RIHLAH RIZA #20: TIGA TAHUN DISINGKILKAN


RIHLAH RIZA #20: TIGA TAHUN DISINGKILKAN

 

Angin sepoi Musalla dan Sungai Ruknabad. Tak Mengizinkan hamba mengembara jauh.” Sebuah puisi dikirimkan Hafiz Syirazi—lirikus Persia, penyair jenius, pemilik lidah gaib (Lisanul Ghaib), penafsir kegaiban (Tarjumanul Asrar)—kepada Sultan Ahmad bin Owais-i-Jalair, penguasa Ilkhani. Hafiz menolak penguasa berbakat dari Baghdad itu mengundang dirinya dan melantunkan syair-syair indah di hadapan sang penguasa.

Sebuah kapal dari dua orang Saudagar Persia sudah menanti di Selat Hormuz untuk membawa Hafiz ke India. Hafiz sempat naik ke kapal tersebut. Namun ketika kapal hendak berangkat, badai datang. Hafiz pun turun dari kapal dan tidak jadi pergi. Sebagai pengganti dirinya, akhirnya ia cuma mengirimkan bait-bait syair kepada Sultan Mahmud, penguasa India pada saat itu. Tanah airnya tak mau melepas Hafiz jauh-jauh.

**

Tanggal satu di tahun baru seharusnya libur. Kami tidak. Kami harus mengawali perjalanan panjang sampai empat hari ke depan. Kami menuju Kabupaten Simeulue yang berada di Kepulauan Simeulue dalam rangka pengalihan pengelolaan Pajak Bumi dan Bangunan sektor Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2) dari Pemerintah Pusat dalam hal ini diwakili oleh Kantor Pelayanan Pajak Pratama Tapaktuan kepada Pemerintah Kabupaten Simeulue.

Perjalanan ini merupakan perjalanan road show kami di tiga kabupaten sebagai wilayah kerja KPP Pratama Tapaktuan. Selain Kabupaten Simeulue ada Kabupaten Aceh Barat Daya, biasa disingkat Abdya, dan Kabupaten Aceh Selatan. Sungguh, ini perjalanan yang tidak akan pernah dialami selagi saya tidak ditempatkan di daerah terpencil dan tertinggal ini. Saya tekankan dua kata terpencil dan tertinggal ini karena masih saja ada yang tidak percaya kalau Aceh Selatan disebut sebagai daerah demikian.

Pengertian Daerah Tertinggal seperti yang saya kutip dari situs Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal adalah daerah kabupaten yang masyarakat serta wilayahnya relatif kurang berkembang dibandingkan daerah lain dalam skala nasional. Suatu daerah dikategorikan sebagai daerah tertinggal, karena beberapa faktor penyebab, antara lain geografis, sumber daya alam, sumber daya manusia, prasarana dan sarana, daerah terisolasi, rawan konflik dan rawan bencana. Aceh Selatan masih termasuk ke dalam 183 daerah tertinggal di Indonesia.

Ketidakpercayaan mereka ini seperti ketidakpercayaan mereka melihat ada orang Jakarta seperti saya mau-maunya saja ditempatkan di daerah tersebut.  “Ini tugas Broh,” kata saya atau biasanya saya diam atas pernyataan tersebut. Hanya tersenyum dan tidak menanggapi. “Pasti enggak dekat dengan rezim yah,” kata mereka lagi.  Wadaw, rezim-reziman segala. Saya tak tahu rezim-reziman. Kalaupun ada, saya cuma tahu dan kenal dengan satu rezim yang Maha Luas kekuasaannya, “rezim” Allah.  Ah, sudahlah.

Menuju pulau Simeulue ini ada dua moda transportasi: naik pesawat Susi Air atau kapal laut. Yang paling efektif adalah tentunya naik pesawat. Masalahnya adalah awal tahun ini Susi Air tidak terbang karena dalam proses tender penerbangan perintis dan penyusunan jadwal terbang. Jadi kami tidak memilih moda ini. Satu-satunya jalan adalah dengan menggunakan kapal laut.

Acara penandatanganan berita acara pengalihan PBB P2 ini dijadwalkan pada hari Jumat. Sedangkan jadwal pemberangkatan kapal laut dari pelabuhan terdekat—satu jam dari Tapaktuan—yaitu Labuhan Haji ada pada malam Jum’atnya. Ini mefet. Jadi kami harus menyeberang hari Rabu malam dari pelabuhan Singkil. Berarti kami pun kudu berangkat pagi dari Tapaktuan menuju ibu kota Kabupaten Aceh Singkil ini.

Kabupaten Aceh Singkil merupakan kabupaten paling ujung di selatan Provinsi Aceh dan termasuk daerah tertinggal juga. Kami harus menempuh kurang lebih  223 kilometer selama enam jam perjalanan darat dari Tapaktuan menuju Pelabuhan Singkil.

Sepanjang perjalanan menyusuri Kabupaten Aceh Selatan kami disuguhi pemandangan pantai yang menakjubkan, namun memasuki Kabupaten Aceh Singkil selain pemandangan perbukitan yang indah kami juga ditampakkan kerusakan hutan akibat penebangan untuk pembukaan lahan kelapa sawit. Sangat disayangkan.

Selain itu ada beberapa pemandangan yang mirip saat kami melewati daerah di Singkil. Papan nama Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) yang kami temui di Rimo bentuknya sama dengan yang kami jumpai di Singkil. Sama-sama rusak berat. Saya tak tahu apakah bentuk papan nama seperti itu menjadi tanda ketertinggalan suatu daerah? Allahua’lam bishshawab. Yang pasti dua SPBU tersebut juga sama-sama kumuh.

Tidak ada KPP di Kabupaten Aceh Singkil.  Hanya ada Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP).  Kabupaten Aceh Singkil termasuk ke dalam wilayah kerja KPP Pratama Subulussalam. Kota Subulussalam mulanya merupakan bagian dari Kabupaten Aceh Singkil. Kemudian memekarkan diri menjadi sebuah kota di tahun 2007.

Ingat tentang para pahlawan hebat  DJP yang berkumpul di Lhokseumawe dalam rangka Forum Pelayanan dan KP2KP yang pernah saya tulis sebelumnya? Salah satunya adalah Pak Yusri Hasda. Dialah yang menjadi Kepala KP2KP Aceh Singkil. Kami mampir ke sana sebelum melaut dan menyeberang ke Pulau Simeulue.

Di KP2KP, kami berenam disuguhi kopi khas Aceh Ulee Kareng. Kopi yang biasa dibeli Pak Yusri Hasda di Meulaboh tempat tinggalnya sekarang. Setiap minggu ia pulang Ke Meulaboh menempuh ratusan kilometer selama sembilan jam perjalanan darat. Sudah tiga tahun ia menggawangi KP2KP dan menjalani ritual akhir pekan pulang pergi Singkil-Meulaboh.

Peta Tapaktuan SingkilPeta perjalanan dari Tapaktuan menuju Singkil. (Sumber Maps Google).

Plang SPBUPlang SPBU di Rimo dan Singkil. Hancur lebur seperti itu. (Foto koleksi pribadi).

Masjid SingkilKami singgah dulu di Masjid Baitusshalihin, Pulo Sarok Singkil (Foto Koleksi Pribadi).

KP2KP Aceh SingkilKP2KP Aceh Singkil (Foto Koleksi Pribadi).

Rumah Adat Singkil Rumah Adat Singkil (Foto Koleksi Pribadi).

 KMP SinabangDermaga Pelabuhan Singkil tempat berlabuh KMP Teluk Sinabang (Foto Koleksi Pribadi).

Ini benar-benar perjamuan yang tak main-main. Biasanya kami disuguhi kopi dalam gelas imut, sekarang kami harus minum kopi dari gelas besar dengan volume lebih dari 300 cc. Sebagai penikmat kopi pemula saya sangat menikmati kopi ini. Nikmat sekaligus mengenyangkan padahal sebelumnya kami telah menikmati makan siang di sebuah warung makan dekat dengan rumah adat Singkil, di salah satu sudut kota.

Jam empat sore kami beranjak menuju pelabuhan. Melewati rumah-rumah yang kena tsunami dan tak berpenghuni. Setengah bagian dari rumah itu sampai sekarang masih tenggelam. Kapal Motor Penyeberangan (KMP) yang akan kami naiki dijadwalkan berlayar jam lima sore ini. Kami tak perlu buru-buru karena tiga jam sebelumnya kami sudah membeli tiket penumpang dan mobil. Tiket kelas ekonomi seharga 38 ribu rupiah per orang. Sedangkan tarif tiket kendaraan sebesar 493 ribu rupiah.

Pelabuhan Singkil ini melayani tiga rute perjalanan kapal laut. Dari Singkil menuju Sinabang yang berada di Pulau Simeulue, Gunung Sitoli yang berada di Pulau Nias, dan Pulau Banyak. Tidak setiap hari kapal itu melayani rute tujuan. Karena kapal laut yang ada hanya dua yakni KMP Teluk Sinabang dan Teluk Singkil. KMP Teluk Sinabang inilah yang akan melayarkan kami menyeberangi Samudera Hindia menuju Pulau Simeulue.

Ini hari sudah sore saat kami memasuki kapal. Tapi matahari belumlah tenggelam. Masih tinggi di atas lengkung langit. Seharian perjalanan ini belumlah seberapa. Baru seperdelapannya saja dilewati. Tanda-tanda badai pun jelas tidak ada sama sekali. Langit cerah. Ombak dan angin tenang. Kiranya sudah ditakdirkan hari ini kalau saya tetap akan menyeberang ke Simeulue.

Tak ada keindahan Pantai Tapaktuan dan Gunung Leuser yang akan menghalangi saya pergi ke sana seperti keindahan Taman Musalla dan Sungai Ruknabad yang mampu menghalangi pengembaraan Hafiz Syirazi. Sepertinya tanah air yang baru dua bulan setengah saya tempati rela banget menjauhkan saya pergi dari pelukannya. Apalagi tanah air yang ada di Jekardah sana. Ikhlaaaaaaaas banget kayaknya. Ah, sudahlah…

***

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

05 Januari 2014