Work From Heart


Puisi ini terdapat dalam antologi Buku Hari Pajak 2020 yang berjudul: Bangkit Bersama Pajak dengan Gotong Royong dalam Foto, Poster, dan Untaian Puisi. Selamat menikmati.

:untuk diajeng di seberang lautan

Wabah ini membuatku tak bisa kemana-mana. Aku di Tolitoli menjaga pundi-pundi. Tiga purnama aku tak bisa berjumpa. 2700 kilometer dari rumah kita. Jarak tak mampu memisahkan jiwa, apalagi renjana. Aku memanggilmu diajeng kalau aku sedang sayang, memanggilmu ibu di depan anak-anak, memanggilmu kakak di saat mesra. Aku harus meneleponmu tiga kali seperti minum obat. Pagi, siang, dan malam. Menjaga stamina cinta, saat jauh apalagi dekat. Aku tidak bekerja dari rumah, aku bekerja dari hati, hati yang memelihara malam, tempat aku memanen rindu yang tak pernah kenal pejam, tunggu aku di puncak pertemuan, sebentar lagi aku pulang.

***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
4 Juli 2020

Perbincangan 10 Nomor Whatsapp


Puisi ini terdapat dalam antologi Buku Hari Pajak 2020 yang berjudul: Bangkit Bersama Pajak dengan Gotong Royong dalam Foto, Poster, dan Untaian Puisi. Selamat menikmati.

*

Dua pekan menjelang akhir Maret kami lahir kembar 10.
Delapan penjuru mata angin merayakan kelahiran kami.
Diumumkan oleh matahari, gelombang laut, pelangi, dan sedikit sepi di hati.
Kami cepat dewasa seperti seroja karenanya kami sudah memikul buana.
Kamu, kamu, dan kamu harus bertugas menerima pesan dari siapapun yang bertanya pajak. Harus bisa menjawabnya dan tak perlu galak. Pesan mahaguru kepada kami dengan berakhlak.
Sejak itu kami menerima segala amaran. Tentu bukan seperti ini:
“Sedang melakukan apa pagi ini?”
“Sudah sarapan?”
“Jangan lupa makan siang, nanti kena maag loh.”
“Puisi ini buat kamu.”
Yang kami terima:
“Saya lupa EFIN.”
“Sistem lagi mati?”
“Cara lapor SPT online bagaimana?”
Kami berlapang dada menerima seperti batu karang yang bersedia disambar gelombang laut pantai selatan.
Mulai delapan pagi sampai lima sore. Seringnya sampai malam ditemani morfem dan fonem dari mahaguru yang ngelindur.
Lelah kami tumpas, jika pesan ini datang bersaf-saf.
“Terima kasih pencerahannnya.”
“Ini sangat membantu.”
“Bagus kok pelayanannya.”
“Jempol empat.”
Sebentar, sebentar, sebentar apelku hendak mati. Sudah 2%.
Mahaguru bilang, sambil tak menoleh tetap asyik membaca buku: *Sejarah Amtenar dari Masa ke Masa*
“Istirahatlah dengan tenang. Besok kita kerja lagi.”

 

***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
5 Juli 2020
Gambar dari zedge.net

Nama yang Kutemukan Teronggok di Pinggir Jalan Aan Mansyur


 

:Sylvia Plath

Puisi yang kautulis sendiri dengan nyeri dan kaubaca pelan di hadapan warnanya anyelir tengah malam. Wewangi mencambuk hasratmu merebahkan kepala di pendiangan, memungut hadir getir di jalan napasmu: metana, hidrogen, nitrogen, karbon dioksida, karbon monoksida pelan-pelan bersembulan. Esok pagi menghitung Desember sayu yang tertinggal di pucuk-pucuk pohon dan anak-anakmu yang baru menjadi piatu.

 

***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
14 Ramadan 1441 H
School photo created by pressfoto – http://www.freepik.com

Cerita Lebaran: Seusai Menjadi Salik Selama Sebulan


Bentangan sawah di Sempulur.

Azan Subuh mengamuk di gendang telinga. Menutupinya dengan bantal rasanya sudah cukup untuk meredakannya. Apalagi perjalanan semalam dari Wringinputih, Magelang menuju Sempulur, Boyolali yang menguras daya dapat menjadi alasan lebih dari sekadar.

Pada akhirnya tidak demikian juga. Saya masih bisa beranjak. Kandung kemih yang penuh mendorong saya untuk segera turun ranjang.
Baca Lebih Lanjut.

Dengan Menyebut Nama


Dengan menyebut nama, aku kerap menemukan namamu seperti aku selalu menjumpai puisi yang kutulis dalam draf email lalu tak sengaja terhapus dan aku harus menulis ulang kata-kata yang tak sempat menjadi sajak dan kini telah bersemayam tenteram di langit-langit perut singa nan malas bersama kenangan, kamu, dan sesuatu yang buruk.

***
Riza Amanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
29 Agustus 2018

Mas, Sore ini Aku Terbang


 

“Mas, sore ini aku terbang.”
Pesawat landas aku pulas.
Aku terbangun wajahku memerah.
Dinding kabin dan kursi memerah.
Wajah penumpang juga memerah.
Baju mereka juga merah seperti bajuku.
O, aku baru tahu sebenarnya
ada senja yang menempel di mana-mana
tak mau lepas seperti
parasmu dari kepalaku
suaramu dari mulutku
tatapmu dari mataku
suratmu dari penaku.
Oh ya, aku tadi tinggalkan puisi
di bangku ruang tunggu
barangkali engkau mau
melarungkan di segara putih.
Aku ingin berenang.
Aku ingin melayang.
“Mas, sore ini aku terbang.”

 

***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
7 Agustus 2018
36.000 kaki

Air Terjerang


Air terjerang: Aku meriang
Memanggil-manggil sejumput bubuk kopi
Aku seharusnya tak minum kopi malam ini
Aku meriang: centang perenang.

Hikayat yang kautulis selalu kuingat
tentang dewi yang tak pernah merasakan sakit
walau ia merana mendendangkan kesepian di atas bukit
kabut adalah nada terakhir saat pagi mendekat

Air terjerang: asap menjelma
Membawa sisa-sisa mahagelap
Engkau ingat: aku lupa
Sekarang ada yang selalu kaudekap
Aku meriang: centang perenang.

***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
7 Agustus 2018
Photo by Angie Leatham

Aku Pernah Menciummu di Suatu Waktu


Aku pernah menciummu di suatu waktu. Kutemui warna hujan, wangi kabut, lembut pena, dan taman-taman basah. Aku pernah menciummu di suatu waktu. Kutemui padang ilalang, darah jerapah, sedikit kenangan, dan sajak-sajak marah. Aku pernah menciummu di suatu waktu. Engkau menghilang. Aku menghilang. Di lidah-lidah hyena resah.


***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
1 Agustus 2018
Via @shemimages

Karena Aku Siput


 

Karena aku siput yang selalu membawa ruangmu ke mana-mana.
Lelah.
Karena aku siput yang meninggalkan rindu di ujung daun mengkudu.
Rebah.

***

Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
29 Juli 1976
Via @discoverocean