(Juanda, Juanda)
Tentangmu adalah sepiring remah yang menempel di pipi senja. Gembil. Cuma langit Jakarta yang bisa bercerita begitu. Juga karena aku bergerak lebih cepat daripada ingatan yang tergenang di pikiranmu. Lebih cepat surut. Lebih dapat diucap mulut. Malam jadi ingin diputar kilat pada tape recorder yang sebentar lagi musnah. Untuk berada di side B.
(Gondangdia, Gondangdia)
Pohon-pohon seperti pelari maraton. Ia tak mudah lelah memantik matamu bercahaya, hidup, dan tak mudah lupa. Ia tak butuh ikan-ikan mujair untuk memakan daun-daun ingatannya apalagi kenanganmu untuk menggemukkannya. Percayalah, ia yang paling tabah memotong tubuhnya untuk dijadikan kertas. Di sanalah puisi-puisi tentangmu kutulis, untuk kaubaca, dan diserahkan kepada api.
(Cikini, Cikini)
Api di sebatang korek api. Meluruhkan laparku dalam segelas kopi. Tak cukup sekerat roti. Sediakan setelaga mimpi. Sungguh laksmi.
(Manggarai, Manggarai)
Aku terjun ke dalamnya. Ke dalammu.
***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
Commuter Line nan Sesak, 20 Desember 2017 .