalam pelatihan itu. Selesainya, tinggal kemauan besar dari para peserta untuk mempraktikkan semua yang didapat. Jikalau masih ada hambatan seperti mental block—contohnya menulis itu butuh mood, menulis itu hanya buat orang yang punya bakat, tulisannya jelek—yang menghalangi untuk menulis, yakinlah bahwa semua mental block hasil dari otak kiri itu akan hilang hanya dengan cara menulis menggunakan otak kanan. Abaikan, jangan pedulikan apa pun ketika memulai menulis.  Tulis saja semua yang dirasa, dilihat, didengar, dan diraba. Tetaplah semangat. Yakinlah Anda bisa.

Dari Lhokseumawe saya kembali ke Banda Aceh dengan menggunakan travel L300 sore itu. Dengan menempuh rute yang sama saat berangkat. Sebagiannya akan menyusuri pegunungan Seulawah Agam. Ingat Seulawah tentunya ingat kepada sebuah pesawat angkut pertama yang dibeli dengan menggunakan uang sumbangan rakyat Aceh saat awal-awal berdirinya Republik Indonesia ini: Dakota RI-001 Seulawah. Kalau mau melihat asli dari pesawat ini datang saja ke Taman Mini Indonesia Indah, sedangkan untuk melihat replikanya bisa dilihat di Blang Padang, Banda Aceh.

Pada akhirnya, di tepian kaca jendela L300, sambil memandang keluar menembus kepekatan malam saya merenung. Semuanya selesai dikerjakan dan saya bahagia meninggalkan Lhokseumawe di belakang. Bahagia karena sudah berbagi sedikit pengetahuan yang dipunya kepada orang-orang hebat di garis depan pelayanan DJP di provinsi yang “jauh ke mana-mana” ini: Kepala Seksi Pelayanan dan Kepala KP2KP se-Kanwil DJP Aceh. Juga bisa bertemu dengan anggota Forum Shalahuddin yang sebelumnya saya mengira ia tidak berkantor di KPP Pratama Lhokseumawe. Semoga semua itu bermanfaat.

Kalau saja saya tidak ditempatkan di Tapaktuan atau provinsi yang jauh ke mana-mana ini sepertinya saya tidak akan pernah bisa berkunjung ke Lhokseumawe. Sepertinya pula saya tidak akan pernah singgah di suatu daerah, tempat saya membuat, menyunting, dan menyelesaikan akhir dari tulisan ini: Pekanbaru. Di sebuah bandara. Bandara Sultan Syarif Kasim II.

Plang Bandar Udara Internasional Sultan Syarif Kasim II (Foto Koleksi Pribadi)

 

***

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

Pekanbaru, Riau

08:29 29 Desember 2012