Harapan & Tantangan: Pengalihan PBB P2 Simeulue


Harapan & Tantangan: Pengalihan PBB P2 Simeulue

 


 

Momentum penyerahan pengelolaan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2) dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Kabupaten Simeulue ini diberi judul “Antara Harapan dan Tantangan”.

“Harapan, karena ini berarti PBB akan menjadi suatu rahmat yang diberikan Allah swt yang akan menambah pendapatan Pemerintah Kabupaten. Namun tantangannya mampukah Pemerintah Kabupaten mengelolanya dengan baik,” tambah Sekretaris Daerah Kabupaten Simeulue, Drs. Naskah bin Kamar pada acara Penandatangan Berita Acara Serah Terima Sistem Aplikasi, Basis Data, dan Softcopy Peta PBB P2 dari Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Tapaktuan kepada Pemerintah Kabupaten Simeulue (03/01).

Jailani, S.E., M.M., Kepala KPP Pratama Tapaktuan, menjelaskan dalam sambutannya bahwa acara ini merupakan tahap pertama dari dua tahapan penyerahan. Tahap selanjutnya adalah penyerahan Surat Keputusan Menteri Keuangan, Data Piutang, dan Aset Sitaan PBB P2.

“Pengalihan pengelolaan PBB P2 ini kepada Pemerintah Kabupaten Simeulue ini merupakan amanat Pasal 2 ayat (2) UU 28/2009. Saya yakin Pemerintah Kabupaten Simeulue telah siap untuk menerima pengalihan ini,” katanya lagi.

Menurutnya, dengan adanya penyerahan pengelolaan PBB sektor Perdesaan dan Perkotaan ini kepada Pemerintah Kabupaten Simeulue bukan berarti kerja sama, koordinasi, dan silaturahmi yang terjalin selama ini berakhir. Hal tersebut tetap berlanjut sampai di masa yang akan datang. Terutama dalam koordinasi pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan PBB Sektor Perkebunan, Pertambangan, dan Perhutanan, karena di sana akan ada bagi hasil yang diberikan kepada Pemerintah Kabupaten Simeulue.

Selain dihadiri oleh para pejabat dan camat di lingkungan Pemerintah Kabupaten Simeulue, acara ini dihadiri pula anggota DPD sekaligus Ketua MPR RI, DR. Ahmad Farhan Hamid.

Pria kelahiran Samalanga tahun 1953 ini mengatakan bahwa penyerahan pengelolaan PBB P2 ini tampak biasa, namun substansinya luar biasa. Ini menandakan kepercayaan Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah.

“Ini menjadi momentum bagi daerah untuk mengelolanya dengan lebih baik sehingga suatu saat Pemerintah Daerah akan dipercaya untuk mengelola sektor pajak yang lebih besar lagi,” imbuhnya. (RA)

***

Riza Almanfaluthi

Dimuat di pajak.go.id tanggal 22 Januari 2014.

http://www.pajak.go.id/content/news/harapan-dan-tantangan-pengalihan-pbb-p2-kabupaten-simeulue

Advertisement

RIHLAH RIZA #22: SEHARI MENJADI SINGA


RIHLAH RIZA #22: SEHARI MENJADI SINGA

 

“Hidupnya seekor singa sehari masih lebih berkenan ketimbang ratusan tahun hidupnya seekor serigala,” tegas Tipu Sultan di istananya di Seringapattam, Mysore, saat gerbang istana diserbu penjajah Inggris yang dibantu para kaptennya yang telah menjadi pengkhianat dan komprador. Penasehatnya menyarankan Tipu Sultan berkompromi dengan syarat-syarat dalam perjanjian yang disodorkan kepadanya. Tidak. Ia memilih menjadi syuhada.

**

Duha itu, jam sembilan pagi, kami berangkat menuju Kantor Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD) Kabupaten Simeulue. Letaknya di belakang Kantor Bupati Simeulue. Di sana kami diterima oleh Kepala DPPKAD. Kami membahas persiapan acara Serah Terima Pengelolaan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) yang akan digelar besok. Acara itu rencananya akan dihadiri oleh Sekretaris Daerah Kabupaten, Naskah bin Kamar. Sebagian dari kami kemudian memisahkan diri untuk memberikan konsultasi tentang perangkat lunak sistem informasi dan jaringan.

Jadi Kabupaten Simeulue ini merupakan pecahan dari Kabupaten Aceh Barat. Sejak tahun 1999 berpisah dari induknya dan beribu kota di Sinabang. Tempat KMP Sinabang bersandar. Letak ibu kota kabupaten ini berada di Kecamatan Simeulue Timur. Kotanya kecil. Pusing-pusing di sana tidak makan waktu banyak.

Di Sinabang ada masjid tertua namanya Masjid Raya Baiturrahmah. Kami singgah di hari pertama keberadaan kami di Pulau Simeulue untuk salat duhur di sana. Masjidnya sangat sederhana karena berdinding papan saja. Di sebelah masjid ini sedang dibangun masjid yang lebih besar dan kokoh lagi sebagai penggantinya. Kompleks masjid raya ini letaknya di persimpangan di depan Polsek Simeulue Timur dan Rumah Tahanan (Rutan) Cabang Sinabang.

Rutan ini jangan dikira seperti Rutan Salemba atau rutan-rutan lainnya yang bertembok tebal. DI sini rutannya cukup dengan dinding papan seadanya dan berpagar luar hanya dengan kawat biasa saja. Tidak ada pengamanan ketat seperti sebuah penjara, mungkin samudera yang mengelilingi pulau ini sudah menjadi tembok alami dan bikin jiper para tahanan yang mau melarikan diri. Pernah kejadian tahanan melarikan diri dengan menggergaji papan namun dipastikan tidak bisa keluar dari Simeulue. Polisi sudah sebar fotonya di pelabuhan.

Setelah salat kami menuju pelabuhan lama Sinabang yang sekarang tidak terpakai lagi. Dermaga utama terlihat masih baik namun dermaga untuk menambatkan tali dan dermaga yang berada di sebelah kiri terlihat rusak juga amblas. Pelabuhan ini tidak dipakai lagi untuk melayani feri menuju Pulau Sumatra. Kami tidak lama di sana. Ada yang harus kami tuju setelahnya. Tempat penangkaran lobster.

Letaknya dekat keramaian kota Sinabang. Tempat ini dimiliki oleh Wajib Pajak Kantor Pelayanan Pajak Pratama Tapaktuan bernama Mahlil. Ia pengusaha lobster dan ikan yang sudah berusaha lebih dari 20 tahun di bidang itu. Dari daratan kami harus menyeberangi semacam demaga papan kayu menuju tempat penangkarannya itu. Di samping dermaga tertambat kapal boat milik polisi air dan kapal kayu nelayan unik yang besar. Unik karena di setiap sisi kapal kayu berwarna merah ini terdapat semacam kayu panjang untuk menjaga keseimbangannya.

Pada saat kami datang pun Mahlil sedang menyiapkan lobster untuk dikirimkan ke Medan. Inilah saat pertama kali melihat dengan mata kepala sendiri dan memegang hewan laut invertebrata berpelindung luar yang keras. Otak pajak kami sudah mulai bekerja. Kalau setiap hari saja ada puluhan kilogram lobster yang dijual, berapa pendapatan yang diterima Mahlil sedangkan harga per kilogram lobster ini 250 ribu rupiah.

Mahlil selain menangkar lobster, juga menangkar jenis ikan kerapu tiger dan hiu. Semua hewan bernilai mahal ini didapatkan dari para nelayan yang menangkapnya dari tengah laut. Kebetulan kami pun melihat ada satu nelayan sedang menyandarkan sampannya lalu menjinjing hasil tangkapannya berupa kerapu tiger untuk dijual kepada Mahlil. Pengusaha ini menjual kembali kerapu tiger dengan harga 120 ribu rupiah per kilogramnya.

Kami tidak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk melihat penangkarannya. Mahlil membuat banyak petak keramba masing-masing berukuran sembilan meter persegi. Setiap petak keramba mempunyai jaring-jaring dan diberi nomor dengan memakai styrofoam. Di atas jaring itulah ditempatkan hiu berukuran kecil sepanjang satu meter, lobster, dan kerapu tiger. Tentu tidak dicampur.

Setelah puas melihat-lihat kami segera pergi menuju sebuah tempat di mana legenda tentang Simeulue bermula: Makam Tengku Diujung. Kami harus menempuh perjalanan sepanjang 67,8 kilometer dari Sinabang ke Desa Latak Ayah, tempat makam itu berada. Ini berarti kami harus berpindah lokasi dari sisi timur pulau Simeulue menuju sisi baratnya.

Empat per lima bagian perjalanan itu sudah pasti dilalui melalui pesisir pantai. Kami terpukau habis dengan pemandangan yang disuguhkannya. Pantai pasir putih, jejeran pohon kelapa, ombak yang pas buat surfing, dan
pegunungan di sisi kanan kami. Jalanan sepi dan hanya satu dua kendaraan yang kami susul, bahkan berpapasan dengan kendaraan lain pun tidak.

Kondisi jalan lumayan mulus, hanya pada saat di jembatan kami harus mengurangi kecepatan karena masih dalam perbaikan. Hampir seluruh jembatan yang kami lewati demikian adanya. Selain itu, seperti di daerah lainnya di provinsi Aceh, kami banyak melihat kumpulan kerbau yang merumput dan dibiarkan begitu saja. Tak ada gembalanya sama sekali.

Setelah lebih dari dua jam berkendara, akhirnya kami sampai. Makam ini berada di sebuah teluk. Kata penduduk setempat, di sekitar makam ini dulunya adalah pantai. Namun setelah adanya tsunami permukaan tanahnya naik sehingga garis pantai pun mundur puluhan meter. Daratannya menjadi bertambah luas. Konon katanya tsunami memang menghantam teluk ini, tapi tidak merusak sama sekali kompleks makamnya. Air membelah dan melewati begitu saja. Siapa Tengku Diujung ini?

Seperti diceritakan oleh Kepala DPPKAD sendiri kepada kami, dulu ada seorang ulama bernama Khaliilullaah yang berangkat haji dari Minangkabau, saat itu Minangkabau masih menjadi daerah kekuasaan Sultan Iskandar Muda. Ia singgah dulu di Aceh. Oleh Sang Sultan ia diminta untuk menunda keberangkatannya ke tanah suci Makkah. Ia ditugaskan untuk mengislamkan penduduk Pulau Simeulue. Keinginan Sang Sultan dituruti, ia bersama dayang istana yang kemudian menjadi istrinya pergi ke pulau itu untuk memulai dakwahnya di sana.

Di pulau itu ia bertemu dengan penguasa Pulau Simeulue yang bernama Songsong Bulu yang masih menganut paham animisme. Dua orang itu adu kesaktian yang pada akhirnya dimenangkan oleh sang ulama. Singkat cerita penduduk Simeulue pun memeluk Islam. Oleh para pengikutnya sang ulama digelari oleh para pengikutnya sebagai Tengku Diujung. Di akhir hayatnya Tengku Diujung dimakamkan di sebuah tempat yang kemudian dinamakan Latak Ayah. Latak itu berasal dari bahasa minang yang berarti letak. Bersebelahan dengan makam sang ulama terdapat makam sang istrinya.

Selesai berziarah kami mampir di warung sebelahnya. Warung ini berdiri di atas tambak dan persis di bibir teluk. Airnya berwarna hijau. Remaja dan anak-anak pun menjadikan teluk itu sebagai tempat bermain mereka. Berenang atau bersampan.

Pemilik warung juga merupakan penangkar lobster, ikan, dan hiu. Inilah tempat yang sering menjadi kunjungan bagi para pecinta lobster. Perjalanan lama dan melelahkan ini terbayar dengan kenikmatan Mr. Crab yang digoreng sampai berwarna merah itu. Dagingnya empuk dan manis. Ini pengalaman pertama saya makan lobster.

 

Sinabang-Latak Ayah (Google Maps Olahan)

Tempat Penangkaran Lobster milik Mahlil di Sinabang. (Foto koleksi pribadi).

 

Ini di Maldives bukan di Simeulue (@NatGeoID).

 

Nah, kalau ini asli di Latak Ayah. (Foto koleksi pribadi).

 

Pantai yang sudah menjadi daratan di Teluk Latak Ayah (Foto koleksi pribadi).

 


Pemandangan Lain Teluk Latak Ayah (Foto koleksi pribadi).


Makam Asysyaikh Khaliilullaah (Foto koleksi pribadi).

 


Anak-anak Nelayan (Foto Koleksi Pribadi).

Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul enam sore walau suasananya masih terang benderang. Kami pun segera beranjak pulang. Besok pagi masih ada yang harus kami selesaikan. Yang pasti seharian itu saya banyak mendapatkan pengalaman luar biasa. Jadi banyak tahu. Jadi banyak ngebatin kaya batin. Sehari di sini mengayakan sisi-sisi jiwa saya yang tidak pernah didapatkan dalam ratusan hari di Jakarta dan keramaiannya. Tapi baik singa atau pun jadi serigala mereka sama-sama hewan yang suka hidup berkelompok. Entah jadi salah satu dari keduanya, mereka tidak bisa hidup sendirian di luar kelompok dan keluarganya, di alam liar. Apalagi saya sebagai manusia. So…

***

 

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

di sebuah garis imajiner

12 Januari 2013

 

RIHLAH RIZA #21: LALI SELALI-LALINE


RIHLAH RIZA #21: LALI SELALI-LALINE

 

 

Padahal “rindu dendam” atau “cinta berahi” itu laksana Lautan Jawa, orang yang tidak berhati-hati mengayuh perahu memegang kemudi dan menjaga layar, karamlah ia diguling oleh ombak dan gelombang, hilang di tengah samudera yang luas itu, tidak akan tercapai selama-lamanya tanah tepi.

Sebuah petikan paragraf dalam novel Buya Hamka yang berjudul Di Bawah Lindungan Ka’bah. Tapi bagi saya “rindu dendam” atau “cinta berahi” tak sebanding dengan Lautan Jawa. Ia adalah Samudera Hindia. Dalam senyatanya Samudera Hindia telah dijelajahi dengan gagah berani oleh Sulaiman Al Mahiri di abad 16. Belum samudera yang lainnya. Tapi dunia abai. Karena ia orang Arab. Sepatutnya kita tak lali selali-laline. Lupa selupa-lupanya. Padahal selain sebagai seorang penjelajah samudera ia pun seorang penulis yang telah menyumbangkan ilmu pengetahuannya di abad pertengahan tentang ilmu kelautan, astronomi, dan geografi.

**

Kembali saya menaiki sebuah kapal laut setelah belasan tahun lewat. Dulu saya pernah mengarungi samudera menyeberangi Selat Sunda dari Pelabuhan Merak menuju Pelabuhan Bakauheni. Waktu itu dalam rangka menghadiri pernikahan sahabat. Sekarang, menuju ke Pulau Simeulue dalam rangka urusan pekerjaan.

Kapal yang akan menyeberangkan kami dari Pelabuhan Singkil menuju Pelabuhan Sinabang adalah KMP Teluk Sinabang. Kapal ini menjadi urat nadi perekonomian dan gerak pembangunan Pulau Simeulue. Jika rusak dan tidak ada penggantinya maka bisa dipastikan 86 ribu lebih penduduk Pulau Simeulue akan mengalami krisis sembako sebagaimana pernah diberitakan oleh media di bulan November 2013 lalu. Waktu itu KMP Teluk Sinabang mengalami kerusakan mesin.

“Barangkali deru mesin kapal laut membelah samudera ini adalah igaumu yang tak pernah sampai menjadi ode. Tak pernah terceritakan.”

Pukul 16.45 kami sudah berada di atas kapal. Kami pun sudah menempati kamar Anak Buah Kapal (ABK) yang disewa selama pelayaran ini. Kamar ABK letaknya di bagian bawah. Lebih bawah lagi daripada tempat parkir kendaraan. Bahkan bisa dipastikan kalau kamar ini berada di bawah permukaan air laut.

Jenis kamar ABK ini macam-macam. Ada kamar yang berisi satu atau dua tempat tidur, ada pula dengan dua ranjang bersusun. Saya menempati kamar terakhir ini. Kamarnya sempit tetapi muat untuk empat orang, berpendingin ruangan, dan bertelevisi.

Sang Nahkoda, Kapten Eko Medianto, seorang Pujakesuma (Putera Jawa kelahiran Sumatera) asal Medan ini memastikan kalau perjalanan pada nanti malam akan berjalan lancar, karena ombak dan arusnya yang tenang. Maksimal perjalanan ditempuh selama dua belas jam, paling cepat sepuluh jam dengan kecepatan 10 knot. Tentunya lebih cepat dan bertenaga daripada kapal “Karimata” di tahun 1927 yang membawa tokoh “saya” dalam novel Buya Hamka tadi. “Saya” selama empat belas hari terkatung-katung di lautan dari Pelabuhan Belawan menuju Jeddah.

Jam lima sore ini seharusnya kapal sudah membunyikan terompetnya yang ketiga kali sebagai tanda dimulainya pelayaran. Tapi walau sudah lewat dari jam lima kapal belum juga menutup pintu jembatannya. “Kita menunggu truk sayuran.  Sebentar lagi datang. Kalau ditinggal kita disalahkan. Ini sembako penting,” katanya.

Saya menaiki dek paling atas. Sebelumnya saya harus melalui dek tengah dengan deretan tempat duduk kelas ekonomi terlihat kosong. Sepertinya pelayaran sore ini ditempuh dengan sedikit penumpang. Di dek paling atas sebagiannya beratap, sebagian besarnya tidak. Di bawah atap ada meja-meja berbentuk bulat di depan meja kantin panjang. Sedangkan di bagian ujung dek yang tak beratap, di sisi yang menghadap ke bagian belakang kapal, terdapat dua kursi panjang, di tengahnya tiang tinggi dengan bendera merah putih berkibar-kibar ditiup angin laut.  Gagah segagah-gagahnya.

Saya menatap air laut di pelabuhan yang berwarna kecoklatan. Seperti warna Sungai Cimanuk di Indramayu. Saya tidak tahu mengapa bisa sampai berwarna seperti itu. Tapi kalau diperhatikan lebih seksama lagi, ini  tampak hanya di permukaannya saja. Ketika kapal berangkat dan mulai membelah air laut terlihatlah lapisan air di bawahnya yang berwarna khas, hijau dan biru. Air coklat itu tipis setipis-tipisnya seperti kulit ari.

Sambil duduk, berdiri, ngobrol, jalan-jalan di sekitar dek, saya sangat menikmati sore itu dari bibir kapal: bau laut, angin kecil, senja, matahari tenggelam, buih ombak di belakang kapal, deru mesin, langit kelabu, perahu nelayan, dan pemandangan segala di kejauhan. Kalau sudah demikian saya jadi teringat cerita pendek yang berjudul Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu bikinan Hamsad Rangkuti dan film Titanic besutan James Cameron. Saya tidak tahu apa yang membuat dua orang itu sama-sama mengaitkan hal-hal ini—laut, kapal, dan deknya—dengan keinginan wanita untuk bunuh diri.  Akhirnya pun sama, wanita itu tak jadi bunuh diri. Sebagai penyedap, ada pahlawan yang mencegah ritual tadi.

Ketika malam benar-benar menelan anak-anak cahaya barulah saya turun ke kamar. Ambil wudhu, lalu shalat jamak qashar, dan memeluk kantuk. Saya benar-benar tidur senatural-naturalnya. Tanpa menjadi Descartes yang bilang, “Aku berpikir, maka aku ada.” Di suatu tempat yang sering menjadi tempat tidurnya, sumber inspirasinya: pendiangan.

 Singkil Sinabang

Dari Singkil menuju Sinabang, Simeulue. (Gambar olah dari google map).

 Singkil Port

Pelabuhan Singkil kami tinggalkan (foto koleksi pribadi).

 

 Dek 1

Tempat terbaik untuk memandang segala, dek paling atas. (Foto koleksi pribadi).

 Dek Atas 2

Sudut lain dek paling atas. Baik pula untuk merenung di suatu malam. Habis senja, ada setumpuk gelombang datang menjadi angan. Dan aku tenggelam dalam lautan kata-kata. (Foto koleksi pribadi).

 

 Kamar ABK

Kamar ABK. Di bawah itu ranjang awak (saya). (Foto Koleksi pribadi).

 

Senja

Senja di sebuah ruang waktu. Namaku langit, dan kamu sebentuk siluet ungu di tepian cakrawala.

 

 

 Ruang Ekonomi

Ruang kelas ekonomi malam itu sepi.  (Foto Koleksi Pribadi)

 

Entah kenapa jam setengah dua malam saya terbangun.               Saya bangkit dari tempat tidur dan keluar kamar. Saya naik ke atas, melalui arena luas parkir kendaraan, naik ke kelas ekonomi, dan naik ke atas dek lagi. Sepi. Tidak ada orang sama sekali. Saya duduk di salah satu meja yang ada di sana. Mengambil hp dan menelepon orang di seberang sana. Teleponnya tidak diangkat. Ia masih terlelap di hari jadinya itu. 2 Januari 2014.

Omong kosong! Di tengah laut masih ada sinyal? Ya masih, walaupun seringnya hanya dapat EDGE. Tapi itu sudah cukup. Saya tidak tahu dari menara BTS yang mana sinyal ini didapat? Apa di kapal ini ada menara BTS? Itulah kelebihan daerah ini. Coba bayangkan, sepanjang perjalanan saya dari Tapaktuan ke Singkil sampai di tengah laut menuju Simeulue ini, ketersediaan sinyal akses telepon dan internetnya tidak ada “matinya”.  Walaupun juga ada blank spot tapi itu tidak lama. Di tengah samudera seperti ini saya masih bisa update status Facebook dan Twitter. Tapi jangan harap kalau di dalam kamar atau di bagian bawah kapal. Sinyal tidak ada sama sekali.

Saya memandang ke atas langit. Tidak ada awan yang menutupinya. Di atas penuh bintang. Rasi bintangnya pun tampak. Saya mencoba mencari petunjuk, dalam surat Annahl ayat ke-16 disebutkan, wabinnajmihum yahtaduun, dan dengan bintang-bintang itulah mereka mendapat petunjuk. Karena saya bukan nelayan apalagi seorang Sulaiman Al Mahiri, saya tetap saja gagal paham mana rasi kalajengking, mana domba jantan, dan mana-mana yang lainnya itu. Kemudian saya pun menatap laut dalam gelap.

Seperti bintang dan malam yang saling berbincang, begitulah semestinya aku dan laut saling memandang.

Saya menggigil sebentar karena angin yang tidak kencang ini. Tapi itu tak mengurangi keinginan saya untuk berlama-lama di sana. Ini tafakur alam setafakur-tafakurnya. Jarang saya mendapatkan suasana trance seperti ini—halah nggaya.

Merenung segala. Saya akui benarlah apa yang dikatakan teman-teman sejawat kalau nilai-nilai di Kementerian Keuangan—selain integritas, profesionalisme, sinergi, pelayanan, dan kesempurnaan itu perlu ditambah satu lagi dengan nilai Kesabaran. Sebenarnya kesabaran masih menjadi subordinat dari nilai-nilai integritas itu: berpikir, berkata, berperilaku, dan bertindak dengan baik dan benar serta memegang teguh kode etik dan prinsip-prinsip moral. Artinya orang yang sabar adalah merupakan bagian dari orang-orang yang teguh dengan prinsip moralnya.

Tapi itu belum cukup. Nilai kesabaran itu perlu dinaikkan menjadi dominan. Tak hanya sekadar menjadi sekunder. Dus, nilai ini sepertinya sudah menjadi nilai-nilai yang telah terinternalisasi dengan sendirinya tanpa diada-adakan dengan kegiatan semacam internalisasi corporate value, in-house training, outbond,  atau banyak istilah lainnya. Sebab satu hal, pegawai-pegawai di Kementerian Keuangan terutama di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) itu sudah sabarnya luar biasa.

Sabar dengan cacian dan hujatan dari pihak eksternal, sistem di internal, beban kerja, take home pay, cicilan yang menggunung, jaminan kesehatan seadanya, dikasih nilai kecil walau sudah bekerja mati-matian, ditempatkan jauh dari keluarga,  bekerja mencapai target penerimaan tanpa diberi empati, dan lain sebagainya. Luar biasa sabarnya.

Mengapa belum cukup kalau sekadar subordinat nilai-nilai kementerian, karena sabar itu dalam pandangan profetik adalah variabel kemenangan. Janji Rasulullah saw atas orang-orang sabar adalah surga. Nashir Sulaiman Al-Umr, penulis buku Hakikat Pertolongan dan Kemenangan, menyatakan kesabaran merupakan salah satu bentuk kemenangan terbesar. Dengan kesabaran seseorang akan mudah mewujudkan apa-apa yang dicita-citakannya. Begitulah adanya.

So, kalau DJP mau target penerimaannya—sebagai target kemenangan—tercapai manfaatkanlah sumber daya melimpah berupa kesabaran para pegawainya dengan baik sebaik-baiknya. Jadikanlah ini sebagai nilai dominan dari nilai-nilai Kementerian Keuangan. Ah, sudahlah.

Setelah perenungan itu telah menemukan titik zenitnya, jam tiga dini hari saya kembali ke kamar. Namun mata sudah tidak bisa dipejamkan lagi. Bahkan satu jam kemudian ketika tidur saya hampir pulas, pengeras suara dari awak kabin sudah terdengar, mengumumkan kalau sebentar lagi kapal akan berlabuh. Refleks saya bangkit dari ranjang dan membangunkan teman-teman yang lain. Kami pun segera berkemas.

Pelabuhan Sinabang masih tampak gelap. Waktu shubuh masih jauh. Kami turun belakangan daripada penumpang yang lain. Hari ini terbayang kami akan melakukan apa saja. Di pelosok ini, kami bekerja, maka kami ada.

Tak akan pernah lali selali-laline perjalanan tadi.

 

***

Catatan: Siapa pun adanya yang tidak setuju dengan tulisan feature ini silakan bikin tulisan setara, jangan sms, dan jangan email, jangan menggerutu, apatah lagi telepon. 😀

 

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

8 Januari 2014

 

RIHLAH RIZA #20: TIGA TAHUN DISINGKILKAN


RIHLAH RIZA #20: TIGA TAHUN DISINGKILKAN

 

Angin sepoi Musalla dan Sungai Ruknabad. Tak Mengizinkan hamba mengembara jauh.” Sebuah puisi dikirimkan Hafiz Syirazi—lirikus Persia, penyair jenius, pemilik lidah gaib (Lisanul Ghaib), penafsir kegaiban (Tarjumanul Asrar)—kepada Sultan Ahmad bin Owais-i-Jalair, penguasa Ilkhani. Hafiz menolak penguasa berbakat dari Baghdad itu mengundang dirinya dan melantunkan syair-syair indah di hadapan sang penguasa.

Sebuah kapal dari dua orang Saudagar Persia sudah menanti di Selat Hormuz untuk membawa Hafiz ke India. Hafiz sempat naik ke kapal tersebut. Namun ketika kapal hendak berangkat, badai datang. Hafiz pun turun dari kapal dan tidak jadi pergi. Sebagai pengganti dirinya, akhirnya ia cuma mengirimkan bait-bait syair kepada Sultan Mahmud, penguasa India pada saat itu. Tanah airnya tak mau melepas Hafiz jauh-jauh.

**

Tanggal satu di tahun baru seharusnya libur. Kami tidak. Kami harus mengawali perjalanan panjang sampai empat hari ke depan. Kami menuju Kabupaten Simeulue yang berada di Kepulauan Simeulue dalam rangka pengalihan pengelolaan Pajak Bumi dan Bangunan sektor Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2) dari Pemerintah Pusat dalam hal ini diwakili oleh Kantor Pelayanan Pajak Pratama Tapaktuan kepada Pemerintah Kabupaten Simeulue.

Perjalanan ini merupakan perjalanan road show kami di tiga kabupaten sebagai wilayah kerja KPP Pratama Tapaktuan. Selain Kabupaten Simeulue ada Kabupaten Aceh Barat Daya, biasa disingkat Abdya, dan Kabupaten Aceh Selatan. Sungguh, ini perjalanan yang tidak akan pernah dialami selagi saya tidak ditempatkan di daerah terpencil dan tertinggal ini. Saya tekankan dua kata terpencil dan tertinggal ini karena masih saja ada yang tidak percaya kalau Aceh Selatan disebut sebagai daerah demikian.

Pengertian Daerah Tertinggal seperti yang saya kutip dari situs Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal adalah daerah kabupaten yang masyarakat serta wilayahnya relatif kurang berkembang dibandingkan daerah lain dalam skala nasional. Suatu daerah dikategorikan sebagai daerah tertinggal, karena beberapa faktor penyebab, antara lain geografis, sumber daya alam, sumber daya manusia, prasarana dan sarana, daerah terisolasi, rawan konflik dan rawan bencana. Aceh Selatan masih termasuk ke dalam 183 daerah tertinggal di Indonesia.

Ketidakpercayaan mereka ini seperti ketidakpercayaan mereka melihat ada orang Jakarta seperti saya mau-maunya saja ditempatkan di daerah tersebut.  “Ini tugas Broh,” kata saya atau biasanya saya diam atas pernyataan tersebut. Hanya tersenyum dan tidak menanggapi. “Pasti enggak dekat dengan rezim yah,” kata mereka lagi.  Wadaw, rezim-reziman segala. Saya tak tahu rezim-reziman. Kalaupun ada, saya cuma tahu dan kenal dengan satu rezim yang Maha Luas kekuasaannya, “rezim” Allah.  Ah, sudahlah.

Menuju pulau Simeulue ini ada dua moda transportasi: naik pesawat Susi Air atau kapal laut. Yang paling efektif adalah tentunya naik pesawat. Masalahnya adalah awal tahun ini Susi Air tidak terbang karena dalam proses tender penerbangan perintis dan penyusunan jadwal terbang. Jadi kami tidak memilih moda ini. Satu-satunya jalan adalah dengan menggunakan kapal laut.

Acara penandatanganan berita acara pengalihan PBB P2 ini dijadwalkan pada hari Jumat. Sedangkan jadwal pemberangkatan kapal laut dari pelabuhan terdekat—satu jam dari Tapaktuan—yaitu Labuhan Haji ada pada malam Jum’atnya. Ini mefet. Jadi kami harus menyeberang hari Rabu malam dari pelabuhan Singkil. Berarti kami pun kudu berangkat pagi dari Tapaktuan menuju ibu kota Kabupaten Aceh Singkil ini.

Kabupaten Aceh Singkil merupakan kabupaten paling ujung di selatan Provinsi Aceh dan termasuk daerah tertinggal juga. Kami harus menempuh kurang lebih  223 kilometer selama enam jam perjalanan darat dari Tapaktuan menuju Pelabuhan Singkil.

Sepanjang perjalanan menyusuri Kabupaten Aceh Selatan kami disuguhi pemandangan pantai yang menakjubkan, namun memasuki Kabupaten Aceh Singkil selain pemandangan perbukitan yang indah kami juga ditampakkan kerusakan hutan akibat penebangan untuk pembukaan lahan kelapa sawit. Sangat disayangkan.

Selain itu ada beberapa pemandangan yang mirip saat kami melewati daerah di Singkil. Papan nama Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) yang kami temui di Rimo bentuknya sama dengan yang kami jumpai di Singkil. Sama-sama rusak berat. Saya tak tahu apakah bentuk papan nama seperti itu menjadi tanda ketertinggalan suatu daerah? Allahua’lam bishshawab. Yang pasti dua SPBU tersebut juga sama-sama kumuh.

Tidak ada KPP di Kabupaten Aceh Singkil.  Hanya ada Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP).  Kabupaten Aceh Singkil termasuk ke dalam wilayah kerja KPP Pratama Subulussalam. Kota Subulussalam mulanya merupakan bagian dari Kabupaten Aceh Singkil. Kemudian memekarkan diri menjadi sebuah kota di tahun 2007.

Ingat tentang para pahlawan hebat  DJP yang berkumpul di Lhokseumawe dalam rangka Forum Pelayanan dan KP2KP yang pernah saya tulis sebelumnya? Salah satunya adalah Pak Yusri Hasda. Dialah yang menjadi Kepala KP2KP Aceh Singkil. Kami mampir ke sana sebelum melaut dan menyeberang ke Pulau Simeulue.

Di KP2KP, kami berenam disuguhi kopi khas Aceh Ulee Kareng. Kopi yang biasa dibeli Pak Yusri Hasda di Meulaboh tempat tinggalnya sekarang. Setiap minggu ia pulang Ke Meulaboh menempuh ratusan kilometer selama sembilan jam perjalanan darat. Sudah tiga tahun ia menggawangi KP2KP dan menjalani ritual akhir pekan pulang pergi Singkil-Meulaboh.

Peta Tapaktuan SingkilPeta perjalanan dari Tapaktuan menuju Singkil. (Sumber Maps Google).

Plang SPBUPlang SPBU di Rimo dan Singkil. Hancur lebur seperti itu. (Foto koleksi pribadi).

Masjid SingkilKami singgah dulu di Masjid Baitusshalihin, Pulo Sarok Singkil (Foto Koleksi Pribadi).

KP2KP Aceh SingkilKP2KP Aceh Singkil (Foto Koleksi Pribadi).

Rumah Adat Singkil Rumah Adat Singkil (Foto Koleksi Pribadi).

 KMP SinabangDermaga Pelabuhan Singkil tempat berlabuh KMP Teluk Sinabang (Foto Koleksi Pribadi).

Ini benar-benar perjamuan yang tak main-main. Biasanya kami disuguhi kopi dalam gelas imut, sekarang kami harus minum kopi dari gelas besar dengan volume lebih dari 300 cc. Sebagai penikmat kopi pemula saya sangat menikmati kopi ini. Nikmat sekaligus mengenyangkan padahal sebelumnya kami telah menikmati makan siang di sebuah warung makan dekat dengan rumah adat Singkil, di salah satu sudut kota.

Jam empat sore kami beranjak menuju pelabuhan. Melewati rumah-rumah yang kena tsunami dan tak berpenghuni. Setengah bagian dari rumah itu sampai sekarang masih tenggelam. Kapal Motor Penyeberangan (KMP) yang akan kami naiki dijadwalkan berlayar jam lima sore ini. Kami tak perlu buru-buru karena tiga jam sebelumnya kami sudah membeli tiket penumpang dan mobil. Tiket kelas ekonomi seharga 38 ribu rupiah per orang. Sedangkan tarif tiket kendaraan sebesar 493 ribu rupiah.

Pelabuhan Singkil ini melayani tiga rute perjalanan kapal laut. Dari Singkil menuju Sinabang yang berada di Pulau Simeulue, Gunung Sitoli yang berada di Pulau Nias, dan Pulau Banyak. Tidak setiap hari kapal itu melayani rute tujuan. Karena kapal laut yang ada hanya dua yakni KMP Teluk Sinabang dan Teluk Singkil. KMP Teluk Sinabang inilah yang akan melayarkan kami menyeberangi Samudera Hindia menuju Pulau Simeulue.

Ini hari sudah sore saat kami memasuki kapal. Tapi matahari belumlah tenggelam. Masih tinggi di atas lengkung langit. Seharian perjalanan ini belumlah seberapa. Baru seperdelapannya saja dilewati. Tanda-tanda badai pun jelas tidak ada sama sekali. Langit cerah. Ombak dan angin tenang. Kiranya sudah ditakdirkan hari ini kalau saya tetap akan menyeberang ke Simeulue.

Tak ada keindahan Pantai Tapaktuan dan Gunung Leuser yang akan menghalangi saya pergi ke sana seperti keindahan Taman Musalla dan Sungai Ruknabad yang mampu menghalangi pengembaraan Hafiz Syirazi. Sepertinya tanah air yang baru dua bulan setengah saya tempati rela banget menjauhkan saya pergi dari pelukannya. Apalagi tanah air yang ada di Jekardah sana. Ikhlaaaaaaaas banget kayaknya. Ah, sudahlah…

***

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

05 Januari 2014