Ketika Iblis Tak Pernah Mengatakan Itu



Akulah pemegang undang-undang penjara, akulah yang mematikan dan menghidupkan, aku boleh membunuh seratus orang sehari dan tiada siapa boleh menghalang. Jika tuhan turun, aku akan sumbat ke dalam penjara dan akan aku sula.

Hamzah Basyuni
**

 

Keberanian pasukan muslim menginap di Tabuk tanpa ada perlawanan pihak Romawi sebagai salah satu adikuasa pada saat itu membuat derajat kaum muslimin naik satu tingkat di mata bangsa Arab lainnya. Kemudian berdatanganlah utusan kabilah Arab dari berbagai penjuru menemui Rasulullah saw. Salah satunya dari Bani Amir yang mengutus Amir bin Thufail dan Arbad bin Qais. Dua orang yang tercatat dalam sejarah tapi dengan tinta hitam yang mengeruhkan.

Karena kedatangan mereka dengan mengancam Sang Terpilih. Ancaman yang tidak main-main: menghilangkan nyawa. “Kalau kita sudah berjumpa dengannya, saya akan membuatnya sibuk dan lupa denganmu. Kalau dia sudah lengah, pukullah dia dengan pedangmu,” kata Amir bin Thufail kepada Arbad. Tapi Rasulullah saw adalah makhluk yang terpelihara. Usai menolak menemui Amir bin Thufail yang menginginkan perbincangan empat mata, Rasulullah saw berdoa, “Ya Allah, cukupkanlah aku dari Amir bin Thufail.” Apa yang terjadi?

Di tengah safari meninggalkan Madinah, Allah kirimkan penyakit thaun kepada Amir bin Thufail. Pembesaran kelenjar yang membuatnya menjerit kesakitan hingga kematian menjemputnya di rumah seorang wanita Bani Salul—suatu kabilah Arab yang dianggap rendah oleh kabilah Arab lainnya. Bagaimana dengan Arbad bin Qais?

Baca Lebih Lanjut.

Advertisement

RIHLAH RIZA #32: PAHLAWAN ITU BUKAN SAYA


RIHLAH RIZA #32: PAHLAWAN ITU BUKAN SAYA

 

 

Suatu waktu kalau Anda berkunjung ke Tapaktuan datanglah sebentar di salah satu sudutnya. Ambillah barang satu atau dua gambar di sana. Itu sudah cukup dikatakan kalau Anda sudah benar-benar datang ke kota kecil ini. Ini sebuah dinding beton penahan longsor dari sebuah bukit. Di dinding itu bertuliskan ucapan selamat datang dan banyak mural sederhana yang menceritakan aktivitas penduduk Tapaktuan. Letaknya berada di ujung jalan masuk terminal atau berada di depan warung kopi terkenal: Terapung. Tempat para supir travel berisitirahat setelah usai perjalanan dari Medan atau pun Banda Aceh. Di suatu waktu itu, di suatu pagi itu, saya mengangkangi sudutnya.

Suatu waktu setelah dari sana Anda juga perlu bergerak ke arah utara. Mengunjungi situs makam Tengku Syaich Tuan Tapa. Tuan yang menjadi legenda di kota ini. Tuan yang pernah bertempur dengan naga dan jejak kaki raksasanya tertancap di karang pinggiran samudera. Makamnya tidak seperti makam orang-orang biasa, bentuknya besar memanjang, dan cukup terawat. Anda bisa masuk ke dalam kompleks makam karena pintu pagarnya tak terkunci. Di sebelah kanan makam terdapat makam dengan ukuran biasa dari seorang penguasa Tapaktuan bernama Datuk Radja Amat Djintan yang wafat pada tahun 1928 M. Di suatu waktu itu, di suatu pagi itu, saya terpekur memandangi rumah keabadian tempat dua manusia berkalang tanah.

Suatu waktu setelah Anda mengunjungi situs makam itu bergeserlah sedikit ke utara lagi. Ke sebuah rumah, tempat seorang Kapiten Belanda di tahun 1929 berfoto bersama dengan teman-temannya dan dua ekor anjing hitam. Mereka berfoto di halaman depan rumah. Rumah yang kini tak berpenghuni. Foto saat mereka mapan dan merasa berhak untuk berbuat apa saja kepada pribumi. Sedangkan di pelosok pedalaman, perlawanan itu tetaplah berlangsung sampai Jepang datang di tahun 1942. Di suatu waktu itu, di suatu pagi itu, saya menggigit dan memamah sejarah tanpa tandas karena saya sisakan sebagian untuk saya simpan di memori kepala.

Suatu waktu setelah Anda mengunjungi semuanya, beristirahatlah sebentar. Sejenak saja. Mendekatlah. Dan jangan menjauh. Duduk bersama saya di tepian pantai ini. Tempat biasa saya melabuhkan atau malah melarungkan rindu. Tempat kata-kata memungut satu per satu dirinya sendiri menjadi sajak dan gigil. Mungkin kita akan duduk di sini sampai matahari bulat di hadapan habis dilahap samudera. Tenang saja di sini, kita nikmati potongan senja, sambil memandang putih buih, mendengar gemuruh ombak, menghirup aroma asin laut, dan merasakan sepoi angin yang membelai wajah. Di suatu waktu itu, di suatu saat itu, saya ingin menceritakan kepada Anda sesuatu. Sudilah Anda mendengarnya.

Suatu ketika saya pulang ke Jakarta dari Bandara Sultan Iskandar Muda, Banda Aceh. Dengan menggunakan “singa terbang”, para penumpang harus transit di Bandara Kualanamu, Medan dan kami harus turun terlebih dahulu dari pesawat. Saat itu sudah jam setengah tujuh malam. Satu jam kemudian kami diminta masuk pesawat kembali. Di situlah kericuhan dimulai, ada dua orang penumpang dari Banda Aceh yang tidak mendapatkan tempat duduk. Tempat duduknya semula telah diisi penumpang dari Bandara Kualanamu. Sedangkan yang tersisa hanya satu kursi kosong dengan nomor yang berbeda.

Pramugari tidak bisa berbuat apa-apa karena sudah dapat dipastikan telah terjadi kesalahan dalam sistem booking mereka. Petugas “Singa Terbang” di bandara turun tangan dan meminta agar salah satu dari penumpang itu terbang dengan menggunakan pesawat lain yang—kata petugas itu—telah siap untuk terbang juga. Tapi sang penumpang tidak mau karena merasa berhak di pesawat ini. Sang penumpang tidak bisa disalahkan karena ia berangkat dari Banda Aceh. Katanya pun, kalau ia berangkat dari Bandara Kualanamu ia masih bisa memahami dan mau pindah pesawat. Tapi karena ia bayar untuk naik pesawat dengan jam dan nomor penerbangan dari Banda Aceh maka ia bersikeras berada di pesawat yang sama.

Perdebatan semakin memanas, ditambah para penumpang lain membela sang penumpang dari Banda Aceh. Sedangkan dua penumpang yang naik dari Bandara Kualanamu santai saja di tempat duduknya, merasa tidak ada masalah. Sampai-sampai kepala kru hendak melaporkannya kepada pilot karena kericuhan tanpa kejelasan akhir ini. Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Saya pikir alangkah eloknya kalau petugas “Singa Terbang” menjanjikan akan memberikan kompensasi layak kepada sang penumpang ketika mau pindah pesawat. Tapi itu tidak pernah terlontar dari mulut petugas. Ujung-ujungnya perdebatan tetap berlangsung.

Di tengah suasana tidak nyaman ini, di antara wajah gelisah para penumpang yang mengharapkan pesawat segera terbang, berdirilah seorang pemuda bertubuh gempal. Tanpa basa-basi ia menawarkan diri kepada pramugari untuk menjadi volunteer. Ia bersedia pindah pesawat. Bergegas ia ambil tasnya dan langsung keluar pesawat. Usai sudah semuanya. Sang penumpang dari Banda Aceh bisa duduk. Penumpang lain ikut senang. Pesawat pun segera bisa terbang. Solusinya sederhana dan tak sulit. Mesti ada yang harus berkorban. Dan pengorbanan itu tidak ditunjukkan dari para empunya masalah. Tapi dari pemuda tidak dikenal. Pemuda yang akan terbang lebih malam dan tiba di Bandara Soekarno Hatta lebih lama dari kami semua. Sebuah solusi yang tidak pernah terlintas dalam benak saya. Di suatu waktu itu, di suatu saat itu, pemuda itu pahlawannya. Bukan saya.

Pahlawan itu adalah orang yang mengorbankan segala. Ia yang berani mewakafkan dirinya bermanfaat buat orang banyak. Di atas pengorbanan itu berdirilah prinsip yang teramat kokoh tak tergoyahkan apa pun. Prinsip tak akan tegak di atas dinar dan dirham yang hanya memuaskan perutnya saja. Maka pada malam itu sebatas kekaguman kepada sang pemuda yang hanya bisa dipersembahkan. Bukankah—mengutip Anis Matta—kekaguman adalah sebagian cara kita membalas utang budi kepada para pahlawan?

Suatu waktu usai sudah cerita ini terkisahkan kepada Anda. Malam telah jelang. Saatnya untuk pulang. Dan saya bukanlah pahlawan karena telah berjasa mengantarkan Anda berkeliling Tapaktuan. Bukan. Terlalu berlebihan soalnya. Cukuplah saya menjadi pahlawan buat kalian di Citayam yang senantiasa saya rindukan setiap malam-malam sepi di tanah seberang. Bukan untuk dikagumi, melainkan diteladani. Itu pun jika saya memilikinya, memiliki keteladanan itu. Di suatu waktu, di saat itu, semoga itu saya adanya.

 

 

Selamat Datang di Kota Naga (Foto koleksi pribadi).

 

Kompleks makam Tengku Syaich Tuan Tapa (Foto Koleksi Pribadi)

Makam Tengku Syaich Tuan Tapa (Foto koleksi pribadi).

Makam Datuk Radja Amat Djintan (Foto koleksi pribadi).

Rumah Kapiten Hofstede Tapa Toean di tahun 1929 (Wikipedia) dan masa kini (Foto koleksi pribadi).

 

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

Tapaktuan 22.59 03 Maret 2014

 

RIHLAH RIZA #17: GEN SENGKUNI


RIHLAH RIZA #17: GEN SENGKUNI

Buat apa sejarah bagi masa sekarang? Karena pada pandangan modern yang semakin pragmatis sejarah itu tak bisa mengenyangkan. Sejarah itu percuma. Tapi ini salah. Karena—mengutip Anis Matta dalam Politik dan Sejarah—sejarah bukan saja metode untuk memahami masa lalu dan masa kini, melainkan juga menjadi jalan paling efektif menemukan alasan untuk tetap berharap bahwa esok hari cerita hidup kita akan lebih baik.

*

Ada yang tersisa saat meninggalkan Kerkhof Peutjoet. Saat membaca sebuah pamflet dalam sebuah papan pengumuman berkaca. Letaknya berada di luar pintu gerbang. Berada di halaman samping jalan utama. Pamfletnya berisi informasi tentang Kerkhof.

Nama Kherkof berasal dari Bahasa Belanda, yang berarti halaman gereja atau kuburan. Pintu gerbang ini pada awalnya dibangun tahun 1893 M dan terbuat dari batu bata. Di atas pintu tertulis: Untuk sahabat kita yang gugur di medan perang (Teks ini ditulis juga dalam bahasa Arab, Melayu, dan huruf Jawa).

Pada dinding terdapat deretan nama-nama pejuang yang dikubur di dalamnya beserta tahun meninggalnya. Semuanya berjumlah +/- 2.200 nama dan didominasi oleh tentara Kerajaan Hindia Belanda.

Ada yang ganjil dari pamflet yang dikeluarkan oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Banda Aceh ini. Di pamfletnya itu disebutkan “nama-nama pejuang” padahal yang dikuburkan di sana jelas-jelas para serdadu Belanda yang menembak, membunuh, dan membantai rakyat Aceh serta membakar Masjid Raya Baiturrahman. Lalu mengapa disebut pejuang?

Apa karena kuburan militer itu dirawat oleh yayasan milik Belanda yang bekerjasama dengan Pemerintah Kota Banda Aceh lalu melupakan posisi masing-masing pada saat sejarah ditulis dengan tinta darahnya? Apatah lagi yang mengeluarkan pamflet tersebut salah satu dinas di Kota Banda Aceh yang dananya berasal dari pajak yang dikumpulkan rakyat Aceh.

Lain soal kalau teks itu ada di dalam sebuah prasasti yang dibuat oleh Belanda sendiri atau ditulis di atas batu nisan mereka. Diukir dengan judul meninggal dengan tenang kek, dengan sekarat kek, dengan gegap gempita dan berdarah-darah kek, itu terserah yang di bawah dan yang punya batu nisan.

Apakah kita lupa tentang sebuah tragedi pembantaian yang dilakukan Belanda di Kuta Reh? Ribuan orang dibantai termasuk perempuan dan anak-anak di dalamnya. Ah, terlalu panjang menguraikan kebiadaban Van Daalen sebagai Gubernur Militer Aceh dalam ekspedisinya di Tanah Gayo dan Alas pada tahun 1904. Ingat dengan apa yang pernah saya tulis terdahulu di Bosch dan Kopi? Setelah sukses pembantaian tersebut Belanda pun mulai menanam kopi di Tanah Gayo. Sampai kini kopi Gayo menjadi komoditas ekspor yang terkenal di dunia karena memiliki kenikmatan dan aroma yang khas.

Plang Kerkhof Peutjoet (Foto koleksi pribadi).


Papan informasi yang berisi pamflet tentang Kerkhof. (Foto koleksi pribadi).

Lihat bocah kecil dalam foto itu yang luput dari pembantaian tentara marsose jahanam. (foto diambil dari sini)

Sambil berjalan meninggalkan Kerkhof Peutjoet menuju museum tsunami yang berada di sebelahnya saya sampai berpikir buat apa saya memikirkan kesalahan “kecil” dalam pamflet itu. Tak ada gunanya. Tak ada kaitannya dengan tugas saya sebagai pegawai pajak. Tak ada. Akankah memikirkan segala tentang sejarah itu akan menambah pundi-pundi kekayaan kita—itu frasa zaman kerajaan lampau di saat mereka masih menyimpan emas dalam pundi-pundi, dalam kondisi kekinian baca saja itu menjadi sisi debit rekening bank kita.

Tapi di saat menuliskan kembali perjalanan batin ke kuburan Belanda, juga setelah membaca narasi Anis Matta tentang kesejarahan maka saya pun menata ulang tentang pragmatisme sebatas perut itu.

Sejarah adalah cara membaca masa depan. Sejarah menjadi pedoman untuk masa yang akan datang bahwa tidak akan terulang lagi kesalahan dan kesedihan yang sama. Sejarah Aceh adalah sejarah perlawanan tanpa menyerah atas sebuah ketidakadilan dan kesewenang-wenangan yang dipertunjukkan dari sebuah bangsa kaphe yang tidak pandai berperang karena membunuh anak-anak, perempuan, dan orang yang sudah uzur. Sejarah tentang keberanian, menjunjung kemuliaan, dan cinta syahid yang ditunjukkan laki-laki atau perempuannya. Kemudian diteruskan kepada generasi setelahnya.

Ada gen kepahlawanan dalam kromosom anak keturunan mereka. Bukan gen sengkuni. Bukan sifat seorang Aceh menjilat, berkhianat, cinta kepada perpecahan, dan mudah menyerah tanpa usaha. Kalaupun demikian adanya ia keturunan dari karakter uleebalang—bangsawan bawahan sultan yang bekerja sama dengan Belanda. Uleebalang yang menjadi musuh sultan, ulama, dan rakyat Aceh.

Sejarah telah mengajarkan saya untuk tidak bertindak seperti uleebalang yang zalim, menarik pajak semena-mena bahkan menilep zakat untuk kepentingan sendiri. Sejarah telah benar-benar menambah pundi-pundi kekayaan saya, tepatnya kekayaan batin saya. Benarlah apa yang dikatakan Anis Matta, “Membaca sejarah adalah cara menemukan harapan. Harapanlah yang membuat kita rela dan berani melakukan kebajikan-kebajikan hari ini walaupun buah kebajikan itu akan dipetik mereka yang baru akan lahir esok hari.”

**

Kami tiba di pos penjagaan museum tsunami. Tertempel di kacanya jadwal buka museum. Ternyata kami datang terlambat. Jam buka pagi telah selesai. Museum akan dibuka kembali pada pukul dua siang. Masih satu jam lagi kami harus menunggu. Saya putuskan menuju hotel untuk check in. Untuk yang kedua kalinya saya gagal mengunjungi museum ini. Tapi tidaklah mengapa. Masih ada waktu lain untuk kembali. Seperti tekad Sultan Agung yang ingin kembali ke Batavia setelah gagal untuk kedua kali menaklukkannya. Tekad yang tidak pernah terwujud. Pada akhirnya.

Saya ingin kembali ke Banda Aceh. Pun, saya ingin kembali ke Batavia. Sejarah telah membuktikan. Tidak akan lama di sini. Asal semua itu atas kehendakNya. Siapa tahu? Bukankah sejarah adalah jalan paling efektif menemukan alasan untuk tetap berharap? Membaca sejarah adalah membaca harapan. Membaca harapan adalah laku menjaga kewarasan. Kewarasan di Tapaktuan ini. Agar tak menjadi Sengkuni.

Terimong geunaseh.

***

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

Tapaktuan, 15 Desember 2013

RINDU YANG TAK PERNAH SELESAI


RINDU YANG TAK PERNAH SELESAI

 

Saya terbangun. Melihat jam dinding. Keluar dari kamar. Mengambil air putih hangat, duduk, dan meminumnya pelan-pelan. Sambil merenung. Dan akhirnya mandi di tengah malam tanpa kembang. Kalau pakai kembang setaman—ada mawar, anyelir, melati—oke juga, tak mengapa. Bikin wangi. Halal. Setelah itu buka laptop dan menuliskan sesuatu.

    Beberapa jam lagi ke depan saya sudah harus berangkat ke kantor. Naik commuter line ke stasiun Sudirman. Kemudian di sana saya menunggu teman, Uda Marzaini, yang membawa mobil taruna merah tuanya ke kantor pusat DJP. Saya jadi penebeng. Penebeng selain saya biasanya ada Bro Teguh Pambudi, biasa disebut TP, dan Kang Asep Wahyudin Nugraha—panggil saja dia Kang Awe.

    Kami berempat masuk ke Direktorat Keberatan dan Banding (DKB) sama-sama di bulan September 2010 dari Kantor Wilayah DJP Jakarta Khusus. Ini sudah tiga tahun berlalu. Dan Allah menakdirkan kami berempat, di bulan September 2013 ini, mendapatkan penugasan baru. Kami disebar ke daerah yang jauh. Sejauh al masyriqi wal maghribi. Sejauh timur dan barat. Kami bertiga selain Kang Awe ditempatkan di Nanggroe Aceh Darussalam, sedangkan Kang Awe di wilayah Papua.

    Tepatnya, saya di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Tapaktuan, Uda Zain di KPP Pratama Langsa, dan Bro TP di KPP Pratama Meulaboh. Dan Kang Awe di Kantor Wilayah DJP Papua dan Maluku yang terletak di Jayapura.

    Perjalanan dari kota Banda Aceh menuju Tapaktuan ditempuh selama delapan jam perjalanan darat, sedangkan Meulaboh berada di tengahnya. Jadi cukup empat jam saja dari Kota Banda Aceh. Sedangkan Langsa malah lebih dekat dari kota Medan. Empat jam saja katanya. Sedangkan Kang Awe dengan delapan jam perjalanan udara dari Jakarta. Ini hampir seperti perjalanan Jakarta ke Jeddah saja. Indonesia bener-bener luas yah?

    Bertahun-tahun kami jadi tebenger di mobilnya Uda Zain. Sebentar lagi kami yang ada di mobil taruna OX nya ini akan berpisah. Dan saya yang sering banget numpang ini jelas akan kehilangan. Mobil Uda Zain ini bagi saya seperti telaga, ngademin gitu setelah berjibaku di sesaknya commuter line yang pengap. Masuk ke dalam mobilnya selalu ada sensasi nyeeeessss. Menyejukkan dan wangi. Terima kasih Uda selama ini rela ditumpangin. Semoga Allah membalasnya dengan kebaikan yang berlipat ganda.

    Dan kami tetap menikmati perjalanan pagi dengan taruna merah itu sampai ada keputusan kapan kami harus berpisah. Dinikmati dan disyukuri saja waktu kebersamaan yang tinggal sisa-sisa ini. Kalau disyukuri sudah jelas ada pakemnya yaitu ditambah nikmatnya lagi. Mungkin dengan bentuk kenikmatan yang lainnya. Entah apa. Biar Allah saja yang tahu yang terbaik buat hambaNya. Yang penting bagi saya Allah tidak menggolongkan kami ke dalam golongan hamba-hambaNya yang tidak bersyukur.

    Sebentar lagi kami jadi musafir. Benar-benar musafir secara hakikat. Yaitu orang yang pergi dari tempatnya tinggal menuju sebuah tempat yang jauh. Kalau berdasarkan madzhabnya Imam Syafi’i, Imam Malik, dan Imam Hambali ada ukuran jarak minimal yang ditempuh seorang musafir yaitu 80,5 km plus 140 meter. Kami ribuan kilometer.

Dan musafir itu butuh bekal. Salah satu bekalnya adalah doa. Saya pun kembali mengutip Anis Matta dalam Setiap Saat Bersama Allah:

Beginilah sang musafir, bila mulai terbangun dari tidur panjangnya. Ia mulai membersihkan wajahnya dengan wudhu dan menjalani hari-harinya dengan munajat yang tak pernah putus. Hatinya telah terbang tinggi ke langit dan terpaut di sana. Sementara kakinya beranjak dari satu tempat ke tempat lain dalam bumi, hatinya bercengkrama di ketinggian langit.

Kini sang musafir telah menyadari bahwa doa bukanlah pekerjaan yang sederhana. Doa bukanlah kumpulan kata yang kering. Doa bukanlah harapan yang dingin. Doa bukanlah sekadar menengadahkan kedua tangan ke langit.

Tidak! Kini, sang musafir menyesali mengapa ia terlambat memahami makna dan hakikat doa. Ternyata doa adalah “surat” dari sang jiwa yang senantiasa terpaut dengan langit. Doa adalah rindu kepada Allah yang tak pernah selesai. Maka setiap kata dalam doa adalah gelombang jiwa yang getarannya niscaya terdengar ke semua lapisan langit. Di sini, tiada tempat bagi kepura-puraan. Di sini, tak ada ruang bagi kebohongan. Begitulah jiwa sang musafir, terus berlari ke perhentian terakhir, ketika raganya masih berada dalam gerbong kereta waktu. Dengarlah munajat sang musafir ini:


Allaahumma a’inni ‘alaa dzikrika wasyukrika wahusni ‘ibadatik

Ya Allah bantulah aku untuk senantiasa mengingatMu, mensyukuriMu, dan menyembahMu dengan cara yang baik. (HR Abu Dawud dari Muadz bin Jabal).

Kami sejatinya akan menjadi musafir, pelaku perjalanan jauh menuju tempat penempatan baru masing-masing. Walau sejatinya harus diakui bahwa kami hidup di dunia ini pun sudah jadi musafir sejak dari lahir untuk menuju kampung akhirat.

Kami sejatinya akan menjadi musafir, seorang perindu ulung yang tak pernah selesai dengan apa yang dirindukannya. Rindu padaNya dengan pedang doa. Rindu kampung halaman. Rindu kebersamaan.

***

 

 

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

03:03 02 Oktober 2013

gambar diambil dari sini.

    

 

M A S T A R A


M A S T A R A

Namanya Pak Mastara. Ia adalah guru SD saya sewaktu menuntut ilmu di SD Negeri Pendowo V, Jatibarang, Indramayu, puluhan tahun lampau. Pada masa muda, dalam pandangan saya, ia ganteng seperti Obbie Mesakh. Ia menikahi teman sejawatnya yang cantik, namanya Ibu Dahlia, guru saya juga.

Tubuhnya atletis. Maklum ia adalah guru olahraga. Orangnya baik. Jarang atau bahkan tak pernah marah. Tulisan latinnya bagus banget. Bisa dilihat pada raport SD saya yang sekarang masih terdokumentasikan dengan baik. Dia juga wali kelas kami di kelas VI.

Yang saya ingat betul darinya adalah ia yang mendampingi saya untuk setiap lomba. Terutama lomba baca puisi. Atau sewaktu ada acara 17 Agustusan. Dia yang buat puisinya lalu saya yang membacakannya di malam acara puncak HUT RI. Satu hal yang saya menyesal dan tak akan pernah lupa dari ingatan saya sampai sekarang dan nanti adalah saat saya lalai atas permintaannya.

“Jangan lupa bacakan siapa pencipta puisi itu,” ingatnya sambil menyerahkan teks puisinya.

“Iya Pak,“ jawab saya.

Tapi apa lacur, panggung memberikan aura gugupnya pada saya. Demam panggung pun melanda. Saya cuma membaca judulnya saja. Tak ada nama Mastara—sebagai pencipta puisi itu—saya sebut setelahnya. Barulah saya sadar waktu setelah turun panggung ketika diingatkan olehnya. Tapi ia tidak marah.

Setelah dewasa saya baru paham apa pentingnya penyebutan namanya itu. Ini sama pentingnya saat nama pencipta lagu tertulis di layar televisi saat sebuah lagu dinyanyikan oleh Sang Penyanyi. Momen itu sampai sekarang masih saya ingat. Panggungnya. Tempatnya. Suasana riuhnya. Malamnya.

Yang masih saya ingat betul juga adalah pada saat ia memimpin pemanasan waktu jam olahraga. Terus waktu dia mengajar di kelas. Terus waktu dia memberikan les pada kami. Dia menyalin dari buku teks kecilnya. Terus ingat kalau ia pernah pakai jaket yang di belakangnya tertulis Prajabatan. Dan masih banyak lainnya yang saya ingin ceritakan sih sebenarnya. Cuma saya takut ada bagian-bagian yang tidak pas karena lupa.

Nah, waktu tadi malam (Senin, 14/01) sewaktu saya menunggu maghrib dan menunggu perjalanan KRL lancar kembali setelah Stasiun Pondok Cina diblokir para pedagang kaki lima dan mahasiswa, saya sedang ingat Anis Matta. Ada kaver buku Anis Matta yang menurut saya posenya persis pose Obbie Mesakh di sampul album lawasnya. Maka saya cari di Google. Nah ketika gambar Obbie Mesakh muncul saya pun langsung teringat sama Pak Mastara.

Sekarang kan zamannya facebook, mungkin Pak Mastara ikut gabung di sana. Maka saya ketik namanya di Google. Ada. Ada satu tautan yang mengarahkan saya pada blog SD Negeri 2 Jatibarang. Ada namanya juga di sana. Saya klik. Jreng…

clip_image001

Pak Mastara paling kiri. Klik untuk memperbesar. (Sumber gambar dari sini)

Awalnya saya tak langsung mengenalnya. Tapi lama-kelamaan akhirnya saya ngeh juga. Ya Allah…Pak Mastara, kurang lebih 25 tahun lamanya tak bertemu. Waktu sudah merubah semuanya. J Saya sampai pangling. Mungkin beliau juga tak mengenal saya kali kalau ketemu.

Ini blog sudah tak mutakhir lagi. Postingan terakhir tanggal 17 Juni 2009. Saya tak tahu apakah ia masih aktif mengajar di sana atau tidak. Ia menjabat sebagai bendahara sekolah pada saat itu. Dari blog lain yang saya lacak beliau juga sebagai panitia Pembangunan Masjid Komplek Perumahan Jatibarang Baru Indah tahun 2010. Ngomong-ngomong saya ucapkan terima kasih kepada pemilik blog ini yang sudah memberikan jalan pertama terikatnya silaturahim saya dengan beliau.

Dengan menuliskan ini saya cuma mau mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada beliau. Saya doakan semoga beliau sehat-sehat saja dan semoga Allah memberikan yang terbaik atas jasa-jasanya sebagai guru yang telah mendidik saya dan teman-teman yang lain. Inilah amal yang tak akan pernah putus pahalanya.

Buat teman yang tahu keberadaan beliau, sampaikan salam hormat saya kepadanya. Salim. Semoga Allah mempertemukan kami di darat di suatu saat nanti. Amin.

**

clip_image003

Bangunan kotak adalah SD Negeri Pendowo I sampai dengan Pendowo V. Bagian sebelah kiri adalah Sungai Cimanuk, tempat saya main dan berenang di waktu kecil. Ada buayanya di sana. Sekarang buayanya pindah ke Android jadi Swampy di Game Where’s My Water? ^_^

***

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

15 Januari 2013

13:56

Tags: Mastara, SDN Jatibarang 2, SDN Pendowo I, SDN Pendowo V, Pendowo I, Pendowo V, Jatibarang, Indramayu, Swampy, Where’s My Water, Cimanuk, Sungai Cimanuk, SD Negeri Pendowo V, Dahlia, Anis Matta, Obbie Mesakh, Stasiun Pondok Cina, SD Negeri Pendowo I

K A L A P


K A L A P

Niatnya pagi-pagi datang ke Islamic Book Fair (IBF) 2012 supaya benar-benar puas seharian di sana. Enggak jadi. Roda mobil baru menggelinding (tidak bermaksud mengutip judul bukunya Astuti Ananta Toer) dan betul-betul berangkat dari rumah sekitar 13.40.

Perjalanan harus ditempuh lama karena Citayam macet. Jalanan yang sudah sempit itu ternyata lagi ada gawean pemasangan kabel besar bawah tanah. Satu kilo ditempuh dalam jangka waktu setengah jam. Jalan tol lingkar dalam kota mulai dari Cawang sampai pintu keluar depan MPR juga padat sekali. Bahkan untuk masuk ke lokasi pameran saja antrinya luar biasa. Cari tempat parkir di dalam lokasi pameran juga susah. Kami sudah tenang keluar dari mobil pada pukul 15.30. Berapa lama tuh perjalanan menuju lokasi pameran? Itung aja sendiri.

Kami harus antri toilet dulu karena Kinan mau pipis. Setelah itu antri wudhu. Semua antrian itu panjang. Alhamdulillah kami sudah terbiasa. Belajar antri waktu di Mekkah, Arafah, Muzdalifah, Mina, dan Jeddah. Jadi diambil enjoy aja. Tapi yang pasti waktu untuk mengeksplorasi semua stan dalam pameran itu akan berkurang.

Demi efisiensi waktu kami membelah diri menjadi dua kelompok karena Ummu Haqi sukanya pernak-pernik yang ada di lantai 2 sedangkan saya sudah jelas jauh-jauh datang dari Bogor untuk cari buku yang ada di lantai 1. Haqi ikut sama saya. Sedang Ayyasy dan Kinan ikut umminya.

Ada teman yang kalap kalau di lantai 2 sedangkan saya biasanya kalap di lantai 1. Untuk mencegah kekalapan itu saya punya patokan yang kudu dipegang ketat seperti mafia Italia di AS yang pegang Omerta (pegang rahasia dan tak mau beritahu kepada polisi). Patokan itu adalah tak akan pernah beli buku yang tidak akan pernah dibaca seberapa pun menarik dan murahnya. Ingat itu!.

Dengan demikian buku-buku yang saya beli jelas memenuhi kriteria itu. Dengan waktu yang sangat terbatas maka kami berdua bergerak cepat menjelajahi sebagian ruang pameran. Lihat sana. Lihat sini. Bongkar sana. Bongkar Sini—ketahuan dah kalau yang dicari adalah buku obral. Banyak buku yang saya beli memang bukan buku baru. Tetapi ada satu yang sudah masuk radar kalap saya sejak lama sebelum adanya IBF ini, bukunya Akmal Sjafril yang punya judul: Islam Liberal 101. Dan satu lagi buku 3 tahunan ke belakang yang ditulis oleh Hiromi Sinya berjudul: The Miracle of Enzyme.

Buku baru Don Tejo Corleoncuk (Sudjiwo Tedjo) yang berjudul Ngawur Karena Benar, sempat tersentuh jemari midas saya. Tetapi sayangnya ia tak sempat menjadi Sang Terpilih. Nanti saja. Enggak prioritas. Sampai adzan maghrib berkumandang dua buku di atas belum ditemukan.

Kami berkumpul di rendezvous point yang disepakati di tribun atas depan panggung. Ternyata Ummu Haqi dan Ayyasy sudah shalat. Haqi dan saya pergi ke musholla Takaful, tempat kami shalat ashar tadi, dengan Kinan yang ingin ikut kami karena haus pengen es teh manis. Seperti biasalah kami harus antri panjang untuk wudhu. Ketika saya memanggil Kinan untuk duduk anteng supaya saya bisa mengawasinya dengan mudah, lelaki muda di depan saya menyapa dan mengatakan kalau anaknya juga punya nama sama dengan Kinan, tetapi anaknya itu laki-laki. Tak apalah.

Setelah shalat, saya langsung berburu buku sendirian. Yang lain duduk manis menunggu acara puncak di malam itu yakni 2nd Indonesia Nasyid Award 2012. Saya fokus seperti singa jantan di Kruger, tetapi tidak untuk memburu impala melainkan Islam Liberal 101. Akhirnya ketemu juga stan Media Dakwah itu. Ini mah stan yang tadi dilewati tapi saya enggak ngeh. Karena perburuan kami sebelum maghrib sebatas memperbanyak kuantitas stan yang dikunjungi dan tidak melihat nama-nama stannya.

Banyak buku yang didapat. Dan buku Akmal Sjafril itu adalah buku terakhir yang benar-benar saya tangkap. Itu buku didiskon semua. Amplop Rejeki cuma Rp20 ribu; The Mafia’s Greatest Hits Rp30 ribu; Keajaiban Sedekah dan Istighfar cuma ceban; Dari Jalur Gaza Ayat-ayat Allah Berbicara dan Serial Cintanya Anis Matta dibandrol Rp48 ribu; Zionisme dan Keruntuhan Amerika Rp15 ribu; Kebangkitan Pos-Islamisme, ini buku baru loh, dihargai Rp35 ribu; dan Islam Liberal 101 yang seharga Rp48 ribu. Bukunya Haqi, Ayyasy, dan Kinan enggak dihitung di sini.

Saya beruntung mendapatkan buku-buku di atas dengan harga murah. Sangat Puass (dengan huruf P besar dan s dobel). Saya berpikir, “O, inilah rasanya ibu-ibu setelah berhasil menawar kalau belanja sama tukang sayur keliling atau belanja di pasar tradisional.” Buku-buku itu sudah cukup mengenyangkan untuk dibaca sampai beberapa minggu ke depan seperti anaconda yang enggak makan lagi selama setahun setelah memangsa alligator.

Setelah mendapatkan semuanya itu saya menenangkan diri di tribun atas agar tidak kalap mata. Snada menjadi penghibur pertama kami. Dan penganugrahan nasyid solois jatuh kepada teman saya yang ada di Semarang, Mas DjayLazuardi Hayyanada yang bersaing dengan opick. Selamat Mas. Akhirnya tak sia-sia dukungan itu dikumpulkan.

Izzatul Islam menjadi penutup untuk kami segera beranjak meninggalkan IBF. Karena malam juga telah larut. Memang tidak semua stan dapat kami kunjungi tetapi sudah lumayan cukup untuk menuntaskan dahaga karena IBF tahun lalu yang terlewati tanpa kehadiran saya.

Semoga masih ada waktu untuk jadi singa di IBF tahun depan.

***,

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

17:49 18 Maret 2012.

 

Tags: islamic booc fair 2012, Djay Lazuardi Hayya nada, Djaylazuardi hayyanada, ibf, snada, izzatul islam ,akmal sjafril, islam liberal 101, Hiromi Sinya, The Miracle of Enzyme, sudjiwo tedjo, don tejo corleoncuk, 2nd indonesia nasyid award, media dakwah, anis matta