Buatku, Apalagi yang Ditunggu?



Aku pilih untuk menyudahi malam dengan memintal doa untukmu; untuk bahagiamu. Pada satu doa saat keinginan dan kepasrahan bersatu dalam sujud tanpa syarat, di sanalah kamu sebagai titik tujuannya.

(Moammar Emka)

Saya kembali tidur di musala lantai 2 Bandara Kualanamu tadi malam. Ini untuk kedua kalinya. Yang pertama karena ketinggalan travel menuju Tapaktuan beberapa waktu yang lalu. Sekarang, karena saya menyengaja menghindari naik travel agar bisa berlama-lama dengan keluarga. Dan karena saya sudah sampai pada titik jenuhnya mengarungi gelapnya malam Senin, Kabanjahe, Sidikalang, Subulussalam serta mengorbankan diri untuk duduk berlama-lama selama 10 jam di mobil Kijang Innova.

Makanya saya lebih memilih penerbangan terakhir dari Bandara Halim Perdana Kusumah menuju Bandara Kualanamu dengan menggunakan pesawat Batik Air pada pukul 20.05. Ternyata, saya banyak bertemu dengan teman-teman sejawat yang juga berangkatnya sama: memilih penerbangan terakhir.

Mereka mengakhiri perjalanannya di Medan, Kota Langsa Aceh, bahkan Pematangsiangtar. Saya yang paling terjauh. Mereka melanjutkan perjalanan lagi dengan menaiki moda darat lain sedangkan untuk kali ini saya harus menunggu besok paginya agar bisa terbang ke Tapaktuan menggunakan pesawat Susi Air.

Terbayangkan, hari Minggu adalah hari besar buat para pekerja Direktorat Jenderal Pajak untuk kembali ke tempat kerjanya masing-masing setelah berakhir pekan dan bertemu dengan keluarga walau hanya dalam waktu yang relatif sebentar. Keluarga sejatinya adalah baterai yang mere-charge semangat hidup. Ini yang seharusnya disadari para pemilik kekuasaan agar mereka tidak perlu lama memisahkan anggota keluarga walau di balik alasan mulia: militansi untuk bangsa dan negara.

Semangat pegawai yang senantiasa menyala yang untung juga organisasi. Pegawai bahagia yang untung juga organisasi. Untung rugi organisasi tidak bisa dihitung hanya dengan materi. Yang nonmateri bahkan punya daya ledak dan lesak dahsyat buat organisasi.

Kalau mengutip Fita Chakra kebahagiaan nonmateri ini mewujud berupa prestasi, cinta kasih dari keluarga, teman, dan pasangan, pengakuan dari lingkungan, kepuasan karena menolong orang lain, dan sebagainya. Inilah sejatinya sesuatu yang mendatangkan kebahagiaan baginya dapat dirasakan dalam jiwa, tetapi tidak bisa disentuh dan diraba.

Sekarang saya sudah tidak khawatir kedinginan lagi untuk tidur di musala itu. Saya sudah membawa sleeping bag milik Mas Haqi. Untuk ini saya mengucapkan terima kasih kepada Sir Pryce Pryce-Jones yang telah menemukan ide untuk menyatukan dua karpet persegi panjang yang diikat tali sehingga tercipta sleeping bag pada tahun 1876. Sebuah ide brilian yang membuat tentara Rusia sanggup membawa tempat tidur ke mana saja.

Banyak juga yang menginap di musala yang berukuran 84 meter persegi itu. Biasanya karyawan yang kemalaman atau punya tugas lebih awal besok hari atau juga penumpang pesawat untuk jadwal pertama berangkat. Pada saat saya datang sudah ada delapan orang bergeletakan memenuhi sudut musala. Belum terhitung mereka yang berada di tempat salat wanitanya.

Setelah salat jamak qasar saya langsung menggelar sleeping bag, membuka hp barang sebentar, lalu tertidur pulas. Di tengah lelap saya terkadang bangun karena ada suara berisik orang yang keluar masuk musala. Terutama petugas Aviation Security.

Saya bangun jam setengah lima pagi karena gaduh. Ada yang sudah salat malam. Mereka sedang menunggu salat Subuh yang hampir datang. Saya segera membereskan semuanya. Pergi ke toilet bandara yang masih satu lantai dengan musala ini. Kemudian bergabung salat berjamaah. Lalu berdoa panjang.

Salah satunya buat Ummu Kinan. Untuk ini saya teringat apa yang Moammar Emka tulis, “Aku pilih untuk menyudahi malam dengan memintal doa untukmu; untuk bahagiamu. Pada satu doa saat keinginan dan kepasrahan bersatu dalam sujud tanpa syarat, di sanalah kamu sebagai titik tujuannya.”

Lalu tilawah Alquran sebagai salah satu wirid harian yang harus tertunaikan minimal satu juz dalam sehari. Saya menghentikan tilawah saat jam sudah menunjukkan jam enam pagi. Saatnya check in. Saya beranjak ke lantai tiga tempat deretan counter check in berada. Masih tidak ada orang di counter check in Susi Air.

Saya masih harus menunggu 15 menit lagi untuk bisa check in. Saya ketemu dengan Pak Irwinsyah, Kepala Kejaksaan Negeri Tapaktuan. Ia sedang duduk-duduk di counter kosong di sebelah counter check in Susi Air. Pak Irwinsyah ini biasa pulang pergi setiap minggunya naik Susi Air. Jadi sudah terbiasa dan menjadi langganan tetap Susi Air.

Setelah check in, kami diminta segera untuk masuk ruang tunggu di gate 5 Bandara Kualanamu. Pesawat akan berangkat sesuai jadwal pada pukul 06.40. Pagi ini hanya ada tiga orang yang menaiki pesawat Susi Air. Ada penumpang atau tidak pesawat ini tetap berangkat sesuai jadwalnya demi sebuah tugas sebagai pesawat perintis yakni menghubungkan daerah sepi dan terpencil dengan perkotaan.

Kotak berisi roti dan air minum dalam kemasan gelas diberikan kepada kami para penumpang. Cukup untuk mengganjal perut dan menemani perjalanan selama 50 menit ini. Tidak ada yang istimewa dalam perjalanan ini. Barangkali karena bukan pengalaman pertama. Sesekali saya melihat keluar jendela. Dan segera menepis bayangan buruk tentang kecelakaan pesawat. Doa-doa perjalanan segera saya rapalkan.

Di kejauhan Gunung Sinabung menantang langit dengan angkuhnya. Tidak ada yang menandingi. Ia mencolok melewati gulungan atap awan putih. Bekas erupsi tampak sekali dari kejauhan. Kalau ia sedang batuk, pesawat Susi Air ini tak akan berani melintasinya.

Di atas pun saya masih sempat untuk tidur . Tapi tidak lama, karena pilot sudah kasih pemberitahuan bahwa pesawat akan segera mendarat di Bandara Cut Ali.

Setelah di tanah, kami bertemu dengan Bapak Bupati Aceh Selatan, Sama Indra, yang akan naik dengan pesawat Susi Air yang akan kembali ke Kualanamu. Sudah ada teman yang menunggu untuk menjemput saya dengan mobil APV warna biru itu. Bandara ini masih tiga puluh menit lagi jaraknya menuju Tapaktuan dengan menyusuri lima gunung.

Setengah sembilan pagi saya sudah ada di mes. Setelah istirahat sebentar, saya menuju ke kantor untuk kembali bekerja, menata mental, dan menunggu dengan penuh kesabaran.

Kata tokoh Aku dalam Linguae yang ditulis Seno Gumira Ajidarma, “Menunggu adalah menunggu. Lima menit bisa menjadi 500 tahun—dan waktu yang kosong bisa diisi sejarah berabad-abad.” Buatku, apalagi yang ditunggu?


Sleeping bag itu.


Musala itu.


Kosong.


Melayani dengan sepenuh hati.


Berangkat


Kali ini bukan dari Ras Kaukasoid yang jadi pilotnya, melainkan Ras Asia. Dari Asia Selatan dan Asia Timur.


Gunung Sinabung.


Di atas Kota Fajar.


Sebentar lagi mendarat.


Di atas Cut Ali.

***

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

Rihlah Riza #73

Tapaktuan, 10 Oktober 2016

 

Advertisement

Tinggalkan Komentar:

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.