Di Jam Sibuk


Suasana di gerbong perempuan KRL Jurusan Jakarta dari Bogor pada pagi 07 Februari 2023.

Sewaktu saya masuk gerbong KRL, saya melihat perempuan pekerja kantoran yang tidak memakai sepatu di barisan terdepan.

Karena banyak yang masuk, perempuan itu terdorong ke belakang. Ia berteriak, “Sudah penuh, cukup. Jangan paksain.” Di jam sibuk, teriakan itu tak diacuhkan.

Baca Lebih Banyak

Advertisement

Menjinakkan Lapar


(Juanda, Juanda)
Tentangmu adalah sepiring remah yang menempel di pipi senja. Gembil. Cuma langit Jakarta yang bisa bercerita begitu. Juga karena aku bergerak lebih cepat daripada ingatan yang tergenang di pikiranmu. Lebih cepat surut. Lebih dapat diucap mulut. Malam jadi ingin diputar kilat pada tape recorder yang sebentar lagi musnah. Untuk berada di side B.

(Gondangdia, Gondangdia)
Pohon-pohon seperti pelari maraton. Ia tak mudah lelah memantik matamu bercahaya, hidup, dan tak mudah lupa. Ia tak butuh ikan-ikan mujair untuk memakan daun-daun ingatannya apalagi kenanganmu untuk menggemukkannya. Percayalah, ia yang paling tabah memotong tubuhnya untuk dijadikan kertas. Di sanalah puisi-puisi tentangmu kutulis, untuk kaubaca, dan diserahkan kepada api.

(Cikini, Cikini)
Api di sebatang korek api. Meluruhkan laparku dalam segelas kopi. Tak cukup sekerat roti. Sediakan setelaga mimpi. Sungguh laksmi.

(Manggarai, Manggarai)
Aku terjun ke dalamnya. Ke dalammu.

***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
Commuter Line nan Sesak, 20 Desember 2017 .

Matanya Bukan Mata Medusa


 

Satu-satunya kesedihanku ialah
bahwa aku tak akan lagi bisa memandangmu,
ketika kau memandangku.

Panggilan telepon di malam hari itu masuk ke telepon genggam saya. Dari sebuah nomor yang tak dikenal. Tapi saya masih bersedia mengangkatnya. Commuter line yang saya naiki sebentar lagi masuk Stasiun Citayam.

Ternyata masih urusan kantor. Dari seorang sejawat di direktorat lain. Suara dari pelantang menyentak saya bahwa kereta rel listrik akan segera tiba di Stasiun Citayam. Bergegas saya mengambil tas warna hitam dari atas rak. Kemudian ketika pintu commuter line terbuka, saya pun turun.

Baca Lebih lanjut.

ADZAN YANG DIKULTWIT


ADZAN YANG DIKULTWIT

Dulu saya mengira kalo ngetwit itu hanya sekadar igauan orang yang lagi tidur dan bisanya cuma membuat malas orang untuk menulis serta berpikir lebih tajam dan menukik. Pendapat saya itu ternyata kurang tepat. Menulis di manapun sebenarnya bisa. Termasuk dengan ngetwit.

Ngetwit tidak menghalangi orang untuk menulis. Bedanya memang ngetwit dibatasi dengan 150 karakter dalam setiap kicauan. Tetapi dengan batasan itu membuat kita berpikir lebih keras lagi agar kalimat bisa efektif, tidak mubazir, dan tepat pada sasaran. Ini menghindari juga kalimat yang berbusa-busa.

Yang memang tidak bisa digantikan dengan menulis biasa atau menulis di blog adalah pemakaian bahasa yang tidak sesuai dengan kaidahnya. Dengan demikian memang ngetwit dan menulis blog bukan untuk saling menyingkirkan keberadaannya masing-masing. Ngetwit adalah upaya yang sekadar menuliskan lintasan-lintasan ide dalam pikiran agar tidak hilang. Menulis konvensionalnya adalah jalan melengkapi ide-ide itu agar bisa dinikmati dan dimengerti lebih nyaman, dalam, dan rigid.

Maka daripada ide itu hilang, saya ngetwitlah. Contohnya saat di dalam Kereta Rel Listrik (KRL) yang penuh itu, saya menuliskan lintasan ide tentang adzan ini. Daripada menghitung berapa lagi stasiun yang akan dilewati dan ngedumel karena KRL itu mogok lama di stasiun UI.

Saking asyiknya ngetwit, saya sampai tidak menyadari kalau KRL ini sudah terbuka pintunya di Stasiun Citayam. Silakan dikunyah.

clip_image001

(Muadzin kumandangkan adzan. Sumber gambar: Di sini)

1. #Adzan itu memang enak didengar. Keras ditelinga ataupun yang sayup-sayup. Apalagi klo yg adzan suara&langgamnya bagus.

2. #Adzan setiap waktu sholat punya langgamnya masing2. Ada yg bedain adzan shubuh dg maghrib itu dibedain. Apalagi klo dzuhur & ashar.

3. #Adzan waktu sholat siang kudu keras & membahana. Lantang. Karena harus bisa memenangkan desible dg kebisingan.

4. #Adzan tuk sholat di waktu gelap lebih lembut & menyahdukan. Muadzin yg pengalaman tahu soal ini.

5. #Adzan shubuh saking indahnya bahkan bisa bikin orang tidur lagi. :-p Tapi bukan karna ini ding. Niat, kemauan & hidayah Allah jd penentu

6. #adzan maghrib saya suka sekali. Apalagi klo lg naik kereta jakarta-bandung. Apalagi kalo lg di sawah. Syahdu sekali.

7. Kalo denger #Adzan jumat selalu inget waktu masih sd atawa smp sholat jumat di masjid muhammadiyah di kampung. Di pinggir sawah. Angin..

8. Anginnya semilir. Pokoknya #adzan jumat punya memori khusus. Bikin terkenang kampung halaman & masa lalu.

9. #Adzan shubuh akan bisa mengharukan kalo muadzinnya bagus.

10. Yang paling mengharukan adalah #adzan di masjdilharam. Mungkin karena hati sdh di frekuensi sama. Hati lg trance. Hati lg pasrah.

11. Hati lg deket bgt sama Allah. Jadinya setiap moment #adzan adlah kesmpatan bagus buat balas setiap kalimat adzan dg sebuah ksadrn betul

12. Allahu akbar. Kita balas dg Allahuakbar. Ditambah pemahaman kita & semua kecil kcuali Dia. Kalimat syahadat dll. Pokoknya gitu dah.

13. Maka bagusnya (bukan wajibnya) yg #Adzan yg punya suara bagus agar bisa gugah hati orang. Rasul SAw janjiin buat muadzin punya leher…

14. ..leher panjang di padang mahsyar sbg keutamaan buat mereka. Jgn artikan leterlek ye leher panjang kaya suku di Thailand.

15. Muadzin dpt kebaikan banyak karena dpt bangunkan orang dari lelap tuk sholat shubuh. Orang yg bangun shubuh dpt pahala banyak. Apalagi..

16. apalagi yg bangunin. Seorang ulama besar Mesir Hasan Al Banna punya kiat jitu tuk dapat kebaikan yg banyak daripada muadzin.

17. Caranya? Dia bangun lebih awal dan datang ke rumah muadzin yg mash tidur lalu bangunin muadzinnya. Mantap.

18. Mau dapat banyak kebaikan? Ya jadilah muadzin. Datang ke masjid atau musholla. Lalu berinisatif tuk adzan. Pamit dulu sama takmir/marbot

19. Nanti ada yg tanya kenapa anjuran itu tak buat perempuan? Perempuan jg pengn dpt kebaikan. Jwbnya: Karena perempuan tak punya kwajban…

20. …tak punya kewajiban ke masjid. Masalah kebaikan yg ingin didapat ada penggantinya. Apa? Perempuan bisa dg membangunkan suaminya,

21. Dan memintanya ke masjid untuk sholat. Bisa dg mematikan tv yg ditonton anak2 & meminta mrk ke masjid. Jgn dikira perbuatan itu sepele

22. Contoh lainnya banyak. Sekretaris prmpuan yg ingatkan bos waktusholat. "sudah adzan pak. Waktunya sholat.Rapat ditunda dulu." Pokoknya..

23. ..buat perempuan ada banyak stock kebaikan yg bisa diambil dg tidak #adzan di masjid. Jawab lain: karena suara prmpuan=aurat.

24. Inka Christy atawa Mel Shandy gak bisa jadi muadzin. Nanti nyimak & ngebayangin orangnya dah.

25. Jawab lain karena perempuan di setiap bulannya punya tamu yg sebabkan ia gak bsa ke masjid. Ini jawaban sy. Jawaban yg lebih fakih bisa

26. Liat di kitab fikihnya. So, sampai sejauh ini #adzan bagi saya waktu yg ingatkan sy tuk bersegera tinggalkan semua. Walau sy masih..

27. Berusaha dg keras tuk bisa penuhi panggilan itu. Masih belajar. Minimal punya rasa nyareset di hati & malu kalo gak bersegera.

28. Minimal jg gak ada penolakan sama #adzan. Atau bilang seperti ini: yg sayup2 lebih mengena di hati drpd yg keras2 volume toanya

29. Yg gak suka adzan keras & sayup2 itu cuma kuntilanak, siluman kebo, tuyul, genderuwo a.k.a setan yg lari terbirit2 masuk wc or

30. Karna takut kebakar. Panaaaas…panas.panas (ini bukan Armand maulana yg nyanyi) sambil tutup kuping.

31. Smoga kita jadi muslim yg baik yg tak lari terbirit2 denger suara #adzan atau yg ngedumel sambil bilang: "sholat lg sholat lagi."

32. Semoga kita diberikan kemudhan oleh Allah agar bisa bersegera tuk sholat waktu denger #adzan.

33. Semoga kita diberikan kekuatan oleh Allah tuk bisa ke masjid waktu denger #adzan. (yg ngetwit ini tundukkan hati)

34. Kalau masih silap ya Allah, ampuni aku.

35. Semoga Allah tidak menulikan hati dan telinga kita. Allahumma ‘aafini fi sam’ii. Aamiin. *selesai.

***

 

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

di atas KRL yang sedang alami cemburu

17.30 02 Mei 2012

Lengang


image

Pagi ini Allah mudahkan urusan saya. Semoga sampai selesai hari ini dan selamanya. Amin. Berharap banget.

Tiba di stasiun Citayam awalnya berharap commuter line (comlen) jurusan Tanah Abang. Ternyata comlen jurusan Jakarta Kota belum tiba. Ya sudah naiklah saya ke comlen Kota itu.

Syukurnya pula, comlen ini tak biasanya, kosong. Tumben. Tapi selalu sih comlen Jurusan Kota ini lebih kosong daripada comlen yang menuju Tanah Abang. Mungkin karena comlen Kota jadwalnya lebih pagi.

Syukurnya pula saat berdiri di depan bangku khusus ada yang turun di Stasiun Depok Lama. Kesempatan langka dapat tempat duduk. Alhamdulillah. Walau harus bersiap-siap bangkit kalau ada yang lebih berhak untuk duduk di tempat itu.

Ada wanita muda masuk di Stasiun Depok Baru. Saya tak kasih duduk kepadanya. Terlihat tidak hamil. “Nanti ya Mbak, gantian,” saya berkata dalam hati. Saya juga orangnya tidak tegaan. Jiiiaaah.

Saat comlen mau masuk Stasiun Pasar Minggu saya bangkit. Sudah cukup untuk rehat kaki saya. “Sok atuh calik. Mangga.”

Bersyukurnya lagi adalah saya bisa ketik semua kejadian pagi ini, di KRL lengang ini. Tumben saya bisa menulis di KRL.

Sekarang comlen mau tiba di Stasiun Manggarai saatnya bersiap turun untuk transit dan naik KRL Ekonomi menuju Stasiun Sudirman. Keretanya persis di belakang comlen Kota ini.

Itu saja. Semoga Allah memberikan kemudahan kepada semua roker (rombongan kereta) mulai pagi sampai KRL yang terakhir pergi dari Stasiun Jakarta Kota nanti malam.

***

Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
di pojok comlen dan pinggir peron 5 stasiun manggarai
06.24 20 April 2012

Foto diambil pada pagi pukul 05.44 WIB 20 April 2012.

SALAH LAGI, SALAH LAGI


SALAH LAGI, SALAH LAGI

 

Hari ini memang aneh. Saya merasa diberikan pelajaran berharga sama Yang Di Atas. Untuk benar-benar ingat pada-Nya dan tak melulu dunia saja. Betapa tidak, Allah takdirkan saya untuk mengalami dua kejadian berturut-turut di pagi dan malamnya. Apa? Salah naik angkutan.

Pagi hari, setelah turun dari Kereta Rel Listrik (KRL) Pakuan Ekspress tujuan Tanah Abang di Stasiun Sudirman, saya seharusnya naik Metromini 640 Tanah Abang-Pasar Minggu. Metromini yang biasa saya naiki untuk sampai di depan kantor.

Di Stasiun Sudirman itu ada tiga bus yang biasa berhenti di sana. Satu Kopaja dan dua metromini M640-M15. Kopaja bisa dilihat dari warna hijaunya yang berbeda. Yang menyarukan memang dua metromini itu. Kalau tidak awas dengan nomor di bagian depan maka kita bisa keliru. Tetapi bagi yang jeli dan sudah terbiasa naik dari sana seharusnya tidak akan keliru.

Tapi pagi itu, saya yang memang mengalami kejadian ini. Dapat SMS dari teman, ingin langsung membalasnya, tetapi tak awas dengan metromini yang saya naiki. Pantas saja sedikit yang ikut dalam metromini itu. Tetapi baru sadar ketika di Semanggi, bus tipe sedang itu tidak belok ke arah kiri tetapi lurus untuk kemudian naik ke atas Semanggi dan menuju ke arah Slipi.

Segera saya berteriak, “Kiri…kiri…Pak!!!” Di atas jembatan Semanggi dan di tengah banyaknya polisi yang berada di pinggir jalanan, metromini itu tidak mau berhenti dengan sempurna untuk menurunkan saya. Setengah meloncat saya turun dan syukurnya masih bisa berdiri tegap di permukaan bumi.

Jam di tangan masih menunjukkan waktu yang lapang untuk bisa sampai di kantor tepat waktu. Dengan tas ransel di punggung dan tas jinjing berisi berkas-berkas di tangan kanan, saya songsong matahari dan memeluknya. Hangat sekali terasa. Lebih kurang 15 menit berjalan menyusuri Semanggi, Komdak, dan Plaza Mandiri akhirnya saya sampai di kantor dengan mengeluarkan banyak keringat. Ada hikmahnya: saya jadi bisa berolahraga. Ini kejadian pertama.

Kejadian berikutnya. Jakarta pukul 17.05. Semanggi macet. Sebelumnya sempat hujan memang. Begitulah Jakarta, hujan sedikit sudah membuat kemacetan. Saya kembali naik Metromini 640 menuju Sudirman. Saya pikir kemacetannya tak seberapa, ternyata tak biasanya hingga membuat saya sampai di Stasiun Sudirman dengan melewati dua jadwal kereta yang menuju Bogor. Yang menyakitkan adalah KRL 17.40 berangkat ketika saya sedang antri tiket.

Ya sudah, saya harus menunggu KRL Bojonggede Ekspress satu jam berikutnya. Sebelumnya saya Sholat maghrib dulu di sana. Lalu menuju Peron 1 untuk menanti KRL Bojonggede Ekspress. Saya sengaja ke Peron 1 untuk naik kereta yang menuju Tanah Abang dulu agar bisa duduk. Stasiun Sudirman memang terdiri dari dua peron. Peron 1 adalah untuk jalur kereta dari Manggarai menuju Tanah Abang, sedangkan Peron 2 sebaliknya.

Ketika ada pengumuman bahwa KRL Bojonggede Ekspress akan segera tiba dari Manggarai untuk menuju Tanah Abang terlebih dahulu, segera saya bersiap. Dan ketika pintunya berhenti tepat di depan hidung saya, segera saya meloncat ke dalamnya. Dan syukurnya saya dapat tempat duduk. Tidak panjang lebar saya kemudian buka ipod dan buku. Sesekali—atau berulang kali—balas sms teman.

KRL kemudian menuju Stasiun Tanah Abang dan berhenti sekitar 4 menit untuk kembali ke Stasiun Sudirman dan stasiun berikutnya. Seluruh pengumuman yang keluar dari pengeras suara dengan desibel tinggi tentang kereta yang saya naiki ini tidak mampu merubah persepsi saya bahwa KRL ini adalah benar KRL Bojonggede Ekspress. Sedikitnya orang yang naik dan tampangnya yang tidak familiar pun tidak merubah persepsi saya juga.

Barulah saya menyadari kalau saya salah naik KRL ketika KRL ini berhenti di stasiun yang tidak pernah saya lihat sebelumnya. “Stasiun Klender…” kata penumpang sebelah saya kepada temannya. Saya tersentak dan alarm pertahanan diri mulai menyala.

Saya bertanya, “Bu, ini ke Bogor kan Bu?”

“Bukan, ini yang ke Bekasi,” jawabnya. Saya langsung tepuk jidat betulan. Geleng-geleng kepala. Kok bisa-bisanya saya sampai tertukar KRL. Dan ini sudah menjadi takdir saya kali yah, ketika saya sodorkan tiket kepada petugas dengan posisi terlipat dan tertutup, tiket ke Bogor itu tidak dibuka sama petugas dan langsung dilubangi begitu saja.

Saya pun turun di Stasiun Kranji kurang lebih setengah delapan malam. Segera ke loket untuk membeli tiket KRL Ekonomi AC menuju Stasiun Kota yang sebentar lagi akan tiba. Tak sampai tiga menit kereta itu datang. Saya masuk ke dalamnya. Dan banyak bangku yang kosong melompong. Sedikit sekali penumpangnya.

KRL melewati Stasiun Jatinegara, Pasar Senen, lalu berakhir di Stasiun Kota tepat pukul 20.05. Menuju loket lagi untuk membeli tiket. Ada dua pilihan jadwal yaitu KRL Ekonomi yang terakhir pukul 20.45 atau KRL Pakuan Ekspress jam sembilan malam. Saya pilih yang pertama. Waktu setengah jam lebih jelang keberangkatan, saya gunakan untuk menuliskan cerita ini. Dengan menggunakan laptop tentunya.

Kemudian KRL Ekonomi dari Bogor tiba di Peron 12, segera saya naik ke dalamnya. Kondisi penuh karena sudah diisi penumpang dari stasiun sebelumnya. Alhamdulillah saya masih diberikan kesempatan untuk menyelipkan tubuh di kursi yang tersisa satu di deretan itu.

Kini alarm sudah saya siapkan agar tidak terjadi keteledoran lagi. Apa coba keteledoran yang kemungkinan akan terjadi? Kebablasan sampai Stasiun Bogor, karena stasiun terakhir saya adalah Stasiun Citayam—puluhan kilometer sebelum kota Bogor. Makanya saya tidak tidur. Walau kantuk dan capai mendera. Tidak ada aktivitas yang bisa saya lakukan kecuali mengutak-atik hp. Membaca buku jelas tak mungkin karena temaramnya lampu kereta kelas ekonomi ini. Terima saja nasib ini.

Lebih dari 45 menit perjalanan menuju Stasiun Citayam. Pada akhirnya sampai rumah jam sepuluh malam. Lima jam perjalanan hanya untuk pulang. Rumah sudah sepi. Di ruang tamu saya menyudutkan diri. Mengulang fragmen-fragmen yang berputar seharian ini. Mencoba menandai berapa banyak kelalaian yang telah dibuat. Sepuluh jari tangan dan sepuluh jari kaki tak mampu mencukupi.

Sampai pada episode salah naik angkutan di pagi dan malamnya membuat saya terhenyak dan baru teringat kalau saya lalai di hari itu untuk melakukan dua hal. Infak dan baca doa ini: Allahumma arinal haqqa haqqa war zuqnattiba’ah wa arinal baathila baathila war zuqnajtinabah. Ya Allah tunjukilah kepada kami, yang benar itu benar dan dekatkanlah kami padanya, dan tunjukilah kepada kami yang salah itu salah dan jauhkanlah kami dari itu. Bukankah infak mencegah musibah? Pun dengan do’a ini agar tak terjadi salah ambil jurusan. Apalagi salah-salah lainnya.

Sampai di sini, sampai hitung-hitungan ini, salah-salah itu semakin bertumpuk. Dan saya tak mampu untuk menghitungnya.

***

 

 

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

Selasa 23.14 31 Mei 2011

 

Tags: Kereta Rel Listrik Pakuan Ekspress, krl, pakuan ekspress, tanah abang, metromini, kopaja, 640, 15, stasiun sudirman, stasiun tanah abang, stasiun kranji, stasiun jatinegara, stasiun senen, stasiun kota, pasar minggu, semanggi, slipi,komdak, plaza mandiri, bojonggede ekspress, manggarai, stasiun bogor, stasiun citayam

 

 

    

JUM’AT 01 APRIL 2011 SIAP-SIAP *)


JUM’AT 01 APRIL 2011 SIAP-SIAP *)

 

Besok kamis adalah hari terakhir Kereta Rel Listrik (KRL) Ekspress beroperasi di Jabodetabek. Nanti mulai tanggal 1 April 2011 tidak akan ada lagi kereta kasta tertinggi ini. Tidak akan ada lagi susul-susulan. Tidak akan ada lagi KRL yang bisa sampai ke tempat tujuan hanya dalam jangka waktu 30 menit saja. Tidak akan ada lagi kelonggaran-kelonggaran yang bisa dinikmati.

Karena krl penggantinya dengan harga yang diturunkan menjadi Rp7.000,00 akan berhenti di setiap stasiun. Sudah barang tentu ini akan memakan waktu panjang lagi untuk menaikturunkan penumpang. Dan sudah pasti akan banyak penumpang yang memadati krl ini. Kalau demikian adanya, tak akan bisa lagi orang menggelar koran atau membuka kursi lipatnya. Kalau begini pedagang kursi lipat akan alami kebangkrutan, enggak laku soalnya.

Saya jadi berpikir, waktu yang akan saya tempuh untuk perjalanan pergi dan pulang kantor akan bertambah panjang lagi. Yang dulu, sampai di Stasiun Sudirman jam setengah tujuh pagi—dan masih punya waktu panjang untuk tiba di kantor—bisa jadi nantinya jam 7 pagi krl itu baru tiba di sana. Kalau begitu siap-siap untuk naik ojek atau cari partner taksi kalau waktunya mepet.

KRL Ekspress yang biasa saya naiki, Pakuan Ekspress, masih punya rentang waktu cukup atasi keterlambatan kalau ada masalah di persinyalan kereta atau karena ada kereta yang mogok dan menghalangi jalur. Saya tak pernah terlambat ke kantor dengan naik KRL Ekspress paling pagi ke Tanah Abang itu.

Saya membayangkan jika sistem KRL Commuter Line ini mulai dijalankan sedangkan infrastrukturnya juga masih seperti ini, maka kalau ada kereta yang mogok, terlambat sudah menjadi sebuah kepastian dah. Hanya punya waktu toleransi 15 menit untuk hal-hal seperti ini. Kalau sudah lewat waktu itu pasti terlambat ke kantor. Tapi lihat saja nanti, bagaimana pola operasi sistem perkeretaapian baru ini akan berjalan.

Siap-siap untuk tidak bisa lagi bermonolog, baca koran dengan santainya, tidur ayam, dan lain-lainnya. Apa boleh buat, kenyamanan akan berkurang, sebanding dengan harga yang dikeluarkan pula. Namun tetap, bagi saya, KRL adalah satu-satunya—jadi bukan lagi sekadar alternatif—moda angkutan yang paling masuk akal untuk saya naiki di tengah ketidaklogisan kemacetan parah yang terjadi di Jakarta sewaktu pagi atau sore.

So, dinikmati saja apa yang kita dapatkan sekarang. Semoga perubahan itu akan membawa kebaikan buat kita semua—para pengguna jasa perkeretaapian. Optimis sajalah. Yakini betul bahwa hari ini—hari yang kita akan jalani—adalah hari kita satu-satunya. Insya Allah kita akan nyaman di mana pun adanya kita. Semoga.

Ohya jangan lupa, berangkatlah lebih pagi di jum’at besok untuk antisipasi hal-hal yang tidak diinginkan karena adanya perubahan jadwal.

*) Catatan penting: Dengar-dengar malah kebijakan ini sudah dibatalkan oleh pejabat KAI mendadak, saya kurang tahu, tapi lihat saja di FB Solidaritas Jabodetabek Untuk KRL Yang Lebih Baik. Kalau benar, maka tulisan ini tak ada gunanya. 🙂  

 

***

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

menggigil

10.44 30 Maret 2011

 

Tags: ptkai, krl, pakuan ekspress, commuter line, pola operasi baru

KAMIS YANG RINGAN


KAMIS YANG RINGAN

 

Malam ini saya hanya ingin menulis apa-apa yang terjadi di hari kamis kemarin. Hari yang ringan sih sebenarnya. Dimulai dengan bangun dini hari, membuka netbook dan menulis sedikit. Saat yang ternyata lebih efektif daripada pulang kantor langsung menulis sampai tengah malam.

Adzan shubuh berkumandang di masjid sebelah, lalu saya pun shalat shubuh. Setelahnya langsung siap-siap menyiapkan alat ‘perang’ untuk pergi ke kantor. Jas hitam jangan dilupa, soalnya hari itu saya sidang.

Setelah cium sana-cium sini di pipi Haqi, Ayyasy, dan Kinan yang masih terlelap tidur, setengah enam lebih sepuluh saya berangkat ke Stasiun Citayam. Sepuluh menit sampai. Lima menit kemudian KRL Pakuan Ekspress Bogor Tanah Abang datang. Masih ada ruang untuk menggelar kursi lipat.

Baca koran yang tadi dibeli sebelum naik? Tidak, saya buka handphone, “cring…!“suara ringtone desingan samurai yang keluar dari sarungnya terdengar. Dua saja yang saya lakukan: buat monolog atau puisi. Membayangkan tempat atau lokasi tertentu atau wajah seseorang yang menginspirasi, konsentrasi sedikit, lalu segera memencet tombol-tombol di keyboard HP. Lima belas menit selesai.

Setelahnya saya buka bukunya Bakdi Soemanto yang judulnya Sapardi Djoko Damono: Karya dan Dunianya. Tak sampai 15 menit kemudian kereta sudah sampai di Stasiun Sudirman. Eh…pas sampai di sana ketemu teman-teman dari Pontianak dan Samarinda yang mau menuju ke kantor saya juga. Mereka mau ikutan In house training di Gedung Utama DJP Gatot Subroto. Salah satu dari mereka mengajak bareng naik taksi. Tak sampai di situ saja, bahkan sesampainya di kantor saya diajak untuk sarapan bersama. Ya sudah saya ucapkan terima kasih atas semuanya itu. Gratis. ^_^

Tiba di ruangan, saya mempersiapkan berkas sidang hari ini yang hanya satu Pemohon Banding namun dengan 33 berkas. Juga buat laporan sidang hari-hari kemarin. Dan tak lupa untuk mengecek Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Tahun Pajak 2010 yang paling lambat harus dilapor Jum’at. Ternyata banyak yang salah. Saya ketik ulang dan selesai. Lapornya sore saja nanti kalau sudah pulang dari Pengadilan Pajak.

Jam 9 pagi berangkat dengan bus dinas ke Pengadilan Pajak. Pagi ini banyak teman yang ikutan naik bis. Tetapi pulangnya biasanya tak sebanyak berangkatnya karena jadwal akhir sidang tak bisa ditentukan. Bisa lebih awal selesainya atau malah lebih sore.

Setengah jam kemudian sampai di Pengadilan Pajak. Ternyata tim kami mendapat giliran pemeriksaan pertama oleh Majelis Hakim karena Pemohon Bandingnya berada di urutan teratas dalam daftar hadir. Tak sampai 45 menit sidang selesai. Masih ada tiga jam waktu menunggu bus pulang ke basecamp. Eh, saya dipinjamkan atau tepatnya meminjam USB modem. Ya sudah colokin ke netbook yang sengaja saya bawa. Buka email dan lain sebagainya. Kaget juga ada kabar teman yang sakit. Insya Allah sembuh sorenya, doa saya.

Jam 2 siang kami pulang. Cuma bertiga di dalam bus. Jadi berlima dengan supir dan keneknya. Saya memanfaatkan waktu setengah jam ke depan untuk tidur. Terbangun sebentar karena ada dering SMS masuk. Monas, Paspamres Istana Kepresidenan, patung Arjuna Krisna dan kudanya, patung selamat datang di Bunderan HI, Patung Sudirman, dan bapak-bapak Polisi di sepanjang perjalanan benar-benar tidak saya sapa. Saya ngantuk.

Sampai di kantor jam tiga siang. Langsung menuju lantai 24 untuk melapor SPT Orang Pribadi saya. Cuma dua menit dilayani oleh petugas Dropbox Kantor Wilayah DJP Jakarta Selatan. Thanks Bro…

Selanjutnya shalat ashar di masjid bawah. Setelah itu tidak ada lagi yang harus dikerjakan selain mempersiapkan berkas-berkas untuk besok hari. Kami akan kembali ke Pengadilan Pajak untuk melakukan uji bukti kebenaran materi dengan Pemohon Banding.

Tepat jam lima sore saya pulang. Saya dan ketiga teman bersepakat untuk naik taksi ke Stasiun Sudirman. Mengejar KRL pukul 17. 21 atau 17.40. Sampai di sana, KRL yang berangkat 17.21 sudah berada di Stasiun Tanah Abang. Nah, yang pukul 17.40 masih di Citayam. Wadaww…terpaksa deh saya ikutan KRL jadwal 17.21 yang penuh sesak itu.

Tapi tak apalah daripada kemalaman, ternyata memang betul ada masalah persinyalan di antara Stasiun Manggarai dan Stasiun Cawang yang harus dilayani secara manual sehingga banyak KRL yang alami keterlambatan. Tetapi di KRL yang saya naiki saya masih dapat buka kursi lipat.

KRL 17.21 tidak berhenti di Stasiun Citayam sehingga saya harus turun di Stasiun Bojonggede setelah Stasiun Citayam atau turun di Stasiun Depok Lama sebelum Stasiun Citayam. Saya pilih yang terakhir.

Sampai di Stasiun Depok Lama saya menunggu sekitar 10 menitan. Yang datang terlebih dahulu adalah KRL Ekonomi. Saya naik KRL itu. Tidak di dalam gerbongnya yang sumpek itu. Tidak juga di atas atap kereta yang rawan kena strum tegangan tinggi. Tidak juga di samping kereta seperti Spiderman. Tidak juga di bawah kereta, emang saya baut? Tetapi saya naik di kabin masinis di persambungan gerbong 4 dan 5.

Tumben tuh kabin terang benderang. Biasanya lampunya mati, gelap kayak kuburan. Ini tidak. Dan tidak penuh juga. Saya masuk ke dalamnya. Cuma satu menit berhenti, kereta sudah mulai berangkat lagi.

Saya berada di dekat pintu dan bisa melihat keindahan suasana maghrib yang mulai gelap. Lampu-lampu neon yang berlarian ke belakang. Semburatnya mengular ke depan. Roda-roda kendaraan yang beradu dengan aspal jalanan terlihat jelas di depan mata saya. Rima goyangan kereta. Ini membuat saya merenung tentang apa yang terjadi belakangan ini.

Hmmmf….helaan nafas panjang berkali-kali dilakukan. Sebulan penuh tanpa henti kata-kata itu keluar dari hulunya. Lima menit saya kontemplasi dengan pandangan kosong keluar pintu kereta. Mengesankan sekali. Tapi Stasiun Citayam sudah di depan mata, gerak kereta sudah mulai pelan. Sudah saatnya mengakhiri perenungan sebentar itu. Masih ada hari esok. Jum’at dan hari-hari selanjutnya.

Senin hingga rabu saya dipanggil diklat menulis lagi. Jadi tidak ke kantor selama tiga hari itu. Omong-omong, hari Kamis ini, hari yang ringan, hari yang tenang untuk mengingat, walau ada sahabat dengan sakit yang menderanya. Cepat sembuh yah…

***

 

riza almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

rumah tenang

dibuat sampai 04.54 25 Februari 2011

 

 

 

 

 

tags: Pengadilan Pajak, Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Tahun Pajak 2010, SPT, Sapardi Djoko Damono, bakdi soemanto, DJP, dirktorat jenderal pajak, in house training, iht, krl pakuan ekspress, bogor, tanah abang, stasiun bojonggede, stasiun citayam, stasiun depok lama, krl

 

SECENTIL PROFIL DAN SESANGAR JANGKAR


SECENTIL PROFIL DAN SESANGAR JANGKAR

Saya baru saja mendudukkan diri pada bangku besi depan loket Stasiun Citayam saat HP made in China itu rada-rada bergetar. Tanda pesan pendek masuk. Perasaan saya HP itu bergetar, karena senyatanya saya tak tahu apakah HP itu bergetar atau tidak. Baik dalam profil biasa ataupun rapat, HP itu benar-benar tak bisa bunyi ataupun goyang seperti penyanyi dangdut.

Selain tombolnya juga sudah banyak yang koit dan beaksesoriskan gelang karet untuk menahan casing belakangnya tidak copot. Tak mengapalah yang penting masih bisa dipakai. Walaupun ini sering membuat jengkel para kolega saat mengontak saya karena jarang diangkat. Ya, bagaimana akan diangkat kalau saya tidak tahu ada tanda-tanda sinyal masuk.

Ngomong-ngomong ini bicara masalah HP atau bicara apa? Ya sudahlah kita tinggalkan dulu barang buatan China yang anak SD juga sudah pada tahu kualitasnya seberapa. Kembali pada pesan pendek itu. Ini dari teman. Ngapain juga petang-petang begini dia kirim sms terkecuali pesan penting tentunya.

“Barokallah…Anda pindah jadi Penelaah Keberatan di Direktorat Keberatan dan Banding.”

Kali ini saya tidak begitu emosional. Kali ini biasa-biasa saja. Kali ini memang sering banjir. Nah loh apa hubungannya kali (sungai) dengan banjir? … Enggak, sebenarnya ini dikarenakan saya sudah siap mental untuk ditempatkan di mana saja. Jadi Account Representative di kantor pajak lain—berkasta apapun, pratama, madya, khusus, LTO—ataupun jadi pelaksana lagi, sekarang saya siap-siap saja.

Mental ini sudah saya siapkan sejak saya mendawamkan doa-doa yang pernah saya tulis di tulisan saya terdahulu (baca do’a mutasi). Apalagi pada saat bulan ramadhan, doa itu saya panjatkan betul. Agar Yang Diatas Sana memberikan keberkahan di mana pun saya berada. Dan saya yakin betul apapun yang diberikan Allah adalah tempat yang terbaik buat saya.

Keyakinan itu mewujud. Dan saya harap ini adalah berkah ramadhan. Ya, mulai mewujud, saat siang ini saya tiba di kantor baru untuk melapor. Ternyata keluar dari lift, ujug-ujug, tak jauh dengan sepelemparan batu, masjid bagus itu tampak di depan mata. Dekat banget. Hal yang patut disyukuri seperti syukurnya kita saat bangun tidur ternyata kita masih bisa bernafas. Itu pertama.

Kedua, masalah transportasi. Syukurnya masih bisa dijangkau dengan kereta rel listrik yang Oktober ini tarifnya mulai naik—alasannya biasa karena TDL naik. Bisa dari stasiun Gondangdia ataupun dari Stasiun Sudirman. Kalau dari stasiun pertama maka kudu mencari tandeman agar bisa mengirit ongkos naik taksi ke Kantor Pusat. Yang kedua lebih irit, cuma dengan selembaran uang dua ribuan.

Ohya bicara masalah lift, naik lift itu ternyata enak juga yah…Maklum sudah dari tahun 2004 saya mencoba tidak naik lift untuk menuju ruangan saya. Saya selalu naik tangga. Alhamdulillah bisa komitmen. Saya niatkan untuk olahraga memang. Walaupun cuma empat lantai. Efeknya bisa sekaligus hapal berapa jumlah anak tangga kantor dari lantai 1 sampai lantai 4.

Sekarang di kantor baru, ruangan saya berada di lantai 18. Pfhffff…kalau naik tangga kayaknya gempor juga. Akan saya coba dulu sekali-kali naik tangga 18 lantai. Gimana rasanya yah? Ada berapa anak tangga? Silakan, sekarang ini Anda bisa memiringkan jari telunjuk Anda di jidat Anda melihat saya.

Setelah pesan pendek pertama, lalu disusul yang kedua, ketiga, keempat dan seterusnya. Selanjutnya ada yang menelepon saya. Terimakasih kepada semuanya yang telah memberikan selamat dan mengingatkan amanah baru yang akan saya emban.

Terus terang saja ini adalah pekerjaan baru yang dari dulu memang saya tidak inginkan. Penelaah Keberatan gitu loh…Selalu dikejar deadline dan tekanan. Tapi lagi-lagi saat ini saya begitu lega dan legowo menerima semuanya. Sudah saya bilang di awal kalau saya siap di mana pun. Tidak masalah. Saya songsong dengan senang hati. Ini tantangan baru bagi saya bekerja di tempat Gayus dulu pernah bekerja. Ini awal yang baru.

Pekerjaan yang belum familiar? Ya… tinggal belajar saja. Dan kalau masalah belajar, saya jadi teringat perkataan Maryamah binti Zamzami dalam Cinta di Dalam Gelas, “Berikan aku sesuatu yang paling sulit, aku akan belajar.” Tak ada yang bisa melawan kekuatan belajar, hatta sebuah ketidakmungkinan.

Well, setelah hampir 13 tahun lamanya di Kalibata, saatnya saya meninggalkannya. Meninggalkan speaker kantor untuk do’a di setiap pagi. Meninggalkan bau apek karpet masjid yang sering dijadikan tempat tidur siang. Meninggalkan bebek-bebek sedap Broer setiap selasa dan jum’atnya. Meninggalkan teduh dan rimbunnya pepohonan. Meninggalkan profil yang centil dan jangkarnya yang sangar itu… secentil dan sesangar itukah? J

Tentu dengan banyak memori yang melekat di otak. Selasa pekan depan adalah yang terakhir berada di sana. Insya Allah…

***

riza almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

22.00 23 September 2010

saat malam menjerat dingin dengan kesunyiannya

 

thanks to: yayat, mbak dewi wiwik, mbak listya, mbak titi sugiarti, bu mona junita nasution, masker, dedi murahman, mas ervan, mas suyanto, mbak eldes, mbak dewi damayanti, semua penghuni terakhir pk2 kpp pma empat, pk1-nya juga, pk3-nya juga, pk4-nya juga, pak setiyono, atik faizah…dan teman-teman yang telah berkirim kata via facebook, email, gtalk, partychapp yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu namun tapa mengurangi rasa hormat saya. Semoga Allah memberikan yang terbaik kepada Anda semua.