RIHLAH RIZA #25: TAK ADA SELENDANGNYA YANG BISA KUCURI


RIHLAH RIZA #25:

TAK ADA SELENDANGNYA YANG BISA KUCURI

 

 

“Menulis, pada mulanya, ternyata adalah masalah kemauan yang pribadi sekali. Masalah determinasi. Selanjutnya, ternyata, boleh apa saja ikut terjadi…” (Umar Kayam, Desember 1982)

**

 

Seringkali menyangka kalau gemericik air itu hanya ada di Bogor, atau tanah Pasundan lainnya. Gemericik air yang menggelitik telinga, menenteramkan hati yang gundah, mendinginkan kepala, dan memancing-memancing setiap yang bermata untuk bisa menyentuh segarnya. Turun dari pancuran atau sela-sela tanah pegunungan. Berkumpul semuanya lalu menjadi besar dan turun kembali menjadi air terjun. Orang Sunda bilang itu curug. Ada seperti Curug Cigamea, Curug Pangeran, Curug Luhur.

Suatu tempat eksotis. Pantas saja para peri kahyangan turun ke bumi. Di serat Babat Tanah Jawi, Jaka Tarub tahu benar akhlak para batari, maka ia ambil satu selendangnya saja, jadilah itu sebuah cerita dari mulut ke mulut yang diturunkan kepada anak cucu. Sebuah mitos untuk memberikan legitimasi bahwa walaupun Mataram didirikan dari keluarga petani, bukan keluarga bangsawan, mereka adalah keturunan anasir-anasir dari langit nan absurd: bidadari.

Ternyata Tapaktuan, negeri 1000 ombak, punya juga persemayaman para dewi ini. Namanya Air Terjun Tujuh Tingkat. Letaknya di desa Batu Itam, di selatan pusat kota Tapaktuan. Tidak ada penunjuk tempat wisata ini. Pokoknya sebelum kita melewati gunung yang kedua ada jembatan, sebelum jembatan ada masjid di sebelah kiri jalan, sebelum masjid itu ada gang atau lorong. Di lorong itulah mobil kecil bisa masuk. Cukup untuk satu mobil saja.

Dari ujung jalan kecil, sekitar 200 meteran, parkirkan mobil di tanah lapang di pinggir sungai. Di atas sungai ada jembatan beton. Dari jembatan itulah kita memulai perjalanan mendaki menuju air terjun yang menjadi penyuplai utama air bersih Kota Tapaktuan ini. Kalau tidak hujan, motor bahkan bisa sampai menuju titik terdekat air terjun sehingga kita tidak perlu kehabisan tenaga dan bisa mengurangi waktu tempuh.

Jika kaki kita mampu berjalan dan nafas kita masih panjang, berjalanlah dari tempat parkir itu. Kita akan temui pemandangan indah saat menyusuri jalanannya. Kita berada di kaki bukit hijau dengan pepohonan lebat nan alami dan juga ladang-ladang penuh pohon pala. Para peladang mendirikan gubug-gubugnya di sana.

Teman saya yang pertama kali berkunjung di sini, biasanya langsung terpukau dengan pemandangan yang ada. Di titik 0 pendakian saja sudah mulai foto-foto. Saya bilang kepada mereka kalau pemandangan di sini belumlah seberapa, nanti kalau kita naik sedikit akan menemukan sesuatu yang menakjubkan.

Ya betul, naik sedikit saja kita akan disuguhkan bentangan pemandangan laut dan rumah-rumah penduduk di bawah sana. Tunggu, belum. Naik sedikit lagi, di atas batu besar, kita akan punya tempat yang paling baik untuk mengambil gambar dari ketinggian. Pantai, laut, bukit, pohon-pohon kelapa, atap-atap rumah tersaji seindah-seindahnya dari kejauhan. Subhanallaah.

Di tengah jalan kita menemui persimpangan. Kalau lurus kita akan menuju tingkat paling atasnya, namun cukuplah hari ini kita ke tingkat empatnya saja. Karena biasanya para pengunjung lebih suka di sana. Di situlah spot yang paling normal untuk didaki tanjakannya dan direnangi kolamnya.

Kurang lebih 500 meter dari tempat kita bermula atau sekitar setengah jam berjalan santai sampailah kita di Air Terjun Tujuh Tingkat. Tingkat paling bawah, kedua, ketiga, keempat, dan kelima berkumpul dalam jarak yang tidak begitu jauh. Ada bangunan yang terbuat dari papan kayu, di pinggir air terjun, di atas ketinggian, tempat untuk berleha-leha sehabis mandi, tempat untuk memandang ke bawah.

Sudah lama tidak berkunjung ke air terjun. Terakhir waktu ada perkemahan di Taman Nasional Gunung Gede, bertahun-tahun lampau. Itu pun hanya lewat. Tidak jebar-jebur serupa Penguin Gentoo di Semenanjung Antartika. Sekarang, ribuan kilometer dari kaki bukit Gunung Gede, di bawah Pegunungan Leuser, saya merasakan kembali kesegaran air pegunungan. Airnya jernih sehingga dasar kolam air terjun bisa dilihat. Tetapi memang jika turun hujan tetaplah membawa material dari atas. Membuat sedikit keruh. Sedikit saja. Airnya tetap bening kehijauan. Yang pasti air terjun ini tidak ada beda dengan air terjun di tanah kerinduan, Bogor. Cuma kurang satu: Degung Cianjuran.

Di air terjun tingkat keempat, area kolamnya cukup luas dan dalam. Ini memungkinkan kita untuk terjun dengan gaya apa saja. Gaya sekelas peloncat indah Olimpiade London atau gaya batu sekalipun silakan. Di sinilah saya kembali memuaskan hasrat masa kecil dulu seperti waktu saya terjun dari ketinggian beton penahan air Sungai Cimanuk, Jatibarang, Indramayu.

 


Pemandangan bawah yang diambil dari ketinggian jalanan menuju Air Terjun Tingkat Tujuh (Foto koleksi pribadi).

Cemmana pula ini awak (Foto koleksi pribadi).

 

Bersama DJ-Ono di depan Air Terjun Tingkat Tujuh. Kok enggak pose berdua? Ini gantian ngambilnya. 😀 (Foto koleksi pribadi)

Gubug di atas air terjun. Bisa memandang segala. (Foto koleksi pribadi).

 

Kalau yang ini Air Terjun Tingkat Keduanya (Foto koleksi pribadi).

Nah yang ini, tingkat keempat. (Foto koleksi pribadi).

 

 

Siap-siap lompat (Foto koleksi pribadi).

 

 

Pokoknya seru banget dah di sini. Segar, senang-senang, renang-renang, terjun-terjun, selam-selam, foto-foto. Sensasinya beda sekali dengan sensasi saat menjalani kegemaran baru saya di Tapaktuan ini: snorkelling. Sensasi kesegaran dan amannya lebih terasa. Sudah barang tentu lebih aman di air terjun ini daripada di laut. Tidak perlu khawatir binatang laut berbisa, kedalaman palung, dan seretan ombak tentunya.

Tapi sayang, sayang, sayang, seribu kali sayang, untuk kedua kalinya dompet saya—dengan segala isinya—ikutan mandi. Kali ini mandi air tawar. Hari kemarin, saat snorkelling di tengah laut, saya tidak sadar kalau menyelamnya sambil bawa-bawa dompet di kantung bagian belakang. Untung tidak jatuh. Teman di pantai yang sedang santai-santai bilang, “Di sono
kagak ada warung kenapa bawa dompet segala.” Untuk kedua kalinya pula, apa yang ada di dalam dompet akan dikeringkan lagi. Ini pertanda apa?

Pada akhirnya selain untuk membunuh rindu, maka menikmati keindahan dan kesegaran adalah jalan jiwa mencari sebuah inspirasi. Untuk dituliskan. Dan saya persembahkan kepada Anda. Cukuplah apa yang dikatakan Umar Kayam, “Menulis, pada mulanya, ternyata adalah masalah kemauan yang pribadi sekali. Masalah determinasi. Selanjutnya, ternyata, boleh apa saja ikut terjadi…”

Di tengah kebosanan yang menjelma puncak Cartenz, belantara sepi yang menggoda fokus, samudera luas ketidaktahuan tentang apa yang mau ditulis lagi, saya tetap mencoba melanjutkan menggerakkan jari-jari saya di atas papan ketik komputer, sesulit apa pun. Dan menjelmalah ia menjadi apa yang sedang dibaca oleh Anda saat ini. Tentang air terjun yang pada sabitnya, tak ada satu pun bidadari turun dari pelangi untuk saya curi selendangnya.

 

***

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

19 Januari 2014

RIHLAH RIZA #24: JEJAKMU MERAKSASA, RINDUKU APALAGI


RIHLAH RIZA #24: JEJAKMU MERAKSASA, RINDUKU APALAGI

Atau biarkanlah ketika kangen yang meraksasa itu menusuk pusat pertahanan ketegaran, izinkanlah memuarakannya pada samudera keheningan yang bernama doa dan sajak. Seperti dua laki-laki ini.

**

Matahari duha bersinar hangat. Ini saat yang tepat menuju tempat yang menjadi ciri khas kota Tapaktuan: Tapak Raksasa Tuan Tapa. Enggak afdal jika berkunjung ke kota pala ini tetapi tidak mampir melihatnya. Dan baru kali ini—selama hampir tiga bulan di Tapaktuan—saya menyempatkan diri berkunjung. Itu pun karena mengantarkan teman-teman dari Kantor Pelayanan Pajak Pratama Meulaboh yang sedang silaturahmi ke Tapaktuan.

Seperti kebanyakan daerah wisata di Kabupaten Aceh Selatan ini yang potensinya kurang digarap maksimal, papan petunjuk arah menuju lokasi wisata jejak Tuan Tapa pun tidak ada sama sekali. Entah di pusat kota atau di lokasi wisatanya sendiri. Tidak ada juga plang atau papan informasi yang menceritakan legenda atau asal usul objek wisata itu seperti yang saya sering lihat ketika mengunjungi objek wisata atau situs bersejarah di Banda Aceh.

Bekas tapak berukuran besar itu terkait dengan legenda yang beredar di kalangan masyarakat Aceh Selatan. Yakni ketika sepasang naga bertarung dengan Tuan Tapa dalam rangka memperebutkan Putri Naga. Putri ini sebenarnya adalah anak manusia yang terombang-ambing dari kapal Cina yang karam. Putri itu lalu diasuh sepasang naga tersebut.

Dalam salah satu versi cerita, Tuan Tapa dimintakan bantuannya oleh orang tua sang putri. Mereka ingin mengambil kembali anak mereka dari cengkeraman sepasang naga. Tuan Tapa berkelahi dan berhasil membunuh naga jantan. Naga betina melarikan diri walaupun pada akhirnya tewas juga. Bekas-bekas pertempuran yang berserakan, antara lain tapak raksasa, tongkat, dan topi Tuan Tapa menjadi bukti dari legenda itu dan bisa disaksikan sampai sekarang. Namanya juga legenda, kita tidak pernah tahu realitas sesungguhnya dari cerita yang beredar dari mulut ke mulut masyarakat Aceh Selatan ini

Lokasi tersebut berada tidak jauh dari pelabuhan Tapaktuan. Tepatnya berada di belakang gedung olahraga. Untuk ke sana bisa ditempuh dengan mobil, motor, sepeda, atau jalan kaki. Semua kendaraan hanya bisa diparkirkan di kaki bukitnya. Kendaraan bus tentunya tidak bisa masuk. Tempat parkirnya berada di tepian laut. Satu garis dengan tembok pembatas pelabuhan. Ada semacam bangunan kecil di sana sebagai tempat istirahat atau pos. Dan perlu diperhatikan tidak ada orang yang menjaga kendaraan di sana. Pastikan semua terkunci dengan aman. Apalagi sepeda.

Dari tempat parkir itu naik ke atas bukit melalui jalan setapak yang sudah dibuat undakan semen. Berjalannya harus hati-hati karena di sebelah kiri undakan itu jurang dan laut dengan ombak yang besar. Tidak butuh waktu lama dan tenaga ekstra untuk bisa sampai ke bagian tertinggi undakan. Setelah itu kita menyusuri bebatuan hitam untuk bisa sampai ke tapak raksasanya. Batu-batu itu terjal sehingga harus tetap waspada melangkahinya.

Di atas batu-batu itulah—walaupun belum sampai ke titik akhir—kita akan benar-benar terpesona dengan keindahan alam yang memanjakan mata. Tempat ini bisa dijadikan tempat untuk berkhalwat dan berkontemplasi. Batu hitam, ombak besar yang menghantam pantai, semilir angin, pepohonan yang rindang adalah suasana yang mendukung dalam pencarian sebuah inspirasi.

Ada adat-istiadat yang harus dipegang saat mengunjunginya. Terutama sekali agar tidak bicara sembarangan dan tinggi hati. Sebenarnya tidak hanya di tempat itu, di mana pun adanya, sikap angkuh dan banyak cakap itu tidak terpuji. Ada lagi aturan penduduk setempat bagi perempuan pengunjung, yang boleh sampai ke jejak itu adalah perempuan yang tidak datang bulan. Kalau lagi datang bulan cukup melihatnya dari atas batu hitamnya saja. Tidak boleh mendekat. Aturan ini adalah bentuk kearifan lokal, turuti saja, dan bukan pada masalah angker atau keramatnya melainkan pada ketiadaan jaminan keselamatan yang ada.

Sampai di situsnya, jejak tapak itu, bolehlah kita ambil gambar tetapi jangan lupa pula untuk berhati-hati. Karena pernah kejadian, di hari keempat lebaran tahun 2013 lalu, ada tiga orang dimakan ombak. Kejadiannya persis jam-jam pagi seperti kedatangan kami ini. Dua orang tewas, salah satunya perempuan. Satu orang selamat walaupun dalam kondisi kritis. Jadi kalau mau foto-foto lihat posisi dan keadaan ombaknya. Jangan asal pose. Apalagi berpose di ujung kaki sambil duduk di tepian karangnya. Tepian karang itu dengan permukaan laut cukup tinggi, ini berarti ombak yang menerjang dan menelan bulat-bulat tiga orang itu adalah ombak yang sangat besar.

Setelah puas melihat-lihat, kami pun pulang. Sebenarnya ada undakan lagi menuju puncak Gunung Lampu ini. Undakan ini menuju menara pemancar yang kalau kita memanjatnya akan terlihat seluruh pemandangan kota Tapaktuan. Dari posisi teratas di bukit ini kita juga bisa melihat dan mengambil gambar jejak Tuan Tapa dari ketinggian. Tapi untuk hari ini kami cukup sampai di sini dulu. Suatu saat kami akan kembali dan menaiki puncak yang paling tingginya.

Jejak raksasa itu berada di ujung karang sebelah kiri, lihat bangunan kecil itu adalah semacam saung atau pos, di situlah kendaraan diparkirkan. Sedangkan gedung besar itu adalah gedung olahraga. (Foto Koleksi pribadi).

Jalan setapak menuju tapak raksasa Tuan Tapa (Foto koleksi pribadi).

Pemandangan pelabuhan angkutan barang dari Gunung Lampu (Foto koleksi pribadi).

Salah satu pemandangan pantai Tapaktuan yang diambil dari karang batu hitam (Foto koleksi Agung Pranoto EP).

Di atas jejak raksasa Tuan Tapa (Foto koleksi Agung Pranoto EP)

Bersama teman-teman KPP Pratama Meulaboh (Kika): Niko Andriansyah Kopa: Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi II, Agung Pranoto Eko Putro: Kepala Seksi Pemeriksaan dan Kepatuhan Internal, Tulus Mulyono Situmeang: Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi II KPP Pratama Tapaktuan, saya, Yan Permana: Account Representative KPP Pratama Tapaktuan, dan Agus Salim: Kepala Seksi Penagihan KPP Pratama Meulaboh, bercelana pendek hijau (Foto koleksi pribadi).

Cara ini, mengunjungi tempat-tempat indah di Tapaktuan, adalah cara tepat membunuh rindu yang serindu-rindunya, rindu yang bikin pilu sepilu-pilunya. Atau mengalihkan sejenak dari kepenatan mengembara savana kangen. Atau biarkanlah ketika kangen yang meraksasa itu menusuk pusat pertahanan ketegaran, izinkanlah memuarakannya pada samudera keheningan yang bernama doa dan sajak. Seperti dua laki-laki ini.

Di sebuah maghrib laki-laki yang satu mendoakan anak-anaknya. “Kalau aku kangen, aku bacakan Alfatihah untuk anak-anakku. Di halaman depan Alquran, sebelum surat Alfatihah, aku tempel pas foto mereka berdua. Dan sebelum aku tilawah, aku baca Alfatihah sambil memandangi foto mereka lalu aku cium fotonya satu per satu. Sebelum tidur, bila tidak capek sekali, Saya sebut nama dan mendoakan mereka. “

Laki-laki yang tak mau disebut namanya ini menambahkan, “Aku hanya mengingat nasihat Ibu saya. Kalau anak-anak itu tidak hanya cukup dipenuhi kebutuhan fisiknya saja. Aku juga harus prihatin untuk anak-anak. Puasa, salat malam, mendoakan mereka adalah laku prihatin itu. Mengusap-usap kepala mereka bila tidur dan membacakan doa-doa diubun-ubun mereka. Itu yang dilakukan ibu kepadaku.”

“Sampai sekarang aku belumlah sehebat ibuku. Ibu selalu berpuasa bila anak-anaknya akan dan sedang ujian. Selalu menghibur bila hasilnya tidak sesuai dengan keinginan kita. Sedoyo sampun dikersakke Gusti Allah, ” tambahnya lagi.

Di sebuah pagi, lelaki lain menuliskan rasa kangennya di buku catatan hariannya. “Semalam mau menelepon Mas Haqi, tapi telepon asramanya tidak ada yang mengangkat. Pagi ini pun demikian. Susah adanya. Padahal Abi sudah kangen sama Mas Haqi. Sudah setengah bulan lebih tak mengobrol dengannya. Tadi malam pun telepon rumah begitu. Mas Ayyasy sudah tidur. Kinan habis menangis. Waktu menerima telepon bekas-bekas tangisan menjejak di pita suaranya. Abi bilang, nanti sebentar lagi Abi pulang. Melihat di internet ada gambar kalian berdua, foto Mas Ayyasy dengan Kinan di samping patung unta, membuat kangen Abi bertambah saja Nak. “

Caramu melampiaskan kangen seperti apa?

***

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

Tapaktuan, 18 Januari 2014

RIHLAH RIZA #22: SEHARI MENJADI SINGA


RIHLAH RIZA #22: SEHARI MENJADI SINGA

 

“Hidupnya seekor singa sehari masih lebih berkenan ketimbang ratusan tahun hidupnya seekor serigala,” tegas Tipu Sultan di istananya di Seringapattam, Mysore, saat gerbang istana diserbu penjajah Inggris yang dibantu para kaptennya yang telah menjadi pengkhianat dan komprador. Penasehatnya menyarankan Tipu Sultan berkompromi dengan syarat-syarat dalam perjanjian yang disodorkan kepadanya. Tidak. Ia memilih menjadi syuhada.

**

Duha itu, jam sembilan pagi, kami berangkat menuju Kantor Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD) Kabupaten Simeulue. Letaknya di belakang Kantor Bupati Simeulue. Di sana kami diterima oleh Kepala DPPKAD. Kami membahas persiapan acara Serah Terima Pengelolaan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) yang akan digelar besok. Acara itu rencananya akan dihadiri oleh Sekretaris Daerah Kabupaten, Naskah bin Kamar. Sebagian dari kami kemudian memisahkan diri untuk memberikan konsultasi tentang perangkat lunak sistem informasi dan jaringan.

Jadi Kabupaten Simeulue ini merupakan pecahan dari Kabupaten Aceh Barat. Sejak tahun 1999 berpisah dari induknya dan beribu kota di Sinabang. Tempat KMP Sinabang bersandar. Letak ibu kota kabupaten ini berada di Kecamatan Simeulue Timur. Kotanya kecil. Pusing-pusing di sana tidak makan waktu banyak.

Di Sinabang ada masjid tertua namanya Masjid Raya Baiturrahmah. Kami singgah di hari pertama keberadaan kami di Pulau Simeulue untuk salat duhur di sana. Masjidnya sangat sederhana karena berdinding papan saja. Di sebelah masjid ini sedang dibangun masjid yang lebih besar dan kokoh lagi sebagai penggantinya. Kompleks masjid raya ini letaknya di persimpangan di depan Polsek Simeulue Timur dan Rumah Tahanan (Rutan) Cabang Sinabang.

Rutan ini jangan dikira seperti Rutan Salemba atau rutan-rutan lainnya yang bertembok tebal. DI sini rutannya cukup dengan dinding papan seadanya dan berpagar luar hanya dengan kawat biasa saja. Tidak ada pengamanan ketat seperti sebuah penjara, mungkin samudera yang mengelilingi pulau ini sudah menjadi tembok alami dan bikin jiper para tahanan yang mau melarikan diri. Pernah kejadian tahanan melarikan diri dengan menggergaji papan namun dipastikan tidak bisa keluar dari Simeulue. Polisi sudah sebar fotonya di pelabuhan.

Setelah salat kami menuju pelabuhan lama Sinabang yang sekarang tidak terpakai lagi. Dermaga utama terlihat masih baik namun dermaga untuk menambatkan tali dan dermaga yang berada di sebelah kiri terlihat rusak juga amblas. Pelabuhan ini tidak dipakai lagi untuk melayani feri menuju Pulau Sumatra. Kami tidak lama di sana. Ada yang harus kami tuju setelahnya. Tempat penangkaran lobster.

Letaknya dekat keramaian kota Sinabang. Tempat ini dimiliki oleh Wajib Pajak Kantor Pelayanan Pajak Pratama Tapaktuan bernama Mahlil. Ia pengusaha lobster dan ikan yang sudah berusaha lebih dari 20 tahun di bidang itu. Dari daratan kami harus menyeberangi semacam demaga papan kayu menuju tempat penangkarannya itu. Di samping dermaga tertambat kapal boat milik polisi air dan kapal kayu nelayan unik yang besar. Unik karena di setiap sisi kapal kayu berwarna merah ini terdapat semacam kayu panjang untuk menjaga keseimbangannya.

Pada saat kami datang pun Mahlil sedang menyiapkan lobster untuk dikirimkan ke Medan. Inilah saat pertama kali melihat dengan mata kepala sendiri dan memegang hewan laut invertebrata berpelindung luar yang keras. Otak pajak kami sudah mulai bekerja. Kalau setiap hari saja ada puluhan kilogram lobster yang dijual, berapa pendapatan yang diterima Mahlil sedangkan harga per kilogram lobster ini 250 ribu rupiah.

Mahlil selain menangkar lobster, juga menangkar jenis ikan kerapu tiger dan hiu. Semua hewan bernilai mahal ini didapatkan dari para nelayan yang menangkapnya dari tengah laut. Kebetulan kami pun melihat ada satu nelayan sedang menyandarkan sampannya lalu menjinjing hasil tangkapannya berupa kerapu tiger untuk dijual kepada Mahlil. Pengusaha ini menjual kembali kerapu tiger dengan harga 120 ribu rupiah per kilogramnya.

Kami tidak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk melihat penangkarannya. Mahlil membuat banyak petak keramba masing-masing berukuran sembilan meter persegi. Setiap petak keramba mempunyai jaring-jaring dan diberi nomor dengan memakai styrofoam. Di atas jaring itulah ditempatkan hiu berukuran kecil sepanjang satu meter, lobster, dan kerapu tiger. Tentu tidak dicampur.

Setelah puas melihat-lihat kami segera pergi menuju sebuah tempat di mana legenda tentang Simeulue bermula: Makam Tengku Diujung. Kami harus menempuh perjalanan sepanjang 67,8 kilometer dari Sinabang ke Desa Latak Ayah, tempat makam itu berada. Ini berarti kami harus berpindah lokasi dari sisi timur pulau Simeulue menuju sisi baratnya.

Empat per lima bagian perjalanan itu sudah pasti dilalui melalui pesisir pantai. Kami terpukau habis dengan pemandangan yang disuguhkannya. Pantai pasir putih, jejeran pohon kelapa, ombak yang pas buat surfing, dan
pegunungan di sisi kanan kami. Jalanan sepi dan hanya satu dua kendaraan yang kami susul, bahkan berpapasan dengan kendaraan lain pun tidak.

Kondisi jalan lumayan mulus, hanya pada saat di jembatan kami harus mengurangi kecepatan karena masih dalam perbaikan. Hampir seluruh jembatan yang kami lewati demikian adanya. Selain itu, seperti di daerah lainnya di provinsi Aceh, kami banyak melihat kumpulan kerbau yang merumput dan dibiarkan begitu saja. Tak ada gembalanya sama sekali.

Setelah lebih dari dua jam berkendara, akhirnya kami sampai. Makam ini berada di sebuah teluk. Kata penduduk setempat, di sekitar makam ini dulunya adalah pantai. Namun setelah adanya tsunami permukaan tanahnya naik sehingga garis pantai pun mundur puluhan meter. Daratannya menjadi bertambah luas. Konon katanya tsunami memang menghantam teluk ini, tapi tidak merusak sama sekali kompleks makamnya. Air membelah dan melewati begitu saja. Siapa Tengku Diujung ini?

Seperti diceritakan oleh Kepala DPPKAD sendiri kepada kami, dulu ada seorang ulama bernama Khaliilullaah yang berangkat haji dari Minangkabau, saat itu Minangkabau masih menjadi daerah kekuasaan Sultan Iskandar Muda. Ia singgah dulu di Aceh. Oleh Sang Sultan ia diminta untuk menunda keberangkatannya ke tanah suci Makkah. Ia ditugaskan untuk mengislamkan penduduk Pulau Simeulue. Keinginan Sang Sultan dituruti, ia bersama dayang istana yang kemudian menjadi istrinya pergi ke pulau itu untuk memulai dakwahnya di sana.

Di pulau itu ia bertemu dengan penguasa Pulau Simeulue yang bernama Songsong Bulu yang masih menganut paham animisme. Dua orang itu adu kesaktian yang pada akhirnya dimenangkan oleh sang ulama. Singkat cerita penduduk Simeulue pun memeluk Islam. Oleh para pengikutnya sang ulama digelari oleh para pengikutnya sebagai Tengku Diujung. Di akhir hayatnya Tengku Diujung dimakamkan di sebuah tempat yang kemudian dinamakan Latak Ayah. Latak itu berasal dari bahasa minang yang berarti letak. Bersebelahan dengan makam sang ulama terdapat makam sang istrinya.

Selesai berziarah kami mampir di warung sebelahnya. Warung ini berdiri di atas tambak dan persis di bibir teluk. Airnya berwarna hijau. Remaja dan anak-anak pun menjadikan teluk itu sebagai tempat bermain mereka. Berenang atau bersampan.

Pemilik warung juga merupakan penangkar lobster, ikan, dan hiu. Inilah tempat yang sering menjadi kunjungan bagi para pecinta lobster. Perjalanan lama dan melelahkan ini terbayar dengan kenikmatan Mr. Crab yang digoreng sampai berwarna merah itu. Dagingnya empuk dan manis. Ini pengalaman pertama saya makan lobster.

 

Sinabang-Latak Ayah (Google Maps Olahan)

Tempat Penangkaran Lobster milik Mahlil di Sinabang. (Foto koleksi pribadi).

 

Ini di Maldives bukan di Simeulue (@NatGeoID).

 

Nah, kalau ini asli di Latak Ayah. (Foto koleksi pribadi).

 

Pantai yang sudah menjadi daratan di Teluk Latak Ayah (Foto koleksi pribadi).

 


Pemandangan Lain Teluk Latak Ayah (Foto koleksi pribadi).


Makam Asysyaikh Khaliilullaah (Foto koleksi pribadi).

 


Anak-anak Nelayan (Foto Koleksi Pribadi).

Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul enam sore walau suasananya masih terang benderang. Kami pun segera beranjak pulang. Besok pagi masih ada yang harus kami selesaikan. Yang pasti seharian itu saya banyak mendapatkan pengalaman luar biasa. Jadi banyak tahu. Jadi banyak ngebatin kaya batin. Sehari di sini mengayakan sisi-sisi jiwa saya yang tidak pernah didapatkan dalam ratusan hari di Jakarta dan keramaiannya. Tapi baik singa atau pun jadi serigala mereka sama-sama hewan yang suka hidup berkelompok. Entah jadi salah satu dari keduanya, mereka tidak bisa hidup sendirian di luar kelompok dan keluarganya, di alam liar. Apalagi saya sebagai manusia. So…

***

 

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

di sebuah garis imajiner

12 Januari 2013

 

RIHLAH RIZA #21: LALI SELALI-LALINE


RIHLAH RIZA #21: LALI SELALI-LALINE

 

 

Padahal “rindu dendam” atau “cinta berahi” itu laksana Lautan Jawa, orang yang tidak berhati-hati mengayuh perahu memegang kemudi dan menjaga layar, karamlah ia diguling oleh ombak dan gelombang, hilang di tengah samudera yang luas itu, tidak akan tercapai selama-lamanya tanah tepi.

Sebuah petikan paragraf dalam novel Buya Hamka yang berjudul Di Bawah Lindungan Ka’bah. Tapi bagi saya “rindu dendam” atau “cinta berahi” tak sebanding dengan Lautan Jawa. Ia adalah Samudera Hindia. Dalam senyatanya Samudera Hindia telah dijelajahi dengan gagah berani oleh Sulaiman Al Mahiri di abad 16. Belum samudera yang lainnya. Tapi dunia abai. Karena ia orang Arab. Sepatutnya kita tak lali selali-laline. Lupa selupa-lupanya. Padahal selain sebagai seorang penjelajah samudera ia pun seorang penulis yang telah menyumbangkan ilmu pengetahuannya di abad pertengahan tentang ilmu kelautan, astronomi, dan geografi.

**

Kembali saya menaiki sebuah kapal laut setelah belasan tahun lewat. Dulu saya pernah mengarungi samudera menyeberangi Selat Sunda dari Pelabuhan Merak menuju Pelabuhan Bakauheni. Waktu itu dalam rangka menghadiri pernikahan sahabat. Sekarang, menuju ke Pulau Simeulue dalam rangka urusan pekerjaan.

Kapal yang akan menyeberangkan kami dari Pelabuhan Singkil menuju Pelabuhan Sinabang adalah KMP Teluk Sinabang. Kapal ini menjadi urat nadi perekonomian dan gerak pembangunan Pulau Simeulue. Jika rusak dan tidak ada penggantinya maka bisa dipastikan 86 ribu lebih penduduk Pulau Simeulue akan mengalami krisis sembako sebagaimana pernah diberitakan oleh media di bulan November 2013 lalu. Waktu itu KMP Teluk Sinabang mengalami kerusakan mesin.

“Barangkali deru mesin kapal laut membelah samudera ini adalah igaumu yang tak pernah sampai menjadi ode. Tak pernah terceritakan.”

Pukul 16.45 kami sudah berada di atas kapal. Kami pun sudah menempati kamar Anak Buah Kapal (ABK) yang disewa selama pelayaran ini. Kamar ABK letaknya di bagian bawah. Lebih bawah lagi daripada tempat parkir kendaraan. Bahkan bisa dipastikan kalau kamar ini berada di bawah permukaan air laut.

Jenis kamar ABK ini macam-macam. Ada kamar yang berisi satu atau dua tempat tidur, ada pula dengan dua ranjang bersusun. Saya menempati kamar terakhir ini. Kamarnya sempit tetapi muat untuk empat orang, berpendingin ruangan, dan bertelevisi.

Sang Nahkoda, Kapten Eko Medianto, seorang Pujakesuma (Putera Jawa kelahiran Sumatera) asal Medan ini memastikan kalau perjalanan pada nanti malam akan berjalan lancar, karena ombak dan arusnya yang tenang. Maksimal perjalanan ditempuh selama dua belas jam, paling cepat sepuluh jam dengan kecepatan 10 knot. Tentunya lebih cepat dan bertenaga daripada kapal “Karimata” di tahun 1927 yang membawa tokoh “saya” dalam novel Buya Hamka tadi. “Saya” selama empat belas hari terkatung-katung di lautan dari Pelabuhan Belawan menuju Jeddah.

Jam lima sore ini seharusnya kapal sudah membunyikan terompetnya yang ketiga kali sebagai tanda dimulainya pelayaran. Tapi walau sudah lewat dari jam lima kapal belum juga menutup pintu jembatannya. “Kita menunggu truk sayuran.  Sebentar lagi datang. Kalau ditinggal kita disalahkan. Ini sembako penting,” katanya.

Saya menaiki dek paling atas. Sebelumnya saya harus melalui dek tengah dengan deretan tempat duduk kelas ekonomi terlihat kosong. Sepertinya pelayaran sore ini ditempuh dengan sedikit penumpang. Di dek paling atas sebagiannya beratap, sebagian besarnya tidak. Di bawah atap ada meja-meja berbentuk bulat di depan meja kantin panjang. Sedangkan di bagian ujung dek yang tak beratap, di sisi yang menghadap ke bagian belakang kapal, terdapat dua kursi panjang, di tengahnya tiang tinggi dengan bendera merah putih berkibar-kibar ditiup angin laut.  Gagah segagah-gagahnya.

Saya menatap air laut di pelabuhan yang berwarna kecoklatan. Seperti warna Sungai Cimanuk di Indramayu. Saya tidak tahu mengapa bisa sampai berwarna seperti itu. Tapi kalau diperhatikan lebih seksama lagi, ini  tampak hanya di permukaannya saja. Ketika kapal berangkat dan mulai membelah air laut terlihatlah lapisan air di bawahnya yang berwarna khas, hijau dan biru. Air coklat itu tipis setipis-tipisnya seperti kulit ari.

Sambil duduk, berdiri, ngobrol, jalan-jalan di sekitar dek, saya sangat menikmati sore itu dari bibir kapal: bau laut, angin kecil, senja, matahari tenggelam, buih ombak di belakang kapal, deru mesin, langit kelabu, perahu nelayan, dan pemandangan segala di kejauhan. Kalau sudah demikian saya jadi teringat cerita pendek yang berjudul Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu bikinan Hamsad Rangkuti dan film Titanic besutan James Cameron. Saya tidak tahu apa yang membuat dua orang itu sama-sama mengaitkan hal-hal ini—laut, kapal, dan deknya—dengan keinginan wanita untuk bunuh diri.  Akhirnya pun sama, wanita itu tak jadi bunuh diri. Sebagai penyedap, ada pahlawan yang mencegah ritual tadi.

Ketika malam benar-benar menelan anak-anak cahaya barulah saya turun ke kamar. Ambil wudhu, lalu shalat jamak qashar, dan memeluk kantuk. Saya benar-benar tidur senatural-naturalnya. Tanpa menjadi Descartes yang bilang, “Aku berpikir, maka aku ada.” Di suatu tempat yang sering menjadi tempat tidurnya, sumber inspirasinya: pendiangan.

 Singkil Sinabang

Dari Singkil menuju Sinabang, Simeulue. (Gambar olah dari google map).

 Singkil Port

Pelabuhan Singkil kami tinggalkan (foto koleksi pribadi).

 

 Dek 1

Tempat terbaik untuk memandang segala, dek paling atas. (Foto koleksi pribadi).

 Dek Atas 2

Sudut lain dek paling atas. Baik pula untuk merenung di suatu malam. Habis senja, ada setumpuk gelombang datang menjadi angan. Dan aku tenggelam dalam lautan kata-kata. (Foto koleksi pribadi).

 

 Kamar ABK

Kamar ABK. Di bawah itu ranjang awak (saya). (Foto Koleksi pribadi).

 

Senja

Senja di sebuah ruang waktu. Namaku langit, dan kamu sebentuk siluet ungu di tepian cakrawala.

 

 

 Ruang Ekonomi

Ruang kelas ekonomi malam itu sepi.  (Foto Koleksi Pribadi)

 

Entah kenapa jam setengah dua malam saya terbangun.               Saya bangkit dari tempat tidur dan keluar kamar. Saya naik ke atas, melalui arena luas parkir kendaraan, naik ke kelas ekonomi, dan naik ke atas dek lagi. Sepi. Tidak ada orang sama sekali. Saya duduk di salah satu meja yang ada di sana. Mengambil hp dan menelepon orang di seberang sana. Teleponnya tidak diangkat. Ia masih terlelap di hari jadinya itu. 2 Januari 2014.

Omong kosong! Di tengah laut masih ada sinyal? Ya masih, walaupun seringnya hanya dapat EDGE. Tapi itu sudah cukup. Saya tidak tahu dari menara BTS yang mana sinyal ini didapat? Apa di kapal ini ada menara BTS? Itulah kelebihan daerah ini. Coba bayangkan, sepanjang perjalanan saya dari Tapaktuan ke Singkil sampai di tengah laut menuju Simeulue ini, ketersediaan sinyal akses telepon dan internetnya tidak ada “matinya”.  Walaupun juga ada blank spot tapi itu tidak lama. Di tengah samudera seperti ini saya masih bisa update status Facebook dan Twitter. Tapi jangan harap kalau di dalam kamar atau di bagian bawah kapal. Sinyal tidak ada sama sekali.

Saya memandang ke atas langit. Tidak ada awan yang menutupinya. Di atas penuh bintang. Rasi bintangnya pun tampak. Saya mencoba mencari petunjuk, dalam surat Annahl ayat ke-16 disebutkan, wabinnajmihum yahtaduun, dan dengan bintang-bintang itulah mereka mendapat petunjuk. Karena saya bukan nelayan apalagi seorang Sulaiman Al Mahiri, saya tetap saja gagal paham mana rasi kalajengking, mana domba jantan, dan mana-mana yang lainnya itu. Kemudian saya pun menatap laut dalam gelap.

Seperti bintang dan malam yang saling berbincang, begitulah semestinya aku dan laut saling memandang.

Saya menggigil sebentar karena angin yang tidak kencang ini. Tapi itu tak mengurangi keinginan saya untuk berlama-lama di sana. Ini tafakur alam setafakur-tafakurnya. Jarang saya mendapatkan suasana trance seperti ini—halah nggaya.

Merenung segala. Saya akui benarlah apa yang dikatakan teman-teman sejawat kalau nilai-nilai di Kementerian Keuangan—selain integritas, profesionalisme, sinergi, pelayanan, dan kesempurnaan itu perlu ditambah satu lagi dengan nilai Kesabaran. Sebenarnya kesabaran masih menjadi subordinat dari nilai-nilai integritas itu: berpikir, berkata, berperilaku, dan bertindak dengan baik dan benar serta memegang teguh kode etik dan prinsip-prinsip moral. Artinya orang yang sabar adalah merupakan bagian dari orang-orang yang teguh dengan prinsip moralnya.

Tapi itu belum cukup. Nilai kesabaran itu perlu dinaikkan menjadi dominan. Tak hanya sekadar menjadi sekunder. Dus, nilai ini sepertinya sudah menjadi nilai-nilai yang telah terinternalisasi dengan sendirinya tanpa diada-adakan dengan kegiatan semacam internalisasi corporate value, in-house training, outbond,  atau banyak istilah lainnya. Sebab satu hal, pegawai-pegawai di Kementerian Keuangan terutama di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) itu sudah sabarnya luar biasa.

Sabar dengan cacian dan hujatan dari pihak eksternal, sistem di internal, beban kerja, take home pay, cicilan yang menggunung, jaminan kesehatan seadanya, dikasih nilai kecil walau sudah bekerja mati-matian, ditempatkan jauh dari keluarga,  bekerja mencapai target penerimaan tanpa diberi empati, dan lain sebagainya. Luar biasa sabarnya.

Mengapa belum cukup kalau sekadar subordinat nilai-nilai kementerian, karena sabar itu dalam pandangan profetik adalah variabel kemenangan. Janji Rasulullah saw atas orang-orang sabar adalah surga. Nashir Sulaiman Al-Umr, penulis buku Hakikat Pertolongan dan Kemenangan, menyatakan kesabaran merupakan salah satu bentuk kemenangan terbesar. Dengan kesabaran seseorang akan mudah mewujudkan apa-apa yang dicita-citakannya. Begitulah adanya.

So, kalau DJP mau target penerimaannya—sebagai target kemenangan—tercapai manfaatkanlah sumber daya melimpah berupa kesabaran para pegawainya dengan baik sebaik-baiknya. Jadikanlah ini sebagai nilai dominan dari nilai-nilai Kementerian Keuangan. Ah, sudahlah.

Setelah perenungan itu telah menemukan titik zenitnya, jam tiga dini hari saya kembali ke kamar. Namun mata sudah tidak bisa dipejamkan lagi. Bahkan satu jam kemudian ketika tidur saya hampir pulas, pengeras suara dari awak kabin sudah terdengar, mengumumkan kalau sebentar lagi kapal akan berlabuh. Refleks saya bangkit dari ranjang dan membangunkan teman-teman yang lain. Kami pun segera berkemas.

Pelabuhan Sinabang masih tampak gelap. Waktu shubuh masih jauh. Kami turun belakangan daripada penumpang yang lain. Hari ini terbayang kami akan melakukan apa saja. Di pelosok ini, kami bekerja, maka kami ada.

Tak akan pernah lali selali-laline perjalanan tadi.

 

***

Catatan: Siapa pun adanya yang tidak setuju dengan tulisan feature ini silakan bikin tulisan setara, jangan sms, dan jangan email, jangan menggerutu, apatah lagi telepon. 😀

 

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

8 Januari 2014

 

RIHLAH RIZA #20: TIGA TAHUN DISINGKILKAN


RIHLAH RIZA #20: TIGA TAHUN DISINGKILKAN

 

Angin sepoi Musalla dan Sungai Ruknabad. Tak Mengizinkan hamba mengembara jauh.” Sebuah puisi dikirimkan Hafiz Syirazi—lirikus Persia, penyair jenius, pemilik lidah gaib (Lisanul Ghaib), penafsir kegaiban (Tarjumanul Asrar)—kepada Sultan Ahmad bin Owais-i-Jalair, penguasa Ilkhani. Hafiz menolak penguasa berbakat dari Baghdad itu mengundang dirinya dan melantunkan syair-syair indah di hadapan sang penguasa.

Sebuah kapal dari dua orang Saudagar Persia sudah menanti di Selat Hormuz untuk membawa Hafiz ke India. Hafiz sempat naik ke kapal tersebut. Namun ketika kapal hendak berangkat, badai datang. Hafiz pun turun dari kapal dan tidak jadi pergi. Sebagai pengganti dirinya, akhirnya ia cuma mengirimkan bait-bait syair kepada Sultan Mahmud, penguasa India pada saat itu. Tanah airnya tak mau melepas Hafiz jauh-jauh.

**

Tanggal satu di tahun baru seharusnya libur. Kami tidak. Kami harus mengawali perjalanan panjang sampai empat hari ke depan. Kami menuju Kabupaten Simeulue yang berada di Kepulauan Simeulue dalam rangka pengalihan pengelolaan Pajak Bumi dan Bangunan sektor Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2) dari Pemerintah Pusat dalam hal ini diwakili oleh Kantor Pelayanan Pajak Pratama Tapaktuan kepada Pemerintah Kabupaten Simeulue.

Perjalanan ini merupakan perjalanan road show kami di tiga kabupaten sebagai wilayah kerja KPP Pratama Tapaktuan. Selain Kabupaten Simeulue ada Kabupaten Aceh Barat Daya, biasa disingkat Abdya, dan Kabupaten Aceh Selatan. Sungguh, ini perjalanan yang tidak akan pernah dialami selagi saya tidak ditempatkan di daerah terpencil dan tertinggal ini. Saya tekankan dua kata terpencil dan tertinggal ini karena masih saja ada yang tidak percaya kalau Aceh Selatan disebut sebagai daerah demikian.

Pengertian Daerah Tertinggal seperti yang saya kutip dari situs Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal adalah daerah kabupaten yang masyarakat serta wilayahnya relatif kurang berkembang dibandingkan daerah lain dalam skala nasional. Suatu daerah dikategorikan sebagai daerah tertinggal, karena beberapa faktor penyebab, antara lain geografis, sumber daya alam, sumber daya manusia, prasarana dan sarana, daerah terisolasi, rawan konflik dan rawan bencana. Aceh Selatan masih termasuk ke dalam 183 daerah tertinggal di Indonesia.

Ketidakpercayaan mereka ini seperti ketidakpercayaan mereka melihat ada orang Jakarta seperti saya mau-maunya saja ditempatkan di daerah tersebut.  “Ini tugas Broh,” kata saya atau biasanya saya diam atas pernyataan tersebut. Hanya tersenyum dan tidak menanggapi. “Pasti enggak dekat dengan rezim yah,” kata mereka lagi.  Wadaw, rezim-reziman segala. Saya tak tahu rezim-reziman. Kalaupun ada, saya cuma tahu dan kenal dengan satu rezim yang Maha Luas kekuasaannya, “rezim” Allah.  Ah, sudahlah.

Menuju pulau Simeulue ini ada dua moda transportasi: naik pesawat Susi Air atau kapal laut. Yang paling efektif adalah tentunya naik pesawat. Masalahnya adalah awal tahun ini Susi Air tidak terbang karena dalam proses tender penerbangan perintis dan penyusunan jadwal terbang. Jadi kami tidak memilih moda ini. Satu-satunya jalan adalah dengan menggunakan kapal laut.

Acara penandatanganan berita acara pengalihan PBB P2 ini dijadwalkan pada hari Jumat. Sedangkan jadwal pemberangkatan kapal laut dari pelabuhan terdekat—satu jam dari Tapaktuan—yaitu Labuhan Haji ada pada malam Jum’atnya. Ini mefet. Jadi kami harus menyeberang hari Rabu malam dari pelabuhan Singkil. Berarti kami pun kudu berangkat pagi dari Tapaktuan menuju ibu kota Kabupaten Aceh Singkil ini.

Kabupaten Aceh Singkil merupakan kabupaten paling ujung di selatan Provinsi Aceh dan termasuk daerah tertinggal juga. Kami harus menempuh kurang lebih  223 kilometer selama enam jam perjalanan darat dari Tapaktuan menuju Pelabuhan Singkil.

Sepanjang perjalanan menyusuri Kabupaten Aceh Selatan kami disuguhi pemandangan pantai yang menakjubkan, namun memasuki Kabupaten Aceh Singkil selain pemandangan perbukitan yang indah kami juga ditampakkan kerusakan hutan akibat penebangan untuk pembukaan lahan kelapa sawit. Sangat disayangkan.

Selain itu ada beberapa pemandangan yang mirip saat kami melewati daerah di Singkil. Papan nama Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) yang kami temui di Rimo bentuknya sama dengan yang kami jumpai di Singkil. Sama-sama rusak berat. Saya tak tahu apakah bentuk papan nama seperti itu menjadi tanda ketertinggalan suatu daerah? Allahua’lam bishshawab. Yang pasti dua SPBU tersebut juga sama-sama kumuh.

Tidak ada KPP di Kabupaten Aceh Singkil.  Hanya ada Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP).  Kabupaten Aceh Singkil termasuk ke dalam wilayah kerja KPP Pratama Subulussalam. Kota Subulussalam mulanya merupakan bagian dari Kabupaten Aceh Singkil. Kemudian memekarkan diri menjadi sebuah kota di tahun 2007.

Ingat tentang para pahlawan hebat  DJP yang berkumpul di Lhokseumawe dalam rangka Forum Pelayanan dan KP2KP yang pernah saya tulis sebelumnya? Salah satunya adalah Pak Yusri Hasda. Dialah yang menjadi Kepala KP2KP Aceh Singkil. Kami mampir ke sana sebelum melaut dan menyeberang ke Pulau Simeulue.

Di KP2KP, kami berenam disuguhi kopi khas Aceh Ulee Kareng. Kopi yang biasa dibeli Pak Yusri Hasda di Meulaboh tempat tinggalnya sekarang. Setiap minggu ia pulang Ke Meulaboh menempuh ratusan kilometer selama sembilan jam perjalanan darat. Sudah tiga tahun ia menggawangi KP2KP dan menjalani ritual akhir pekan pulang pergi Singkil-Meulaboh.

Peta Tapaktuan SingkilPeta perjalanan dari Tapaktuan menuju Singkil. (Sumber Maps Google).

Plang SPBUPlang SPBU di Rimo dan Singkil. Hancur lebur seperti itu. (Foto koleksi pribadi).

Masjid SingkilKami singgah dulu di Masjid Baitusshalihin, Pulo Sarok Singkil (Foto Koleksi Pribadi).

KP2KP Aceh SingkilKP2KP Aceh Singkil (Foto Koleksi Pribadi).

Rumah Adat Singkil Rumah Adat Singkil (Foto Koleksi Pribadi).

 KMP SinabangDermaga Pelabuhan Singkil tempat berlabuh KMP Teluk Sinabang (Foto Koleksi Pribadi).

Ini benar-benar perjamuan yang tak main-main. Biasanya kami disuguhi kopi dalam gelas imut, sekarang kami harus minum kopi dari gelas besar dengan volume lebih dari 300 cc. Sebagai penikmat kopi pemula saya sangat menikmati kopi ini. Nikmat sekaligus mengenyangkan padahal sebelumnya kami telah menikmati makan siang di sebuah warung makan dekat dengan rumah adat Singkil, di salah satu sudut kota.

Jam empat sore kami beranjak menuju pelabuhan. Melewati rumah-rumah yang kena tsunami dan tak berpenghuni. Setengah bagian dari rumah itu sampai sekarang masih tenggelam. Kapal Motor Penyeberangan (KMP) yang akan kami naiki dijadwalkan berlayar jam lima sore ini. Kami tak perlu buru-buru karena tiga jam sebelumnya kami sudah membeli tiket penumpang dan mobil. Tiket kelas ekonomi seharga 38 ribu rupiah per orang. Sedangkan tarif tiket kendaraan sebesar 493 ribu rupiah.

Pelabuhan Singkil ini melayani tiga rute perjalanan kapal laut. Dari Singkil menuju Sinabang yang berada di Pulau Simeulue, Gunung Sitoli yang berada di Pulau Nias, dan Pulau Banyak. Tidak setiap hari kapal itu melayani rute tujuan. Karena kapal laut yang ada hanya dua yakni KMP Teluk Sinabang dan Teluk Singkil. KMP Teluk Sinabang inilah yang akan melayarkan kami menyeberangi Samudera Hindia menuju Pulau Simeulue.

Ini hari sudah sore saat kami memasuki kapal. Tapi matahari belumlah tenggelam. Masih tinggi di atas lengkung langit. Seharian perjalanan ini belumlah seberapa. Baru seperdelapannya saja dilewati. Tanda-tanda badai pun jelas tidak ada sama sekali. Langit cerah. Ombak dan angin tenang. Kiranya sudah ditakdirkan hari ini kalau saya tetap akan menyeberang ke Simeulue.

Tak ada keindahan Pantai Tapaktuan dan Gunung Leuser yang akan menghalangi saya pergi ke sana seperti keindahan Taman Musalla dan Sungai Ruknabad yang mampu menghalangi pengembaraan Hafiz Syirazi. Sepertinya tanah air yang baru dua bulan setengah saya tempati rela banget menjauhkan saya pergi dari pelukannya. Apalagi tanah air yang ada di Jekardah sana. Ikhlaaaaaaaas banget kayaknya. Ah, sudahlah…

***

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

05 Januari 2014

RIHLAH RIZA #19: JAUH KE MANA-MANA


RIHLAH RIZA #19: JAUH KE MANA-MANA

 

 

Bandara Kualanamu sudah menjadi titik-titik cahaya di bawah sana. Tiga orang dalam satu baris kursi pesawat Airbus A320 itu asyik membincangkan penempatan mereka. Terutama tentang sistem terbaru mutasi dan promosi di DJP. “Kita beruntung ditempatin di Medan. Deket ke mana-mana. Lebih enakan di sini daripada Aceh,” kata salah satu dari tiga orang itu. Mereka tak tahu satu orang yang duduk di belakang kursi mereka, ditempatkan di provinsi yang tak diinginkan mereka.              

**

Panglima Polim, tepatnya di bulan Desember 1903, datang ke Lhokseumawe untuk menyerah kepada Belanda.  Itu pun karena Belanda secara licik menangkap dan menyandera saudara-saudara terdekatnya. Ancamannya adalah membuang mereka dari Tanah Aceh. Ancaman sama yang pernah sukses dilakukan sebelumnya kepada Sang Sultan Muhammad Daud Syah. Cara ini efektif juga melemahkan perlawanan Panglima Polim. Cara keji Belanda:  menjauhkan pejuang dari homeland dan memisahkannya dari orang-orang yang dicintainya.

Lalu 110 tahun kemudian, giliran saya tiba di kota yang sama. Saya tidak pernah menyangka bisa berkunjung ke kota terbesar kedua di Aceh, Lhokseumawe ini. Saya seperti terpana pada ramai dan besarnya kota ini dibandingkan Tapaktuan.  Jalanan Banda Aceh menuju kota penghasil gas itu juga lebih lebar daripada jalanan Banda Aceh menuju Tapaktuan. Plus lebih hidup. Serupa Pantura Jawa minus tarlingnya.

Setelah mengikuti Forum Penagihan Kantor Wilayah (Kanwil) DJP yang berakhir sore itu di suatu hotel di sudut Banda Aceh, saya langsung dijemput oleh Mas Andy Purnomo untuk bareng menuju Lhokseumawe. Butuh waktu enam jam perjalanan darat menuju salah satu kota di pantai timur Aceh ini. Belum termasuk istirahat dua kali. Salah satunya makan malam di rumah makan terkenal di Sigli yang menyediakan ayam penyetnya.

Perjalanan berjalan lancar walaupun hujan mengiringi kami. Mobil yang dikemudikan teman kami, Rudy Zasmana, sampai di Lhokseumawe hampir jam satu malam.  Saya bersama Mas Andy menginap di hotel bintang tiga bernama Hotel Lido Graha. Namanya sama dengan suatu daerah wisata di Jawa Barat, di perbatasan antara Bogor dan Sukabumi.

Hotelnya setengah tua. Seperti hotel di tahun 80-an. Memasuki kamarnya pun tercium aroma lama. Hotel ini dimiliki oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Utara. Kabupaten ini dulu ibu kotanya Lhokseumawe, namun setelah Lhokseumawe dijadikan kota otonom maka ibu kotanya dipindahkan ke Lhoksukon.

Kalau di Aceh seringkali kita dengar nama daerah yang diawali atau diakhiri dengan kata Lhok. Seperti dua daerah yang disebut barusan. Ada juga Lhok Seumira, sebuah gampong yang ada di Bireuen atau  Meusale Lhok, salah satu gampong  di Kabupaten Aceh Besar. Di Tapaktuan ada gampong yang namanya Lhok Bengkuang dan Lhok Rukam. Kata lhok ini berasal dari bahasa Aceh yang artinya teluk, dalam, atau palung laut. Memang betul, dua daerah yang saya sebutkan terakhir itu lokasinya berada di teluk.

Saya harus segera beristirahat. Pagi-pagi saya kudu berangkat ke Kantor Pelayanan Pajak Pratama Lhokseumawe karena acaranya akan diselenggarakan di sana. Setelah bersih-bersih, minum vitamin, menarik selimut,  mematikan lampu, baca doa, mata saya pun langsung terpejam.  Terjerembab dalam mimpi. Mimpi yang rumit. Tak jelas.

Kali ini saya diminta bantuannya oleh Mas Andy Purnomo untuk berbagi ilmu kepenulisan kepada peserta Forum Pelayanan dan Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) se-Kanwil DJP Aceh. Mereka adalah para eselon empat yang terdiri dari tujuh Kepala Seksi Pelayanan dan empat belas Kepala KP2KP.

Forum ini diselenggarakan selama dua hari. Kepala Kanwil DJP Aceh, Bapak Mukhtar, memberikan sambutan dan sekaligus membuka acara itu. Setengah acara di hari pertama dijadwalkan untuk pemaparan permasalahan pelayanan kantor masing-masing, setengah acara berikutnya pelatihan menulis artikel. Di hari kedua, para peserta diajak untuk menyaksikan penandatanganan memorandum of understanding antara Kanwil DJP Aceh dengan Universitas Malikussaleh.

 ???????????????????????????????

Salah satu sesi di acara Forum Pelayanan (Foto Koleksi Pribadi)

Yang saya lakukan dalam pelatihan itu sebagian besarnya hanyalah menumbuhkan motivasi. Selebihnya terkait teknis penulisan artikel. Dengan kata lain softskill lebih saya utamakan daripada hardskill di sesi pelatihan itu. Salah satu softskill itu adalah motivasi.  Motivasi penting buat menulis. Kalau tak ada motivasi jelas tak akan bisa. Bagi saya menulis itu gampang dan bisa dilakukan oleh siapa saja asal punya dua syarat ini: tekad dan selalu menulis. Saya saja bisa mengapa Anda tidak bisa? Itu yang selalu saya katakan kepada para peserta pelatihan.

Tekad dan latihan terus menerus itu perlu, penting, dan wajib. Teknisnya senantiasa berkembang mengikuti kuantitas karya yang dihasilkan. Bagi seorang penulis, bahkan saya yang pemula ini, setiap hari adalah momentum belajar untuk menghasilkan karya yang berkualitas. Setiap proses ‘penciptaan’ tulisan adalah momentum terbaik untuk memperbaiki karya. Bahkan satu ilmu paling dasar dalam menulis pun baru saya ketahui pekan-pekan ini saja. Artinya? Belajar tak akan pernah berhenti walaupun sudah banyak tulisan yang dibuat.

Tips-tips menulis artikel sudah saya berikan dalam pelatihan itu. Selesainya, tinggal kemauan besar dari para peserta untuk mempraktikkan semua yang didapat. Jikalau masih ada hambatan seperti mental block—contohnya menulis itu butuh mood, menulis itu hanya buat orang yang punya bakat, tulisannya jelek—yang menghalangi untuk menulis, yakinlah bahwa semua mental block hasil dari otak kiri itu akan hilang hanya dengan cara menulis menggunakan otak kanan. Abaikan, jangan pedulikan apa pun ketika memulai menulis.  Tulis saja semua yang dirasa, dilihat, didengar, dan diraba. Tetaplah semangat. Yakinlah Anda bisa.

Dari Lhokseumawe saya kembali ke Banda Aceh dengan menggunakan travel L300 sore itu. Dengan menempuh rute yang sama saat berangkat. Sebagiannya akan menyusuri pegunungan Seulawah Agam. Ingat Seulawah tentunya ingat kepada sebuah pesawat angkut pertama yang dibeli dengan menggunakan uang sumbangan rakyat Aceh saat awal-awal berdirinya Republik Indonesia ini: Dakota RI-001 Seulawah. Kalau mau melihat asli dari pesawat ini datang saja ke Taman Mini Indonesia Indah, sedangkan untuk melihat replikanya bisa dilihat di Blang Padang, Banda Aceh.

Pada akhirnya, di tepian kaca jendela L300, sambil memandang keluar menembus kepekatan malam saya merenung. Semuanya selesai dikerjakan dan saya bahagia meninggalkan Lhokseumawe di belakang. Bahagia karena sudah berbagi sedikit pengetahuan yang dipunya kepada orang-orang hebat di garis depan pelayanan DJP di provinsi yang “jauh ke mana-mana” ini: Kepala Seksi Pelayanan dan Kepala KP2KP se-Kanwil DJP Aceh. Juga bisa bertemu dengan anggota Forum Shalahuddin yang sebelumnya saya mengira ia tidak berkantor di KPP Pratama Lhokseumawe. Semoga semua itu bermanfaat.

Kalau saja saya tidak ditempatkan di Tapaktuan atau provinsi yang jauh ke mana-mana ini sepertinya saya tidak akan pernah bisa berkunjung ke Lhokseumawe. Sepertinya pula saya tidak akan pernah singgah di suatu daerah, tempat saya membuat, menyunting, dan menyelesaikan akhir dari tulisan ini: Pekanbaru. Di sebuah bandara. Bandara Sultan Syarif Kasim II.

Plang Bandar Udara Internasional Sultan Syarif Kasim II (Foto Koleksi Pribadi)

 

***

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

Pekanbaru, Riau

08:29 29 Desember 2012

 

 

RIHLAH RIZA #18: NOTHING’S IMPOSSIBLE


RIHLAH RIZA #18: NOTHING’S IMPOSSIBLE

 

 

dt.common.streams.StreamServer

Ilustrasi Pohon Tumbang dari gazettenet.com

 

Hujan deras mengguyur sebuah kota di India. Jalanan lumayan padat saat itu. Sampai kemudian ada pohon tumbang jatuh menghalangi jalan. Untung pohon itu tidak menimpa apa pun. Walaupun jalanan ramai, tak ada satu pun yang bergerak untuk menggesernya. Sama sekali tidak ada.  Lalu muncul anak kecil yang mendorong pohon itu. Raut muka meringis sungguh-sungguh tertera di wajahnya karena tenaga yang berusaha ia keluarkan.

Ukuran tubuhnya saja jelas tidak mungkin akan bisa menggeser satu sentimeter pun. Ia memang tak bisa menggesernya. Tapi ia punya laku. Ia punya tekad. Laku dan tekad itulah yang membuang egoisme orang kota dan menggerakkan orang dewasa yang punya nalar itu untuk sama-sama turun membantunya. Laki dan perempuan, tua dan muda, semua turut menggeser tumbangan pohon di tengah hujan yang tak mau berhenti. Akhirnya mereka berhasil, hujan pun berhenti tiba-tiba, langit tersibak, matahari muncul, dan jalanan pun lancar kembali.

**

Hari ahad pekan itu saya harus kembali ke Tapaktuan dari Jakarta. Sesampainya di Medan petang hari. Dari Medan biasanya saya naik travel. Tapi kali ini saya diajak ikut rombongan teman yang tinggal di kota terbesar ketiga di Indonesia ini.

Jalanan sepanjang ratusan kilometer telah kami lalui. Di tengah perjalanan mobil yang kami tumpangi berenam ini tiba-tiba harus berhenti mendadak. Syukur, kecepatannya masih bisa dikendalikan. Kami merayakan sepi yang menyengat ketika mesin mobil dimatikan di tengah hutan seperti ini. Persis di depan kami, dalam jarak yang tidak terlalu jauh, sesuatu menghalangi jalan. Sepintas seperti susunan batu yang disemen dalam kepekatan dini hari.

Ternyata itu pohon besar. Tidak ada orang di sana seperti yang sudah-sudah sebagai modus pemalakan. Menebang dahan pohon, menaruhnya di tengah jalan, dan meminta uang kepada pengguna jalan di kegelapan malam. Sekarang, ini pohon yang sebenar-benarnya tumbang.

Tidak ada yang lain selain kami dalam beberapa saat. Kami sudah meninggalkan jauh rombongan mobil di belakang. Di depan kami, dari arah yang berlawanan, di balik pohon tumbang pun belum ada mobil juga. Hanya kami sendirian waktu itu.

Kami turun. Kami terpana. Banyak pertanyaan yang memenuhi kepala. Bagaimana caranya kami melewati halangan ini? Kami harus segera sampai di Tapaktuan sedangkan perjalanan masih jauh, masih beberapa jam lagi.  Tidak ada jalan memutar menuju daerah di depan kami, Kota Subulussalam. Ini satu-satunya jalan dari Medan menuju Tapaktuan.

Sebelumnya kami pun harus melewati jalan sempit yang berkelok-kelok, gelap, dan penuh kabut. Kabutnya tebal sehingga wiper mobil kami harus dinyalakan agar tidak ada air yang menghalangi pandangan. Jarak pandang pun terbatas. Teman kami, Dony Abdillah, yang memegang kemudi harus ekstra hati-hati. Pengalaman berbulan-bulan membawa mobil Medan-Tapaktuan pulang pergi di akhir pekan cukup menambah kewaspadaannya.

Pohon ini tumbang dari sisi kanan kami. Tebing dari sebuah pegunungan. Di sebelah kiri kami jurang. Dasarnya tidak tahu seberapa dalamnya. Gelap. Sepertinya pohon ini tumbang barusan saja. Karena jarak kami dengan mobil yang menyusul kami tak seberapa lama. Mobil itu melewati bagian jalan ini dan tepat beberapa detik atau menit kemudian pohon itu rubuh. Atau sebenarnya mereka jatuh ke dalam jurang itu, terdorong reruntuhan pohon. Kami tak tahu.

Dari arah yang berlawanan mulai muncul satu mobil. Supir dan penumpangnya turun. Mereka melihat apa yang telah menghalangi perjalanannya. Setelah mengetahui kondisi pohon yang jatuh ia bisa langsung ambil kesimpulan. Supir mobil sana di tengah keterpanaan kami yang begitu lama langsung ambil insiatif untuk menyingkirkan satu per satu. Saya pun langsung ambil bagian. Begitu pula teman-teman yang lain. Ini langkah yang tepat daripada kami hanya berdiam diri menunggu nasib selanjutnya, menanti bentuk pertolongan lain yang kami tak tahu seperti apa.

Kami harus patahkan ranting-rantingnya terlebih dahulu sebelum menyingkirkan batang pohon yang besar itu. Pohon ini ternyata pohon tua dan sudah lapuk. Kami kikis dengan tangan kosong semua yang menghalangi jalan. Tanah, dahan kecil, ranting, dan daun-daun kami terjunkan ke sisi kiri, ke jurang. Suara benda jatuh yang menyentuh dasar jurang terdengar lama sejak digelindingkan dari atas. Tanda jurangnya dalam.

Yang kami khawatirkan pada saat proses pembersihan itu adalah masih adanya reruntuhan di atas yang belum semuanya turun. Jangan-jangan ketika kami menarik ranting-ranting itu lalu longsoran tanahnya menghunjam ke bawah dan menimpa kami. Tapi kami tepis semua pikiran buruk itu. Alhamdulillah tidak terjadi apa-apa. Semua patahan dan longsoran yang bisa kami buang dengan alat ala kadarnya dapat kami singkirkan. Tinggal batang pohonnya.

Tak lama kemudian tempat itu mulai hidup. Mobil dari arah yang sama dan berlawanan sudah mulai menumpuk.  Juga bus besar. Ini sangat membantu kami. Artinya akan ada banyak tenaga tambahan untuk menyingkirkan halangan yang masih teronggok di tengah jalan.

Beberapa orang sudah mulai menggulingkan batang pohon yang besar itu. Pohon ini harus digulingkan ke jurang agar terbuka jalan untuk semua kendaraan dari dua arah.  Kalau Jika hanya digeser ke sisi kanan, maka hanya memberikan ruang untuk mobil berukuran sedang saja. Bus dan truk jelas tak akan bisa melewatinya. Tapi menggulingkan pohon itu ternyata sulit, karena di akarnya masih banyak tanah dan potongan dahan-dahan yang menumpuk. Pohon hanya bergeser sedikit.

“Itu harus disingkirkan satu per satu,” kata saya kepada mereka.

“Kapan selesainya?” kata salah satu dari mereka meruntuhkan harapan.

Bagi saya perkataan itu perkataan negatif. Saya yakin kalau satu demi satu, sedikit demi sedikit, bagian-bagian dari tanah dan tumpukan itu dibuang ke jurang—tidak sekadar dipinggirkan—maka lama kelamaan akan habis juga. Buktinya tidak akan mungkin di hadapan kami tinggal batang pohon itu saja jika kami tidak menyingkirkan satu demi satu semua ranting dan dahan-dahan sebelumnya.

Juga perkataan itu mengandung keegoisan tingkat tinggi karena hanya memikirkan kepentingan mobil berukuran sedang saja. Bus jelas tidak dipikirkan. Tapi apa mau dikata karena memang belum semua penumpang bus turun untuk turut membantu. Kalau semua turun, insya Allah akan selesai dalam waktu yang tidak lama. Tidak ada yang mustahil. Seperti yang Oz bilang dalam OZ The Great And Powerful: “Nothing’s impossible if you just put your mind to it.”

Tapi mereka bergeming. Juga penumpang bus tidak ada yang turun. Ya sudah, kami pun mengerjakan apa yang bisa kami kerjakan. Kami berenam berburu dengan waktu. Maka dengan bantuan tali, dorongan, daya ungkit dari potongan kayu di bawah pohon akhirnya pohon besar itu bisa digeser ke sisi kanan. Jalan terbuka pas untuk mobil pribadi. Bus dan truk tidak bisa lewat karena sebelah kanan jurang menganga gelap.

Setelah terbuka jalan, mobil-mobil kecil pun bergegas melaluinya dengan kesetanan. Seperti air lepas dari bendungan. Bahkan mobil kami yang paling depan pun disusul oleh banyak mobil dari antrian paling belakang. Jam sudah menunjukkan pukul tiga pagi saat itu. Saya tak tahu nasib para penumpang bus dan truk itu selanjutnya.

Hambatan seperti tanah longsor adalah salah satu risiko yang harus dilalui oleh para pelaju dari Kota Medan menuju Tapaktuan selain dipalak, mobil masuk sungai, masuk jurang, ban kempis, dan mesin mogok. Kami tidak akan pernah menghendaki kejadian itu menimpa kami tentunya.

Kejadian di sana memang ada laku dan tekad. Ikhtiar untuk berusaha menyingkirkan pohon. Laku dan tekad dari segelintir kami. Tapi itu tidak mampu menggerakkan banyak orang untuk turun bareng menyingkirkan segala. Laku dan tekad yang dipertunjukkan oleh anak kecil di atas cuma ada di televisi. Iklan sebuah minuman. Tidak menjadi nyata di sini. Di pinggiran hutan belantara ini. Maka nothing’s impossible pun tegas dibekap kabut dan benar-benar menjadi mustahil. Dini hari itu kami merayakan ketidakmungkinan dalam pikiran kami.

Beberapa jam kemudian kami tiba di Kota Tapaktuan. Jam enam pagi kota kecil ini masih sepi. Matahari pun belum bangun. Kami kemudian sukses menaruh jari di mesin finger print KPP Pratama Tapaktuan. Senin ini kami tidak terlambat. Itu berarti penghasilan kami tidak dipotong. Alhamdulillah.

Jika ada yang mengatakan kalau tidak mau dipotong ya jangan terlambat. Jika tidak mau terlambat berarti jalan dari Kota Medannya Minggu siang saja, jangan malam Seninnya. Coba yang berkata demikian untuk ditugaskan terlebih dahulu di sini.  Di daerah yang peringatan hari jadinya yang  ke-68 pada tanggal 28 Desember 2013 ini akan dihadiri oleh Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal. Semata bagi kami kebersamaan dengan keluarga menjadi saat-saat yang tak bisa dinilai dengan materi.

***

 

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

dini hari di tengah debur ombak

00:35  24 Desember 2013

 

 

 

RIHLAH RIZA #17: GEN SENGKUNI


RIHLAH RIZA #17: GEN SENGKUNI

Buat apa sejarah bagi masa sekarang? Karena pada pandangan modern yang semakin pragmatis sejarah itu tak bisa mengenyangkan. Sejarah itu percuma. Tapi ini salah. Karena—mengutip Anis Matta dalam Politik dan Sejarah—sejarah bukan saja metode untuk memahami masa lalu dan masa kini, melainkan juga menjadi jalan paling efektif menemukan alasan untuk tetap berharap bahwa esok hari cerita hidup kita akan lebih baik.

*

Ada yang tersisa saat meninggalkan Kerkhof Peutjoet. Saat membaca sebuah pamflet dalam sebuah papan pengumuman berkaca. Letaknya berada di luar pintu gerbang. Berada di halaman samping jalan utama. Pamfletnya berisi informasi tentang Kerkhof.

Nama Kherkof berasal dari Bahasa Belanda, yang berarti halaman gereja atau kuburan. Pintu gerbang ini pada awalnya dibangun tahun 1893 M dan terbuat dari batu bata. Di atas pintu tertulis: Untuk sahabat kita yang gugur di medan perang (Teks ini ditulis juga dalam bahasa Arab, Melayu, dan huruf Jawa).

Pada dinding terdapat deretan nama-nama pejuang yang dikubur di dalamnya beserta tahun meninggalnya. Semuanya berjumlah +/- 2.200 nama dan didominasi oleh tentara Kerajaan Hindia Belanda.

Ada yang ganjil dari pamflet yang dikeluarkan oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Banda Aceh ini. Di pamfletnya itu disebutkan “nama-nama pejuang” padahal yang dikuburkan di sana jelas-jelas para serdadu Belanda yang menembak, membunuh, dan membantai rakyat Aceh serta membakar Masjid Raya Baiturrahman. Lalu mengapa disebut pejuang?

Apa karena kuburan militer itu dirawat oleh yayasan milik Belanda yang bekerjasama dengan Pemerintah Kota Banda Aceh lalu melupakan posisi masing-masing pada saat sejarah ditulis dengan tinta darahnya? Apatah lagi yang mengeluarkan pamflet tersebut salah satu dinas di Kota Banda Aceh yang dananya berasal dari pajak yang dikumpulkan rakyat Aceh.

Lain soal kalau teks itu ada di dalam sebuah prasasti yang dibuat oleh Belanda sendiri atau ditulis di atas batu nisan mereka. Diukir dengan judul meninggal dengan tenang kek, dengan sekarat kek, dengan gegap gempita dan berdarah-darah kek, itu terserah yang di bawah dan yang punya batu nisan.

Apakah kita lupa tentang sebuah tragedi pembantaian yang dilakukan Belanda di Kuta Reh? Ribuan orang dibantai termasuk perempuan dan anak-anak di dalamnya. Ah, terlalu panjang menguraikan kebiadaban Van Daalen sebagai Gubernur Militer Aceh dalam ekspedisinya di Tanah Gayo dan Alas pada tahun 1904. Ingat dengan apa yang pernah saya tulis terdahulu di Bosch dan Kopi? Setelah sukses pembantaian tersebut Belanda pun mulai menanam kopi di Tanah Gayo. Sampai kini kopi Gayo menjadi komoditas ekspor yang terkenal di dunia karena memiliki kenikmatan dan aroma yang khas.

Plang Kerkhof Peutjoet (Foto koleksi pribadi).


Papan informasi yang berisi pamflet tentang Kerkhof. (Foto koleksi pribadi).

Lihat bocah kecil dalam foto itu yang luput dari pembantaian tentara marsose jahanam. (foto diambil dari sini)

Sambil berjalan meninggalkan Kerkhof Peutjoet menuju museum tsunami yang berada di sebelahnya saya sampai berpikir buat apa saya memikirkan kesalahan “kecil” dalam pamflet itu. Tak ada gunanya. Tak ada kaitannya dengan tugas saya sebagai pegawai pajak. Tak ada. Akankah memikirkan segala tentang sejarah itu akan menambah pundi-pundi kekayaan kita—itu frasa zaman kerajaan lampau di saat mereka masih menyimpan emas dalam pundi-pundi, dalam kondisi kekinian baca saja itu menjadi sisi debit rekening bank kita.

Tapi di saat menuliskan kembali perjalanan batin ke kuburan Belanda, juga setelah membaca narasi Anis Matta tentang kesejarahan maka saya pun menata ulang tentang pragmatisme sebatas perut itu.

Sejarah adalah cara membaca masa depan. Sejarah menjadi pedoman untuk masa yang akan datang bahwa tidak akan terulang lagi kesalahan dan kesedihan yang sama. Sejarah Aceh adalah sejarah perlawanan tanpa menyerah atas sebuah ketidakadilan dan kesewenang-wenangan yang dipertunjukkan dari sebuah bangsa kaphe yang tidak pandai berperang karena membunuh anak-anak, perempuan, dan orang yang sudah uzur. Sejarah tentang keberanian, menjunjung kemuliaan, dan cinta syahid yang ditunjukkan laki-laki atau perempuannya. Kemudian diteruskan kepada generasi setelahnya.

Ada gen kepahlawanan dalam kromosom anak keturunan mereka. Bukan gen sengkuni. Bukan sifat seorang Aceh menjilat, berkhianat, cinta kepada perpecahan, dan mudah menyerah tanpa usaha. Kalaupun demikian adanya ia keturunan dari karakter uleebalang—bangsawan bawahan sultan yang bekerja sama dengan Belanda. Uleebalang yang menjadi musuh sultan, ulama, dan rakyat Aceh.

Sejarah telah mengajarkan saya untuk tidak bertindak seperti uleebalang yang zalim, menarik pajak semena-mena bahkan menilep zakat untuk kepentingan sendiri. Sejarah telah benar-benar menambah pundi-pundi kekayaan saya, tepatnya kekayaan batin saya. Benarlah apa yang dikatakan Anis Matta, “Membaca sejarah adalah cara menemukan harapan. Harapanlah yang membuat kita rela dan berani melakukan kebajikan-kebajikan hari ini walaupun buah kebajikan itu akan dipetik mereka yang baru akan lahir esok hari.”

**

Kami tiba di pos penjagaan museum tsunami. Tertempel di kacanya jadwal buka museum. Ternyata kami datang terlambat. Jam buka pagi telah selesai. Museum akan dibuka kembali pada pukul dua siang. Masih satu jam lagi kami harus menunggu. Saya putuskan menuju hotel untuk check in. Untuk yang kedua kalinya saya gagal mengunjungi museum ini. Tapi tidaklah mengapa. Masih ada waktu lain untuk kembali. Seperti tekad Sultan Agung yang ingin kembali ke Batavia setelah gagal untuk kedua kali menaklukkannya. Tekad yang tidak pernah terwujud. Pada akhirnya.

Saya ingin kembali ke Banda Aceh. Pun, saya ingin kembali ke Batavia. Sejarah telah membuktikan. Tidak akan lama di sini. Asal semua itu atas kehendakNya. Siapa tahu? Bukankah sejarah adalah jalan paling efektif menemukan alasan untuk tetap berharap? Membaca sejarah adalah membaca harapan. Membaca harapan adalah laku menjaga kewarasan. Kewarasan di Tapaktuan ini. Agar tak menjadi Sengkuni.

Terimong geunaseh.

***

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

Tapaktuan, 15 Desember 2013

RIHLAH RIZA #16: DARI KERKHOF KE KERKHOF


RIHLAH RIZA #16: DARI KERKHOF KE KERKHOF

 

Melihatnya, ini menjelma diorama. Sebuah bahtera yang berlayar. Bahtera besar. Bahtera Nuh. Berlayar tidaklah di lautan. Melainkan di kuburan. Raga saya berada di sini. Pikiran saya bertamasya. Bahkan terperangkap dalam sebuah kesan. Persis seperti saat membaca satu kalimat dalam sebuah naskah cerpen yang disodorkan kepada saya, satir dan surealisme. “Karena kau telah memelihara anak kembarku: luka dan perih.”

**

Lebih baik pilih mana menempuh perjalanan darat selama delapan jam atau naik pesawat kecil dan jarak 500 km lebih itu ditempuh cukup dengan 65 menit saja? Tentu saya akan memilih yang terakhir. Juga karena tidak ada transportasi jarak jauh di siang hari seperti di Jawa. Semuanya bergerak setelah azan isya berkumandang. Kalau pun ada angkutan di siang hari itu pun harus ngompreng dari kota ke kota. Masalah harga, semuanya ada harga yang harus dibayar atas sebuah efisiensi dan kenyamanan.

Pesawat kecil itulah yang mengantarkan saya ke Banda Aceh dari Tapaktuan. Saya menunggu sebentar di Bandara Internasional Iskandar Muda yang masih sepi. Tak lama kemudian Rachmad Fibrian datang dengan kijangnya menjemput saya. Memet, panggilan akrabnya, adalah pelaksana di Seksi Penagihan Kantor Pelayanan Pajak Pratama Tapaktuan. Nanti dia yang akan mendampingi saya di Forum Penagihan se-Kantor Wilayah (Kanwil) Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Aceh. Selain itu ada Fahrul Hady, jurusita KPP Pratama Tapaktuan yang juga ikut dalam forum tersebut.

Memet mengajak saya untuk sarapan dan ngupi di kedai kopi asli Aceh, kopi Beurawe. Di jam sepuluh pagi itu, kedai masih dipenuhi dengan para pengunjung. “Jam ramainya memang di siang hari sesuai jam buka warung. Kalau malam malah tutup,” jelas Memet.

Antara ada dan tiada, perut saya sudah mulai merajuk. Makanan ringan di pesawat masih kurang nendang rupanya. Mungkin perlu makanan yang nendangnya selevel tendangan David Eric Hirst. Kecepatan tendangannya bisa mencapai 186 km/jam saat bermain untuk Sheffield Wednesday di tahun 1996. Akhirnya saya memesan nasi gurih dengan dendeng sapinya. Ditambah satu gelas kopi Beurawe tentunya.

“Waktu check-in hotelnya masih lama, saya punya niat untuk mampir ke museum tsunami. Bisa nganterin gak Met?”

“Siap, Pak.”

Rasa penasaran terhadap museum itu kiranya akan tertuntaskan hari ini. Waktu kunjungan pertama ke Banda Aceh saat pelantikan dulu saya tidak sempat mampir ke museum itu. Tak tahu mengapa daya tariknya begitu kuat. Ini seperti obsesif kompulsif. Tapi tak parah-parah amatlah. Entah karena desain bangunannya yang menarik, isi museum itu yang kata banyak orang menyalakan elan kita agar tak putus asa terhadap takdir, atau karena latar belakang semuanya itu berupa kiamat kecil bernama tsunami.

Setelah telepon sana telepon sini dikarenakan ada perubahan jadwal dan tempat untuk kehadiran saya di Forum Pelayanan setelah Forum Penagihan selesai, saya dan Memet pun angkat kaki dari kedai itu. Kami segera menuju museum. Tak lama kami sudah sampai di sana. Memet mengarahkan mobil ke lokasi sebelah. Halamannya luas dan cocok buat memarkirkan mobil kami. Dan inilah takdir saya hari itu.

Ternyata halaman itu adalah halaman kuburan militer Belanda yang disebut juga dengan Kerkhof Peutjoet. Di sinilah tempat dikuburkannya dua orang yang sempat saya sebutkan di tulisan terdahulu. Mereka adalah Mayor Jenderal Johan Harmen Rudolf Kohler dan Meurah Pupok. Kohler adalah jenderal Belanda yang tewas tertembak prajurit Kesultanan Aceh pada tanggal 14 April 1873 setelah membakar Masjid Raya Baiturrahman.

Sedangkan Meurah Pupok adalah adik Sultan Iskandar Muda yang dihukum mati oleh kakaknya karena telah berzinah dengan istri perwira. Dari literatur yang saya dapatkan Meurah Pupok merupakan adik sultan, tetapi dalam papan petunjuk yang dibuat oleh Dinas Kebudayaan Provinsi Aceh di tahun 2005 disebutkan kalau Meurah Pupok adalah putra sang sultan sendiri. Peristiwa itulah yang mengenalkan kalimat kuat sang sultan: “Mate anak meupat jirat, gadoh adat pat tamita. Mati anak ada makamnya, mati hukum ke mana akan dicari keadilan.”

Saya tidak berniat mengunjungi kuburan militer Belanda ini. Pun karena saya tak tahu ada lokasi itu di samping museum tsunami. Ketidaksengajaan yang malah membuat saya kaya akan pengalaman tempat-tempat bersejarah.

Kuburan militer ini berpintu gerbang besar. Di atas pintu gerbangnya terdapat teks dalam berbagai bahasa. Di dinding-dinding sampingnya terdapat marmer bertuliskan nama-nama prajurit dari berbagai daerah pertempuran yang dikuburkan di sana. Mulai dari pertempuran awal semisal pertempuran di Masjid Raya yang terjadi di tahun 1873 sampai yang terakhir. Marmer-marmer berisi nama itu pun memenuhi dinding lorong pintu gerbang kuburan hingga di sebelah dalam pintu gerbang.

Tidak hanya prajurit dengan nama-nama londo yang tercantum dalam marmer prasasti di sana, ada juga prajurit dengan nama Ambon, Jawa, dan Manado. Prajurit-prajurit bernama pribumi tersebut adalah bagian dari prajurit marsose Belanda.

Setelah memasuki pintu gerbang kita akan diperlihatkan hamparan tanah luas berisi makam-makam dengan batu nisannya yang besar-besar. Bahkan ada yang paling besarnya di ujung jalan utama pintu gerbang. Namun sebelum ke ujungnya, selurusan dengan pintu gerbang, terdapat tugu besar berwarna putih yang sebenarnya adalah batu nisan dari Kohler.

Di situlah Kohler dikubur. Sebenarnya setelah tewas, mayat Kohler dibawa ke Batavia. Lalu dikuburkan di Kerkhof Laan, Pemakaman Umum Kebon Jahe, Kober, Tanah Abang. Karena ada perkembangan kota Jakarta makam tersebut digusur dan dipindahkan ke kuburan militer Belanda di Kerkhof Peutjoet ini.

“Simbol ular gigit buntutnya sendiri ini berarti simbol apa?” tanya Memet melihat relief yang ada pada salah satu sisi batu nisan Kohler. “Ini pasti ada artinya.” Saya tak menjawabnya karena saya masih mengamati setiap detilnya. Juga karena sama-sama tak tahu maksud dari simbol itu.

Di setiap sudut batu nisan itu diukir dengan tiang berbentuk obor yang terbalik dan dicat warna emas. Di setiap sisinya, di bagian atas, terdapat simbol bintang. Juga ada keterangan-keterangan dalam bahasa Belanda yang menerangkan tanggal kematiannya di Masjid Raya. Keterangan itu antara lain tanggal dikuburkannya di Kerkhof ini yaitu 19 Mei 1978. Kemudian ada dua simbol ular menggigit buntutnya sendiri. Satu simbol berada tepat di tengah salah satu sisi nisan dengan warna cat biru dan hitam. Satu lagi di sisi yang lain dengan bentuk yang lebih kecil dan tanpa warna.

 

Gerbang Utama Kerkhof. Dilihat dari sisi dalam. (Foto koleksi pribadi).

 

Prasasti di depan pintu gerbang. Berisi nama-nama prajurit Belanda yang tewas dalam pertempuran. Salah satunya di Missigit Raiya (Foto koleksi pribadi).

Hamparan kuburan di Kerkhoff (foto koleksi pribadi).

 

Jalan utama Kerkhof (Foto koleksi pribadi).

 

Batu nisan Kohler. Lihat simbolnya. (Foto koleksi pribadi).

 

Ouroboros di Batu Nisan Kohler (Foto koleksi pribadi).

 

Jalanan rindang di kerkhof (foto koleksi pribadi).

 

Makam Meurah Pupok (Foto koleksi pribadi)

 

 

Baru setelah kunjungan itu saya mengetahui arti simbol tersebut dari apa yang ditulis oleh Rizki Ridyasmara. Menurut Rizki, Kerkhof Laan yang di Tanah Abang itu berubah nama menjadi Museum Taman Prasasti. Di sana terdapat prasasti batu nisan Kohler tempat tulang belulangnya dikubur sebelum dipindah ke Banda Aceh. Persis sama dengan apa yang ada di Kerkhof Peutjoet. Bedanya pada warna dan sedikit ornamen nisannya.

Tidak ada warna emas dan biru pada prasasti Kober ini. Prasasti dibiarkan seperti warna khas batu alam. Bentuk bintang yang tercetak adalah bintang david, ini berarti simbol bahwa orang yang dimakamkan adalah orang yahudi. Sedangkan simbol ular gigit ekornya sendiri yang dikenal dengan istilah Ouroboros, menurut Rizki, termasuk simbol setan yang berasal dari kelompok Brotherhood of Snake. Ouroboros ini juga merupakan simbol yang dipakai oleh Freemasonry. Dengan kata lain Kohler ini bukan Yahudi sembarangan.

Kami menyusuri jalanan setapak yang rindang dengan pepohonan untuk melihat-lihat kuburan prajurit Belanda lainnya. Berjalan di kompleks pekuburan ini seperti berjalan di taman kota saking terawatnya. Tidak terasa aroma mistisnya di siang bolong itu. Tidak ada tuh yang namanya angin kencang berhembus tiba-tiba, pepohonan yang bergoyang dahan dan rantingnya, desau angin yang keras, langit yang mendadak menghitam, atau sesuatu yang mengintip kami dari kejauhan di balik batu nisan. Tidak ada. Tidak. Itu hanya ada di film.

Kemudian sampailah kami pada sebuah area pekuburan yang diberi pagar khusus. Di luar pagar terdapat tiga plang yang memberikan informasi tentang siapa yang dikubur di tempat itu. Di dalamnya terdapat pohon besar. Kelebatannya menaungi dua makam yang ada di sana. Dari bentuk makamnya sudah jelas itu bukan makam orang Belanda. Ini makam orang Islam. Batu nisannya dibalut dengan kain putih. Kuburan itulah kuburan Meurah Pupok. Sedangkan kuburan lain dengan nisan tanpa balutan kain putih berukuran lebih kecil.

Sungguh saya tak pernah menyangka bahwa saya akan hadir di tempat ini. Tak menyangka pula kalau kuburan Meurah Pupok itu ada. Karena saya mengira sebelumnya bahwa Meurah Pupok itu hanyalah sekadar cameo dalam sebuah fragmen sejarah Iskandar Muda. Di masa itu ia pendosa layak dilupakan. Lalu buat apa lestari jejaknya hingga saat ini. Ternyata ia ada. Dalam kuburan tentunya. Beserta ceritanya yang hitam.

Setelah berlama-lama di sana kami pun sadar bahwa tujuan kami bukanlah tempat itu, melainkan museum tsunami. Kami pun bergegas keluar. Tapi di saat menyusuri jalanan menuju pintu gerbang itu saya tersentak melihat kuburan yang berserakan itu dengan latar belakang museum tsunami dari kejauhan. Ini menjelma diorama. Sebuah bahtera yang berlayar. Bahtera besar. Bahtera Nuh. Berlayar tidaklah di lautan. Melainkan di kuburan.

Sitor Situmorang mendadak singgah di kepala saya dan bersajak “Malam Lebaran” dengan satu kalimatnya yang terkenal: “Bulan di atas kuburan”. Saat itu Sitor kemalaman dan kesasar setelah gagal berkunjung ke rumah Pramoedya Ananta Toer. Ia melewati sebuah tempat yang dipenuhi dengan pohon-pohon tua, rimbun, dan dikelilingi oleh tembok. Ia penasaran ingin melihat apa yang ada di balik tembok itu. Lalu ia mengintip. Ternyata pekuburan orang eropa berwarna putih penuh salib yang tertimpa cahaya bulan di sela-sela dayangan dedaunan pepohonan. Pikirannya terperangkap dalam sebuah tamasya penuh kesan. Lalu tertulislah kata-kata itu. Entah mengapa feeling saya menyatakan-walau tidak disebut Sitor secara lengkap—bahwa tempat pekuburan itu adalah Kerkhof Laan, Kober, Tanah Abang.

Maka bolehlah saya juga membuatnya, siang itu, saat saya bertamasya raga, saat pikiran saya terperangkap kesan di sebuah Kerkhof Peutjoet, sebuah sajak berjuduk Siang Berisik.

Siang Berisik

Berlayar di atas kuburan.

Sudah cukup.

Berlayar di atas kuburan. (Foto koleksi pribadi)

 

***

 

 

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

11 Desember 2013