RIHLAH RIZA #23: ALFAQIH ALHABIB
Pada waktunya semua kapal akan berlabuh pada dermaga yang dicinta. Jauh ataupun dekat. Lama ataupun sebentar. Sekarang atau nanti. Sejatinya karena dermaga tempatnya ia bermula.(Ki Dalang, 12 Robi’ul Awwal 1435 H)
**
Selesai sudah prosesi penyerahan PBB P2 dari KPP Pratama Tapaktuan ke Pemerintah Kabupaten Simeulue. Selain dihadiri oleh Sekretaris Daerah (Sekda) dan para pejabat Pemerintah Kabupaten Simeulue acara tersebut juga dihadiri oleh anggota DPD sekaligus Ketua MPR RI Ahmad Farhan Hamid yang sedang berkunjung ke sana. Setelah salat Jumat kami diundang untuk menghadiri jamuan makan siang bersama di Pendopo Bupati Simeulue. Tepatnya saya kurang tahu apakah ini semacam rumah dinas atau apa.
Yang hadir dalam jamuan makan siang itu adalah Sekda Naskah bin Kamar sebagai tuan rumah, Kepala DPPKAD, Jailani Kepala KPP Pratama Tapaktuan, Ahmad Farhan Hamid beserta istri, dan Khatib Jumat yang tidak diketahui namanya. Khatib ini memberikan ceramahnya bagus banget. Saya sampai melek matanya. Inti ceramahnya kalau Allah sudah menghendaki sesuatu terjadi maka terjadilah dan kita tidak tahu mengapa kita bisa hadir di tempat ini. Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi sedetik atau semenit kemudian. Hanya Allah yang tahu semuanya. Allah yang menentukan semuanya bukan kita manusia makhluk lemahnya.
Jamuan ini tidak sembarangan dalam penyajiannya. Sekelas table manner gitulah. Sampai air mineral dalam botol juga dibalut dengan hiasan kain. Pun, hidangan yang disajikan di dua meja makan utama ini rupa-rupa seafood. Yang khas betul adalah lobster besar-besar dan goreng pedas cuminya. Tak peduli itu pejabat Negara sampai kelas supir pribadi, yang ikut jamuan ini benar-benar menikmati betul semuanya. Lahap selahap-lahapnya.
Setelah selesai makan dan berbincang-bincang kami pun berpamitan. Ketika kami akan keluar melalui pintu utama, barulah kami sadar kalau di ruangan tamu yang besar itu ada sebuah dekorasi pelaminan khas Simeulue yang melayu banget. Ornamennya seperti mengingatkan saya akan singgasana raja-raja melayu dengan dominasi warna merah dan kuning. Di atas pelaminan terdapat tiga kubah berwarna emas. Menurut Kepala DPPKAD pelaminan ini sudah dipatenkan.
Setelah diizinkan untuk mengambil gambar kami pun bergegas pulang ke penginapan. Kami harus mempersiapkan diri kembali ke Tapaktuan. Kami akan naik KMP Teluk Sinabang kembali. Nanti pada pukul sepuluh malam kapal feri itu akan mengangkat sauh. Kali ini bukan Pelabuhan Singkil yang akan kami tuju. Kapal ini akan membawa kami ke Labuhan Haji. Jadi akan banyak waktu yang dihemat, karena seperti yang sudah saya bilang Labuhan Haji itu sangat dekat sekali dengan Tapaktuan. Satu jam perjalanan darat saja. Bahkan perjalanan kapal ini, Sinabang-Labuhan Haji, katanya akan lebih singkat daripada Sinabang-Singkil.
Malam itu ternyata akan menjadi malam yang panjang dan ramai. Karena tidak seperti perjalanan Singkil-Sinabang, kali ini KMP Teluk Sinabang dipenuhi banyak orang. Karena kurangnya koordinasi antara pejabat dinas perhubungan dengan pihak feri KMP Sinabang, hampir saja mobil kami tidak bisa keangkut.
Pun, ada pil pahit yang harus kami telan. Kami tidak mendapatkan kamar ABK. Kalau saja Nahkoda Eko Medianto tidak mengusahakan sedemikian rupa, sudah pasti kami akan tidur seadanya di atas lantai kapal yang masih kosong. Masalahnya tidak ada satu meter persegi yang kosong. Semua kelas penuh: kelas ekonomi, bisnis, maupun VIP. Dek paling atas pun demikian.
Akhirnya kami dapat satu kamar. Dua ranjang susun untuk enam orang. Yang pasti akan ada dua orang tidur berjejalan dalam satu kasur. Tidak mengapa yang penting masih dapat ruang. Benar juga, ketika kapal ini sudah di tengah laut, ketika malam sudah larut, dek penuh luar biasa. Untuk berjalan menuju toilet pun susahnya minta ampun karena kami harus menjaga keseimbangan badan di tengah ombak yang tidak tenang juga karena kami harus bisa menginjakkan kaki tanpa menyentuh tubuh-tubuh yang tengah tertidur lelap itu. Menurut Eko Medianto, kalau akhir pekan memang demikian adanya. Penumpang-penumpang itu mau pulang dan liburan ke kota-kota besar di Aceh atau provinsi sebelah.
Sekarang saya berada di ranjang paling atas. Jarak kening saya dengan plafon kamar cuma empat puluh sentimeter saja. Saya berharap saya tidak bermimpi buruk atau kalau bangun saya masih ingat bahwa saya sedang tidur di kapal. Goyangannya terasa sekali. Berkali-kali bangun, jam masih belum menunjukkan waktu shubuh. Saya sampai pada suatu titik berharap segera mendengar pengumuman dari pengeras suara yang memberitahukan kepada para penumpang bahwa kapal sebentar lagi akan berlabuh. Tapi itu tidak pernah terjadi. Bahkan kalaupun ada pengumuman itu tentang penumpang yang kehilangan hp.
Pada waktunya semua kapal akan berlabuh pada dermaga yang dicinta. Jauh ataupun dekat. Lama ataupun sebentar. Sekarang ataupun nanti. Sejatinya karena dermaga tempatnya ia bermula. Anak akan kembali kepada ibunya. Musafir akan kembali kepada tanah kelahirannya. Dan semua yang hidup akan kembali kepada Sang Pemilik Kehidupan. Dari titik nol menuju yang tak terhingga. Jeda itulah yang dinamakan dengan waktu. Detik ini, sebulan lagi, setahun dua tahun atau kapan? Di atas gelombang waktu itulah bisa tidak manusia itu bersabar dengan segala ketetapan yang mengaturnya, yang menghendakinya.
Semua akan kembali dan pasti kembali. Namun cara setiap yang berjiwa akan kembali itulah yang akan berbeda-beda. Semuanya kembali kepada pilihan. Karena manusia punya hak prerogatif untuk memilih pilihannya. Hanya jiwa yang senantiasa memohon kepada Sang Pemberi Petunjuk dengan lantunan setiap hari “tunjukkanlan aku kepada jalan yang lurus” yang akan menemukan ketenangan saat kembali ke pelabuhan yang abadi nanti.
Pelabuhan Labuhan Haji pada pukul delapan pagi terlihat ramai. KMP Teluk Sinabang telah melemparkan tali tambatannya. Para penunggu sudah berjejalan di dermaga. Terutama para awak angkutan umum yang menawarkan jasa angkutan ke Banda Aceh dan Medan. Mobil yang akan mengantarkan kami ke Tapaktuan sudah menunggu satu jam lalu. Kapal ini terlambat datang. Ombak, arus laut, dan angin memengaruhi lajunya. Tapi syukurlah kami dapat menginjakkan kaki di daratan dengan selamat.
Pelaminan Khas Simeulue (Foto Koleksi Pribadi).
Sinabang-Labuhan Haji (Olah dari Google Maps)
Pemandangan di Sekitar Dermaga Labuhan Haji (Foto Koleksi Pribadi).
Dermaga Labuhan Haji (Foto Koleksi Pribadi).
Suasana pagi jalanan menuju Tapaktuan masih lengang dan terasa hangat. Panas menyengatnya nanti kalau sudah jam satu hingga empat sore. Itu pun saya tidak boleh mengeluh. Karena jawaban atas keluhan saya adalah sebuah nasihat yang luar biasa, “Ini tak seberapa dibandingkan dengan panas di Padang Mahsyar. Saat matahari cuma sejengkal di atas kepala kita.” Nasihat ini keluar dari mulut seorang Yan Permana, Pasijan Account Representative KPP Pratama Tapaktuan. Wuidih…otomatis sudah tak ada jawaban lain yang bisa membantahnya. Bukan karena Yan Permananya tapi karena nasihat berat ini. Nasihat yang meluluhlantakkan, melemesdedeskan, membungkam ego bicara saya.
Atau ketika saya mengeluh, “Jalanan Tapaktuan ini sepi sekali.” Dan seorang Suardjono—Kepala Seksi Ekstensifikasi KPP Pratama Tapaktuan—pun bisa membuat seorang Aristoteles terdiam dengan filsafatnya ini, “Masih tak seberapa dengan sepinya alam kubur.” Wuidih…berat…berat…Dalam waktu yang tidak terlalu lama dua orang teman saya ini bicaranya seperti almukarram asysyaikh al’allamah al’alim alfaqih alhabib fulan hadanallah waiyyahu. Mereka masih waras. Saya juga. Insya Allah.
Tapaktuan, kami datang kembali.
***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
13.20 14 Januari 2014