RIHLAH RIZA #71: Dia yang Telah Pergi Tak Akan Pernah Kembali


IMG-20160830-WA0014

…hanya waktu.

Awalnya bimbang untuk melanjutkan lagi tulisan Rihlah Riza yang sudah mencapai nomor 70. Rubrik yang khusus menulis pengalaman saya selama di Tapaktuan. Pertanyaan besarnya adalah manfaat apa buat pembaca? Memangnya ada yang membaca?

Segala pertanyaan itu akhirnya saya abaikan. Kalau mau saya tulis ya tulis saja. Ini akhir pekan, saat untuk menulis. Saat untuk menghasilkan satu karya. Bukankah ini yang saya selalu tekankan kepada teman-teman saya yang bertanya kepada saya bagaimana caranya supaya bisa menulis. Jawaban saya klise: tulis satu karya setiap pekannya.

Baca Lebih Lanjut.

RIHLAH RIZA #22: SEHARI MENJADI SINGA


RIHLAH RIZA #22: SEHARI MENJADI SINGA

 

“Hidupnya seekor singa sehari masih lebih berkenan ketimbang ratusan tahun hidupnya seekor serigala,” tegas Tipu Sultan di istananya di Seringapattam, Mysore, saat gerbang istana diserbu penjajah Inggris yang dibantu para kaptennya yang telah menjadi pengkhianat dan komprador. Penasehatnya menyarankan Tipu Sultan berkompromi dengan syarat-syarat dalam perjanjian yang disodorkan kepadanya. Tidak. Ia memilih menjadi syuhada.

**

Duha itu, jam sembilan pagi, kami berangkat menuju Kantor Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD) Kabupaten Simeulue. Letaknya di belakang Kantor Bupati Simeulue. Di sana kami diterima oleh Kepala DPPKAD. Kami membahas persiapan acara Serah Terima Pengelolaan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) yang akan digelar besok. Acara itu rencananya akan dihadiri oleh Sekretaris Daerah Kabupaten, Naskah bin Kamar. Sebagian dari kami kemudian memisahkan diri untuk memberikan konsultasi tentang perangkat lunak sistem informasi dan jaringan.

Jadi Kabupaten Simeulue ini merupakan pecahan dari Kabupaten Aceh Barat. Sejak tahun 1999 berpisah dari induknya dan beribu kota di Sinabang. Tempat KMP Sinabang bersandar. Letak ibu kota kabupaten ini berada di Kecamatan Simeulue Timur. Kotanya kecil. Pusing-pusing di sana tidak makan waktu banyak.

Di Sinabang ada masjid tertua namanya Masjid Raya Baiturrahmah. Kami singgah di hari pertama keberadaan kami di Pulau Simeulue untuk salat duhur di sana. Masjidnya sangat sederhana karena berdinding papan saja. Di sebelah masjid ini sedang dibangun masjid yang lebih besar dan kokoh lagi sebagai penggantinya. Kompleks masjid raya ini letaknya di persimpangan di depan Polsek Simeulue Timur dan Rumah Tahanan (Rutan) Cabang Sinabang.

Rutan ini jangan dikira seperti Rutan Salemba atau rutan-rutan lainnya yang bertembok tebal. DI sini rutannya cukup dengan dinding papan seadanya dan berpagar luar hanya dengan kawat biasa saja. Tidak ada pengamanan ketat seperti sebuah penjara, mungkin samudera yang mengelilingi pulau ini sudah menjadi tembok alami dan bikin jiper para tahanan yang mau melarikan diri. Pernah kejadian tahanan melarikan diri dengan menggergaji papan namun dipastikan tidak bisa keluar dari Simeulue. Polisi sudah sebar fotonya di pelabuhan.

Setelah salat kami menuju pelabuhan lama Sinabang yang sekarang tidak terpakai lagi. Dermaga utama terlihat masih baik namun dermaga untuk menambatkan tali dan dermaga yang berada di sebelah kiri terlihat rusak juga amblas. Pelabuhan ini tidak dipakai lagi untuk melayani feri menuju Pulau Sumatra. Kami tidak lama di sana. Ada yang harus kami tuju setelahnya. Tempat penangkaran lobster.

Letaknya dekat keramaian kota Sinabang. Tempat ini dimiliki oleh Wajib Pajak Kantor Pelayanan Pajak Pratama Tapaktuan bernama Mahlil. Ia pengusaha lobster dan ikan yang sudah berusaha lebih dari 20 tahun di bidang itu. Dari daratan kami harus menyeberangi semacam demaga papan kayu menuju tempat penangkarannya itu. Di samping dermaga tertambat kapal boat milik polisi air dan kapal kayu nelayan unik yang besar. Unik karena di setiap sisi kapal kayu berwarna merah ini terdapat semacam kayu panjang untuk menjaga keseimbangannya.

Pada saat kami datang pun Mahlil sedang menyiapkan lobster untuk dikirimkan ke Medan. Inilah saat pertama kali melihat dengan mata kepala sendiri dan memegang hewan laut invertebrata berpelindung luar yang keras. Otak pajak kami sudah mulai bekerja. Kalau setiap hari saja ada puluhan kilogram lobster yang dijual, berapa pendapatan yang diterima Mahlil sedangkan harga per kilogram lobster ini 250 ribu rupiah.

Mahlil selain menangkar lobster, juga menangkar jenis ikan kerapu tiger dan hiu. Semua hewan bernilai mahal ini didapatkan dari para nelayan yang menangkapnya dari tengah laut. Kebetulan kami pun melihat ada satu nelayan sedang menyandarkan sampannya lalu menjinjing hasil tangkapannya berupa kerapu tiger untuk dijual kepada Mahlil. Pengusaha ini menjual kembali kerapu tiger dengan harga 120 ribu rupiah per kilogramnya.

Kami tidak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk melihat penangkarannya. Mahlil membuat banyak petak keramba masing-masing berukuran sembilan meter persegi. Setiap petak keramba mempunyai jaring-jaring dan diberi nomor dengan memakai styrofoam. Di atas jaring itulah ditempatkan hiu berukuran kecil sepanjang satu meter, lobster, dan kerapu tiger. Tentu tidak dicampur.

Setelah puas melihat-lihat kami segera pergi menuju sebuah tempat di mana legenda tentang Simeulue bermula: Makam Tengku Diujung. Kami harus menempuh perjalanan sepanjang 67,8 kilometer dari Sinabang ke Desa Latak Ayah, tempat makam itu berada. Ini berarti kami harus berpindah lokasi dari sisi timur pulau Simeulue menuju sisi baratnya.

Empat per lima bagian perjalanan itu sudah pasti dilalui melalui pesisir pantai. Kami terpukau habis dengan pemandangan yang disuguhkannya. Pantai pasir putih, jejeran pohon kelapa, ombak yang pas buat surfing, dan
pegunungan di sisi kanan kami. Jalanan sepi dan hanya satu dua kendaraan yang kami susul, bahkan berpapasan dengan kendaraan lain pun tidak.

Kondisi jalan lumayan mulus, hanya pada saat di jembatan kami harus mengurangi kecepatan karena masih dalam perbaikan. Hampir seluruh jembatan yang kami lewati demikian adanya. Selain itu, seperti di daerah lainnya di provinsi Aceh, kami banyak melihat kumpulan kerbau yang merumput dan dibiarkan begitu saja. Tak ada gembalanya sama sekali.

Setelah lebih dari dua jam berkendara, akhirnya kami sampai. Makam ini berada di sebuah teluk. Kata penduduk setempat, di sekitar makam ini dulunya adalah pantai. Namun setelah adanya tsunami permukaan tanahnya naik sehingga garis pantai pun mundur puluhan meter. Daratannya menjadi bertambah luas. Konon katanya tsunami memang menghantam teluk ini, tapi tidak merusak sama sekali kompleks makamnya. Air membelah dan melewati begitu saja. Siapa Tengku Diujung ini?

Seperti diceritakan oleh Kepala DPPKAD sendiri kepada kami, dulu ada seorang ulama bernama Khaliilullaah yang berangkat haji dari Minangkabau, saat itu Minangkabau masih menjadi daerah kekuasaan Sultan Iskandar Muda. Ia singgah dulu di Aceh. Oleh Sang Sultan ia diminta untuk menunda keberangkatannya ke tanah suci Makkah. Ia ditugaskan untuk mengislamkan penduduk Pulau Simeulue. Keinginan Sang Sultan dituruti, ia bersama dayang istana yang kemudian menjadi istrinya pergi ke pulau itu untuk memulai dakwahnya di sana.

Di pulau itu ia bertemu dengan penguasa Pulau Simeulue yang bernama Songsong Bulu yang masih menganut paham animisme. Dua orang itu adu kesaktian yang pada akhirnya dimenangkan oleh sang ulama. Singkat cerita penduduk Simeulue pun memeluk Islam. Oleh para pengikutnya sang ulama digelari oleh para pengikutnya sebagai Tengku Diujung. Di akhir hayatnya Tengku Diujung dimakamkan di sebuah tempat yang kemudian dinamakan Latak Ayah. Latak itu berasal dari bahasa minang yang berarti letak. Bersebelahan dengan makam sang ulama terdapat makam sang istrinya.

Selesai berziarah kami mampir di warung sebelahnya. Warung ini berdiri di atas tambak dan persis di bibir teluk. Airnya berwarna hijau. Remaja dan anak-anak pun menjadikan teluk itu sebagai tempat bermain mereka. Berenang atau bersampan.

Pemilik warung juga merupakan penangkar lobster, ikan, dan hiu. Inilah tempat yang sering menjadi kunjungan bagi para pecinta lobster. Perjalanan lama dan melelahkan ini terbayar dengan kenikmatan Mr. Crab yang digoreng sampai berwarna merah itu. Dagingnya empuk dan manis. Ini pengalaman pertama saya makan lobster.

 

Sinabang-Latak Ayah (Google Maps Olahan)

Tempat Penangkaran Lobster milik Mahlil di Sinabang. (Foto koleksi pribadi).

 

Ini di Maldives bukan di Simeulue (@NatGeoID).

 

Nah, kalau ini asli di Latak Ayah. (Foto koleksi pribadi).

 

Pantai yang sudah menjadi daratan di Teluk Latak Ayah (Foto koleksi pribadi).

 


Pemandangan Lain Teluk Latak Ayah (Foto koleksi pribadi).


Makam Asysyaikh Khaliilullaah (Foto koleksi pribadi).

 


Anak-anak Nelayan (Foto Koleksi Pribadi).

Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul enam sore walau suasananya masih terang benderang. Kami pun segera beranjak pulang. Besok pagi masih ada yang harus kami selesaikan. Yang pasti seharian itu saya banyak mendapatkan pengalaman luar biasa. Jadi banyak tahu. Jadi banyak ngebatin kaya batin. Sehari di sini mengayakan sisi-sisi jiwa saya yang tidak pernah didapatkan dalam ratusan hari di Jakarta dan keramaiannya. Tapi baik singa atau pun jadi serigala mereka sama-sama hewan yang suka hidup berkelompok. Entah jadi salah satu dari keduanya, mereka tidak bisa hidup sendirian di luar kelompok dan keluarganya, di alam liar. Apalagi saya sebagai manusia. So…

***

 

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

di sebuah garis imajiner

12 Januari 2013