RIHLAH RIZA #54: Tumbang di Bawah Pohon Geulumpang



“Tell me, and l will listen.

Show me, and l will understand.

Take me in, and l will learn.”

~~Charles Eastman dalam Bury My Heart at Wounded Knee

Setelah berkali-kali ke Banda Aceh, akhirnya bisa juga menyempatkan diri untuk salat di masjid yang menjadi ikon kota itu, Masjid Raya Baiturrahman. Salatnya pun salat tarawih di pertengahan Ramadhan 1435 lalu. Suasananya ramai penuh jamaah. Namun tidak mengurangi kekhusyukan ibadah.

Baca Lebih Lanjut.

Advertisement

RIHLAH RIZA #26: MEREKA YANG TAK PUNYA KUASA


RIHLAH RIZA #26: MEREKA YANG TAK PUNYA KUASA

 

 

Kamu, rasa, dan luka seperti tak berjarak, tak terpisahkan.

(Retta Pangaribuan, 22 Agustus 2013)

**

Senin siang itu, rapat yang berlangsung di gedung Sekretaris Daerah Kabupaten Aceh Selatan ini berjalan seru. Sang Bupati di hadapan wakil dari dua perusahaan perkebunan kelapa sawit itu sampai bilang, “Jangan berharap saya akan berada di pihak Anda. Saya dan rakyat Aceh Selatan akan bersama-sama berhadapan dengan Anda.”

Sang Bupati ini mengundang dua pengusaha perkebunan kelapa sawit karena mendengar keresahan dari masyarakat sekitar yang tidak mendapatkan keuntungan sama sekali dengan keberadaan perkebunan tersebut. Sistem plasma yang tidak berjalan, program Corporate Social Responsibility (CSR) yang tidak pernah direalisasikan, sengketa lahan, pembunuhan satwa langka, Pajak Bumi dan Bangunan terkait penentuan luas lahan dengan kabupaten tetangga adalah beberapa permasalahan  yang dibahas dalam rapat itu.

Kebetulan saya bersama DJ-Ono dan Bang Dirman sebagai wakil dari Kantor Pelayanan Pajak Pratama Tapaktuan bisa ikut menghadirinya. Kami diminta menjelaskan data luas lahan kebun sawit dari dua perusahaan ini apakah  sudah benar dengan penjelasan mereka. Ikut hadir dalam rapat memberikan gambaran kepada saya tentang bagaimana jalannya rapat bersama orang nomor satu di kabupaten pelosok ini.

Dua wakil perusahaan itu tidak bisa berkata-kata lagi ketika disodorkan fakta-fakta dari Bupati dan jajarannya. Mereka hanya bisa bilang semua akan diteruskan kepada direkturnya masing-masing. “Kalau saya tahu yang datang cuma sekelas manajer, bukan direkturnya langsung, saya tak akan hadiri rapat ini. Direktur Anda yang seharusnya datang ke sini, tidak diwakilkan. Kita adakan pertemuan sekali lagi.”

Wajar saja bupati bisa bilang seperti ini sampai pengusaha termehek-mehek, karena dia punya kuasa. Segala perizinan di tangannya. Saya bisa membayangkan kalau Kepala Kantor Pelayanan Pajak punya kekuasaan seperti ini. Tak ada ceritanya tuh Wajib Pajak tak datang walau sudah diundang berulang-ulang kali untuk membahas penyelesaian utang pajak.

Rapat hampir selesai ketika hp di saku bergetar. Saya intip nomor siapa yang menghubungi saya. Ternyata Ummu Kinan. Belum sempat saya matikan, hp sudah mati sendiri. Low battery. Setengah jam kemudian saya sudah ada di kantor, saya nyalakan hp, dan langsung lemas ketika membaca sms yang masuk pertama kali, “Mas, ibu gak obah meneh.”  Ibu mertua yang sudah lama sakit dan barusan saya telepon tadi malam agar ia meminum obatnya dengan teratur meninggal sekitar duha tadi.

Mendengar itu  saya langsung mengubah semua rencana. Niatnya nanti malam saya berangkat ke Banda Aceh dengan naik travel untuk mengikuti rekonsiliasi Seksi Penagihan selama hampir sepekan, sekaligus jelajah Sabang di akhir pekannya. Tapi rencana tinggal rencana, semua yang indah-indah buyar seketika.

Saya harus pulang ke Semarang sekarang. Saya harus ke Medan dulu. Tapi pakai apa? Tak ada transportasi di siang bolong seperti ini. Travel ke Medan mulai beroperasi nanti malam. Sedangkan saya sudah ketinggalan pesawat Susi Air yang berangkat jam delapan pagi tadi. Itu pun tidak setiap hari ada. Pesawat Susi Air yang ada di Blangpidie, satu setengah jam dari Tapaktuan, sudah berangkat jam sepuluh pagi tadi juga. Ngompreng pun bukan pilihan tepat, delapan jam perjalanan lebih ke Kualanamu tidak memungkinkan untuk mengejar pesawat terakhir. Barulah saya merasakan seterpencil-terpencilnya Tapaktuan ini pada saat itu. Tak bisa gerak ke mana-mana.

Jam delapan malam, travel menjemput. Alhamdulillah saya dapat tempat duduk di sebelah supir. Selain saya dan supir ada empat orang lainnya. Salah satunya mau dibawa ke rumah sakit di Medan karena sedang sakit jantung. Perjalanan darat berjam-jam itu disertai erangan yang menyedihkan.

Sampai di Stasiun Kereta Api Medan jam enam pagi pas.  Saya salat subuh dulu. Padahal kereta api yang menuju Bandara Kualanamu sebentar lagi berangkat. Sepertinya saya harus melewatkan jadwal terdekat ini. Saya menunggu kereta api berikutnya yang akan datang satu jam kemudian.

Di pagi yang sama, jenazah Almarhumah ibu telah siap-siap diberangkatkan ke Magelang untuk dikuburkan di sana. Ini sebuah tanda kalau saya tak bisa melihat ibu mertua untuk yang terakhir kali. Saya tak akan bisa ikut menyalatinya, menggotong kerandanya, mengantarkannya ke kuburan, atau menerima tubuhnya dari bawah liang kubur. Sepertinya cukup dengan mendengar suaranya saja di malam sebelumnya itu. Sedangkan Ummu Kinan dan anak-anak sudah sampai di Semarang semalam dengan menggunakan kereta api Jakarta Semarang.

Singkat cerita saya terbang dari Bandara Kualanamu menuju Jakarta dengan pesawat jam dua siang. Ini pun setelah delay berjam-jam. Sampai di Jakarta menunggu berjam-jam kembali pesawat yang akan membawa saya ke Semarang. Baru jam setengah delapan malam saya meninggalkan Jakarta.  Dua jam berikutnya barulah saya bisa sampai di rumah. Tepar sudah. Perjalanan 25 jam lebih itu membuat lelah raga dan jiwa saya. Saat itu, hanya air wudhu, selembar sajadah,  dan salat menjadi sebaik-baik sarana untuk rehat serehat-rehatnya. Menumpahkan segala. Allahummaghfirlaha warhamha wa’afihi wa’fu’anha.

Di situlah saya menyadari bahwa manusia bisa berencana, tetapi Allah swt yang punya kehendak. Dia yang punya kuasa. Dia maha segala-galanya. Kita boleh saja merencanakan dengan detil apa yang akan kita lakukan lalu membayangkan kenikmatan-kenikmatan yang akan dirasakan tetapi tak akan pernah terjadi kalau Allah tidak menghendakinya. Di sanalah, perlunya sikap tawakal atas semua yang telah  dan akan terjadi.

Setelah kejadian ini, harap terbesar ketika saya berada di Tapaktuan, Ummu Kinan, anak-anak, dan Bapak sehat-sehat saja. Lahir dan batin mereka. Tidak ada luka dan pilu. Harapan sama dari semua teman-teman saya di DJP yang sedang berpisah dengan keluarganya. Entah itu pelaksana ataupun yang sudah eselon II.  Entah mereka yang sedang belajar atau bertugas. Mereka juga sama-sama manusianya.  Tidak punya kuasa sama sekali.

 

***
Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

Tapaktuan, 06 Februari 2014.

* Mas, Ibu gak obah meneh = Mas Ibu sudah tidak bergerak lagi.

RIHLAH RIZA #25: TAK ADA SELENDANGNYA YANG BISA KUCURI


RIHLAH RIZA #25:

TAK ADA SELENDANGNYA YANG BISA KUCURI

 

 

“Menulis, pada mulanya, ternyata adalah masalah kemauan yang pribadi sekali. Masalah determinasi. Selanjutnya, ternyata, boleh apa saja ikut terjadi…” (Umar Kayam, Desember 1982)

**

 

Seringkali menyangka kalau gemericik air itu hanya ada di Bogor, atau tanah Pasundan lainnya. Gemericik air yang menggelitik telinga, menenteramkan hati yang gundah, mendinginkan kepala, dan memancing-memancing setiap yang bermata untuk bisa menyentuh segarnya. Turun dari pancuran atau sela-sela tanah pegunungan. Berkumpul semuanya lalu menjadi besar dan turun kembali menjadi air terjun. Orang Sunda bilang itu curug. Ada seperti Curug Cigamea, Curug Pangeran, Curug Luhur.

Suatu tempat eksotis. Pantas saja para peri kahyangan turun ke bumi. Di serat Babat Tanah Jawi, Jaka Tarub tahu benar akhlak para batari, maka ia ambil satu selendangnya saja, jadilah itu sebuah cerita dari mulut ke mulut yang diturunkan kepada anak cucu. Sebuah mitos untuk memberikan legitimasi bahwa walaupun Mataram didirikan dari keluarga petani, bukan keluarga bangsawan, mereka adalah keturunan anasir-anasir dari langit nan absurd: bidadari.

Ternyata Tapaktuan, negeri 1000 ombak, punya juga persemayaman para dewi ini. Namanya Air Terjun Tujuh Tingkat. Letaknya di desa Batu Itam, di selatan pusat kota Tapaktuan. Tidak ada penunjuk tempat wisata ini. Pokoknya sebelum kita melewati gunung yang kedua ada jembatan, sebelum jembatan ada masjid di sebelah kiri jalan, sebelum masjid itu ada gang atau lorong. Di lorong itulah mobil kecil bisa masuk. Cukup untuk satu mobil saja.

Dari ujung jalan kecil, sekitar 200 meteran, parkirkan mobil di tanah lapang di pinggir sungai. Di atas sungai ada jembatan beton. Dari jembatan itulah kita memulai perjalanan mendaki menuju air terjun yang menjadi penyuplai utama air bersih Kota Tapaktuan ini. Kalau tidak hujan, motor bahkan bisa sampai menuju titik terdekat air terjun sehingga kita tidak perlu kehabisan tenaga dan bisa mengurangi waktu tempuh.

Jika kaki kita mampu berjalan dan nafas kita masih panjang, berjalanlah dari tempat parkir itu. Kita akan temui pemandangan indah saat menyusuri jalanannya. Kita berada di kaki bukit hijau dengan pepohonan lebat nan alami dan juga ladang-ladang penuh pohon pala. Para peladang mendirikan gubug-gubugnya di sana.

Teman saya yang pertama kali berkunjung di sini, biasanya langsung terpukau dengan pemandangan yang ada. Di titik 0 pendakian saja sudah mulai foto-foto. Saya bilang kepada mereka kalau pemandangan di sini belumlah seberapa, nanti kalau kita naik sedikit akan menemukan sesuatu yang menakjubkan.

Ya betul, naik sedikit saja kita akan disuguhkan bentangan pemandangan laut dan rumah-rumah penduduk di bawah sana. Tunggu, belum. Naik sedikit lagi, di atas batu besar, kita akan punya tempat yang paling baik untuk mengambil gambar dari ketinggian. Pantai, laut, bukit, pohon-pohon kelapa, atap-atap rumah tersaji seindah-seindahnya dari kejauhan. Subhanallaah.

Di tengah jalan kita menemui persimpangan. Kalau lurus kita akan menuju tingkat paling atasnya, namun cukuplah hari ini kita ke tingkat empatnya saja. Karena biasanya para pengunjung lebih suka di sana. Di situlah spot yang paling normal untuk didaki tanjakannya dan direnangi kolamnya.

Kurang lebih 500 meter dari tempat kita bermula atau sekitar setengah jam berjalan santai sampailah kita di Air Terjun Tujuh Tingkat. Tingkat paling bawah, kedua, ketiga, keempat, dan kelima berkumpul dalam jarak yang tidak begitu jauh. Ada bangunan yang terbuat dari papan kayu, di pinggir air terjun, di atas ketinggian, tempat untuk berleha-leha sehabis mandi, tempat untuk memandang ke bawah.

Sudah lama tidak berkunjung ke air terjun. Terakhir waktu ada perkemahan di Taman Nasional Gunung Gede, bertahun-tahun lampau. Itu pun hanya lewat. Tidak jebar-jebur serupa Penguin Gentoo di Semenanjung Antartika. Sekarang, ribuan kilometer dari kaki bukit Gunung Gede, di bawah Pegunungan Leuser, saya merasakan kembali kesegaran air pegunungan. Airnya jernih sehingga dasar kolam air terjun bisa dilihat. Tetapi memang jika turun hujan tetaplah membawa material dari atas. Membuat sedikit keruh. Sedikit saja. Airnya tetap bening kehijauan. Yang pasti air terjun ini tidak ada beda dengan air terjun di tanah kerinduan, Bogor. Cuma kurang satu: Degung Cianjuran.

Di air terjun tingkat keempat, area kolamnya cukup luas dan dalam. Ini memungkinkan kita untuk terjun dengan gaya apa saja. Gaya sekelas peloncat indah Olimpiade London atau gaya batu sekalipun silakan. Di sinilah saya kembali memuaskan hasrat masa kecil dulu seperti waktu saya terjun dari ketinggian beton penahan air Sungai Cimanuk, Jatibarang, Indramayu.

 


Pemandangan bawah yang diambil dari ketinggian jalanan menuju Air Terjun Tingkat Tujuh (Foto koleksi pribadi).

Cemmana pula ini awak (Foto koleksi pribadi).

 

Bersama DJ-Ono di depan Air Terjun Tingkat Tujuh. Kok enggak pose berdua? Ini gantian ngambilnya. 😀 (Foto koleksi pribadi)

Gubug di atas air terjun. Bisa memandang segala. (Foto koleksi pribadi).

 

Kalau yang ini Air Terjun Tingkat Keduanya (Foto koleksi pribadi).

Nah yang ini, tingkat keempat. (Foto koleksi pribadi).

 

 

Siap-siap lompat (Foto koleksi pribadi).

 

 

Pokoknya seru banget dah di sini. Segar, senang-senang, renang-renang, terjun-terjun, selam-selam, foto-foto. Sensasinya beda sekali dengan sensasi saat menjalani kegemaran baru saya di Tapaktuan ini: snorkelling. Sensasi kesegaran dan amannya lebih terasa. Sudah barang tentu lebih aman di air terjun ini daripada di laut. Tidak perlu khawatir binatang laut berbisa, kedalaman palung, dan seretan ombak tentunya.

Tapi sayang, sayang, sayang, seribu kali sayang, untuk kedua kalinya dompet saya—dengan segala isinya—ikutan mandi. Kali ini mandi air tawar. Hari kemarin, saat snorkelling di tengah laut, saya tidak sadar kalau menyelamnya sambil bawa-bawa dompet di kantung bagian belakang. Untung tidak jatuh. Teman di pantai yang sedang santai-santai bilang, “Di sono
kagak ada warung kenapa bawa dompet segala.” Untuk kedua kalinya pula, apa yang ada di dalam dompet akan dikeringkan lagi. Ini pertanda apa?

Pada akhirnya selain untuk membunuh rindu, maka menikmati keindahan dan kesegaran adalah jalan jiwa mencari sebuah inspirasi. Untuk dituliskan. Dan saya persembahkan kepada Anda. Cukuplah apa yang dikatakan Umar Kayam, “Menulis, pada mulanya, ternyata adalah masalah kemauan yang pribadi sekali. Masalah determinasi. Selanjutnya, ternyata, boleh apa saja ikut terjadi…”

Di tengah kebosanan yang menjelma puncak Cartenz, belantara sepi yang menggoda fokus, samudera luas ketidaktahuan tentang apa yang mau ditulis lagi, saya tetap mencoba melanjutkan menggerakkan jari-jari saya di atas papan ketik komputer, sesulit apa pun. Dan menjelmalah ia menjadi apa yang sedang dibaca oleh Anda saat ini. Tentang air terjun yang pada sabitnya, tak ada satu pun bidadari turun dari pelangi untuk saya curi selendangnya.

 

***

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

19 Januari 2014