RIHLAH RIZA #22: SEHARI MENJADI SINGA


RIHLAH RIZA #22: SEHARI MENJADI SINGA

 

“Hidupnya seekor singa sehari masih lebih berkenan ketimbang ratusan tahun hidupnya seekor serigala,” tegas Tipu Sultan di istananya di Seringapattam, Mysore, saat gerbang istana diserbu penjajah Inggris yang dibantu para kaptennya yang telah menjadi pengkhianat dan komprador. Penasehatnya menyarankan Tipu Sultan berkompromi dengan syarat-syarat dalam perjanjian yang disodorkan kepadanya. Tidak. Ia memilih menjadi syuhada.

**

Duha itu, jam sembilan pagi, kami berangkat menuju Kantor Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD) Kabupaten Simeulue. Letaknya di belakang Kantor Bupati Simeulue. Di sana kami diterima oleh Kepala DPPKAD. Kami membahas persiapan acara Serah Terima Pengelolaan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) yang akan digelar besok. Acara itu rencananya akan dihadiri oleh Sekretaris Daerah Kabupaten, Naskah bin Kamar. Sebagian dari kami kemudian memisahkan diri untuk memberikan konsultasi tentang perangkat lunak sistem informasi dan jaringan.

Jadi Kabupaten Simeulue ini merupakan pecahan dari Kabupaten Aceh Barat. Sejak tahun 1999 berpisah dari induknya dan beribu kota di Sinabang. Tempat KMP Sinabang bersandar. Letak ibu kota kabupaten ini berada di Kecamatan Simeulue Timur. Kotanya kecil. Pusing-pusing di sana tidak makan waktu banyak.

Di Sinabang ada masjid tertua namanya Masjid Raya Baiturrahmah. Kami singgah di hari pertama keberadaan kami di Pulau Simeulue untuk salat duhur di sana. Masjidnya sangat sederhana karena berdinding papan saja. Di sebelah masjid ini sedang dibangun masjid yang lebih besar dan kokoh lagi sebagai penggantinya. Kompleks masjid raya ini letaknya di persimpangan di depan Polsek Simeulue Timur dan Rumah Tahanan (Rutan) Cabang Sinabang.

Rutan ini jangan dikira seperti Rutan Salemba atau rutan-rutan lainnya yang bertembok tebal. DI sini rutannya cukup dengan dinding papan seadanya dan berpagar luar hanya dengan kawat biasa saja. Tidak ada pengamanan ketat seperti sebuah penjara, mungkin samudera yang mengelilingi pulau ini sudah menjadi tembok alami dan bikin jiper para tahanan yang mau melarikan diri. Pernah kejadian tahanan melarikan diri dengan menggergaji papan namun dipastikan tidak bisa keluar dari Simeulue. Polisi sudah sebar fotonya di pelabuhan.

Setelah salat kami menuju pelabuhan lama Sinabang yang sekarang tidak terpakai lagi. Dermaga utama terlihat masih baik namun dermaga untuk menambatkan tali dan dermaga yang berada di sebelah kiri terlihat rusak juga amblas. Pelabuhan ini tidak dipakai lagi untuk melayani feri menuju Pulau Sumatra. Kami tidak lama di sana. Ada yang harus kami tuju setelahnya. Tempat penangkaran lobster.

Letaknya dekat keramaian kota Sinabang. Tempat ini dimiliki oleh Wajib Pajak Kantor Pelayanan Pajak Pratama Tapaktuan bernama Mahlil. Ia pengusaha lobster dan ikan yang sudah berusaha lebih dari 20 tahun di bidang itu. Dari daratan kami harus menyeberangi semacam demaga papan kayu menuju tempat penangkarannya itu. Di samping dermaga tertambat kapal boat milik polisi air dan kapal kayu nelayan unik yang besar. Unik karena di setiap sisi kapal kayu berwarna merah ini terdapat semacam kayu panjang untuk menjaga keseimbangannya.

Pada saat kami datang pun Mahlil sedang menyiapkan lobster untuk dikirimkan ke Medan. Inilah saat pertama kali melihat dengan mata kepala sendiri dan memegang hewan laut invertebrata berpelindung luar yang keras. Otak pajak kami sudah mulai bekerja. Kalau setiap hari saja ada puluhan kilogram lobster yang dijual, berapa pendapatan yang diterima Mahlil sedangkan harga per kilogram lobster ini 250 ribu rupiah.

Mahlil selain menangkar lobster, juga menangkar jenis ikan kerapu tiger dan hiu. Semua hewan bernilai mahal ini didapatkan dari para nelayan yang menangkapnya dari tengah laut. Kebetulan kami pun melihat ada satu nelayan sedang menyandarkan sampannya lalu menjinjing hasil tangkapannya berupa kerapu tiger untuk dijual kepada Mahlil. Pengusaha ini menjual kembali kerapu tiger dengan harga 120 ribu rupiah per kilogramnya.

Kami tidak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk melihat penangkarannya. Mahlil membuat banyak petak keramba masing-masing berukuran sembilan meter persegi. Setiap petak keramba mempunyai jaring-jaring dan diberi nomor dengan memakai styrofoam. Di atas jaring itulah ditempatkan hiu berukuran kecil sepanjang satu meter, lobster, dan kerapu tiger. Tentu tidak dicampur.

Setelah puas melihat-lihat kami segera pergi menuju sebuah tempat di mana legenda tentang Simeulue bermula: Makam Tengku Diujung. Kami harus menempuh perjalanan sepanjang 67,8 kilometer dari Sinabang ke Desa Latak Ayah, tempat makam itu berada. Ini berarti kami harus berpindah lokasi dari sisi timur pulau Simeulue menuju sisi baratnya.

Empat per lima bagian perjalanan itu sudah pasti dilalui melalui pesisir pantai. Kami terpukau habis dengan pemandangan yang disuguhkannya. Pantai pasir putih, jejeran pohon kelapa, ombak yang pas buat surfing, dan
pegunungan di sisi kanan kami. Jalanan sepi dan hanya satu dua kendaraan yang kami susul, bahkan berpapasan dengan kendaraan lain pun tidak.

Kondisi jalan lumayan mulus, hanya pada saat di jembatan kami harus mengurangi kecepatan karena masih dalam perbaikan. Hampir seluruh jembatan yang kami lewati demikian adanya. Selain itu, seperti di daerah lainnya di provinsi Aceh, kami banyak melihat kumpulan kerbau yang merumput dan dibiarkan begitu saja. Tak ada gembalanya sama sekali.

Setelah lebih dari dua jam berkendara, akhirnya kami sampai. Makam ini berada di sebuah teluk. Kata penduduk setempat, di sekitar makam ini dulunya adalah pantai. Namun setelah adanya tsunami permukaan tanahnya naik sehingga garis pantai pun mundur puluhan meter. Daratannya menjadi bertambah luas. Konon katanya tsunami memang menghantam teluk ini, tapi tidak merusak sama sekali kompleks makamnya. Air membelah dan melewati begitu saja. Siapa Tengku Diujung ini?

Seperti diceritakan oleh Kepala DPPKAD sendiri kepada kami, dulu ada seorang ulama bernama Khaliilullaah yang berangkat haji dari Minangkabau, saat itu Minangkabau masih menjadi daerah kekuasaan Sultan Iskandar Muda. Ia singgah dulu di Aceh. Oleh Sang Sultan ia diminta untuk menunda keberangkatannya ke tanah suci Makkah. Ia ditugaskan untuk mengislamkan penduduk Pulau Simeulue. Keinginan Sang Sultan dituruti, ia bersama dayang istana yang kemudian menjadi istrinya pergi ke pulau itu untuk memulai dakwahnya di sana.

Di pulau itu ia bertemu dengan penguasa Pulau Simeulue yang bernama Songsong Bulu yang masih menganut paham animisme. Dua orang itu adu kesaktian yang pada akhirnya dimenangkan oleh sang ulama. Singkat cerita penduduk Simeulue pun memeluk Islam. Oleh para pengikutnya sang ulama digelari oleh para pengikutnya sebagai Tengku Diujung. Di akhir hayatnya Tengku Diujung dimakamkan di sebuah tempat yang kemudian dinamakan Latak Ayah. Latak itu berasal dari bahasa minang yang berarti letak. Bersebelahan dengan makam sang ulama terdapat makam sang istrinya.

Selesai berziarah kami mampir di warung sebelahnya. Warung ini berdiri di atas tambak dan persis di bibir teluk. Airnya berwarna hijau. Remaja dan anak-anak pun menjadikan teluk itu sebagai tempat bermain mereka. Berenang atau bersampan.

Pemilik warung juga merupakan penangkar lobster, ikan, dan hiu. Inilah tempat yang sering menjadi kunjungan bagi para pecinta lobster. Perjalanan lama dan melelahkan ini terbayar dengan kenikmatan Mr. Crab yang digoreng sampai berwarna merah itu. Dagingnya empuk dan manis. Ini pengalaman pertama saya makan lobster.

 

Sinabang-Latak Ayah (Google Maps Olahan)

Tempat Penangkaran Lobster milik Mahlil di Sinabang. (Foto koleksi pribadi).

 

Ini di Maldives bukan di Simeulue (@NatGeoID).

 

Nah, kalau ini asli di Latak Ayah. (Foto koleksi pribadi).

 

Pantai yang sudah menjadi daratan di Teluk Latak Ayah (Foto koleksi pribadi).

 


Pemandangan Lain Teluk Latak Ayah (Foto koleksi pribadi).


Makam Asysyaikh Khaliilullaah (Foto koleksi pribadi).

 


Anak-anak Nelayan (Foto Koleksi Pribadi).

Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul enam sore walau suasananya masih terang benderang. Kami pun segera beranjak pulang. Besok pagi masih ada yang harus kami selesaikan. Yang pasti seharian itu saya banyak mendapatkan pengalaman luar biasa. Jadi banyak tahu. Jadi banyak ngebatin kaya batin. Sehari di sini mengayakan sisi-sisi jiwa saya yang tidak pernah didapatkan dalam ratusan hari di Jakarta dan keramaiannya. Tapi baik singa atau pun jadi serigala mereka sama-sama hewan yang suka hidup berkelompok. Entah jadi salah satu dari keduanya, mereka tidak bisa hidup sendirian di luar kelompok dan keluarganya, di alam liar. Apalagi saya sebagai manusia. So…

***

 

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

di sebuah garis imajiner

12 Januari 2013

 

RIHLAH RIZA #21: LALI SELALI-LALINE


RIHLAH RIZA #21: LALI SELALI-LALINE

 

 

Padahal “rindu dendam” atau “cinta berahi” itu laksana Lautan Jawa, orang yang tidak berhati-hati mengayuh perahu memegang kemudi dan menjaga layar, karamlah ia diguling oleh ombak dan gelombang, hilang di tengah samudera yang luas itu, tidak akan tercapai selama-lamanya tanah tepi.

Sebuah petikan paragraf dalam novel Buya Hamka yang berjudul Di Bawah Lindungan Ka’bah. Tapi bagi saya “rindu dendam” atau “cinta berahi” tak sebanding dengan Lautan Jawa. Ia adalah Samudera Hindia. Dalam senyatanya Samudera Hindia telah dijelajahi dengan gagah berani oleh Sulaiman Al Mahiri di abad 16. Belum samudera yang lainnya. Tapi dunia abai. Karena ia orang Arab. Sepatutnya kita tak lali selali-laline. Lupa selupa-lupanya. Padahal selain sebagai seorang penjelajah samudera ia pun seorang penulis yang telah menyumbangkan ilmu pengetahuannya di abad pertengahan tentang ilmu kelautan, astronomi, dan geografi.

**

Kembali saya menaiki sebuah kapal laut setelah belasan tahun lewat. Dulu saya pernah mengarungi samudera menyeberangi Selat Sunda dari Pelabuhan Merak menuju Pelabuhan Bakauheni. Waktu itu dalam rangka menghadiri pernikahan sahabat. Sekarang, menuju ke Pulau Simeulue dalam rangka urusan pekerjaan.

Kapal yang akan menyeberangkan kami dari Pelabuhan Singkil menuju Pelabuhan Sinabang adalah KMP Teluk Sinabang. Kapal ini menjadi urat nadi perekonomian dan gerak pembangunan Pulau Simeulue. Jika rusak dan tidak ada penggantinya maka bisa dipastikan 86 ribu lebih penduduk Pulau Simeulue akan mengalami krisis sembako sebagaimana pernah diberitakan oleh media di bulan November 2013 lalu. Waktu itu KMP Teluk Sinabang mengalami kerusakan mesin.

“Barangkali deru mesin kapal laut membelah samudera ini adalah igaumu yang tak pernah sampai menjadi ode. Tak pernah terceritakan.”

Pukul 16.45 kami sudah berada di atas kapal. Kami pun sudah menempati kamar Anak Buah Kapal (ABK) yang disewa selama pelayaran ini. Kamar ABK letaknya di bagian bawah. Lebih bawah lagi daripada tempat parkir kendaraan. Bahkan bisa dipastikan kalau kamar ini berada di bawah permukaan air laut.

Jenis kamar ABK ini macam-macam. Ada kamar yang berisi satu atau dua tempat tidur, ada pula dengan dua ranjang bersusun. Saya menempati kamar terakhir ini. Kamarnya sempit tetapi muat untuk empat orang, berpendingin ruangan, dan bertelevisi.

Sang Nahkoda, Kapten Eko Medianto, seorang Pujakesuma (Putera Jawa kelahiran Sumatera) asal Medan ini memastikan kalau perjalanan pada nanti malam akan berjalan lancar, karena ombak dan arusnya yang tenang. Maksimal perjalanan ditempuh selama dua belas jam, paling cepat sepuluh jam dengan kecepatan 10 knot. Tentunya lebih cepat dan bertenaga daripada kapal “Karimata” di tahun 1927 yang membawa tokoh “saya” dalam novel Buya Hamka tadi. “Saya” selama empat belas hari terkatung-katung di lautan dari Pelabuhan Belawan menuju Jeddah.

Jam lima sore ini seharusnya kapal sudah membunyikan terompetnya yang ketiga kali sebagai tanda dimulainya pelayaran. Tapi walau sudah lewat dari jam lima kapal belum juga menutup pintu jembatannya. “Kita menunggu truk sayuran.  Sebentar lagi datang. Kalau ditinggal kita disalahkan. Ini sembako penting,” katanya.

Saya menaiki dek paling atas. Sebelumnya saya harus melalui dek tengah dengan deretan tempat duduk kelas ekonomi terlihat kosong. Sepertinya pelayaran sore ini ditempuh dengan sedikit penumpang. Di dek paling atas sebagiannya beratap, sebagian besarnya tidak. Di bawah atap ada meja-meja berbentuk bulat di depan meja kantin panjang. Sedangkan di bagian ujung dek yang tak beratap, di sisi yang menghadap ke bagian belakang kapal, terdapat dua kursi panjang, di tengahnya tiang tinggi dengan bendera merah putih berkibar-kibar ditiup angin laut.  Gagah segagah-gagahnya.

Saya menatap air laut di pelabuhan yang berwarna kecoklatan. Seperti warna Sungai Cimanuk di Indramayu. Saya tidak tahu mengapa bisa sampai berwarna seperti itu. Tapi kalau diperhatikan lebih seksama lagi, ini  tampak hanya di permukaannya saja. Ketika kapal berangkat dan mulai membelah air laut terlihatlah lapisan air di bawahnya yang berwarna khas, hijau dan biru. Air coklat itu tipis setipis-tipisnya seperti kulit ari.

Sambil duduk, berdiri, ngobrol, jalan-jalan di sekitar dek, saya sangat menikmati sore itu dari bibir kapal: bau laut, angin kecil, senja, matahari tenggelam, buih ombak di belakang kapal, deru mesin, langit kelabu, perahu nelayan, dan pemandangan segala di kejauhan. Kalau sudah demikian saya jadi teringat cerita pendek yang berjudul Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu bikinan Hamsad Rangkuti dan film Titanic besutan James Cameron. Saya tidak tahu apa yang membuat dua orang itu sama-sama mengaitkan hal-hal ini—laut, kapal, dan deknya—dengan keinginan wanita untuk bunuh diri.  Akhirnya pun sama, wanita itu tak jadi bunuh diri. Sebagai penyedap, ada pahlawan yang mencegah ritual tadi.

Ketika malam benar-benar menelan anak-anak cahaya barulah saya turun ke kamar. Ambil wudhu, lalu shalat jamak qashar, dan memeluk kantuk. Saya benar-benar tidur senatural-naturalnya. Tanpa menjadi Descartes yang bilang, “Aku berpikir, maka aku ada.” Di suatu tempat yang sering menjadi tempat tidurnya, sumber inspirasinya: pendiangan.

 Singkil Sinabang

Dari Singkil menuju Sinabang, Simeulue. (Gambar olah dari google map).

 Singkil Port

Pelabuhan Singkil kami tinggalkan (foto koleksi pribadi).

 

 Dek 1

Tempat terbaik untuk memandang segala, dek paling atas. (Foto koleksi pribadi).

 Dek Atas 2

Sudut lain dek paling atas. Baik pula untuk merenung di suatu malam. Habis senja, ada setumpuk gelombang datang menjadi angan. Dan aku tenggelam dalam lautan kata-kata. (Foto koleksi pribadi).

 

 Kamar ABK

Kamar ABK. Di bawah itu ranjang awak (saya). (Foto Koleksi pribadi).

 

Senja

Senja di sebuah ruang waktu. Namaku langit, dan kamu sebentuk siluet ungu di tepian cakrawala.

 

 

 Ruang Ekonomi

Ruang kelas ekonomi malam itu sepi.  (Foto Koleksi Pribadi)

 

Entah kenapa jam setengah dua malam saya terbangun.               Saya bangkit dari tempat tidur dan keluar kamar. Saya naik ke atas, melalui arena luas parkir kendaraan, naik ke kelas ekonomi, dan naik ke atas dek lagi. Sepi. Tidak ada orang sama sekali. Saya duduk di salah satu meja yang ada di sana. Mengambil hp dan menelepon orang di seberang sana. Teleponnya tidak diangkat. Ia masih terlelap di hari jadinya itu. 2 Januari 2014.

Omong kosong! Di tengah laut masih ada sinyal? Ya masih, walaupun seringnya hanya dapat EDGE. Tapi itu sudah cukup. Saya tidak tahu dari menara BTS yang mana sinyal ini didapat? Apa di kapal ini ada menara BTS? Itulah kelebihan daerah ini. Coba bayangkan, sepanjang perjalanan saya dari Tapaktuan ke Singkil sampai di tengah laut menuju Simeulue ini, ketersediaan sinyal akses telepon dan internetnya tidak ada “matinya”.  Walaupun juga ada blank spot tapi itu tidak lama. Di tengah samudera seperti ini saya masih bisa update status Facebook dan Twitter. Tapi jangan harap kalau di dalam kamar atau di bagian bawah kapal. Sinyal tidak ada sama sekali.

Saya memandang ke atas langit. Tidak ada awan yang menutupinya. Di atas penuh bintang. Rasi bintangnya pun tampak. Saya mencoba mencari petunjuk, dalam surat Annahl ayat ke-16 disebutkan, wabinnajmihum yahtaduun, dan dengan bintang-bintang itulah mereka mendapat petunjuk. Karena saya bukan nelayan apalagi seorang Sulaiman Al Mahiri, saya tetap saja gagal paham mana rasi kalajengking, mana domba jantan, dan mana-mana yang lainnya itu. Kemudian saya pun menatap laut dalam gelap.

Seperti bintang dan malam yang saling berbincang, begitulah semestinya aku dan laut saling memandang.

Saya menggigil sebentar karena angin yang tidak kencang ini. Tapi itu tak mengurangi keinginan saya untuk berlama-lama di sana. Ini tafakur alam setafakur-tafakurnya. Jarang saya mendapatkan suasana trance seperti ini—halah nggaya.

Merenung segala. Saya akui benarlah apa yang dikatakan teman-teman sejawat kalau nilai-nilai di Kementerian Keuangan—selain integritas, profesionalisme, sinergi, pelayanan, dan kesempurnaan itu perlu ditambah satu lagi dengan nilai Kesabaran. Sebenarnya kesabaran masih menjadi subordinat dari nilai-nilai integritas itu: berpikir, berkata, berperilaku, dan bertindak dengan baik dan benar serta memegang teguh kode etik dan prinsip-prinsip moral. Artinya orang yang sabar adalah merupakan bagian dari orang-orang yang teguh dengan prinsip moralnya.

Tapi itu belum cukup. Nilai kesabaran itu perlu dinaikkan menjadi dominan. Tak hanya sekadar menjadi sekunder. Dus, nilai ini sepertinya sudah menjadi nilai-nilai yang telah terinternalisasi dengan sendirinya tanpa diada-adakan dengan kegiatan semacam internalisasi corporate value, in-house training, outbond,  atau banyak istilah lainnya. Sebab satu hal, pegawai-pegawai di Kementerian Keuangan terutama di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) itu sudah sabarnya luar biasa.

Sabar dengan cacian dan hujatan dari pihak eksternal, sistem di internal, beban kerja, take home pay, cicilan yang menggunung, jaminan kesehatan seadanya, dikasih nilai kecil walau sudah bekerja mati-matian, ditempatkan jauh dari keluarga,  bekerja mencapai target penerimaan tanpa diberi empati, dan lain sebagainya. Luar biasa sabarnya.

Mengapa belum cukup kalau sekadar subordinat nilai-nilai kementerian, karena sabar itu dalam pandangan profetik adalah variabel kemenangan. Janji Rasulullah saw atas orang-orang sabar adalah surga. Nashir Sulaiman Al-Umr, penulis buku Hakikat Pertolongan dan Kemenangan, menyatakan kesabaran merupakan salah satu bentuk kemenangan terbesar. Dengan kesabaran seseorang akan mudah mewujudkan apa-apa yang dicita-citakannya. Begitulah adanya.

So, kalau DJP mau target penerimaannya—sebagai target kemenangan—tercapai manfaatkanlah sumber daya melimpah berupa kesabaran para pegawainya dengan baik sebaik-baiknya. Jadikanlah ini sebagai nilai dominan dari nilai-nilai Kementerian Keuangan. Ah, sudahlah.

Setelah perenungan itu telah menemukan titik zenitnya, jam tiga dini hari saya kembali ke kamar. Namun mata sudah tidak bisa dipejamkan lagi. Bahkan satu jam kemudian ketika tidur saya hampir pulas, pengeras suara dari awak kabin sudah terdengar, mengumumkan kalau sebentar lagi kapal akan berlabuh. Refleks saya bangkit dari ranjang dan membangunkan teman-teman yang lain. Kami pun segera berkemas.

Pelabuhan Sinabang masih tampak gelap. Waktu shubuh masih jauh. Kami turun belakangan daripada penumpang yang lain. Hari ini terbayang kami akan melakukan apa saja. Di pelosok ini, kami bekerja, maka kami ada.

Tak akan pernah lali selali-laline perjalanan tadi.

 

***

Catatan: Siapa pun adanya yang tidak setuju dengan tulisan feature ini silakan bikin tulisan setara, jangan sms, dan jangan email, jangan menggerutu, apatah lagi telepon. 😀

 

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

8 Januari 2014

 

RIHLAH RIZA #20: TIGA TAHUN DISINGKILKAN


RIHLAH RIZA #20: TIGA TAHUN DISINGKILKAN

 

Angin sepoi Musalla dan Sungai Ruknabad. Tak Mengizinkan hamba mengembara jauh.” Sebuah puisi dikirimkan Hafiz Syirazi—lirikus Persia, penyair jenius, pemilik lidah gaib (Lisanul Ghaib), penafsir kegaiban (Tarjumanul Asrar)—kepada Sultan Ahmad bin Owais-i-Jalair, penguasa Ilkhani. Hafiz menolak penguasa berbakat dari Baghdad itu mengundang dirinya dan melantunkan syair-syair indah di hadapan sang penguasa.

Sebuah kapal dari dua orang Saudagar Persia sudah menanti di Selat Hormuz untuk membawa Hafiz ke India. Hafiz sempat naik ke kapal tersebut. Namun ketika kapal hendak berangkat, badai datang. Hafiz pun turun dari kapal dan tidak jadi pergi. Sebagai pengganti dirinya, akhirnya ia cuma mengirimkan bait-bait syair kepada Sultan Mahmud, penguasa India pada saat itu. Tanah airnya tak mau melepas Hafiz jauh-jauh.

**

Tanggal satu di tahun baru seharusnya libur. Kami tidak. Kami harus mengawali perjalanan panjang sampai empat hari ke depan. Kami menuju Kabupaten Simeulue yang berada di Kepulauan Simeulue dalam rangka pengalihan pengelolaan Pajak Bumi dan Bangunan sektor Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2) dari Pemerintah Pusat dalam hal ini diwakili oleh Kantor Pelayanan Pajak Pratama Tapaktuan kepada Pemerintah Kabupaten Simeulue.

Perjalanan ini merupakan perjalanan road show kami di tiga kabupaten sebagai wilayah kerja KPP Pratama Tapaktuan. Selain Kabupaten Simeulue ada Kabupaten Aceh Barat Daya, biasa disingkat Abdya, dan Kabupaten Aceh Selatan. Sungguh, ini perjalanan yang tidak akan pernah dialami selagi saya tidak ditempatkan di daerah terpencil dan tertinggal ini. Saya tekankan dua kata terpencil dan tertinggal ini karena masih saja ada yang tidak percaya kalau Aceh Selatan disebut sebagai daerah demikian.

Pengertian Daerah Tertinggal seperti yang saya kutip dari situs Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal adalah daerah kabupaten yang masyarakat serta wilayahnya relatif kurang berkembang dibandingkan daerah lain dalam skala nasional. Suatu daerah dikategorikan sebagai daerah tertinggal, karena beberapa faktor penyebab, antara lain geografis, sumber daya alam, sumber daya manusia, prasarana dan sarana, daerah terisolasi, rawan konflik dan rawan bencana. Aceh Selatan masih termasuk ke dalam 183 daerah tertinggal di Indonesia.

Ketidakpercayaan mereka ini seperti ketidakpercayaan mereka melihat ada orang Jakarta seperti saya mau-maunya saja ditempatkan di daerah tersebut.  “Ini tugas Broh,” kata saya atau biasanya saya diam atas pernyataan tersebut. Hanya tersenyum dan tidak menanggapi. “Pasti enggak dekat dengan rezim yah,” kata mereka lagi.  Wadaw, rezim-reziman segala. Saya tak tahu rezim-reziman. Kalaupun ada, saya cuma tahu dan kenal dengan satu rezim yang Maha Luas kekuasaannya, “rezim” Allah.  Ah, sudahlah.

Menuju pulau Simeulue ini ada dua moda transportasi: naik pesawat Susi Air atau kapal laut. Yang paling efektif adalah tentunya naik pesawat. Masalahnya adalah awal tahun ini Susi Air tidak terbang karena dalam proses tender penerbangan perintis dan penyusunan jadwal terbang. Jadi kami tidak memilih moda ini. Satu-satunya jalan adalah dengan menggunakan kapal laut.

Acara penandatanganan berita acara pengalihan PBB P2 ini dijadwalkan pada hari Jumat. Sedangkan jadwal pemberangkatan kapal laut dari pelabuhan terdekat—satu jam dari Tapaktuan—yaitu Labuhan Haji ada pada malam Jum’atnya. Ini mefet. Jadi kami harus menyeberang hari Rabu malam dari pelabuhan Singkil. Berarti kami pun kudu berangkat pagi dari Tapaktuan menuju ibu kota Kabupaten Aceh Singkil ini.

Kabupaten Aceh Singkil merupakan kabupaten paling ujung di selatan Provinsi Aceh dan termasuk daerah tertinggal juga. Kami harus menempuh kurang lebih  223 kilometer selama enam jam perjalanan darat dari Tapaktuan menuju Pelabuhan Singkil.

Sepanjang perjalanan menyusuri Kabupaten Aceh Selatan kami disuguhi pemandangan pantai yang menakjubkan, namun memasuki Kabupaten Aceh Singkil selain pemandangan perbukitan yang indah kami juga ditampakkan kerusakan hutan akibat penebangan untuk pembukaan lahan kelapa sawit. Sangat disayangkan.

Selain itu ada beberapa pemandangan yang mirip saat kami melewati daerah di Singkil. Papan nama Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) yang kami temui di Rimo bentuknya sama dengan yang kami jumpai di Singkil. Sama-sama rusak berat. Saya tak tahu apakah bentuk papan nama seperti itu menjadi tanda ketertinggalan suatu daerah? Allahua’lam bishshawab. Yang pasti dua SPBU tersebut juga sama-sama kumuh.

Tidak ada KPP di Kabupaten Aceh Singkil.  Hanya ada Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP).  Kabupaten Aceh Singkil termasuk ke dalam wilayah kerja KPP Pratama Subulussalam. Kota Subulussalam mulanya merupakan bagian dari Kabupaten Aceh Singkil. Kemudian memekarkan diri menjadi sebuah kota di tahun 2007.

Ingat tentang para pahlawan hebat  DJP yang berkumpul di Lhokseumawe dalam rangka Forum Pelayanan dan KP2KP yang pernah saya tulis sebelumnya? Salah satunya adalah Pak Yusri Hasda. Dialah yang menjadi Kepala KP2KP Aceh Singkil. Kami mampir ke sana sebelum melaut dan menyeberang ke Pulau Simeulue.

Di KP2KP, kami berenam disuguhi kopi khas Aceh Ulee Kareng. Kopi yang biasa dibeli Pak Yusri Hasda di Meulaboh tempat tinggalnya sekarang. Setiap minggu ia pulang Ke Meulaboh menempuh ratusan kilometer selama sembilan jam perjalanan darat. Sudah tiga tahun ia menggawangi KP2KP dan menjalani ritual akhir pekan pulang pergi Singkil-Meulaboh.

Peta Tapaktuan SingkilPeta perjalanan dari Tapaktuan menuju Singkil. (Sumber Maps Google).

Plang SPBUPlang SPBU di Rimo dan Singkil. Hancur lebur seperti itu. (Foto koleksi pribadi).

Masjid SingkilKami singgah dulu di Masjid Baitusshalihin, Pulo Sarok Singkil (Foto Koleksi Pribadi).

KP2KP Aceh SingkilKP2KP Aceh Singkil (Foto Koleksi Pribadi).

Rumah Adat Singkil Rumah Adat Singkil (Foto Koleksi Pribadi).

 KMP SinabangDermaga Pelabuhan Singkil tempat berlabuh KMP Teluk Sinabang (Foto Koleksi Pribadi).

Ini benar-benar perjamuan yang tak main-main. Biasanya kami disuguhi kopi dalam gelas imut, sekarang kami harus minum kopi dari gelas besar dengan volume lebih dari 300 cc. Sebagai penikmat kopi pemula saya sangat menikmati kopi ini. Nikmat sekaligus mengenyangkan padahal sebelumnya kami telah menikmati makan siang di sebuah warung makan dekat dengan rumah adat Singkil, di salah satu sudut kota.

Jam empat sore kami beranjak menuju pelabuhan. Melewati rumah-rumah yang kena tsunami dan tak berpenghuni. Setengah bagian dari rumah itu sampai sekarang masih tenggelam. Kapal Motor Penyeberangan (KMP) yang akan kami naiki dijadwalkan berlayar jam lima sore ini. Kami tak perlu buru-buru karena tiga jam sebelumnya kami sudah membeli tiket penumpang dan mobil. Tiket kelas ekonomi seharga 38 ribu rupiah per orang. Sedangkan tarif tiket kendaraan sebesar 493 ribu rupiah.

Pelabuhan Singkil ini melayani tiga rute perjalanan kapal laut. Dari Singkil menuju Sinabang yang berada di Pulau Simeulue, Gunung Sitoli yang berada di Pulau Nias, dan Pulau Banyak. Tidak setiap hari kapal itu melayani rute tujuan. Karena kapal laut yang ada hanya dua yakni KMP Teluk Sinabang dan Teluk Singkil. KMP Teluk Sinabang inilah yang akan melayarkan kami menyeberangi Samudera Hindia menuju Pulau Simeulue.

Ini hari sudah sore saat kami memasuki kapal. Tapi matahari belumlah tenggelam. Masih tinggi di atas lengkung langit. Seharian perjalanan ini belumlah seberapa. Baru seperdelapannya saja dilewati. Tanda-tanda badai pun jelas tidak ada sama sekali. Langit cerah. Ombak dan angin tenang. Kiranya sudah ditakdirkan hari ini kalau saya tetap akan menyeberang ke Simeulue.

Tak ada keindahan Pantai Tapaktuan dan Gunung Leuser yang akan menghalangi saya pergi ke sana seperti keindahan Taman Musalla dan Sungai Ruknabad yang mampu menghalangi pengembaraan Hafiz Syirazi. Sepertinya tanah air yang baru dua bulan setengah saya tempati rela banget menjauhkan saya pergi dari pelukannya. Apalagi tanah air yang ada di Jekardah sana. Ikhlaaaaaaaas banget kayaknya. Ah, sudahlah…

***

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

05 Januari 2014

RIHLAH RIZA #18: NOTHING’S IMPOSSIBLE


RIHLAH RIZA #18: NOTHING’S IMPOSSIBLE

 

 

dt.common.streams.StreamServer

Ilustrasi Pohon Tumbang dari gazettenet.com

 

Hujan deras mengguyur sebuah kota di India. Jalanan lumayan padat saat itu. Sampai kemudian ada pohon tumbang jatuh menghalangi jalan. Untung pohon itu tidak menimpa apa pun. Walaupun jalanan ramai, tak ada satu pun yang bergerak untuk menggesernya. Sama sekali tidak ada.  Lalu muncul anak kecil yang mendorong pohon itu. Raut muka meringis sungguh-sungguh tertera di wajahnya karena tenaga yang berusaha ia keluarkan.

Ukuran tubuhnya saja jelas tidak mungkin akan bisa menggeser satu sentimeter pun. Ia memang tak bisa menggesernya. Tapi ia punya laku. Ia punya tekad. Laku dan tekad itulah yang membuang egoisme orang kota dan menggerakkan orang dewasa yang punya nalar itu untuk sama-sama turun membantunya. Laki dan perempuan, tua dan muda, semua turut menggeser tumbangan pohon di tengah hujan yang tak mau berhenti. Akhirnya mereka berhasil, hujan pun berhenti tiba-tiba, langit tersibak, matahari muncul, dan jalanan pun lancar kembali.

**

Hari ahad pekan itu saya harus kembali ke Tapaktuan dari Jakarta. Sesampainya di Medan petang hari. Dari Medan biasanya saya naik travel. Tapi kali ini saya diajak ikut rombongan teman yang tinggal di kota terbesar ketiga di Indonesia ini.

Jalanan sepanjang ratusan kilometer telah kami lalui. Di tengah perjalanan mobil yang kami tumpangi berenam ini tiba-tiba harus berhenti mendadak. Syukur, kecepatannya masih bisa dikendalikan. Kami merayakan sepi yang menyengat ketika mesin mobil dimatikan di tengah hutan seperti ini. Persis di depan kami, dalam jarak yang tidak terlalu jauh, sesuatu menghalangi jalan. Sepintas seperti susunan batu yang disemen dalam kepekatan dini hari.

Ternyata itu pohon besar. Tidak ada orang di sana seperti yang sudah-sudah sebagai modus pemalakan. Menebang dahan pohon, menaruhnya di tengah jalan, dan meminta uang kepada pengguna jalan di kegelapan malam. Sekarang, ini pohon yang sebenar-benarnya tumbang.

Tidak ada yang lain selain kami dalam beberapa saat. Kami sudah meninggalkan jauh rombongan mobil di belakang. Di depan kami, dari arah yang berlawanan, di balik pohon tumbang pun belum ada mobil juga. Hanya kami sendirian waktu itu.

Kami turun. Kami terpana. Banyak pertanyaan yang memenuhi kepala. Bagaimana caranya kami melewati halangan ini? Kami harus segera sampai di Tapaktuan sedangkan perjalanan masih jauh, masih beberapa jam lagi.  Tidak ada jalan memutar menuju daerah di depan kami, Kota Subulussalam. Ini satu-satunya jalan dari Medan menuju Tapaktuan.

Sebelumnya kami pun harus melewati jalan sempit yang berkelok-kelok, gelap, dan penuh kabut. Kabutnya tebal sehingga wiper mobil kami harus dinyalakan agar tidak ada air yang menghalangi pandangan. Jarak pandang pun terbatas. Teman kami, Dony Abdillah, yang memegang kemudi harus ekstra hati-hati. Pengalaman berbulan-bulan membawa mobil Medan-Tapaktuan pulang pergi di akhir pekan cukup menambah kewaspadaannya.

Pohon ini tumbang dari sisi kanan kami. Tebing dari sebuah pegunungan. Di sebelah kiri kami jurang. Dasarnya tidak tahu seberapa dalamnya. Gelap. Sepertinya pohon ini tumbang barusan saja. Karena jarak kami dengan mobil yang menyusul kami tak seberapa lama. Mobil itu melewati bagian jalan ini dan tepat beberapa detik atau menit kemudian pohon itu rubuh. Atau sebenarnya mereka jatuh ke dalam jurang itu, terdorong reruntuhan pohon. Kami tak tahu.

Dari arah yang berlawanan mulai muncul satu mobil. Supir dan penumpangnya turun. Mereka melihat apa yang telah menghalangi perjalanannya. Setelah mengetahui kondisi pohon yang jatuh ia bisa langsung ambil kesimpulan. Supir mobil sana di tengah keterpanaan kami yang begitu lama langsung ambil insiatif untuk menyingkirkan satu per satu. Saya pun langsung ambil bagian. Begitu pula teman-teman yang lain. Ini langkah yang tepat daripada kami hanya berdiam diri menunggu nasib selanjutnya, menanti bentuk pertolongan lain yang kami tak tahu seperti apa.

Kami harus patahkan ranting-rantingnya terlebih dahulu sebelum menyingkirkan batang pohon yang besar itu. Pohon ini ternyata pohon tua dan sudah lapuk. Kami kikis dengan tangan kosong semua yang menghalangi jalan. Tanah, dahan kecil, ranting, dan daun-daun kami terjunkan ke sisi kiri, ke jurang. Suara benda jatuh yang menyentuh dasar jurang terdengar lama sejak digelindingkan dari atas. Tanda jurangnya dalam.

Yang kami khawatirkan pada saat proses pembersihan itu adalah masih adanya reruntuhan di atas yang belum semuanya turun. Jangan-jangan ketika kami menarik ranting-ranting itu lalu longsoran tanahnya menghunjam ke bawah dan menimpa kami. Tapi kami tepis semua pikiran buruk itu. Alhamdulillah tidak terjadi apa-apa. Semua patahan dan longsoran yang bisa kami buang dengan alat ala kadarnya dapat kami singkirkan. Tinggal batang pohonnya.

Tak lama kemudian tempat itu mulai hidup. Mobil dari arah yang sama dan berlawanan sudah mulai menumpuk.  Juga bus besar. Ini sangat membantu kami. Artinya akan ada banyak tenaga tambahan untuk menyingkirkan halangan yang masih teronggok di tengah jalan.

Beberapa orang sudah mulai menggulingkan batang pohon yang besar itu. Pohon ini harus digulingkan ke jurang agar terbuka jalan untuk semua kendaraan dari dua arah.  Kalau Jika hanya digeser ke sisi kanan, maka hanya memberikan ruang untuk mobil berukuran sedang saja. Bus dan truk jelas tak akan bisa melewatinya. Tapi menggulingkan pohon itu ternyata sulit, karena di akarnya masih banyak tanah dan potongan dahan-dahan yang menumpuk. Pohon hanya bergeser sedikit.

“Itu harus disingkirkan satu per satu,” kata saya kepada mereka.

“Kapan selesainya?” kata salah satu dari mereka meruntuhkan harapan.

Bagi saya perkataan itu perkataan negatif. Saya yakin kalau satu demi satu, sedikit demi sedikit, bagian-bagian dari tanah dan tumpukan itu dibuang ke jurang—tidak sekadar dipinggirkan—maka lama kelamaan akan habis juga. Buktinya tidak akan mungkin di hadapan kami tinggal batang pohon itu saja jika kami tidak menyingkirkan satu demi satu semua ranting dan dahan-dahan sebelumnya.

Juga perkataan itu mengandung keegoisan tingkat tinggi karena hanya memikirkan kepentingan mobil berukuran sedang saja. Bus jelas tidak dipikirkan. Tapi apa mau dikata karena memang belum semua penumpang bus turun untuk turut membantu. Kalau semua turun, insya Allah akan selesai dalam waktu yang tidak lama. Tidak ada yang mustahil. Seperti yang Oz bilang dalam OZ The Great And Powerful: “Nothing’s impossible if you just put your mind to it.”

Tapi mereka bergeming. Juga penumpang bus tidak ada yang turun. Ya sudah, kami pun mengerjakan apa yang bisa kami kerjakan. Kami berenam berburu dengan waktu. Maka dengan bantuan tali, dorongan, daya ungkit dari potongan kayu di bawah pohon akhirnya pohon besar itu bisa digeser ke sisi kanan. Jalan terbuka pas untuk mobil pribadi. Bus dan truk tidak bisa lewat karena sebelah kanan jurang menganga gelap.

Setelah terbuka jalan, mobil-mobil kecil pun bergegas melaluinya dengan kesetanan. Seperti air lepas dari bendungan. Bahkan mobil kami yang paling depan pun disusul oleh banyak mobil dari antrian paling belakang. Jam sudah menunjukkan pukul tiga pagi saat itu. Saya tak tahu nasib para penumpang bus dan truk itu selanjutnya.

Hambatan seperti tanah longsor adalah salah satu risiko yang harus dilalui oleh para pelaju dari Kota Medan menuju Tapaktuan selain dipalak, mobil masuk sungai, masuk jurang, ban kempis, dan mesin mogok. Kami tidak akan pernah menghendaki kejadian itu menimpa kami tentunya.

Kejadian di sana memang ada laku dan tekad. Ikhtiar untuk berusaha menyingkirkan pohon. Laku dan tekad dari segelintir kami. Tapi itu tidak mampu menggerakkan banyak orang untuk turun bareng menyingkirkan segala. Laku dan tekad yang dipertunjukkan oleh anak kecil di atas cuma ada di televisi. Iklan sebuah minuman. Tidak menjadi nyata di sini. Di pinggiran hutan belantara ini. Maka nothing’s impossible pun tegas dibekap kabut dan benar-benar menjadi mustahil. Dini hari itu kami merayakan ketidakmungkinan dalam pikiran kami.

Beberapa jam kemudian kami tiba di Kota Tapaktuan. Jam enam pagi kota kecil ini masih sepi. Matahari pun belum bangun. Kami kemudian sukses menaruh jari di mesin finger print KPP Pratama Tapaktuan. Senin ini kami tidak terlambat. Itu berarti penghasilan kami tidak dipotong. Alhamdulillah.

Jika ada yang mengatakan kalau tidak mau dipotong ya jangan terlambat. Jika tidak mau terlambat berarti jalan dari Kota Medannya Minggu siang saja, jangan malam Seninnya. Coba yang berkata demikian untuk ditugaskan terlebih dahulu di sini.  Di daerah yang peringatan hari jadinya yang  ke-68 pada tanggal 28 Desember 2013 ini akan dihadiri oleh Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal. Semata bagi kami kebersamaan dengan keluarga menjadi saat-saat yang tak bisa dinilai dengan materi.

***

 

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

dini hari di tengah debur ombak

00:35  24 Desember 2013

 

 

 

RIHLAH RIZA #16: DARI KERKHOF KE KERKHOF


RIHLAH RIZA #16: DARI KERKHOF KE KERKHOF

 

Melihatnya, ini menjelma diorama. Sebuah bahtera yang berlayar. Bahtera besar. Bahtera Nuh. Berlayar tidaklah di lautan. Melainkan di kuburan. Raga saya berada di sini. Pikiran saya bertamasya. Bahkan terperangkap dalam sebuah kesan. Persis seperti saat membaca satu kalimat dalam sebuah naskah cerpen yang disodorkan kepada saya, satir dan surealisme. “Karena kau telah memelihara anak kembarku: luka dan perih.”

**

Lebih baik pilih mana menempuh perjalanan darat selama delapan jam atau naik pesawat kecil dan jarak 500 km lebih itu ditempuh cukup dengan 65 menit saja? Tentu saya akan memilih yang terakhir. Juga karena tidak ada transportasi jarak jauh di siang hari seperti di Jawa. Semuanya bergerak setelah azan isya berkumandang. Kalau pun ada angkutan di siang hari itu pun harus ngompreng dari kota ke kota. Masalah harga, semuanya ada harga yang harus dibayar atas sebuah efisiensi dan kenyamanan.

Pesawat kecil itulah yang mengantarkan saya ke Banda Aceh dari Tapaktuan. Saya menunggu sebentar di Bandara Internasional Iskandar Muda yang masih sepi. Tak lama kemudian Rachmad Fibrian datang dengan kijangnya menjemput saya. Memet, panggilan akrabnya, adalah pelaksana di Seksi Penagihan Kantor Pelayanan Pajak Pratama Tapaktuan. Nanti dia yang akan mendampingi saya di Forum Penagihan se-Kantor Wilayah (Kanwil) Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Aceh. Selain itu ada Fahrul Hady, jurusita KPP Pratama Tapaktuan yang juga ikut dalam forum tersebut.

Memet mengajak saya untuk sarapan dan ngupi di kedai kopi asli Aceh, kopi Beurawe. Di jam sepuluh pagi itu, kedai masih dipenuhi dengan para pengunjung. “Jam ramainya memang di siang hari sesuai jam buka warung. Kalau malam malah tutup,” jelas Memet.

Antara ada dan tiada, perut saya sudah mulai merajuk. Makanan ringan di pesawat masih kurang nendang rupanya. Mungkin perlu makanan yang nendangnya selevel tendangan David Eric Hirst. Kecepatan tendangannya bisa mencapai 186 km/jam saat bermain untuk Sheffield Wednesday di tahun 1996. Akhirnya saya memesan nasi gurih dengan dendeng sapinya. Ditambah satu gelas kopi Beurawe tentunya.

“Waktu check-in hotelnya masih lama, saya punya niat untuk mampir ke museum tsunami. Bisa nganterin gak Met?”

“Siap, Pak.”

Rasa penasaran terhadap museum itu kiranya akan tertuntaskan hari ini. Waktu kunjungan pertama ke Banda Aceh saat pelantikan dulu saya tidak sempat mampir ke museum itu. Tak tahu mengapa daya tariknya begitu kuat. Ini seperti obsesif kompulsif. Tapi tak parah-parah amatlah. Entah karena desain bangunannya yang menarik, isi museum itu yang kata banyak orang menyalakan elan kita agar tak putus asa terhadap takdir, atau karena latar belakang semuanya itu berupa kiamat kecil bernama tsunami.

Setelah telepon sana telepon sini dikarenakan ada perubahan jadwal dan tempat untuk kehadiran saya di Forum Pelayanan setelah Forum Penagihan selesai, saya dan Memet pun angkat kaki dari kedai itu. Kami segera menuju museum. Tak lama kami sudah sampai di sana. Memet mengarahkan mobil ke lokasi sebelah. Halamannya luas dan cocok buat memarkirkan mobil kami. Dan inilah takdir saya hari itu.

Ternyata halaman itu adalah halaman kuburan militer Belanda yang disebut juga dengan Kerkhof Peutjoet. Di sinilah tempat dikuburkannya dua orang yang sempat saya sebutkan di tulisan terdahulu. Mereka adalah Mayor Jenderal Johan Harmen Rudolf Kohler dan Meurah Pupok. Kohler adalah jenderal Belanda yang tewas tertembak prajurit Kesultanan Aceh pada tanggal 14 April 1873 setelah membakar Masjid Raya Baiturrahman.

Sedangkan Meurah Pupok adalah adik Sultan Iskandar Muda yang dihukum mati oleh kakaknya karena telah berzinah dengan istri perwira. Dari literatur yang saya dapatkan Meurah Pupok merupakan adik sultan, tetapi dalam papan petunjuk yang dibuat oleh Dinas Kebudayaan Provinsi Aceh di tahun 2005 disebutkan kalau Meurah Pupok adalah putra sang sultan sendiri. Peristiwa itulah yang mengenalkan kalimat kuat sang sultan: “Mate anak meupat jirat, gadoh adat pat tamita. Mati anak ada makamnya, mati hukum ke mana akan dicari keadilan.”

Saya tidak berniat mengunjungi kuburan militer Belanda ini. Pun karena saya tak tahu ada lokasi itu di samping museum tsunami. Ketidaksengajaan yang malah membuat saya kaya akan pengalaman tempat-tempat bersejarah.

Kuburan militer ini berpintu gerbang besar. Di atas pintu gerbangnya terdapat teks dalam berbagai bahasa. Di dinding-dinding sampingnya terdapat marmer bertuliskan nama-nama prajurit dari berbagai daerah pertempuran yang dikuburkan di sana. Mulai dari pertempuran awal semisal pertempuran di Masjid Raya yang terjadi di tahun 1873 sampai yang terakhir. Marmer-marmer berisi nama itu pun memenuhi dinding lorong pintu gerbang kuburan hingga di sebelah dalam pintu gerbang.

Tidak hanya prajurit dengan nama-nama londo yang tercantum dalam marmer prasasti di sana, ada juga prajurit dengan nama Ambon, Jawa, dan Manado. Prajurit-prajurit bernama pribumi tersebut adalah bagian dari prajurit marsose Belanda.

Setelah memasuki pintu gerbang kita akan diperlihatkan hamparan tanah luas berisi makam-makam dengan batu nisannya yang besar-besar. Bahkan ada yang paling besarnya di ujung jalan utama pintu gerbang. Namun sebelum ke ujungnya, selurusan dengan pintu gerbang, terdapat tugu besar berwarna putih yang sebenarnya adalah batu nisan dari Kohler.

Di situlah Kohler dikubur. Sebenarnya setelah tewas, mayat Kohler dibawa ke Batavia. Lalu dikuburkan di Kerkhof Laan, Pemakaman Umum Kebon Jahe, Kober, Tanah Abang. Karena ada perkembangan kota Jakarta makam tersebut digusur dan dipindahkan ke kuburan militer Belanda di Kerkhof Peutjoet ini.

“Simbol ular gigit buntutnya sendiri ini berarti simbol apa?” tanya Memet melihat relief yang ada pada salah satu sisi batu nisan Kohler. “Ini pasti ada artinya.” Saya tak menjawabnya karena saya masih mengamati setiap detilnya. Juga karena sama-sama tak tahu maksud dari simbol itu.

Di setiap sudut batu nisan itu diukir dengan tiang berbentuk obor yang terbalik dan dicat warna emas. Di setiap sisinya, di bagian atas, terdapat simbol bintang. Juga ada keterangan-keterangan dalam bahasa Belanda yang menerangkan tanggal kematiannya di Masjid Raya. Keterangan itu antara lain tanggal dikuburkannya di Kerkhof ini yaitu 19 Mei 1978. Kemudian ada dua simbol ular menggigit buntutnya sendiri. Satu simbol berada tepat di tengah salah satu sisi nisan dengan warna cat biru dan hitam. Satu lagi di sisi yang lain dengan bentuk yang lebih kecil dan tanpa warna.

 

Gerbang Utama Kerkhof. Dilihat dari sisi dalam. (Foto koleksi pribadi).

 

Prasasti di depan pintu gerbang. Berisi nama-nama prajurit Belanda yang tewas dalam pertempuran. Salah satunya di Missigit Raiya (Foto koleksi pribadi).

Hamparan kuburan di Kerkhoff (foto koleksi pribadi).

 

Jalan utama Kerkhof (Foto koleksi pribadi).

 

Batu nisan Kohler. Lihat simbolnya. (Foto koleksi pribadi).

 

Ouroboros di Batu Nisan Kohler (Foto koleksi pribadi).

 

Jalanan rindang di kerkhof (foto koleksi pribadi).

 

Makam Meurah Pupok (Foto koleksi pribadi)

 

 

Baru setelah kunjungan itu saya mengetahui arti simbol tersebut dari apa yang ditulis oleh Rizki Ridyasmara. Menurut Rizki, Kerkhof Laan yang di Tanah Abang itu berubah nama menjadi Museum Taman Prasasti. Di sana terdapat prasasti batu nisan Kohler tempat tulang belulangnya dikubur sebelum dipindah ke Banda Aceh. Persis sama dengan apa yang ada di Kerkhof Peutjoet. Bedanya pada warna dan sedikit ornamen nisannya.

Tidak ada warna emas dan biru pada prasasti Kober ini. Prasasti dibiarkan seperti warna khas batu alam. Bentuk bintang yang tercetak adalah bintang david, ini berarti simbol bahwa orang yang dimakamkan adalah orang yahudi. Sedangkan simbol ular gigit ekornya sendiri yang dikenal dengan istilah Ouroboros, menurut Rizki, termasuk simbol setan yang berasal dari kelompok Brotherhood of Snake. Ouroboros ini juga merupakan simbol yang dipakai oleh Freemasonry. Dengan kata lain Kohler ini bukan Yahudi sembarangan.

Kami menyusuri jalanan setapak yang rindang dengan pepohonan untuk melihat-lihat kuburan prajurit Belanda lainnya. Berjalan di kompleks pekuburan ini seperti berjalan di taman kota saking terawatnya. Tidak terasa aroma mistisnya di siang bolong itu. Tidak ada tuh yang namanya angin kencang berhembus tiba-tiba, pepohonan yang bergoyang dahan dan rantingnya, desau angin yang keras, langit yang mendadak menghitam, atau sesuatu yang mengintip kami dari kejauhan di balik batu nisan. Tidak ada. Tidak. Itu hanya ada di film.

Kemudian sampailah kami pada sebuah area pekuburan yang diberi pagar khusus. Di luar pagar terdapat tiga plang yang memberikan informasi tentang siapa yang dikubur di tempat itu. Di dalamnya terdapat pohon besar. Kelebatannya menaungi dua makam yang ada di sana. Dari bentuk makamnya sudah jelas itu bukan makam orang Belanda. Ini makam orang Islam. Batu nisannya dibalut dengan kain putih. Kuburan itulah kuburan Meurah Pupok. Sedangkan kuburan lain dengan nisan tanpa balutan kain putih berukuran lebih kecil.

Sungguh saya tak pernah menyangka bahwa saya akan hadir di tempat ini. Tak menyangka pula kalau kuburan Meurah Pupok itu ada. Karena saya mengira sebelumnya bahwa Meurah Pupok itu hanyalah sekadar cameo dalam sebuah fragmen sejarah Iskandar Muda. Di masa itu ia pendosa layak dilupakan. Lalu buat apa lestari jejaknya hingga saat ini. Ternyata ia ada. Dalam kuburan tentunya. Beserta ceritanya yang hitam.

Setelah berlama-lama di sana kami pun sadar bahwa tujuan kami bukanlah tempat itu, melainkan museum tsunami. Kami pun bergegas keluar. Tapi di saat menyusuri jalanan menuju pintu gerbang itu saya tersentak melihat kuburan yang berserakan itu dengan latar belakang museum tsunami dari kejauhan. Ini menjelma diorama. Sebuah bahtera yang berlayar. Bahtera besar. Bahtera Nuh. Berlayar tidaklah di lautan. Melainkan di kuburan.

Sitor Situmorang mendadak singgah di kepala saya dan bersajak “Malam Lebaran” dengan satu kalimatnya yang terkenal: “Bulan di atas kuburan”. Saat itu Sitor kemalaman dan kesasar setelah gagal berkunjung ke rumah Pramoedya Ananta Toer. Ia melewati sebuah tempat yang dipenuhi dengan pohon-pohon tua, rimbun, dan dikelilingi oleh tembok. Ia penasaran ingin melihat apa yang ada di balik tembok itu. Lalu ia mengintip. Ternyata pekuburan orang eropa berwarna putih penuh salib yang tertimpa cahaya bulan di sela-sela dayangan dedaunan pepohonan. Pikirannya terperangkap dalam sebuah tamasya penuh kesan. Lalu tertulislah kata-kata itu. Entah mengapa feeling saya menyatakan-walau tidak disebut Sitor secara lengkap—bahwa tempat pekuburan itu adalah Kerkhof Laan, Kober, Tanah Abang.

Maka bolehlah saya juga membuatnya, siang itu, saat saya bertamasya raga, saat pikiran saya terperangkap kesan di sebuah Kerkhof Peutjoet, sebuah sajak berjuduk Siang Berisik.

Siang Berisik

Berlayar di atas kuburan.

Sudah cukup.

Berlayar di atas kuburan. (Foto koleksi pribadi)

 

***

 

 

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

11 Desember 2013

 

RIHLAH RIZA #15: BERAPA JUGUN IANFU?


RIHLAH RIZA #15: BERAPA JUGUN IANFU?

Selain sebagai pegiat LSM lingkungan di Conservation International, bintang Hollywood pendukung zionis ini ternyata juga pengoleksi pesawat terbang pribadi untuk pergi ke ranch, mansion atau ke mana saja ia suka. Salah satu yang ia punya adalah jenis pesawat yang saya naiki pertama kali ini dan itu pun dibiayai negara.

*

    Di atas pesawat berbaling-baling satu milik maskapai penerbangan perintis Susi Air yang sedang menaik saya lamat-lamat menatap dari kejauhan Bandar udara Teuku Cut Ali, Pasie Raja, Aceh Selatan. Semakin kecil, kecil, dan kecil saja bangunan yang ada di sana. Dari atas ketinggian itulah saya baru tahu kalau bandara itu dekat dengan pantai indah berpasir putih yang menyambung dengan Pantai Cemara di kejauhan sana. Selanjutnya akan banyak pemandangan memukau yang menemani saya sepanjang perjalanan.

    Pesawat Cessna Grand Caravan C208B ini akan membawa saya menuju Banda Aceh untuk melaksanakan tugas yang diberikan Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama Tapaktuan yakni menghadiri acara Forum Penagihan se-Kantor Wilayah (Kanwil) Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Aceh selama tiga hari. Kemudian lanjut dengan penugasan lainnya yaitu memberikan pelatihan menulis buat teman-teman di Forum Pelayanan dan KP2KP se-Kanwil DJP Aceh di Lhokseumawe. KP2KP merupakan singkatan dari Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan Konsultasi Perpajakan. Kantor instansi vertikal DJP setingkat eselon empat.

    Saya cuma sendirian di atas pesawat itu. Sebelas kursi lainnya kosong. Saya duduk di bagian belakang. Ini bukan kemauan saya. Tapi sudah diarahkan oleh petugas Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, Kementerian Perhubungan untuk duduk di belakang. Kalau yang naik dua atau tiga orang atau lebih pengaturan tempat duduknya pun akan berbeda. Mungkin maksudnya untuk menyeimbangkan beban yang ada.

Di bagian depan ada dua orang yang mengemudikan pesawat ini. Ruangan mereka tanpa sekat dengan ruangan penumpang. Saya tak tahu yang mana dari mereka berdua itu yang menjadi supir benerannya (pilot utama) dan mana yang jadi supir tembak atau keneknya (ko-pilotnya). Kalau lihat film-film Hollywood biasanya yang sebelah kiri yang jadi pilot utama.

Satu orang pilot berkebangsaan Jepang dengan wajah khasnya yang rada-rada bagero itu. Dialah yang duduk di sebelah kiri. Satu lagi orang bule gundul yang saya tak tahu berkebangsaan apa. Dari supir Susi Air yang menjemput saya di mess saya dapat informasi kalau para pilot itu selain dari Jepang juga berasal dari Jerman, Belanda, dan Spanyol.

Sebagai salah satu bentuk pelayanan prima mereka, cabang Susi Air yang ada di Tapaktuan memberikan fasilitas layanan antar jemput dari dan atau menuju bandara. Tentunya dengan tambahan ongkos sebesar dua puluh ribu rupiah. Ini sepadan dengan 45 menit yang dibutuhkan mobil itu melaju dari Tapaktuan menuju bandara atau sebaliknya.

Tidak setiap hari pesawat ini ada di Tapaktuan. Hanya ada pada Hari Senin, Selasa, Jumat, dan Sabtu. Rutenya pun bermula dari Bandara Internasional Kualanamu, Medan yang berangkat jam tujuh pagi. Satu jam kemudian tiba di Bandara Teuku Cut Ali. Lalu berangkat lagi menuju Bandara Internasional Iskandar Muda, Banda Aceh. Dari sana pesawat itu kembali lagi ke Tapaktuan dan Medan.

Susi Air memang melayani semua daerah di Provinsi Aceh yang ada bandaranya. Ongkosnya masih terjangkau karena setengahnya disubsidi oleh pemerintah pusat. Oleh karenanya mereka harus tetap berangkat mengudara walau tidak ada penumpang sama sekali. Sayangnya informasi tentang jadwal penerbangannya sampai dengan saat ini tidak bisa diakses melalui situs internetnya. Para penumpang harus menelepon ke nomor telepon masing-masing cabang yang telah disediakan di situs itu jika ingin memesan tiket. Tiketnya pun masih ditulis dengan tangan seperti tiket travel Tapaktuan-Medan.

Faktor cuaca sangat menentukan apakah pesawat jadi berangkat atau tidak. Walaupun dalam brosur promosinya mesinnya tahan untuk segala jenis cuaca. Jadi bisa saja jadwal terbang kita pada hari itu batal karena pesawat tidak jadi berangkat. Tapi tentunya tiket tidak hangus. Penerbangan akan dijadwalkan keesokan harinya.

Alhamdulillah Senin itu cuaca sangatlah cerah. Saya masih dapat menikmati pemandangan pantai dan kota Tapaktuan saat pesawat ini melintas di atasnya. Pesawat ini sebagian perjalanannya menyusuri pinggiran pantai barat Aceh. Sebagian lainnya di atas pegunungan yang syukurnya masih lebat dengan hutan.

Ini berbeda dengan apa yang saya lihat di tahun 2005 saat saya menaiki sebuah pesawat kecil dari pedalaman Kalimantan Tengah menuju Kota Balikpapan. Yang tampak hanyalah dataran gundul dan bopeng-bopeng sebagai akibat penambangan dan penebangan liar. Paru-paru dunia itu telah mengalami luka dahsyat yang entah bagaimana lagi kondisinya pada saat ini. Itulah yang menyebabkan Harrison Ford dengan kurang ajarnya menyemprot Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan menuntut agar para pelaku deforestasi itu dipenjara.

Bandar Udara Teuku Cut Ali (Foto koleksi pribadi).

Kabin pesawat Cessna Grand Caravan C208B (Foto koleksi pribadi).

Air minum dalam kemasan,kue semacam dorayaki, dan kue yang didalamnya ada kacang ijo. (Foto koleksi pribadi)

Pemandangan pantai di daerah dekat Tapaktuan Aceh Selatan dari atas ketinggian. (Foto koleksi pribadi).

Pemandangan pegunungan dari atas ketinggian (Foto koleksi pribadi).

Persawahan di dekat Kota Banda Aceh (Foto koleksi pribadi).

 

 

Pesawat yang saya naiki saat mendarat di Bandara Internasional Iskandar Muda (Foto koleksi pribadi).

 

Di dalam pesawat, selagi pilot asyik makan wafer, saya pun menyantap snack dalam kotak yang telah diberikan petugas Susi Air sebelum pesawat mengudara. Pilot dari Jepang itu juga menyalakan
hp. Makanya saya pun tak canggung-canggung lagi whatsapp-an, gtalk-an, sms-an dengan teman-teman di hp. Tak ada awak kabin pesawat yang mendemonstrasikan prosedur keselamatan penerbangan seperti di pesawat berpenumpang banyak.

Walau sudah tak terhitung berapa kali mereka melintasi daerah yang sama, entah kenapa pilot asing dari Jepang itu juga masih suka mengambil gambar dengan kamera hpnya. Satu hal yang pasti dan tidak bisa dipungkiri adalah Indonesia itu indah, subur, dan kaya. Ini masih mending pilot Jepang itu cuma mengambil gambar, nenek moyangnya dengan semangat imperialis dan fasisnya mengambil habis raga dan jiwa anak bangsa serta kekayaan negeri ini.

Berapa ribu ton bijih besi yang dikirim ke negeri matahari terbit untuk dibuat senjata-senjata berat mereka? Berapa ratus ribu ton beras yang dikirim buat bekal pasukan mereka bertempur di seluruh asia pasifik? Berapa banyak leher nenek moyang kita terpenggal samurai-samurai mereka? Berapa nyawa hilang untuk romusha mereka? Berapa perempuan-perempuan terhormat kita, ibu-ibu kita yang menjadi Jugun Ianfu mereka? Kalau saja Nagasaki dan Hiroshima tidak dibom angka-angka yang akan menjawab banyak pertanyaan itu menjadi semakin tinggi.

Sekarang penjajahan fisik seperti itu sudah tidak ada lagi. Yang ada adalah penjajahan dalam bentuk ekonomi dan budaya. Itu pun tanpa sadar dirasakan. Atau memang dirasakan bahkan dinikmati dengan sepenuh hati? Mereka mendapatkan harga yang murah dari gas yang dibeli dari kita sedangkan di saat yang sama industri kita masih kekurangan suplai gas dan harganya jauh lebih mahal. Masih bisa menghitung berapa potensi kerugian Pajak Penghasilan yang hilang dari setiap transaksi dividen terselubung yang dibalut dengan istilah royalti dan imbalan atas jasa yang dibayarkan oleh perusahaan Jepang di Indonesia kepada perusahaan induknya?

Aih, mengapa di atas ketinggian ratusan kaki di atas permukaan laut ini saya masih bisa berpikir tentang penjajahan masa lalu dan pertempuran argumentasi di ruang sidang Pengadilan Pajak sewaktu saya masih menjadi anggota Tim Banding Direktorat Keberatan dan Banding, DJP sedangkan di bawah sana masih banyak pemandangan indah yang bisa dinikmati?

Saya tatap kembali alam yang membentang. Pesawat itu bergoncang saat menabrak awan dan mengalami sedikit turbulensi. Saya memperbanyak shalawat seperti saat saya dulu pernah ketakutan menaiki mobil turbo kuning yang dipacu kencang teman saya di jalanan Sudirman menuju Thamrin.

Sudah 60 menit pesawat ini melayang di udara dan sebentar lagi akan mendarat di Bandara Internasional Iskandar Muda. Dari sana saya akan langsung ke hotel saja. Tapi ternyata tidak. Takdir nantinya membelokkan saya ke suatu tempat. Ini mengejutkan saya. Kalau saja saya tahu beberapa jam sebelumnya saya akan tiba di suatu tempat yang tidak pernah terlintas dalam pikiran untuk dikunjungi, saya mungkin tidak akan pernah seterkejut ini. Ya, karena saya tiba di suatu lokasi tempat dikuburkannya manusia setipe Harrison Ford di Banda Aceh.

***

Catatan: Jugun Ianfu adalah wanita yang menjadi budak seks di rumah bordil militer pendudukan Jepang.

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

Banda Aceh, 2 Desember 2013

RIHLAH RIZA #13: SEPERTI SENJA YANG BERGULUNG-GULUNG


RIHLAH RIZA #13:

SEPERTI SENJA YANG BERGULUNG-GULUNG

 

Selain Ibnu Bathuthah ada juga penjelajah Arab yang mendahuluinya—tepatnya di abad 10—bernama Ibnu Fadlan. Manuskrip yang tersisa tentangnya menceritakan pertemuan budaya antara Arab dan Viking.

**

    Jam 20.15, mobil travel yang akan mengantarkan saya ke Medan sudah tiba di mess. Rencananya saya akan pergi ke Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak untuk menghadiri undangan mengikuti workshop sehari
yang diselenggarakan oleh Direktorat Keberatan dan Banding. Workshop ini mengenai organisasi penyelesaian sengketa perpajakan. Atas seizin Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Tapaktuan saya diperbolehkan untuk mengikutinya. Kebetulan pekan ini adalah pekan ketiga keberadaan saya di Tapaktuan, karenanya saya sekaligus memanfaatkannya untuk pulang.

    Saya duduk di bagian depan di samping supir. Tempat duduk yang sudah saya pesan khusus kepada agen travelnya. Pokoknya saya tidak akan berangkat dengan travel itu kalau saya tidak duduk di situ. Karena ini perjalanan darat yang memakan waktu lama tentunya kita kudu milih tempat yang nyaman. Jok di samping dan di belakang supir adalah tempat duduk yang nyaman. Yang paling nyaman tentunya di samping supir. Kalau kita tidak pesan atau tidak beruntung kita bisa saja dapat duduk di bagian tengah. Dan ini bisa-bisa tidak tidur sepanjang perjalanan karena tak ada senderan buat kepala. Apalagi kalau sudah dijepit dua orang.

    Innovanya masih gres. Suara mesinnya halus. Kijang ini masih harus mampir ke rumah-rumah menjemput penumpang. Ini saja butuh waktu satu jam. Ternyata semuanya perempuan. Tentu saya tepat duduk di depan. Selama perjalanan saya mengalami roaming. Persis seperti Antonio Banderas dalam The 13th Warrior yang berperan sebagai Ahmad bin Fadlan yang diselamatkan para petempur Viking dari gangguan penjarah Mongol-Tatar.

    Orang Arab kepercayaan Khalifah di Baghdad namun terusir ini dalam sebuah makan malam jadi bahan olok-olok dari mereka yang menyelamatkannya. Ahmad tahu ia jadi bahan pembicaraan. Tapi ia tak mengerti apa yang dibicarakan. Makanya ia perhatikan gerak bibir mereka. Saking jeniusnya lama-kelamaan orang Arab ini jadi paham dan tahu bahasa mereka. Seketika Ahmad jadi tahu kalau yang dibicarakan dengan nada mengejek itu adalah kudanya yang kecil dan pedangnya yang bengkok. Mereka akhirnya terdiam ketika Ahmad menimbrung dengan mengucap sebuah kata. Lalu berikutnya ngobrol seru dengan bahasa mereka.

    Saya tak sejenius Ahmad bin Fadlan ini. Saya tak mengerti apa yang supir dan perempuan penumpang itu bicarakan. Saya tak mampu membaca gerak bibir mereka. Yang saya paham cuma kata-kata yang sangat familiar seperti ambo. Selebihnya tidak. Lainnya yang bisa terdengar seperti kata “dakik-dakik”. Tak tahulah awak artinya ini. Dengan jaket hitam tipis dan sarung yang sengaja dibelitkan di leher untuk mengurangi terpaan angin malam dari jendela yang sedikit terbuka, saya banyak terdiam. Sesekali mengobrol dengan supir yang enak nyetir-nya ini dan kalau di tikungan tak sedikit pun mengurangi kecepatan.

    Dua kali kami berhenti untuk istirahat. Supirnya makan dan ngupi. Perhentian pertama ini di sebuah warung makan bernama Awak Away di Kota Subulussalam. Kota ini jaraknya tiga jam perjalanan darat dari Tapaktuan dan merupakan satu dari lima kota yang berada di Provinsi Aceh. Empat kota lainnya adalah Kota Banda Aceh, Kota Langsa, Kota Lhokseumawe, dan Kota Sabang. Perhentian kedua saya tak tahu di daerah mana.

    Ketika kami menyusuri gelapnya malam di jalan yang berliku-liku di bawah pegunungan Bukit Barisan, entah di daerah Kabupaten Pakpak Barat atau Dairi (dua-duanya merupakan kabupaten yang berada di wilayah Sumatera Utara) mobil kami dihadang segerombolan orang. Kami harus berhenti juga karena di tengah jalan sudah ada pohon yang melintang. Mereka minta duit. Tapi tidak meminta kepada kami melainkan kepada supir.

Ada sedikit intimidasi mereka dengan cara mengerubuti supir secara bersamaan. Jendela dipenuhi dengan tangan-tangan yang berusaha menggapai-gapai dashboard. Tapi tak ada insiden. Dikasih secukupnya mereka mau. Saat uang sudah diterima pohon tumbang pun dengan mudahnya digeser oleh mereka dari tengah jalan. Sejatinya bukan pohon tumbang, melainkan dahan pohon dengan banyak daun yang sengaja ditebang.

Tidak jauh dari sana, tiga atau lima kilometer setelah gerombolan itu, ada razia polisi di depan posnya. Kami diperiksa sebentar, terutama barang yang ada di atas mobil yang ternyata isinya durian.

    Kami sampai di Medan jam lima pagi. Inilah kali pertama saya singgah di kota Medan seumur hidup saya dan tak menyangka kota ini begitu besarnya. Pantas saja kalau dijuluki sebagai kota terbesar ketiga di Indonesia setelah Jakarta dan Surabaya. Kami melewati Masjid Raya Medan atau Masjid Al Mashun dalam keremangan lampu yang membuat bangunan ini semakin indah dilihat. Kubahnya mirip dengan kubah Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh dengan model Turki-nya.

 

Masjid Raya Medan (Koleksi Yopi Photography)

Enam penumpang turun mendahului saya di sebuah hotel. Saya turun terakhir di Stasiun Medan. Saya akan naik kereta api ke Bandara Internasional Kualanamu. Saya pergi ke stasiun ini dikarenakan saya tiba di Kota Medan masih pagi. Kalau tibanya jam enam pagi saya akan putuskan langsung naik bus Damri di Jalan Gatot Subroto dan tidak berhenti di stasiun kereta api itu. Alhamdulillah waktunya cukup.

Stasiun Medan ini besar, bersih, dan modern. Loketnya bergaya bank. Bukan seperti loket pasar malam. Dilayani oleh petugas berpenampilan seperti awak kabin pesawat maskapai penerbangan. Rapih, ramah, dan penuh senyum. Bagi pengguna Commuter Line Jakarta-Bogor pasti bisa membandingkan gaya mereka dengan gaya petugas loket di stasiun-stasiun Jabodetabek. Serupa langit dan bumi.

Mungkin karena harga tiketnya juga yang membedakan. Saya harus membayar sebesar 80 ribu rupiah untuk sekali pergi dengan jarak tempuh 40 km. Butuh waktu 37 menit untuk sampai di bandara. Tetapi kalau dari bandara ke Kota Medan butuh waktu 44 menit.

Bentuk keretanya seperti kereta rel listrik Jabodetabek. Tetapi posisi dan bentuk kursinya seperti kursi kereta api jarak jauh Jakarta-Surabaya. Di dalam kereta berpendingin ini terdapat rak-rak besi bersusun, tempat menaruh tas penumpang. Letaknya di samping pintu masuk dan bukan di atas kursi penumpang.

Kereta Api di Bandara Kualanamu

 

Sampai di bandara, saya langsung cari tiket ke Jakarta. Untuk jam-jam penerbangan terdekat tiketnya sudah habis. Banyak calo menawarkan tiket kepada saya. Tapi saya tidak mau beli di calo walaupun harganya lebih murah dan jamnya lebih dekat. Saya akhirnya dapat penerbangan untuk jam 11 siang. Sebelum terbang saya sempatkan diri beli bolu gulung khas Medan.

Singkat cerita saya sampai di Bandara Soekarno Hatta. Dari sana menyambung ke Pasar Minggu naik Bus Damri. Turun di Pertigaan Duren Kalibata. Lalu naik Kopaja ke Stasiun Kalibata. Tiba di stasiun sudah ada pengumuman Commuter Line ke Bogor yang akan segera datang. Empat puluh menit kemudian saya sudah tiba di Stasiun Citayam. Saya sudah tak sabar bertemu Ayyasy dan Kinan, tapi hujan deras menghalangi saya untuk segera beranjak dari stasiun.

Setengah jam kemudian, walau hujan masih turun rintik-rintik, saya paksakan diri naik ojek. Dan…

“Abiiiii….!!!,” Kinan berteriak saat melihat saya turun dari motor ojek. “Abi dataaang!”

Kinan berlari menyambut dan langsung memegang tangan saya. Menariknya masuk ke dalam rumah. Mas Ayyash sudah berdiri di depan pintu. Saya gendong dan peluk Kinan. Saya juga memeluk Mas Ayyasy. Ummu Haqi tak menyambut saya karena ia masih di kantor.

Saya bahagia banget bertemu dengan mereka. Pastilah bahagia. Memangnya ada yang tak bahagia bertemu orang yang dicintainya setelah berpisah sekian lama? Padahal belumlah genap tiga minggu. Inilah, bahagia yang sederhana, yang pula dirasakan teman-teman Direktorat Jenderal Pajak yang ditempatkan jauh dari keluarga. Semakin juga merasakan dengan sebenar-benarnya rasa atas nikmat kebersamaan yang terkadang jika tidak ada kata “jauh” di antaranya menjadi biasa-biasa saja, bahkan mengkufurinya.

Kita akan merasakan betapa sehat itu sungguh nikmatnya jika sakit sedang mendera. Kita pun akan merasakan betapa waktu luang itu sungguh berharganya jika masa sibuk terhela di muka. Kita jua akan merasakan betapa kebersamaan itu tak ternilai artinya jika kesendirian mendominasi hari-hari kita.

Lalu kelelahan menempuh perjalanan 20 jam dari Tapaktuan sampai Citayam tak bisa dibandingkan dengan gurat bahagia berjumpa dengan mereka yang dicinta. Sungguh, orang-orang bijak pernah mengatakan bahwa pertemuan dengan yang dicinta adalah salah satu dari empat hal yang bisa membawa ketenangan dalam hati. Ketiga lainnya adalah melihat yang hijau-hijau, melihat air yang mengalir, dan melihat buah-buahan di atas pohonnya. Dua yang pertama saya dapatkan semuanya di Tapaktuan. Alhamdulillah.

Sore itu Kinan tak mau dimandikan kecuali oleh saya. Sewaktu mandi juga dia nyerocos bicara apa saja. Sore itu, bisa memandikan dan mendengar apa saja yang diomongkannya adalah bahagia sederhana saya. Seperti melihat senja yang bergulung-gulung. Senja di Tapaktuan.

 

 

***

 

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

Tapaktuan, 23 November 2013

Malam Minggu Sepi

 

Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak, djp, Direktorat Keberatan dan Banding, kpp tapaktuan, Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama Tapaktuan, Antonio Banderas, The 13th Warrior, arab, Viking, Mongol-Tatar, Khalifah di Baghdad, Ahmad bin Fadlan, Awak Away, Kota Subulussalam, Provinsi Aceh, Kota Banda Aceh, Kota Langsa, Kota Lhokseumawe, Kota Sabang, Bukit Barisan, Pakpak Barat, Dairi, Masjid Raya Medan, Masjid Al Mashun, Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh, Stasiun Medan, bandara internasional kualanamu, Kinan fathiya almanfaluthi, Muhammad yahya Ayyasy almanfaluthi, mas ayyasy, ummu haqi, ria dewi ambarwati, Citayam, Kinan, Senja di Tapaktuan, perjalanan menuju tapaktuan, kpp pratama tapaktuan

 

RIHLAH RIZA #12: “HALO NYET…”


RIHLAH RIZA #12:

“HALO NYET…”

 

Napoleon Bonaparte memasuki Moskow, 14 September 1812. Tapi ia hanya menemui kota itu telah kosong melompong dan dibakar. Ia mundur. Kini, yang dihadapi oleh 650.000 prajurit pimpinannya ini bukan pasukan Rusia melainkan cuaca dingin. Lebih dari dua per tiga pasukannya tewas kelaparan dan kedinginan. Sebagiannya ditawan. Hanya 4% prajuritnya yang mampu menyebrangi Sungai Berezina.

**

“Sudah berapa lama di Aceh, Kapten?” tanya saya kepada Kapten Yudho Komandan Kompi lulusan Akademi Militer Magelang asal Nganjuk ini.

“Sudah lama. Delapan tahun. Kalau Pak Riza?”

“Baru satu minggu.”

Perwira pertama ini tertawa. Karena dibandingkan dengan para prajurit anggota Batalyon Infanteri (Yonif) 115 Macan Leuser ini keberadaan satu minggunya saya ini sungguh tidak berarti apa-apa.

Ini pembicaraan kami di sela-sela acara olahraga bersama yang diselenggarakan oleh Markas Yonif 115 ML. Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Tapaktuan mendapatkan undangan untuk menghadirinya bersama instansi pemerintah yang lain. Bupati Tapaktuan yang baru dilantik pada tanggal 22 April 2013 pun ikut hadir dalam acara tersebut.

Saya mendapatkan banyak kenalan dengan para prajurit dan pejabat dalam acara itu. Dan dunia memang sempit, saya ketemu dengan orang satu kampung di sini. Ia menjabat sebagai Komandan Rayon Militer Kluet Utara. Ia sudah lama menetap dan mempunyai istri orang Aceh.

Saya juga ketemu dengan prajurit lainnya yang ternyata ia punya kakak yang bekerja di kantor pajak. Saya mengenal kakaknya walau tidak begitu dekat. Dan lebih mengejutkannya lagi ia punya istri orang Bojonggede. Yaa…kompleks rumahnya itu tempat saya sering main sebelum saya dipindahtugaskan ke Tapaktuan.

Saya mengobrol akrab dengan mereka diselingi kudapan kacang dan jagung rebus. Tak lupa teh manis dan kopinya. Sekalian pula menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka tentang pajak. Silaturahmi ini jadinya sekaligus ajang sosialisasi. Karena ternyata banyak juga yang belum memahami kalau penghasilan yang mereka terima berasal dari pajak.

Dalam acara itu ada banyak pilihan olahraga seperti bola basket, voli, tenis lapangan, catur, dan main batu. Permainan terakhir ini sebenarnya permainan domino. Saya bersama Kapten Yudho memilih main bola basket bersama prajurit yang lain. Three on three. Sebentar saja saya sudah ngos-ngosan. Sedangkan nafas para prajurit masih panjang. Saya cuma menghasilkan satu assist. Tak lebih. Langsung time out. Minta diganti.


Bermain basket dengan latar belakang pegunungan Leuser (Foto Koleksi Pribadi)

Setelah makan siang, kami berpamitan dengan tuan rumah yang ramah ini. Kami melewati pos penjagaan bertuliskan motto yang menyindir saya: Lakukan yang Terbaik dan Tetap Semangat. Kalau diterjemahkan dalam bahasa yang sederhana maka dapat diartikan: apa pun kondisinya, di mana pun adanya, memberikan yang terbaik dan selalu semangat itu kudu.


Pos Penjagaan Yonif 115 ML (Foto Koleksi Pribadi)

Kami pulang. Ada lebih dari 25 km jalanan harus kami lalui untuk menuju Tapaktuan. Markas Yonif 115 ML ini terletak di Kecamatan Pasie Raja dan di bawah Komando Resort Militer 012/Teuku Umar, Komando Daerah Iskandar Muda.

Karena jalanan menuju Tapaktuan mengalami longsor dan dalam proses perbaikan maka ada jalan alternatif baru yang dibuat melalui pinggiran pantai yang memanjang mulai dari utara sampai selatan. Jalan alternatif ini melalui pinggiran Pantai Cemara. Saking panjangnya pinggiran pantai ini, maka kalau ada rombongan kuda liar yang dilepas berlari kencang di pantai dari ujung ke ujungnya lalu dibuat filmnya ini bisa terekam sampai bermenit-menit.

Di beberapa bagian Pantai Cemara berjejer warung dengan saung-saungnya. Yang memang sedikit kendala adalah masalah kamar kecil. Terkadang warung tidak menyediakannya. Pemilik warung hanya mendirikan tempat tertutup ala kadarnya di atas rawa.

Di pantai ini pun jarang ada yang berenang. Tidak seperti di Pantai Rindu Alam seperti yang sudah pernah saya terangkan sebelumnya. Jadi Pantai Cemara ini hanya cocok untuk sekadar ngupi-ngupi, kongko-kongko, dan jalan-jalan saja.


Pantai Cemara Tapaktuan (Foto Koleksi Pribadi)


Sudut lain Pantai Cemara Tapaktuan (Foto Koleksi Pribadi)

Di sinilah saya mendapatkan sebuah pemandangan yang memikat. Perpaduan unsur-unsur indah dari sebuah lansekap. Ada tanah lapang, deretan pohon cemara, deretan pegunungan, cahaya matahari yang menyinari bagian perbukitan, langit yang setengah gelap, laut, dan pantai. Ini seperti bukan di Indonesia, tapi di Pegunungan Alpen Swiss yang pernah saya kunjungi beberapa waktu yang lalu dalam mimpi.

 


Salah satu pemandangan di Pantai Cemara Tapaktuan (Foto Koleksi Pribadi).

Coba bandingkan dengan gambar pegunungan Alpen yang satu ini:


Pegunungan Alpen sebelas dua belas dengan yang ada di Tapaktuan.


Pantai Cemara dari ketinggian dan kejauhan. (Foto Koleksi Pribadi)

Bandingkan dengan yang satu ini:


Taman Nasional Abel Tasman, Selandia Baru. Kebetulan yang mengambil gambar adalah orang profesional.

 


Monyet yang kami temui di sepanjang perjalanan pulang dari Pantai Cemara Tapaktuan (Foto Koleksi Pribadi)

Dalam perjalanan pulang pun kami menjumpai mamalia berkaki empat dan berekor panjang. Monyet di sini tidak nakal. Tidak seperti baboon di Taman Nasional Table Mountain Afrika Selatan yang akan berubah ganas kalau sudah mendengar suara plastik kresek yang dibawa para wisatawan. Ini berarti tanda ada makanan. Monyet di Tapaktuan ini cuma pasang muka memelas kepada para pengguna jalan agar kiranya sudi melemparkan kepada mereka penganan atau jajanan. Saya sapa salah satu dari mereka, “Halo Nyet…” Dia tak sudi menjawabnya. Melengos.


Cool…dipanggil melengos bae.(Foto Koleksi Pribadi)

Penolakannya tak membuat saya gusar. Saya pergi meninggalkan mereka. Masih ada yang harus saya kerjakan di mess. Terutama lagi pekerjaan yang sudah lama saya tinggalkan dan lupa cara mengerjakannya: mencuci baju. Nanti setelah itu seperti biasa saya akan membuka pintu depan lebar-lebar, mengambil kursi, menghadapkannya ke jalanan, menaruh tangan di belakang kepala, dan memandang kejauhan, memandang kepada apa yang dikatakan Andrea Hirata tentang langit: sebuah kitab yang terbentang.

Ini cara saya membunuh waktu. Sambil berpikir tentang hal-hal yang lalu dan apa yang harus saya lakukan nanti-nanti. Terutama kapan saya bisa pulang ke Citayam. Seminggu sekali? Dua minggu sekali? Tiga minggu atau sebulan sekali? Ini semata soal rindu yang tak bisa dibunuh. Dengan cara apa pun. Ini soal mimpi-mimpi yang tak pernah absen dalam meramaikan tidur di setiap malam. Dan izinkanlah saya untuk selalu bermimpi. Bermimpi bertemu dengan orang-orang yang saya cintai di gampong. Saya tak sama dengan monyet yang hidup di pantai-pantai itu. Mereka tak punya mimpi. Sedangkan saya punya mimpi. Mimpi yang akan selalu saya tulis.

Seperti apa yang dikatakan Napoleon saat ditawan di atas kapal Inggris HMS Bellerophon, “Apa yang harus kita lakukan di tempat terpencil itu? Well, kita akan menulis memoir kita. Kerja adalah parang dari waktu.”

Begitu jua saya.

***

 

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

Tapaktuan, 18 November 2013