Ada Kisah yang Sehalaman pun Tak Sampai


Testimoni buku baru Sindrom Kursi Belakang ini sebenarnya ditulis oleh penulisnya hampir sebulan yang lalu. Namun, saya baru mengetahuinya saat saya dihubungi secara langsung oleh beliau. Ia adalah penulis beken yang telah mengeluarkan banyak buku, di antaranya adalah Negeri Para Laki-laki dan Menjadi Laki-Laki.

Terima kasih kepada Pak Eko Novianto alias Ekonov yang telah memberikan ulasan terhadap buku saya ini. Kepada Anda pembaca, silakan menikmati.

Baca Lebih Lanjut

Testimoni Seorang Bibliophagist: Seandainya Saja Saya Mempunyai Energi dan Ketekunan


Banyak pembaca buku Sindrom Kursi Belakang memberikan testimoninya terhadap buku ini. Saya mengucapkan terima kasih dengan setulus-tulusnya kepada mereka semua.

 

Aim Nursalim Saleh, Direktur Ekstensifikasi dan Penilaian, DJP:

Cerita-cerita di sana bisa menjadi cermin buat pembacanya.

 

Dwi Astuti, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat, DJP:

Saya ditemani buku ini di pesawat. Seru banget. Saya bisa membayangkan keindahan Tapaktuan dari buku ini. Seperti Andrea Hirata yang menggambarkan Belitong.

Baca Lebih Lanjut

Cerita Lari Jakarta Half Marathon 2023: Disusul Nenek Yuli


Medali penamat dalam kategori 5K.

Setelah sekian lama mengikuti kegiatan lari virtual selama pandemi, akhirnya saya bisa ikut “race” betulan. Kali ini saya ikut Jakarta Half Marathon (JHM) 2023 pada Ahad, 20 Agustus 2023. Itu pun dalam kategori 5 km saja.

Ini berarti saya kali keduanya berlari dengan garis startnya berada di Monas. Dulu saya pernah ikut Mandiri Jakarta Marathon 2017 dalam kategori Half Marathon pada 29 Oktober 2017.

Baca Lebih Lanjut

Review Buku Kita Bisa Menulis: Memang Tak Seperti Bernapas


Beberapa waktu lalu, saya mendapatkan tulisan review buku Kita Bisa Menulis dari penulis produktif sekaligus pegawai Direktorat Jenderal Pajak bernama Eko Novianto yang biasa dikenal dengan sebutan Ekonov.

Saya mengucapkan terima kasih atas resensinya ini. Sangat bermanfaat sekali buat calon pembaca buku ini. Tidak perlu berpanjang kalam, mari kita simak narasinya.

Baca Lebih Banyak

Cerita-cerita Kecil: Guru Gendeng dan Pekuburan yang Sepi


Guru Freeletics
Jumat, 19 Januari 2018

Dalam dunia persilatan ada banyak orang ingin menjadi murid dari ahli silat yang gendeng itu. Tetapi saking gendengnya, dia tidak mau menerima murid untuk meneruskan kesaktiannya yang digdaya.

Ia bersikap begitu karena kebanyakan mereka yang ingin menjadi muridnya itu cuma menang di awal saja, tetapi lemah di tekad dan tak punya nafas panjang. Belajar dari pengalaman masa lalunya maka ahli silat gendeng itu mencoba untuk sangat selektif menerima murid.

Baca Lebih Lanjut.

Tak Ada Derek dan Sabari Pagi Ini


“BULAN DESEMBER***ini saya baru lari 12 kilometer. Jadi bagaimana supaya saya bisa mempersiapkan diri buat lari 30 kilometer di malam tahun baru dari Depok ke Bogor?” tanya saya kepada bujang ganteng itu. Ia juga ikut di even Tugu ke Tugu ini.

“Besok Minggu Half Marathon saja,” jawabnya. Baiklah. Akhirnya saya canangkan target besok pagi hari Ahad ini saya akan lari 24 kilometer. Setara 80% dari 30 kilometer. Kata pelari pro sih begitu katanya. Minimal kalau latihan ya ambil 80% dari jarak tempuh lomba.

Baca Lebih Lanjut.

Belanja Buku dan Perang Eropa


Dengan berbekal dua buku untuk dibaca ternyata tidak cukup untuk menghabiskan cuti. Buku pertama yang berjudul Perang Pasifik habis dibaca saat perjalanan dengan Kereta Api Bisnis Senja Utama jurusan Jakarta Semarang. Buku kedua berupa kumpulan cerpen terjemahan yang berjudul Peluru Ini Untuk Siapa habis dibaca pada hari ketiga tiba di Semarang.
Esok malamnya bersama Qoulan Syadiida, Haqi dan Ayyasy, saya pergi belanja buku di Mal Ciputra, Simpang Lima. Awalnya saya bersikeras bahwa di Mal Ciputra itu ada toko buku Gramedia, karena di akhir Maret lalu saya pernah membeli buku di sana. Qoulan Syadiida mengatakan bahwa Gramedia itu bukan ada di sana, tapi ada di Jalan Pandanaran. Tapi saya tetap ngotot untuk ke sana. Akhirnya saya akui, saya salah besar. Di sana tidak ada toko buku Gramedia yang ada toko buku Gunung Agung. Karena beranggapan pula bahwa Gramedia letaknya jauh dari Simpang Lima maka niat belanja buku tetap diteruskan di Gunung Agung.
Buku yang saya cari yakni Perang Eropa Jilid I tidak diketemukan. Saya tidak jadi membeli buku. Koleksi buku di Gunung Agung tidak selengkap di Gramedia. Hanya Haqi dan Ayyasy sajalah yang menikmati belanja buku di sana. Masing-masing mendapatkan sebuah puzzle, dua buku mewarnai, dan dua buku bacaan serta satu vcd produksi NCR.
Esok siangnya setelah sholat Jum’at, kami kembali mencari buku. Tidak lagi dengan Qoulan Syadiida, tapi tetap berempat, saya, Haqi, Ayyasy, dan Hendri, adik Qoulan Syadiida. Sekarang kami langsung menuju ke Gramedia yang berada di Jalan Pandanaran. Dan saya baru tahu ternyata Gramedia dekat juga dengan Simpang Lima dan bersebelahan dengan Masjid Baiturrahman. Kalau tahu begitu, kenapa tadi malam tidak langsung saja ke sana.
Di Gramedia banyak sekali buku-buku bagus, yang sayangnya saya harus dapat menahan diri karena budget untuk belanja buku bulan ini telah terlampaui. Buku-buku tentang fotografi hanya saya lirik sebentar tapi bertekad dalam hati suatu saat saya dapat membelinya. Buku kedua dari trilogy Kisah Klan Otori belum juga muncul. Sedangkan buku-buku bagus tentang perang dunia kedua banyak juga. Selain yang ditulis oleh P.K. Ojong—Perang Pasifik, Perang Eropa Jilid 1 dan 2—ada juga buku terjemahan yang lebih tebal dan lebih murah daripadanya. Namun saya berkeputusan untuk melanjutkan serial perang yang ditulis oleh P.K. Ojong terlebih dahulu setelah itu baru yang lain. Kali ini Perang Eropa Jilid 1 telah ada di tangan, mungkin yang jilid 2-nya saya beli di bulan depan.
Haqi dan Ayyasy hanya dapat bermain dan berlari-larian di lorong-lorong buku saja. Saya sudah mewanti-wanti pada mereka untuk tidak minta buku kali ini, karena semalamnya mereka sudah membeli banyak buku. Mereka menurut, walaupun pada akhirnya Haqi tetap saja merajuk dan sedikit memaksa untuk membeli satu buku bacaan lagi. Tapi saya bergeming.
***
Berbicara tentang ketiga buku pengisi perjalanan cuti kali ini, saya merasa enjoy banget saat membaca buku Perang Pasifik walaupun terkadang dengan hati gemas dan berhenti sejenak untuk membaca kemenangan-kemenangan sekutu dan kekalahan-kekalahan Jepang di pertengahan 1945. Kali ini, saat ini saya memang membenci sekutu yang dengan perang melawan terorisnya telah memakan puluhan ribu nyawa di Afghanistan, Irak, dan belahan dunia lainnya. Mungkin perasaan saya akan berlainan saat saya benar-benar hidup di zaman itu, karena dengan kemenangan sekutu tersebut akhirnya membawa akibat tidak langsung pada kemerdekaan bangsa Indonesia.
Membaca buku Peluru Ini untuk Siapa yang ditulis oleh Jihad Rajbi, membuat dahi saya berkerut. Ini bukan bacaan ringan seperti cerpen-cerpen Annida dan Forum Lingkar Pena. Banyak sekali metafora yang tidak bisa dimengerti dengan sekali membaca. Bahkan saat buku ini habis dibaca, saya merasa aneh dan tidak membawa saya pada kesan yang mendalam. Apakah karena cerpen ini adalah cerpen terjemahan—penerjemahnya Ustadz Anis Matta, Lc., atau memang karena keterbatasan saya? Saya salah bawa buku.
Pada saat saya menulis ini, buku Perang Eropa Jilid 1 sudah habis terbaca setengahnya. Mungkin pada saat perjalanan pulang kembali ke Jakarta nanti malam saya dapat menyelesaikan setengahnya lagi. Buku ini memang bagus dan enak dibaca seperti buku Perang Pasifik yang terdahulu. Wajar saja mengingat buku ini adalah merupakan kumpulan tulisan P.K. Ojong—seorang keturunan asal Bukit Tinggi dan meninggal pada Mei 1980—di majalah mingguan Star Weekly yang sangat popular saat itu.
Tidak seperti di Perang Pasifik, hampir di sebagian halamannya dijelaskan secara rinci tentang awal dimulainya Perang Dunia II di belahan barat yakni di Eropa. Tentang penyerbuan Blitzkrieg Jerman ke Polandia pada 1 September 1939 hingga kemenangan-kemenangan Jerman yang fantastic baik di medan Eropa maupun Afrika. Itu diungkapkan lebih detil dibandingkan penyerangan-penyerangan pada Perang Dunia II di belahan Timur yakni di Pasifik yang dilakukan oleh Jepang ke Pearl Harbor. Entah karena referensi buku-buku yang ditulis tentang perang pasifik ini lebih sedikit atau karena masalah ideologi.
Tapi pada intinya buku ini bagus walaupun lagi-lagi saya gemas saat sekutu sudah meraih kemenangan dimana-mana. Dan lagi-lagi saya membaca dengan ideologi saya. Sekali lagi buku ini bagus pula untuk dibaca sebagai pengantar tidur di perjalanan.

dedaunan di ranting cemara
l’histoire se repete
9:44 25 September 2005