KISAHKU DENGAN PARA MANTAN


KISAHKU DENGAN PARA MANTAN

 

 


*Suasana Jelang Persidangan, yang lagi mikir: Bro Toni Siswanto

 

Ia sekarang telah menjadi kuasa hukum Pemohon Banding. Posisinya berada di sebelah kanan depan Hakim Tunggal. Sedangkan di samping Pemohon Banding, di meja lain, Terbanding diwakili oleh satu tim yang terdiri dari dua orang Penelaah Keberatan Direktorat Keberatan dan Banding yang pengalaman dan umurnya jauh di bawah kuasa hukum.

    Walaupun demikian tidak ada hambatan psikologis yang menghalangi Terbanding untuk bersikap profesional melawan mantan Sekretaris Direktorat Jenderal Pajak (DJP) ini. Bahkan naluri paling dasar petugas banding, naluri untuk menang, terasa mendominasi. Ini persidangan acara cepat, persidangan pemeriksaan atas banding yang ditengarai tidak memenuhi ketentuan formal.

Untuk kali itu, permasalahannya adalah Pemohon Banding telat beberapa hari dalam menyampaikan permohonan bandingnya ke Pengadilan Pajak. Perlu pembuktian kalau Kantor Wilayah DJP tidak terlambat dalam mengirimkan surat keputusan keberatan. Jelas sudah pemeriksaan dicukupkan segera setelah beberapa kali persidangan. Tiga pekan kemudian, pembacaan putusan dilaksanakan. Hakim Tunggal memenangkan Terbanding.

Para Mantan

Tidak aneh jika Terbanding berhadapan dengan orang-orang yang paling dikenalnya sewaktu di kampus atau saat masih menjadi bagian dari DJP. Ada teman kampusnya, adik kelasnya, mantan dosennya, mantan teman satu direktorat, mantan kepala seksi, mantan pejabat fungsional, mantan kepala kantor pelayanan pajak, mantan kepala kantor wilayah, mantan pejabat eselon II DJP, mantan Sekretaris DJP, bahkan mantan Direktur Jenderal Pajak.

Tidak ada yang salah saat para mantan tersebut memilih menjadi kuasa hukum di Pengadilan Pajak. Undang-undang memperbolehkan siapapun orangnya untuk menggeluti profesi itu asal memenuhi syarat yang telah ditentukan. Dan setelahnya memenuhi kewajiban sebagai kuasa hukum yakni mematuhi semua ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dan Undang-Undang Pengadilan Pajak.

Bagi orang awam, ini seakan membuka peluang untuk terciptanya kongkalikong baru karena ada pengaruh yang dijual dari para kuasa hukum mantan pejabat itu kepada para mantan anak buahnya yang menjadi Terbanding atau bahkan yang sudah menjadi hakim. Tetapi pendapat ini terlalu prematur karena seakan meragukan integritas dan profesionalisme para petugas banding dan hakim. Juga ada benarnya agar kesempatan sekecil apapun untuk terjadinya persekongkolan tidak akan terjadi lagi.

Kalau dengan semangat ini, maka institusi DJP tertinggal satu langkah dari Pengadilan Pajak dalam menciptakan sistemnya. Pengadilan Pajak telah mengatur bagaimana seorang mantan hakim di Pengadilan Pajak tidak diperbolehkan menjadi kuasa hukum selama dua tahun sejak ia berhenti sebagai hakim di Pengadilan Pajak. Apakah perlu seorang mantan pegawai atau pejabat DJP juga diberlakukan yang sama agar tidak ada pengaruh yang dijual. Entah kepada institusi lamanya atau para hakim.

Bicara soal trading influence, maka kantor akuntan publik yang termasuk dalam the big four paling agresif merekrut para mantan pejabat tersebut. Mereka mengincar mantan pejabat DJP yang sekaligus mantan hakim pula apalagi kalau sudah pernah menjadi Ketua atau Wakil Ketua Pengadilan Pajak. Perkawanan masa lalu, senioritas, serta pengalaman tahunan menjadi pejabat dan hakim adalah modal utama dan bernilai tinggi, minimal ‘tidak diabaikan’ saat berkunjung ke kantor pelayanan pajak atau kantor wilayah, juga saat berbicara di hadapan Majelis Hakim.

Salah satu keuntungan merekrut para mantan ini adalah dalam persidangan mereka tahu apa yang wajib dipermasalahkan dari Terbanding yang luput dari pandangan kuasa hukum biasa. Para mantan itu juga mampu menembus birokrasi karena mereka tahu dapur DJP. Tidak segan-segan dan sungkan-sungkan memangkas alur untuk mendapatkan pelayanan excellent. Mantan kepala kantor wilayah yang baru saja pensiun tentu tidak ‘selevel’ jika dilayani hanya sekelas pelaksana, account representative, atau para penelaah keberatan. Maka minimal eselon III yang akan turun tangan.

Pertanyaannya adalah bisakah pejabat aktif DJP juga bersikap adil memperlakukan mereka seperti para pejabat aktif DJP itu memperlakukan kuasa hukum atau konsultan pajak atau Wajib Pajak lain yang bukan mantan pejabat DJP? Akankah terjadi sambutan ramah, pertemuan, atau pelayanan langsung yang diberikan oleh pejabat aktif DJP? Di sinilah profesionalisme diuji.

Kisah Lain

Jelang persidangan, seorang mantan hakim Pengadilan Pajak sekaligus mantan pejabat DJP menghampiri saya. Kami dari Terbanding pernah satu kali berhadapan dengannya di sengketa banding sebelumnya. Kali ini ia menjadi kuasa hukum untuk sebuah perusahaan elektronik milik pengusaha terkenal di Indonesia ini.

Sambil berbisik ia berkata: “Soal transfer pricing itu sebenarnya bangsa kita yang dirampok melulu.” Ia menghela nafas. Dari gesture-nya terlihat seperti tidak rela. “Dik, kalau ada tingkah laku saya yang kurang berkenan, tegur saya yah. Jangan sungkan,” lanjutnya. Kalimat terakhir ini mengingatkan saya saat bertarik urat leher dengan timnya sewaktu melakukan uji bukti. “Jiwa saya tetap DJP,” pungkasnya.

Sembari bangkit dari kursi karena sudah dipanggil masuk oleh Panitera Pengganti, saya pamit, bersalaman, dan membalas acungan jempolnya dengan dengan acungan jempol yang sama. Untuk penegasannya tersebut hanya Allah dan dirinya yang tahu. Waktu yang akan membuktikannya.

***

Riza Almanfaluthi

Pegawai Direktorat Keberatan dan Banding

04 Mei 2013

Ini adalah opini yang dimuat di Situs Intranet DJP: Kepegawaian pada tanggal 13 Mei 2013

Togetherness is Golden


image

Foto Lama Para Penggawa Subdirektorat Banding dan Gugatan II

Sanadnya begini, Kang Asep–teman sesama Penelaah Keberatan–pernah mendengar dari gurunya kalau: togetherness is golden. Riwayatnya sahih. Tidak dhaif bahkan munkar. Kalau dilihat dari matannya sahih pula. Memang betul sih kalau kebersamaan itu emas. Berharga. Tak ternilai.

Foto di atas adalah bentuk mengabadikan kebersamaan itu. Ada yang sudah pindah kantor ataupun resign dari DJP. Tapi itu tak membuat tali ikatan batin terputus sebagai sesama Penelaah Keberatan yang pernah bertugas di Pengadilan Pajak. Pahit getir menghadapi Pak Hakim dan Pak Jaksa, menunggu persidangan sampai malam menjelang, buka puasa di stasiun Gambir ataupun di lobi Gedung Sutikno Slamet, dan masih banyak momen-momen lainnya yang memupuk kebersamaan. So, melihat foto di atas adalah upaya mengenang saat-saat kebersamaan itu.

Dari foto di atas coba lihat dengan teliti, penampakan mana yang mirip dengan saya. Kalau Anda familiar dengan wajah saya tentu Anda dengan mudah mencarinya.

Kalau Anda ingin merasakan apa yang sedang saya rasakan sekarang ini. Coba abadikan setiap momen yang ada dengan kamera. Lalu lihat hasilnya beberapa waktu berselang dalam hitungan tahun. Akan Anda rasakan betapa teman-teman kita itu baik-baik semua pada kita. Rasakan saja.

***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di Ranting Cemara
Lantai 9 Gedung Sutikno Slamet Pengadilan Pajak
Di sela-sela penantian
10.41 1 Mei 2013 15 April 2013.

Episode Tan Ek Tjoan


image

Di Pengadilan Pajak itu sudah terbiasa kalau sidang sampai menerabas jam waktu istirahat dan jam makan siang. Oleh karenanya saking kelaparan sepulang dari sana menyempatkan diri ke kuliner kuno warung roti di Cikini Tan Ek Tjoan. Ini toko roti legendaris sejak zaman penjajah Belanda. Masih eksis sampai sekarang. Tadi yang melayani juga dari warga keturunan. Aroma kekunoannya juga menyengat. Yang membedakan adalah dulu menghitung uangnya pake sempoa sekarang pakai cash register. Dapat print out bonnya juga. Kalau beli roti langsung di toko ini lebih mahal sedikit daripada beli di abang-abang pengecer pakai gerobak becak itu. Semata karena kalau di toko rotinya dikenakan pajak daerah. Itu saja kali laporan selayang pandang ini. Harus segera diupload karena menulisnya langsung di hp dan mau habis baterainya. Cao… *** Riza Almanfaluthi dedaunan di ranting cemara 27 Maret 2013

MIMPI ORANG PAJAK


MIMPI ORANG PAJAK

 

Lebih dari empat setengah bulan sudah kami meninggalkan Makkah dan Madinah. Dua kota yang kalau disebut sama teman-teman yang mau pergi haji atau umroh selalu membuat mata saya berkaca-kaca dan hati merindu tidak kepalang. Hanya ratusan foto yang tersimpan dalam komputer menjadi pelipur lara. Atau dengan sesekali menyaksikan tayangan langsung di
http://live.gph.gov.sa/index.htm#.TvYOvVJIZ0t

*Foto sholat dzuhur 21 April 2012

Subhanallah pas saya copy paste alamat situs ini, di masjidil haram sedang adzan dzuhur. Allah…Allah…Allah… Sudut-sudut masjidil haram seperti lekat di depan mata. Ingin sekali untuk kembali ke sana. Saya jadi ingat sebuah tema diskusi dalam sebuah forum, judulnya: ini mimpiku dan mana mimpimu?

Maka hari ini kalau boleh saya bermimpi, kiranya saya bisa setiap saat pergi ke sana dengan mudah. Seperti teman-teman kantor kalau mau pulang kampung naik kereta atau pesawat di setiap bulannya. Jadi kalau iman lagi turun, segera rihlah naik pesawat jet pribadi, pergi hari jum’at sepulang dari kantor menuju Bandara Soekarno Hatta. Kemudian pakai kain ihram di pesawat dan berniat umrah saat tiba di miqat.

Tiba di Jeddah Sabtu pagi. Lalu naik Mercedes yang sudah siap menuju Makkah. Tiba di hotel terdekat dengan Masjidil Haram lalu istirahat sebentar. Setelah itu segera berangkat ke masjid untuk memulai thawaf. Putar-putar tujuh kali. Lalu berdo’a yang banyak di Multazam. Sholat sunnah dua rakaat dan minum air zam-zam. Sesudah itu pergi sa’i dari shofa menuju marwah dan sebaliknya sebanyak tujuh kali. Selesai sudah rangkaian umrah.

*Lorong masjidil haram 18 November 2011

Shalat maghrib, isya, dan shubuh menjadi kesempatan terbaik mendengarkan recite atau bacaan surat imam yang merdu itu. Kyai Haji Abdurrahman Assudais atau Maher bisa jadi yang memimpin sholat itu. Tak bisa bohong kalau saya lebih menyukai bacaan Maher Almu’aqli.

Awalnya saya tak tahu bacaan indah milik siapa ini. Di masjid depan penginapan di Makkah saya pernah dengar bacaan itu. Menyentuh sekali. Tetapi cuma sekali mendengarnya. Lalu waktu sepulang dari sholat dzuhur di Masjid Nabawi terdengar keras banget bacaan yang sama dari toko yang jual buku, kaset, dan cd. Saya datangi toko itu dan menanyakan kepada penjaga toko yang orang Bangla siapa pemilik bacaan ini. Barulah saya tahu kalau ia adalah Maher Almu’aqli, seorang Imam Masjidil Haram dan Nabawi.

Klik saja kalau mau mendengarkan bacaan alfatihahnya di sini. Atau kalau mau lengkap 30 juz unduh saja di sini. Yang pernah ke dua tempat suci itu pasti merindukan bacaan surat para imam itu.

Mari kita lanjutkan mimpinya. Sepertiga malam terakhir diisi dengan qiyamullail dan menyempatkan diri untuk mencium hajar aswad serta sholat dua rakaat di Hijr Ismail. Lalu setelah shubuh, baca alma’tsurat, sholat syuruq, dan dhuha. Sarapan di hotel dan jalan-jalan di menara jam yang tinggi itu. Jam sebelas siap-siap packing karena ba’da dhuhur kembali menuju Jeddah.

Adzan dzuhur berkumandang, segera pergi ke masjid, berdoa yang banyak minta ampunan Allah dan keselamatan umat Islam dari fitnah dunia. Sempatkan diri thawaf setelah shalat dhuhur. Dan jam setengah dua siang sudah tiba di hotel lagi, makan siang lalu cabut.

Sampai di Jeddah sekitar jam setengah empat sore. Naik pesawat jet lagi dan menyusuri 9 jam perjalanan menuju Jakarta dengan istirahat. Tiba di Soekarno Hatta senin dini hari. Paginya sudah ngantor
ngadepin Pemohon Banding dan Penggugat lagi di meja hijau Pengadilan Pajak. Selesai sudah.

Terbangun dari mimpi lalu sadar kalau diri ini hanya orang pajak. Tapi memangnya tak boleh orang pajak punya mimpi-mimpi? Mengutip perkataan teman dari Hasan Al Banna: “Mimpi hari ini adalah kenyataan hari esok.” Insya Allah bisa. Jangan takut untuk bermimpi. Allah mahakaya, sudah pernahkah kita minta apa saja kepadaNya?

 

***

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

ayo bermimpilah

20:22 21 April 2012

    

Tags: Maher almu’aqli, makkah, madinah, pengadilan pajak, hasan al banna, hajar aswad, hijr ismail, zam zam, Jeddah, Sudais, Abdurrahman Assudais, bandara soekarno hatta, nabawi, masjidil haram

 

[CATATAN SENIN KAMIS]: EUFEUMISME PARADOKSAL


EUFEUMISME PARADOKSAL

 

Bergumul dengan percakapan tadi malam dengan seseorang membuat saya menafsirkan ulang arti dari sebuah permintaan, pernyataan, ataupun penegasan akan sebuah keinginan. Inilah pentingnya memahami arti atau makna yang sebenarnya dari sebuah kalimat yang terlontar. Tanpa ada reduksi arti ataupun distorsi makna.

Pun, karena kita berada di sebuah tatar di mana sebuah kesopanan dijunjung di atas kepala setinggi-tingginya dengan sebuah aforisme 1000 kawan terlalu sedikit dan satu musuh terlalu banyak maka yang tampak mengemuka adalah eufeumisme. Penghalusan ungkapan sebagai pengganti ungkapan yang dirasa lebih kasar, tidak menyenangkan, ataupun merugikan.

Maka akan banyak sekali kita temukan di negeri sejuta eufeumisme ini, semua penghalusan itu. Mulai dari kematian hingga menyangkut masalah apa yang ditelan manusia. Bahkan menular pada kehidupan perpolitikan negeri ini yang penuh basa-basi dan kehidupan kita sehari-hari.

Sebuah perusahaan ketika ingin memecat seseorang, maka yang dilakukan bukan seperti orang-orang di Barat yang tanpa tedeng aling-aling mudah untuk bicara “You are fired!!!” dengan berteriak di depan durja sang korban, hanya beberapa sentimeter saja jaraknya. Tidak seperti itu. Tetapi cukup dengan sebuah ungkapan “tidak membutuhkan Anda lagi” yang didahului dengan kata maaf.

Yang lebih halus lagi adalah ketika pinta itu direpresentasikan dengan hal-hal yang kontradiktif dari kalimat yang terucap—melanjutkan contoh di atas—misalnya, “Anda sepertinya butuh waktu untuk istirahat, dan kami dengan senang hati memberikannya kepada Anda.” Sebuah tawaran yang teramat baik dan terpuji. Tetapi dibaliknya adalah: “Kau dipecat!!!” Ironi. Paradoks. Menyakitkan.

Inilah eufeumisme paradoksal.

Hakim di Pengadilan Pajak sedang meneliti syarat formal pengajuan gugatan yang diajukan Penggugat. Dalam hal ini Penggugat kebetulan mencantumkan dua keputusan yang digugat dalam satu surat gugatan. Maka Majelis Hakim menilai bahwa gugatan ini tidak dapat diterima. Majelis hakim mengatakan kepada Penggugat, “Gugatan Penggugat tidak dapat diterima.” Sebenarnya itu cukup tapi terkadang ditambah dengan kalimat, “Lebih baik perbaiki saja surat gugatan ini.”

Padahal sia-sia saja untuk diperbaiki karena biasanya pemeriksaan gugatan dilakukan setelah batas waktu pengajuan 30 hari terlampaui. Penggugat tak akan bisa lagi mengajukan gugatan karena jatuh tempo pengajuan itu telah lewat. Dengan kata lain, “Percuma!” Tawaran hakim Inilah yang bisa disebut eufeumisme paradoksal.

Suatu malam di ujung telepon sana, atau di sudut layar telepon genggam, atau di layar putih surat elektronik, atau dalam gerak cepat layar chat box, seorang laki-laki menerima pesan terucap atau tertulis seperti ini, “Maukah kau melupakanku dari hidupmu, karena kau terlalu baik buatku. Tetapi aku tetap menjadi kawan atau adik terbaik buatmu.”

Laki-laki ini terkejut, hatinya karut seiring langit yang memuntahkan angkaranya dengan petir membahana. Ia tahu perempuan itu cuma mau bilang, “Kau, aku, selesai!” Sebuah pernyataan tentang kemuakan, kebencian, ketakbergunaan, tak perlu diingat lagi kepada laki-laki itu. Tetapi dibalut dengan eufeumisme “maukah kau melupakanku dari hidupmu.” Yang sebenarnya adalah “Gua empet lihat muka elo!” Plus paradoksal, “karena kau terlalu baik buatku.” Yang sejatinya terkatakan adalah: “Iblis bermuka nabi”. Inilah eufeumisme paradoksal.

Yitzak Rabin di tahun 1992 adalah Perdana Menteri baru buat Israel. Ini kali kedua setelah ia menjabat pertama kalinya sebagai Perdana Menteri di tahun 1974-1977. Ia dikenal dengan tangannya yang berlumuran darah rakyat Palestina.

Tahun 1948 ia melakukan teror dan pengusiran terhadap puluhan ribu rakyat Palestina dari tanah mereka. Ratusan ribu lainnya menyusul di tahun 1967. Pada saat gerakan intifadhah selama 4 tahun yang dimulai tahun 1987, Israel dibawah kendalinya sebagai Menteri Pertahanan melakukan pembunuhan, penyiksaan, pemotongan anggota badan, pemenjaraan, dan pengusiran terhadap bangsa Palestina.

Dan apa yang ditawarkan setelah ia menjabat sebagai Perdana Menteri Israel kala itu: menawarkan keinginan dan visi perdamaian. Tetapi sejalan dengan itu Rabin tetap memerintahkan penyelesaian 11 ribu unit perumahan yang belum jadi di Tepi Barat, menolak setiap kompromi terhadap kota Yerusalem, dan menolak pemberian kewarganegaraan Israel bagi orang-orang Palestina yang hidup di tanah pendudukan tersebut. Di tahun 1994, ia dianugerahi Nobel Perdamaian hanya gara-gara ia mau berdamai dengan Palestina di tahun 1993.

Tangan kanan Yitzak Rabin menyerukan salam perdamaian kepada rakyat Palestina dan dunia namun tangan kirinya tetap dengan cambuk yang siap untuk dilecutkan. Inilah eufeumisme paradoksal. Bahkan diabadikan sampai sekarang oleh seluruh penerusnya.

Rwanda di akhir abad 20 adalah contoh getir dari ketiadaan harga nyawa manusia dan pembiaran dunia internasional atau impotennya negara-negara pengoar-ngoar demokrasi dan hak asasi manusia.

Rwanda dengan mayoritas Hutu yang tambun, bulat, berkulit gelap, dan petani dengan minoritas Tutsi yang ramping, tinggi, berkulit kurang gelap, dan peternak. Berkaitan dengan benang sejarah lampau antara Hutu yang sahaya dengan Tutsi yang penguasa. Namun di awal tahun 90-an itu Rwanda dipegang oleh Hutu. Tentu dengan semangat penuh kebencian dan kemarahan warisan kolonialisme Belgia kepada minoritas Tutsi. Sebagian Tutsi kuat diluar perbatasan Rwanda melalui RPF (Front Patriotik Rwanda) dan siap merongrong pemerintahan Hutu yang berkuasa.

November 1992, Leon Mugessera—kuasa Hutu dalam pidatonya, menyerukan untuk mengirim Tutsi ke Ethiopia—karena menurutnya Ethiopia adalah negara sebenarnya buat Tutsi dan bukan Rwanda—melalui sungai Nyabarongo. Inilah eufeumisme paradoksal itu. Di tahun 1994, faktanya Nyabarango penuh dengan Tutsi, benar-benar penuh, hingga sampai ke Danau Victoria. Tapi dalam wujud bangkai. Genosida selama 100 hari—6 April hingga 18 Juli 1994—itu memakan korban sekitar 800 ribu orang terbunuh. Atau rata-rata 5 orang per menitnya.

Lima tahun berikutnya karena benci telah menemukan tempat strategisnya, Ambon pun membara. Tapi lidah kelu untuk bicara dan mengisahkannya karena banyak tikungan tragedi di sana. Atau ah, kalimat terakhir tadi cuma eufeumisme paradoksal untuk sekadar berkelit bahwa sesungguhnya saya memang ketiadaan pengetahuan tentangnya. Bisa jadi.

***

 

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

geretap daun kena hujan

00.42 7 Juni 2011

 

Tags: eufeumisme, paradox, eufeumisme paradoksal, pengadilan pajak, rwanda, ethiopia, genosida, ambon, leon mugessera, danau Victoria, nyabarongo, hutu, tutsi, belgia, rpf, yitzak rabin, nobel perdamaian, palestina, yerusalem,

 

 

 

 

 

 

 

GUGATAN ATAS PROSES PERMOHONAN PENGURANGAN SANKSI ADMINISTRASI YANG TELAH LEWAT WAKTU


PROSES PERMOHONAN PENGURANGAN

SANKSI ADMINISTRASI YANG LEWAT WAKTU

 

Ini kasus menarik dalam persidangan di Pengadilan Pajak yang bisa dijadikan pembelajaran buat Wajib Pajak dan fiskus. Kasus gugatan yang ditangani tim kami. Saya utarakan fakta-faktanya sebagai berikut:

  1. Wajib Pajak dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan oleh Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP) untuk tahun pajak 2007.
  2. Dari hasil pemeriksaan itu diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) oleh Kantor Pelayanan Pajak (KPP) pada tanggal 9 Februari 2010.
  3. Wajib Pajak tidak keberatan untuk membayar pokok pajak dalam SKPKB tersebut namun keberatan membayar sanksi administrasinya dengan alasan kondisi keuangan.
  4. Oleh karena itu Wajib Pajak mengajukan permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi ke KPP pada tanggal 15 April 2010.
  5. Permohonan itu diteruskan KPP untuk diproses oleh Kanwil DJP. Kemudian Kanwil DJP mengeluarkan surat Keputusan Direktur Jenderal Pajak yang isinya menolak permohonan Wajib Pajak tersebut pada tanggal 27 Oktober 2010.
  6. Wajib Pajak tidak terima atas penolakan tersebut kemudian mengajukan gugatan ke Pengadilan Pajak dengan alasan:

     

  • Sesuai dengan Pasal 36 ayat (1c) Undang-undang (UU) KUP No.28 Tahun 2007 disebutkan bahwa “Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diterima, harus memberi keputusan atas permohonan yang diajukan.”

     

  • Sesuai dengan Pasal 36 ayat 2 UU yang sama disebutkan bila jangka waktu 6 bulan itu terlewati dan Direktur Jenderal Pajak belum memberikan keputusan maka permohonan pengurangan sanksi dianggap dikabulkan.
  • Sesuai Pasal 36 ayat 2 UU yang sama disebutkan bahwa ketentuan pelaksanaan permohonan pengurangan diatur berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Peraturan yang terkait itu adalah PMK Nomor 21/PMK.03/2008.
  • Pada Pasal 11 PMK tersebut disebutkan bahwa pada saat berlakunya Peraturan Menteri Keuangan ini, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 542/KMK.04/2000 tentang Tata Cara Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi dan Pengurangan atau Pembatalan Ketetapan Pajak tidak dinyatakan berlaku kecuali permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi, dan pengurangan atau pembatalan ketetapan masa pajak, bagian tahun pajak, atau tahun pajak sebelum 01 Januari 2008.
  • Maka menurut Wajib Pajak sebagai Penggugat seharusnya atas permohonan pengurangan sanksi administrasi itu dianggap dikabulkan karena Direktur Jenderal Pajak tidak mengeluarkan keputusan dalam jangka waktu 6 bulan.

     

Dari fakta-fakta dan argumentasi di atas maka tim kami berpendapat bahwa terdapat perbedaan pemahaman UU dan peraturan perpajakan lainnya dalam sengketa ini. Wajib Pajak (Penggugat) menggunakan UU KUP baru yaitu UU No. 28 Tahun 2007 sedangkan tim kami (Tergugat) menggunakan UU KUP lama yaitu UU No.16 Tahun 2000 sebagai dasar penyelesaian proses permohonan pengurangan sanksi administrasi.

Mengapa demikian?

Karena yang harus dilihat pertama kali adalah sengketa ini terjadi untuk tahun pajak berapa. SKPKB dikeluarkan untuk tahun pajak 2007 walaupun SKPKB tersebut diterbitkannya di tahun 2010. Kalau demikian maka sudah jelas UU KUP baru pun sudah mengisyaratkan bahwa terhadap hak dan kewajiban perpajakan tahun pajak 2001 sampai dengan 2007 yang belum diselesaikan diberlakukan UU lama . Ini ditegaskan dalam Pasal II ayat (1) UU KUP baru.

Jika UU lama yang diberlakukan maka dalam UU KUP lama tidak disebutkan masalah batas waktu penyelesaian permohonan. Karena pencantuman batas waktu penyelesaian permohonan hanya ada di UU KUP baru yakni selama 6 bulan. Di UU KUP lama tidak ada.

Namun tidak berarti tidak diatur. Pasal 36 ayat 2 UU KUP lama menyebutkan bahwa tata cara pengurangan diatur dengan menggunakan Keputusan Menteri Keuangan. Keputusan yang dimaksud adalah Keputusan Menteri Keuangan nomor 542/KMK.04/2000.

Dalam Pasal 3 keputusan itu disebutkan bahwa Direktur Jenderal Pajak harus memberi keputusan atas permohonan pengurangan atau penghapusan paling lama 12 bulan sejak tanggal permohonan diterima. Sehingga dengan demikian jatuh tempo penyelesaian permohonan pengurangan dalam sengketa ini paling lambat tanggal 14 April 2011.

Nah, Wajib Pajak malah tidak mengakui KMK Nomor 542/KMK.04/2000 karena KMK ini telah dihapus dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 21/PMK.03/2008 tepatnya pada Pasal 11 yang berbunyi sebagai berikut:

Pada saat berlakunya Peraturan Menteri Keuangan ini, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 542/KMK.04/2000 tentang Tata Cara Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi dan Pengurangan atau Pembatalan Ketetapan Pajak dinyatakan tidak berlaku kecuali untuk permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi, dan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sebelum 1 Januari 2008.

    Menurut Wajib Pajak bahwa berlakunya Keputusan Menteri Keuangan Nomor 542/KMK.04/2000 hanya untuk permohonan pengurangan yang masuk sebelum tanggal 1 Januari 2008. Sedangkan kami berargumen bahwa titik berat tanggal 1 Januari 2008 itu bukan pada permohonan yang masuk tetapi pada masa pajak, bagian tahun pajak, atau tahun pajak sebelum 1 Januari 2008. Jadi karena untuk kasus ini tahun pajaknya adalah tahun pajak 2007 maka KMK 542/KMK.04/2000 masih tetap berlaku.

    Dengan argumen yang dikemukakan kami, Wajib Pajak mengalihkan argumennya pada Pasal 36 Peraturan Pemerintah No.80 Tahun 2007 yang merupakan petunjuk pelaksanaan UU KUP Baru bahwa permohonan pengurangan ini termasuk salah satu dari 8 item yang diberlakukan UU KUP Baru. Ternyata setelah dicek satu persatu permohonan pengurangan sanksi administrasi tidak termasuk di dalamnya sehingga masih menggunakan UU KUP Lama.

    Dari semua itu kami harapkan gugatan Wajib Pajak tidak dapat diterima atau ditolak oleh Pengadilan Pajak.

***

 

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

21.02 06 Mei 2011

 

TAGS: pengadilan pajak, permohonan pengurangan sanksi administrasi, kantor pelayanan pajak, kantor wilayah , direktorat jenderal pajak, djp,

 

KARENA IA ADALAH PENGGANTI YANG LEBIH BAIK


KARENA IA ADALAH PENGGANTI YANG LEBIH BAIK

 

Hari sudah semakin sore, jum’at (29/4) itu rekonsiliasi dengan Pemohon Banding di gedung Pengadilan Pajak belumlah usai seluruhnya. Kami hanya dapat menyelesaikan untuk satu sengketa pajak saja mengenai objek-objek Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23.

Kami sepakat untuk melanjutkannya di pekan yang akan datang. Tentunya bagi tim kami, yang penting ada panggilan dari Pengadilan Pajak, kalau tidak ada itu kami tidak akan datang. Jangan dilupakan, kami tidak akan datang juga walau sudah ada panggilan kalau tidak ada surat tugas dari direktur kami. Ini semata-mata agar kami tidak dianggap sebagai petugas banding liar dan tetap dalam kerangka melaksanakan tugas negara—bukan tugas pribadi.

Saya bergegas menuju Jalan Senen Raya untuk menghadang Bus Jurusan Senen Cimone yang melewati Stasiun Gambir—karena dari sana saya akan pulang naik kereta rel listrik (KRL). Untuk menghentikan bus itu saya harus menunggu lama di seberang Hotel Oasis Amir. Bisa saja saya naik bajaj atau ojek motor atau juga naik taksi. Tapi pilihan itu akan saya ambil jika waktunya mepet dengan jadwal KRL yang saya naiki. Dan untuk hari itu waktu yang saya miliki masih banyak.

Kemudian tak sengaja mata saya melihat gedung tinggi di ujung sana. Tempat Pengadilan Pajak berada. Saya sempatkan untuk mengambil gambarnya dengan menggunakan kamera hp.

Gedung bercat putih itu adalah Gedung Dhanaphala. Di sana selain Pengadilan Pajak adalah tempat berkantornya para pegawai Direktorat Jenderal Anggaran.

Bus itu tiba dan tak sampai 10 menit sampai di depan Stasiun Gambir. Sesampainya di stasiun itu segera saya beli tiket dan naik ke lantai 1. Saya mencari tempat duduk di sana. Tak biasanya saya demikian. Di hari-hari sebelumnya kalau sudah beli tiket saya langsung naik ke lantai dua dan menunggu KRL datang di peron 3-4.

Saya pikir waktunya masih lama dan pasti akan ada pemberitahuan kalau KRL Pakuan Ekspress itu tiba di Stasiun Gambir dari Stasiun Kota. Makanya saya santai saja duduk-duduk di bangku lantai 1. Ada sekitar 20 menit saya di sana. Untuk sekadar menelepon, sms-an, dan tentunya melihat Monas dari kejauhan. Sepertinya emas yang ada dipuncaknya itu tak berkurang satu gram pun.

Ketika ada pengumuman bahwa KRL Pakuan datang, saya segera naik ke lantai 2 dengan santainya. Eh, pas betul, setibanya di atas, KRL Pakuan itu sudah nongkrong di jalur 3 dengan pintu yang sudah tertutup dan kemudian berangkat lagi. Saya gigit jari. Saya ketinggalan kereta. Tega nian KRL itu untuk tidak membuka pintunya barang sejenak agar saya bisa ikut dengannya.

Aneh, seharusnya pengumuman kedatangan KRL diberitahukan sebelum KRLnya datang di Stasiun Gambir bukan? Atau pada saat KRL sudah berangkat dari stasiun terdekat. Nah, ini benar-benar tidak ada. Tiba-tiba diumumkan kalau KRLnya sudah tiba di jalur 3. Atau sebenarnya ini salah saya? Seharusnya pula kalau sudah tahu jadwalnya jam segitu ya segera naik ke atas. Tak perlu tunggu pengumuman. Nanti akan alasan begini: “Memangnya jadwal KRL selama ini tepat waktu?” Ya sudahlah akan banyak argumentasi yang muncul.

KRL ini memang tidak berhenti di Stasiun Citayam tetapi ia berhenti di Stasiun Bojonggede. Dari sana saya harus menunggu KRL arah baliknya yang menuju ke Jakarta untuk nantinya turun di Stasiun Citayam.

Keterlambatan ini harus ditebus dengan 20 menit menunggu kereta berikutnya. Apalagi sore itu Stasiun Gambir sudah mulai penuh karena banyaknya pemakai jasa kereta api yang ingin pulang kampung. Maklum akhir pekan. Jadi suasananya tambah semrawut.

Eh, kekecewaan ini terobati juga. Dari pengumuman yang ada, KRL berikutnya itu bisa berhenti di Stasiun Citayam. Jadi tak perlu harus ke Stasiun Bojonggede dan balik lagi. Dan betul ketika sampai di Stasiun Citayam waktu tibanya tidak berbeda jauh bila naik KRL yang meninggalkan saya itu. Hmm…

Saya kembali memikirkan sesuatu. Hingga pada sebuah ujung bahwa seringkali kita menyesali dan merutuki nasib karena sesuatu yang diharapkan lepas dari tangan kita. Padahal Allah sudah menggariskan kalau memang yang diharapkan itu bukan untuk kita, bisa jadi karena tidak baik untuk kehidupan kita di dunia atau setelahnya. Pun, karena Allah sudah mempersiapkan yang lain lagi sebagai penggantinya, bahkan lebih baik.

Sore itu saya mendapatkan yang terakhir.

***

 

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

bahagia ditemani sepanjang perjalanan

10.40 01 Mei 2011

 

Tags: pengadilan pajak, senen raya, hotel oasis amir, Cimone, kereta rel listrik, gambir, citayam, bojonggede, pajak penghasilan pasal 23, pakuan, jakarta, gedung dhanapala, direktorat jenderal anggaran, departemen keuangan,