Di Titik Didih Kerinduan


Malam lebaran di salah satu sudut Semarang.

Suara mirip peluit mencelat dari ketel yang isinya air mendidih. Uap panasnya berontak dan buru-buru keluar dari celah sempit di ujung moncong ketel seperti iblis dengan bala tentaranya ketika azan Magrib 1 Syawal besok berkumandang.

Mereka kembali merapatkan barisan, berkoordinasi, dan membagi tugas mengembalikan manusia kepada kesesatan setelah sebulan mereka dipenjara. Mereka ingin agar kawan-kawannya dari kalangan manusia yang sudah suci dibasuh Ramadan, kembali menjadi anggota yang akan menemani mereka di neraka.

Baca Lebih Lanjut.

Membeli Martabak di Bulak


MEMERANGKAP***Senja.

Ketika kami tiba di Masjid Alhusna, Kinan langsung menuju saf terdepan saja.  Tak ada yang menemaninya. Umminya Kinan sedang tak enak badan jadi tak bisa salat id. Sedangkan kami bertiga segera masuk ke dalam ruangan utama masjid.

Hari ini lebaran. Kami kembali salat di masjid ini. Mengulang ritual setahun sekali. Khatibnya berkhotbah selama 30 menit yang isinya diingat dengan baik oleh Kinan. Di antaranya tentang nyamuk, organ tubuhnya, alat untuk menusuk korban, dan obat bius yang dipakai satoan itu saat menggigit manusia.

Baca Lebih Lanjut.

RIHLAH RIZA #17: GEN SENGKUNI


RIHLAH RIZA #17: GEN SENGKUNI

Buat apa sejarah bagi masa sekarang? Karena pada pandangan modern yang semakin pragmatis sejarah itu tak bisa mengenyangkan. Sejarah itu percuma. Tapi ini salah. Karena—mengutip Anis Matta dalam Politik dan Sejarah—sejarah bukan saja metode untuk memahami masa lalu dan masa kini, melainkan juga menjadi jalan paling efektif menemukan alasan untuk tetap berharap bahwa esok hari cerita hidup kita akan lebih baik.

*

Ada yang tersisa saat meninggalkan Kerkhof Peutjoet. Saat membaca sebuah pamflet dalam sebuah papan pengumuman berkaca. Letaknya berada di luar pintu gerbang. Berada di halaman samping jalan utama. Pamfletnya berisi informasi tentang Kerkhof.

Nama Kherkof berasal dari Bahasa Belanda, yang berarti halaman gereja atau kuburan. Pintu gerbang ini pada awalnya dibangun tahun 1893 M dan terbuat dari batu bata. Di atas pintu tertulis: Untuk sahabat kita yang gugur di medan perang (Teks ini ditulis juga dalam bahasa Arab, Melayu, dan huruf Jawa).

Pada dinding terdapat deretan nama-nama pejuang yang dikubur di dalamnya beserta tahun meninggalnya. Semuanya berjumlah +/- 2.200 nama dan didominasi oleh tentara Kerajaan Hindia Belanda.

Ada yang ganjil dari pamflet yang dikeluarkan oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Banda Aceh ini. Di pamfletnya itu disebutkan “nama-nama pejuang” padahal yang dikuburkan di sana jelas-jelas para serdadu Belanda yang menembak, membunuh, dan membantai rakyat Aceh serta membakar Masjid Raya Baiturrahman. Lalu mengapa disebut pejuang?

Apa karena kuburan militer itu dirawat oleh yayasan milik Belanda yang bekerjasama dengan Pemerintah Kota Banda Aceh lalu melupakan posisi masing-masing pada saat sejarah ditulis dengan tinta darahnya? Apatah lagi yang mengeluarkan pamflet tersebut salah satu dinas di Kota Banda Aceh yang dananya berasal dari pajak yang dikumpulkan rakyat Aceh.

Lain soal kalau teks itu ada di dalam sebuah prasasti yang dibuat oleh Belanda sendiri atau ditulis di atas batu nisan mereka. Diukir dengan judul meninggal dengan tenang kek, dengan sekarat kek, dengan gegap gempita dan berdarah-darah kek, itu terserah yang di bawah dan yang punya batu nisan.

Apakah kita lupa tentang sebuah tragedi pembantaian yang dilakukan Belanda di Kuta Reh? Ribuan orang dibantai termasuk perempuan dan anak-anak di dalamnya. Ah, terlalu panjang menguraikan kebiadaban Van Daalen sebagai Gubernur Militer Aceh dalam ekspedisinya di Tanah Gayo dan Alas pada tahun 1904. Ingat dengan apa yang pernah saya tulis terdahulu di Bosch dan Kopi? Setelah sukses pembantaian tersebut Belanda pun mulai menanam kopi di Tanah Gayo. Sampai kini kopi Gayo menjadi komoditas ekspor yang terkenal di dunia karena memiliki kenikmatan dan aroma yang khas.

Plang Kerkhof Peutjoet (Foto koleksi pribadi).


Papan informasi yang berisi pamflet tentang Kerkhof. (Foto koleksi pribadi).

Lihat bocah kecil dalam foto itu yang luput dari pembantaian tentara marsose jahanam. (foto diambil dari sini)

Sambil berjalan meninggalkan Kerkhof Peutjoet menuju museum tsunami yang berada di sebelahnya saya sampai berpikir buat apa saya memikirkan kesalahan “kecil” dalam pamflet itu. Tak ada gunanya. Tak ada kaitannya dengan tugas saya sebagai pegawai pajak. Tak ada. Akankah memikirkan segala tentang sejarah itu akan menambah pundi-pundi kekayaan kita—itu frasa zaman kerajaan lampau di saat mereka masih menyimpan emas dalam pundi-pundi, dalam kondisi kekinian baca saja itu menjadi sisi debit rekening bank kita.

Tapi di saat menuliskan kembali perjalanan batin ke kuburan Belanda, juga setelah membaca narasi Anis Matta tentang kesejarahan maka saya pun menata ulang tentang pragmatisme sebatas perut itu.

Sejarah adalah cara membaca masa depan. Sejarah menjadi pedoman untuk masa yang akan datang bahwa tidak akan terulang lagi kesalahan dan kesedihan yang sama. Sejarah Aceh adalah sejarah perlawanan tanpa menyerah atas sebuah ketidakadilan dan kesewenang-wenangan yang dipertunjukkan dari sebuah bangsa kaphe yang tidak pandai berperang karena membunuh anak-anak, perempuan, dan orang yang sudah uzur. Sejarah tentang keberanian, menjunjung kemuliaan, dan cinta syahid yang ditunjukkan laki-laki atau perempuannya. Kemudian diteruskan kepada generasi setelahnya.

Ada gen kepahlawanan dalam kromosom anak keturunan mereka. Bukan gen sengkuni. Bukan sifat seorang Aceh menjilat, berkhianat, cinta kepada perpecahan, dan mudah menyerah tanpa usaha. Kalaupun demikian adanya ia keturunan dari karakter uleebalang—bangsawan bawahan sultan yang bekerja sama dengan Belanda. Uleebalang yang menjadi musuh sultan, ulama, dan rakyat Aceh.

Sejarah telah mengajarkan saya untuk tidak bertindak seperti uleebalang yang zalim, menarik pajak semena-mena bahkan menilep zakat untuk kepentingan sendiri. Sejarah telah benar-benar menambah pundi-pundi kekayaan saya, tepatnya kekayaan batin saya. Benarlah apa yang dikatakan Anis Matta, “Membaca sejarah adalah cara menemukan harapan. Harapanlah yang membuat kita rela dan berani melakukan kebajikan-kebajikan hari ini walaupun buah kebajikan itu akan dipetik mereka yang baru akan lahir esok hari.”

**

Kami tiba di pos penjagaan museum tsunami. Tertempel di kacanya jadwal buka museum. Ternyata kami datang terlambat. Jam buka pagi telah selesai. Museum akan dibuka kembali pada pukul dua siang. Masih satu jam lagi kami harus menunggu. Saya putuskan menuju hotel untuk check in. Untuk yang kedua kalinya saya gagal mengunjungi museum ini. Tapi tidaklah mengapa. Masih ada waktu lain untuk kembali. Seperti tekad Sultan Agung yang ingin kembali ke Batavia setelah gagal untuk kedua kali menaklukkannya. Tekad yang tidak pernah terwujud. Pada akhirnya.

Saya ingin kembali ke Banda Aceh. Pun, saya ingin kembali ke Batavia. Sejarah telah membuktikan. Tidak akan lama di sini. Asal semua itu atas kehendakNya. Siapa tahu? Bukankah sejarah adalah jalan paling efektif menemukan alasan untuk tetap berharap? Membaca sejarah adalah membaca harapan. Membaca harapan adalah laku menjaga kewarasan. Kewarasan di Tapaktuan ini. Agar tak menjadi Sengkuni.

Terimong geunaseh.

***

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

Tapaktuan, 15 Desember 2013

RIHLAH RIZA #4: BOSCH DAN KOPI


RIHLAH RIZA #4: BOSCH DAN KOPI

 

Kita tak pernah tahu teh dan kopi panas yang kita minum di saat coffe break ternyata punya cerita panjang di balik keberadaannya. Ada banyak jejak amis darah dan pengorbanan dari nenek moyang kita.

 

Setelah hampir bangkrut karena terlibat perang dengan Pangeran Diponegoro, maka selama lebih dari satu abad (1935-1940) penjajah Belanda menikmati kas negara yang berlimpah dari sistem tanam paksa. Sistem ini mewajibkan setiap desa menyisihkan 20% luas tanahnya untuk ditanami komoditi ekspor seperti kopi dan teh. Jika tidak punya tanah maka penduduk desa wajib bekerja selama 75 hari di kebun-kebun penjajah. Inilah era yang dikenal sebagai era paling menindas dari penjajah Belanda di bumi pertiwi ini. Bahkan lebih kejam daripada VOC yang bangkrut duluan karena korupsi itu.

**

Ini masih di hari kedua di Banda Aceh. Setelah acara pelantikan dan rapat bersama Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) DJP Aceh, saya bersama dengan dua orang teman yang juga ditempatkan di Tapak Tuan bertemu dengan Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Tapak Tuan Pak Jaelani. Kami memperkenalkan diri kepadanya. Singkat cerita, untuk lebih mengakrabkan diri, Pak Jaelani mengajak kami ngupi-ngupi nanti malam di kedai kopi. Tentunya kami bersedia.

Setelah bertemu dengan Pak Jaelani, saya menyempatkan diri bertemu dengan teman lama yang asli Aceh. Ia satu angkatan dengan saya di STAN Prodip Keuangan dulu. Kalau di grup Whatsapp kami, namanya Opa Lucu. Nama sebenarnya Nova Yanti. Sejak lulus sudah ditempatkan di Banda Aceh. Sekarang dia sebagai Penelaah Keberatan di Kanwil DJP Aceh. Dua teman saya yang sama-sama berangkat dari Jakarta, Slamet Widada dan Agung Pranoto Eko Putro, sudah silaturahmi duluan dengannya. Saya belakangan dan cuma sebentar ketemu Opa Lucu karena sudah ditunggu rombongan untuk pulang ke penginapan. Tak apalah, yang penting silaturahminya sudah. Itukan bikin panjang umur dan tambah rezeki kita.

Kami sampai di Hotel Medan maghrib. Hujan masih turun. Saya rehat sejenak. Sehabis makan malam saya menunggu jemputan untuk ngupi-ngupi itu. Jarum jam pendek udah melewati angka tujuh, lalu angka delapan, dan angka Sembilan. Tidak ada informasi jadi atau tidaknya. Sepertinya memang menunggu hujan dan gerimisnya reda. Baru pada pukul 21.46 ada informasi kalau jemputan akan datang ke Hotel Medan. Setengah jam kemudian saya telah berada di dalam mobil yang di dalamnya sudah berisi lima orang.

Ternyata ada Mas Hidra Simon yang nyetir. Mas Hidra Simon ini adalah Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi IV di KPP Pratama Banda Aceh. Wajahnya tak asing karena pernah kami undang untuk bersama-sama menghadiri persidangan banding di Pengadilan Pajak atas kasus sengketa pajak yang kami tangani sewaktu saya masih di Direktorat Keberatan dan Banding. Di sampingnya duduk Mas Afrizal Kurniawan Syarief, satu kantor dengan Mas Hidra Simon. Ia Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi III.

Selain itu ada Mas Oji Saeroji. Teman yang ditempatkan di KPP Pratama Tapak Tuan bersama-sama saya. Di KPP itu ia menjabat sebagai Kepala Seksi Pelayanan. Ia adalah salah satu penulis Buku Berbagi Kisah dan Harapan (Berkah) Perjalanan Modernisasi Direktorat Jenderal Pajak. Ketemu pertama kali waktu ada workshop kepenulisan buat para kontributor Buku Berkah di akhir 2010. Terakhir ketemu waktu ada workshop Tax Knowledge Base di Bandung akhir Mei 2013. Dan dunia itu kecil. Sempit. Karena ternyata dia kenal juga dengan teman SMA saya. Alamaak…

Ada lagi yang sama-sama ditempatkan di Tapak Tuan, Mas Suardjono. Ia jadi Kepala Seksi Ekstensifikasi Perpajakan di KPP Pratama Tapak Tuan. Terakhir adalah Mas Maman Purwanto. Ia orang baru yang ditempatkan di KPP Pratama Subulussalam sebagai Kepala Seksi Ekstensifikasi Perpajakan juga. Jadi selain Mas Hidra Simon dan Mas Afrizal, kami berempat adalah orang baru di daerah Aceh ini.

Kami tiba di sebuah warung kopi besar: Aan ‘n Adua Kupi. Ada layar lebar seperti layar tancap. Yang diputar adalah film-film tv kabel. Sound system-nya gede. Warung ini berfasilitas wifi. Sudah banyak orang di warung itu. Kebanyakan anak muda dengan laptop masing-masing. Asap rokok pun membumbung ke mana-mana. Pak Jaelani bersama dua anaknya dan dua keponakannya sudah menunggu di warung. Pak Jaelani ini memang orang asli Aceh, setiap akhir pekan beliau pulang dari Tapak Tuan karena keluarganya tinggal di Banda Aceh.

 

Gambar kopi dari sini.

Saya pesan kopi biasa. Teman-teman yang lain pesan kopi sanger (kopi susu). Selain kopi dihidangkan pula roti dan gorengan tempe dalam sebuah piring kecil. Sambil ngupi-ngupi itu kami mengobrol lama. Ada rencana yang tersusun akhirnya. Nanti hari minggu Mas Oji dan Mas Suardjono akan berangkat ke Tapak Tuan satu mobil bersama Pak Jaelani. Berangkat jam sepuluh pagi dari Banda Aceh. Diperkirakan sampai di Tapak Tuan jam tujuh malam. Sedangkan saya masih memikirkan moda transportasi alternatif menuju Tapak Tuan pada satu pekan yang akan datangnya. Karena ada penugasan lain dari kantor lama saya baru satu minggu kemudian menyusul dua teman saya itu ke Tapak Tuan. Pak Jaelani sudah menawarkan saya untuk ikut mobilnya. Saya belum mengiyakan cuma tak enak saja karena takut merepotkan lagi.

Malam semakin larut. Akhirnya pertemuan silaturahmi awal ini pun selesai. Saya cuma bisa meminum segelas kopi saja. Tapi alhamdulillah lambung tak menolak seperti biasanya. Kami pulang. Pak Jaelani khawatir kalau ngupi-ngupi nya dilanjutkan lebih malam lagi, kami tak bisa beristirahat terutama saya yang kudu balik lagi ke Jakarta.

Warung kopinya tetap buka. Saya tak tahu kapan tutupnya. Warung kopi tak bisa dilepaskan dari kehidupan malam masyarakat Aceh. Pun kopi yang kami minum tadi. Ini warisan kerja rodi nenek moyang masyarakat Aceh sejak tanam paksa. Kita tinggal menikmatinya. Kita tak tahu tragedi apa yang ada di balik setiap tanaman kopi yang dipaksakan ditanam oleh penjajah Belanda ini. Seperti kita tak tahu pula tragedi apa yang dialami oleh nenek moyang kita dari setiap baut dan kayu jati yang tertempel di rel kereta api sepanjang utara Jawa.

Tanam Paksa (Gambar diambil dari sini)

Tapi yang pasti betapa banyak korban dari kekejaman sistem tanam paksa ini. Busung lapar dan kelaparan melanda Cirebon, Demak, dan Grobogan. Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch pencetus cultuurstelsel malah dianugerahi gelar kebangsawanan Graaf atas jasa-jasanya dalam penerapan sistem kejam ini. Tapi karena perubahan politik di negeri penjajah itu sendiri, maka sistem tanam paksa dicabut di tahun 1870. Mekipun demikian era ini belumlah berakhir untuk daerah di luar Jawa. Penjajah Belanda mengembangkan penanaman besar-besaran yang difokuskan pada tanaman kopi. Contohnya di Tanah Gayo, Aceh, sejak tahun 1904.

Sekarang produksi kopi menjadi tulang punggung sebagian masyarakat Aceh terutama di Aceh Tengah dan Bener Merah. Dari data terakhir di tahun 2012 Aceh menjadi daerah penghasil kopi terbesar keenam setelah Sumatera Selatan, Lampung, Sumatera Utara, Jawa Timur, dan Bengkulu.

Catatan ini sudah terlalu panjang. Saatnya mengakhirinya dengan satu pesan: kini berpikirlah sejenak saat kita meminum kopi. Karena ada masa lalu yang mengikutinya.

***

 

 

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

5:41 26 Oktober 2013

 

Thanks to: Mas Hidra Simon dan Afrizal Kurniawan Syarief karena telah mengantar kami untuk ngupi-ngupi. Thanks to Opalucu karena telah menerima kami.

 

Tags: Hidra Simon, Suardjono, oji saeroji, jaelani, kepala KPP Pratama Tapak Tuan, afrizal kurniawan syarief, maman purwanto, kpp pratama banda aceh, kpp pratama tapak tuan, kpp pratama subulussalam, aan ‘n adua kupi, opa lucu, nova yanti, @opalucu, slamet widada, agung pranoto eko putro, Johannes van den bosch, cultuurstelsel, cultuur stelsel, hotel medan, pangeran diponegoro, tanah gayo, kopi aceh, kopi gayo, graaf,