Guru Freeletics
Jumat, 19 Januari 2018
Dalam dunia persilatan ada banyak orang ingin menjadi murid dari ahli silat yang gendeng itu. Tetapi saking gendengnya, dia tidak mau menerima murid untuk meneruskan kesaktiannya yang digdaya.
Ia bersikap begitu karena kebanyakan mereka yang ingin menjadi muridnya itu cuma menang di awal saja, tetapi lemah di tekad dan tak punya nafas panjang. Belajar dari pengalaman masa lalunya maka ahli silat gendeng itu mencoba untuk sangat selektif menerima murid.
Terkadang ia mencoba melihat keteguhan calon muridnya dengan mengabaikannya. Benar-benar tidak mengacuhkannya. Tak jarang murid baperan tidak akan bertahan dengan penolakannya. Karena ditolak itu menyakitkan, Brader.
Namun ada juga yang bertahan. Dan ia dapat melihat kesungguhannya saat siang dan malam calon murid itu bertahan dan bergeming di depan pintu guanya. Diterpa angin malam, disengat panas matahari, diguyur hujan, digigit kabut, dipeluk nyamuk, berhari-hari, berminggu-minggu, hanya sekadar menunggu jawab atas permintaan, “Terimalah aku sebagai muridmu, Suhu.”
Pagi ini aku menjadi guru gendengnya. Dan murid ini bukan bernama Ana.
**
Tak Ada yang Dikejar
Ahad, 21 Januari 2018
Tak ada yang dikejar pagi ini. Setelah Subuh menganga dan langit masih bermuram durja padahal sudah jam 06.30, saya akhirnya keluar rumah untuk mengukur jalanan kembali.
Telepon genggam tak dibawa. Hanya uang ceban di saku celana sebelah kanan. Sengaja demikian supaya ringkas. Ini juga karena Garmin di pergelangan kanan saya sudah mencukupi. Bahkan sport ID juga lupa saya bawa.
Saya tak menuju rute biasa ke arah Cibinong, melainkan ke arah barat supaya tak bosan. Saya berlari tak cepat-cepat. Pace yang lambat. Tak apa-apa. Pun, sambil menikmati gerimis yang turun lalu menjelma hujan. Sudah lama saya tak berlari dalam hujan.
Enggak ada target, enggak buru-buru, enggak cepat-cepat bikin saya bisa menikmati keadaan sekitar dan tahu daerah-daerah baru yang belum pernah saya lewati.
Saya melewati jalanan kecil, jalan buntu, tepi sungai, pematang kebon, dan jalanan rusak atau becek. Sampai tersasar-sasar. Hikmahnya adalah jarak tempuh lari saya yang biasanya hanya 12 kilometer sekarang menjadi 15 kilometer.
Di garis finis, persis di jalanan depan rumah saya, alhamdulillah saya masih bisa berjalan dengan kuat. Lari begini memang harus dipaksakan, kalau enggak, yang ada buat saya adalah rasa malas. Ini bahaya. Dan semua orang bisa melakukan apa yang saya lakukan. Asal punya kemauan yang kuat.
**
Salam yang Tak Dijawab
Ahad, 28 Januarri 2018
Petang tadi gerimis, yang tidak satu-satu lagi rinainya, tetapi deras. Saya uluk salam. Tak ada jawaban. Padahal menjawab salam itu hukumnya wajib. Sebenarnya itu berlaku buat manusia yang masih hidup. Ya jelas, salam yang saya ucapkan adalah: “Assalaamu’alaikum ya ahlal qubur.”
Saya melewati kompleks pekuburan yang sepi. Di pinggir jalannya tumbuh banyak pohon kamboja. Bunganya benar-benar mekar dengan putih yang mencolok. Tapi saya tidak akan memetiknya. Bagaimana saya mau memetik kembang sedangkan saya lagi dalam pelarian?
Sudah 6,3 kilometer jarak yang saya tempuh. Tinggal 6 kilometer lagi. Kalau saya mempertahankan kecepatan lari saya ini, saya akan tiba di rumah beberapa menit sebelum Magrib. Tak perlu juga saya menambah kecepatan saat melewati kompleks pekuburan ini walaupun kesenyapannya benar-benar menggigit.
Ada pohon besar di tengah-tengah makam. Berdiri bangunan permanen di pinggir jalan. Sepertinya bangunan ini semacam pos ronda. Perdamaian saya dengan kesenyapan itu tidaklah lama karena kompleks pekuburan ini tidaklah panjang. Di ujung jalan kompleks ada jalan membelok ke kiri dan di ujungnya ada jalan besar beraspal. Saya menghela nafas. Kini salamnya tentu sudah berubah, “Assalaamu’alaikum ya Akhi.” Keramaian menjelma.
Sudah dua kali saya melewati pekuburan itu. Kali pertama itu di pagi hari yang juga sedang hujan. Saya memang sedang mencari rute lari yang baru. Saya sedang bosan dengan keramaian Cibinong, Sentul, dan Stadion Pakansari. Lagi benar-benar menikmati kesegaran hawa kampung, jalanan becek, sepatu berlumpur, hujan-hujanan, jalanan sepi, dan jalanan kompleks-kompleks perumahan yang sederhana.
Pada saat hujan, di sekujur tubuh saya seperti mengalir banyak endorfin. Yang jelas saya tak kehausan. Lari pada saat hujan tak semelelahkan lari pada saat matahari sedang menyala-menyala.
Di kilometer terakhir, suara dari pelantang masjid terdengar. Memberitahukan kalau waktu Magrib tinggal 10 menit lagi. Akhirnya saya tiba di depan rumah. Masih terdengar dari pelantang masjid puji-pujian menjelang azan Magrib. Salah satunya adalah Shalawat Raqqat ‘Ainaya yang sedang dikumandangkan oleh anak tetangga.
Assalamu’alayka ya
Ya Rasuulullah
Assalamu’alayka ya habibi
Ya Nabiyyullah
Assalamu’alayka ya
Ya Rasuulullah
Assalamu’alayka ya habibi
Ya Nabiyyullah, ya Rasuulullah
Ah, petang ini banyak sekali salam yang menyentuh saya. Kemudian cuma satu yang menjadi ingatan saya tentang jarak. Jarak berkilo-kilometer dijabanin, lalu apakah masjid yang tidaklah sampai 100 meter itu tidak dijabanin juga? Iya, iya. Terima kasih.
Saya berhenti. Hujan berhenti. Detak jantungku yang tiada henti. Masih…
***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
Bunga rampai celotehan di Facebook
30 Januari 2018.