…dan Kami lebih dekat kepadanya
daripada urat lehernya. (Alqaaf:16)
Stasiun Kereta Api Medan. Tiga hari sebelum Ramadan 1435 H usai. Saat itu menjelang waktu berbuka puasa. Saya duduk di bangku tunggu stasiun dekat musala. Sembari menunggu pengumuman keberangkatan kereta yang akan mengantarkan saya ke Bandara Kualanamu.
Tidak seberapa lama, seorang laki-laki yang membawa troli bagasi penuh tas dan kardus datang mendekat. Mungkin ia akan ke toilet yang berada di sebelah tempat salat ini, pikir saya. Memandang wajahnya seperti sangat dekat. Pernah saya kenal.
Saya berinisiatif untuk menyapa duluan, “Mas, kayaknya saya kenal. Di mana yah?” Langsung dia menjawab, “Mas Riza yah?” Ia menyebut nama. “Kita pernah satu kos dulu,” katanya lagi. Ingatan saya langsung menuju kampus STAN dulu. Setelah itu kami hanyut dalam perbincangan masa lalu dan sekarang.
Rencananya adik kelas dua tahun di bawah saya ini mau pulang kampung ke Tangerang. Saat ini ia bertugas di Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean Belawan. Di sana ia menjadi pejabat eselon V. Sudah lima tahun ia tinggal di Kota Medan bersama anak dan istrinya. Untuk lebaran kali ini, anak dan istrinya sudah pulang duluan ke Tangerang.
Sepintas mata saya terantuk dengan dua kardus yang dibawanya. Kardus-kardus berisi bolu gulung Meranti khas Kota Medan. Itu yang saya cari. Saya bertanya kepadanya tentang toko yang menjual penganan itu. Selama ini saya selalu membelinya di toko oleh-oleh bandara. Tentunya lebih mahal daripada toko utamanya.
“Sudah, ambil satu kardus itu Mas,” tawarnya.
“Ah, enggak. Saya beli dua kotak saja Mas.”
“Tidak perlu. Ambil saja. Tidak apa-apa. Saya sudah sering bawa oleh-oleh seperti ini.”
Saya mengotot. Dia mengotot. Pada akhirnya satu kardus yang berisi enam kotak bolu gulung itu berpindah tangan. Coba kalikan saja satu kotaknya dengan harga bandara yang dibandrol 75 ribu rupiah. Berkah Ramadan. Hadiah atau sedekahnya luar biasa. Enteng saja dia memberikannya. Padahal baru ketemu kembali setelah belasan tahun. Jazaakallah Khairan katsiiran.
*
Di sudut Tapaktuan. Di pertengahan Syawal 1435 H. Pesan datang ke aplikasi Whatsapp saya dari seorang penghafal Alquran. Ia dan para penghafal Alquran lainnya di Bojonggede membutuhkan dana untuk mengikuti daurah.
Daurah ini penting diikuti oleh mereka untuk mendapatkan sanad Alquran riwayat Hafsh dari ‘Ashim. Sanad ini dengan sanad yang lebih tinggi dan bersambung kepada Rasulullah saw. Daurah ini dibimbing oleh tiga syaikh yang datang langsung dari Mesir.
Beberapa hari kemudian. Perempuan yang bekerja di kantor pajak di Bandung mengirim pesan kepada saya dari aplikasi yang sama. “Za, saya sudah transfer uang buat ZIS (Zakat, Infak, dan Sedekah) ke rekening mandirimu.”
“Siap Mbak. Jazaakillah ahsanal jazaa,” kata saya. Atas dana tersebut biasanya saya menyalurkannya kembali dalam bentuk beasiswa pendidikan untuk masyarakat Bojonggede.
Ini klop. Seperti timbo marani sumur (timba mendatangi sumur). Pepatah Jawa yang menegaskan sesuatu yang pas. Pas butuh pas ada. Para hufadz ini termasuk kategori thullab ilmi syar’i (pelajar ilmu syariah) yang harus terus dijaga untuk kelestarian ilmu-ilmu agama yang sulit didapat.
Dana ZIS itu pada akhirnya disalurkan kepada para penghafal Alquran itu. Sekadar meringankan beban para pemikul ilmu ini karena belum ada muhsinin (orang-orang yang bertakwa, yang senantiasa menginfakkan hartanya di jalan Allah, baik dalam keadaan lapang maupun sempit) yang mendukungnya secara penuh.
Doa buat perempuan itu dari para penghafal Alquran terselip dalam sebuah pesan, “Ajrakallah fiima anfaqat wa baarakallah fiima abqat. Semoga Allah senantiasa melimpahkan kebaikan dan keberkahan kepadanya dan keluarganya. Amin.”
“Insya Allah akan kami hadirkan doa ini untuk beliau dan kepada semua muhsinin yang telah membantu dalam doa-doa khatmul qur’an (menamatkan Alquran)
kami. Terima kasih,” katanya lagi.
*
Di jalanan Depok. Menjelang akhir Syawal 1435 H. Seorang laki-laki duduk di samping supir angkot Depok. Sedangkan segelintir penumpang lainnya berada di jok belakang. Salah satunya adalah kakek-kakek berkulit hitam, berbaju batik lengan panjang, dan berkopiah lecek dengan warna yang sudah coklat. Ia membawa barang dagangan dalam kardus kumal dan besar. Ada kayu pikulan menyertainya. Tampaknya ia kelelahan sehabis berjualan.
Di sebuah tempat, ia berseru, “Kiri!!” Dengan tiba-tiba angkot itu banting setir dan berhenti. Kebiasaan lama dan tidak berubah dari ribuan angkot di Depok. Sang Kakek turun dari angkot lalu menurunkan barang dagangannya. Setelah itu ia menghampiri jendela depan di sisi kiri angkot, mengangkat kopiah dari kepalanya, lalu membuka lipatannya.
Dari sana ia mengambil uang lima ribuan dan menyodorkannya kepada supir sambil berkata, “Kembali.” Sebelum uang itu berpindah tangan ke supir, laki-laki di samping supir itu menyentuh tangan Sang Kakek dan berkata, “Gak usah Pak. Biar saya yang membayar ongkos Bapak.”
Matanya membelalak tak percaya. Ia menarik kembali uangnya sambil tersenyum, “Terima kasih Ya Dek. Semoga banyak rezekinya.” Entah ia menyebut apalagi, angkot itu sudah meninggalkannya. Empat ribu rupiah yang membuat bahagia Sang Kakek. Jazaakallahu khair.
*
Saya belajar kepada mereka semua tentang berbagi. Berbagi itu sedekah. Sedekah itu adalah perbuatan baik. Dan sesungguhnya di antara hal-hal yang mendekatkan seorang hamba kepada Allah adalah amal-amal saleh seperti di atas itu.
Kalau Allah sudah dekat, maka ini adalah kedekatan khusus buat para hamba-Nya. Kata Syaikh Salman Alaudah, kedekatan yang mengharuskan mereka untuk dijaga, ditolong, dibimbing, dipelihara, dan diperlakukan dengan lembut. Dan saya yakin Allah sedang menjaga tokoh-tokoh di atas sebab kebaikan-kebaikan mereka itu.
Kedermawanan itu jalan terbukanya hidayah. Sungguh, kalau saja tidak mengingat panjang dan lebarnya tulisan ini, ingin saya ceritakan satu kisah lagi. Kisah tentang kedermawanan yang mampu merubah kebiasaan buruk yang selama ini dilakoninya. Lain kali saja.
Sebuah muhasabah buat saya. Di Tapaktuan ini sudahkah sedekah menjadi kebiasaan? Sudahkah menjadi orang yang tangannya selalu di atas? Bagaimana mau dekat dengan Allah kalau tidak demikian? Lalu bagaimana doanya dikabulkan Allah jika kita tidak dekat dengan Rabb yang Maha Pengabul Segala Doa? Lalu bagaimana mau dikumpulkan dalam sebuah hangatnya kebersamaan keluarga kalau doa tidak dikabulkan?
Saat lapang baru sedekah. Itu pun sedikit. Saat sempit, euweuh. Beeuuuh…
Speechless.
Krik…krik…krik…
***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
4 September 2014
Rihlah Riza #43
Euweuh: Kata dalam bahasa Sunda,
yang berarti tidak ada, hilang, kosong.
Gambar di atas dari Blog Raisal.