Ketika Pasrah Menghancurkan Logika Matematis


Saya tak menyangka bisa terjadi seperti ini.

Pagi ini saya berangkat tugas ke Surakarta, Jawa Tengah.

Seperti biasa saya berangkat dua jam sebelum keberangkatan. Dua jam itu berarti saya baru mulai memesan mobil daring menuju Bandara Soekarno Hatta. Saya perkirakan mobil daring itu akan sampai di terminal tiga Bandara Soekarno Hatta satu jam kemudian. Masih cukup waktu untuk masuk ke dalam badan pesawat.

Hari ini tak seperti yang saya prediksikan. Saya baru mulai pesan pukul 07.05, sedangkan jadwal boarding pukul 08.30 dan pesawat mulai terbang pukul 09.05. Gerimis turun sejak Subuh tadi.

Pemesanan pertama di aplikasi daring saya batalkan karena mobil akan sampai di depan rumah 20 menit kemudian. Sang sopir mengatakan kalau jalanan Pondok Aren sedang macet-macetnya. Pemesanan kedua juga sama. Mobil terlalu jauh. Pemesanan ketiga, mau tak mau saya tunggu.

Sopirnya mengatakan kalau ia baru sampai 11 menit lagi karena ia sedang mengantarkan penumpang lain. Ternyata pemesanan saya masuk pada saat kendaraannya masih dalam pengantaran. Tetap saya tunggu. Saya pantau pergerakan mobilnya yang lambat.

Sembari itu saya mengecek aplikasi peta Google. Butuh waktu 55 menit untuk sampai di depan Terminal Tiga. Mobil daring yang saya pesan tiba di depan rumah 35 menit kemudian, tepatnya pukul 07.44. Saya sudah gelisah.

Saya minta abang sopirnya untuk bergegas dan mencari jalan pintas. Saya arahkan ke jalan sempit yang hanya muat satu mobil. Tepatnya kalau ada mobil berpapasan, satu mobil harus mengalah mundur.

Di ujung jalan sempit itu, satu pengendara mobil membuka kaca dan mengatakan kepada sang sopir kalau jalan tak bisa dilalui. “Macet parah,” katanya. Satu pengendara motor juga mengatakan hampir sama, “Tak bisa dilalui.”

Saya sudah bilang ke abang sopirnya untuk balik arah lagi dan menuju pertigaan H. Gopli lalu ke kanan. Abang sopir tetap bersikukuh karena Google Maps menunjukkan arah paling cepat memang melalui jalan itu.

Ya sudah, saya manut. Saya sering melewati jalan itu kalau naik motor. Kalau naik mobil sendiri saya tak pernah melalui jalan itu saking sempitnya.

Apa yang terjadi pada saat mobil kami melewati jalan sempit itu? Sepi. Tidak ada mobil yang berpapasan. Lengang. Hanya ada satu mobil di belakang yang mengikuti kami. Alhamdulillah, akhirnya kami bisa keluar lancar menuju Jalan Boulevard Bintaro.

Baca: Mengapa Dipergilirkan. Pasti Ada Maksud dan Tujuannya. Ulasan Buku Sindrom Kursi Belakang
Baca juga: Testimoni Seorang Bibliophagist

Tiga Titik

Saya melihat Google Maps Kembali. Masih ada tiga titik kemacetan lagi. Yang paling dekat adalah di depan SPBU British Petroleum Bintaro. Banyak mobil hendak berputar arah. Saya sudah resah dan sering menatap jam digital di ponsel.

Lepas titik itu, mobil dipacu kencang di jalan tol. Saya tak kuasa untuk mengatakan, “Pelan-pelan Pak Sopir. Pelan-pelan Pak Sopir.”

Saya mengecek tiket elektronik untuk melihat lokasi gate, tempat para penumpang menunggu masuk ke dalam badan pesawat. Di tiket itu ternyata tidak diinformasikan. Hanya ada tanda setrip saja. Saya kemudian melakukan web check-in ulang dan mendapatkan informasi itu. Ternyata Gate 25. Terminal Tiga terdiri dari 38 gate. Gate 1-10 untuk penerbangan internasional dan Gate 11-38 untuk penerbangan domestik.

Ya Allah, Gate 25 mah jauh sekali. Terbayang bagaimana saya harus tergopoh-gopoh menuju gate itu. Tidak masalah kalau saya punya waktu yang cukup. Di titik inilah saya sudah mulai pasrah. Saya memperbanyak selawat.

Pikiran saya sudah ke mana-mana. Saya sudah memikirkan ketinggalan pesawat, jadwal penerbangan lain, moda transportasi lain menuju Surakarta, atau kemungkinan tiba di Surakarta pada sore hari atau besok paginya.

Saya menghubungi Mbak Dewi Damayanti yang berangkat ke Surakarta menggunakan pesawat yang sama untuk memastikan di gate berapa. Tak ada respons.

Mobil daring tinggal menghadapi dua titik kemacetan lagi. Satu titik terdekat ada di depan kami. Google Maps menginformasikan kalau ada kecelakaan di sana dan berpotensi menambah waktu tempuh sekitar 9 menit. Google Maps menandakannya dengan warna merah darah yang pekat. Duh …. Saya berselawat kembali.

Ketika kami melalui titik kedua kemacetan, ternyata sebenarnya bukan karena adanya kecelakaan. Kemacetan itu terjadi karena antrean di pintu pembayaran.

Saya mengecek Whatsapp lagi. Dan ada pesan masuk dari Mbak Dewi yang menginformasikan sebuah kabar “sedikit” menggembirakan. Ruang tunggu berubah dari semula Gate 25 menjadi Gate 18. Ini saja sudah menjadi sesuatu yang patut disyukuri.

Lepas itu jam sudah menunjukkan pukul 08.30. Mobil pun melaju kencang kembali dan bertemu dengan titik kemacetan terakhir. Jalan ini merupakan pertemuan kendaraan dari tol dalam kota dan tol Serpong yang memiliki satu tujuan yang sama: Bandara Soekarno Hatta.

Kemacetan terjadi selain karena adanya pertemuan jalan, juga karena ada banjir yang menggenangi satu ruas sisi jalan tol sehingga membuat mobil berjalan pelan. Kami memerlukan sekitar tujuh menitan untuk melalui kemacetan itu.

Di titik ini saya sudah cukup senang. Masih ada waktu 20 menit. Eh, abang sopirnya menerima telepon entah dari siapa yang membuat ia memelankan mobilnya. Alamak. “Ayo Pak,” tegur saya.

Satu lagi adalah ketika ada persimpangan jalan, ia salah masuk. Harusnya melalui jalan dengan penunjuk arah keberangkatan pesawat, ia malah mengambil jalan lainnya. Terpaksa ia harus mundur pelan-pelan. Itu saja sudah makan beberapa menit. Allah kariim. Masih ada ujiannya ternyata.

Baca: Daftar Isi Buku Sindrom Kursi Belakang

Berlari Melebihi Kecepatan Cahaya

Di depan Terminal Tiga saya minta untuk diturunkan di pintu 4. Ini salah, seharusnya pintu 5 supaya dekat dengan lokasi petugas keamanan bandara mengecek KTP dan tiket para penumpang.

Saya langsung berjalan cepat menuju lokasi itu dari pintu empat. Saya membawa tas koper beroda empat, jaket, dan tas kecil yang saya selempangkan di bahu. Saya sudah tidak melihat jam lagi. Biasanya pun saya mencetak boarding pass kembali walaupun sebenarnya sudah ada boarding pass elektronik di ponsel. Kali ini saya tidak peduli. Dalam benak saya, yang penting saya sampai di Gate 18.

Antrean panjang mengular di depan lokasi pengecekan untuk para penumpang selain Maskapai Garuda. Jeng … jeng… jeng …. Apa yang harus saya lakukan? Saya langsung menuju antrean penumpang Garuda. Kepada petugas keamanan bandara, saya langsung berkata, “Pak, bisa tolong saya enggak, Pak? Saya harus terbang dengan pesawat 09.05?”

“Lihat dulu tiketnya,” katanya. Saya pun menyodorkan boarding pass elektronik yang ada di ponsel. “Ya, silakan. Cepat,” ujar petugas itu.

Namun, ini juga belum selesai. Masih ada antrean untuk pengecekan barang-barang. Jelas kalau saya mengikuti antrean ini, saya ketinggalan pesawat. Saya pun bergegas melewati antrean dan menghampiri salah satu petugas di sana. Kembali saya meminta kebijakan petugas keamanan bandara sambil menyodorkan ponsel saya kembali. Ia membolehkan. Saya pun langsung menyela dan meminta maaf kepada para penumpang yang saya lewati.

Ternyata ada satu penumpang yang sama kondisinya dengan saya. Dia menaruh ponselnya ke dalam wadah biru yang saya pakai. “Numpang ya, Pak,” katanya.

Lepas dari proses pemindaian itu, ia mengambil ponselnya, dan langsung berlari secepat kereta Whoosh. Sedangkan saya masih beres-beres dan berusaha lebih cepat dari cahaya untuk keluar dari lokasi itu menuju Gate 12 sebagai awal ‘pelarian’ saya.

Di titik ini saya sudah tidak melihat jam lagi. Saya hanya berpikir bahwa saya harus berjuang sekuat tenaga dulu. Soal hasilnya nanti, itu urusan belakangan. Kaidah semesta yang berlaku adalah hasil tidak mengkhianati usaha.

Setelah menuruni eskalator, mulai dari Gate 12 itu, saya berlari dengan mendorong koper. Saya pun sudah tidak menghiraukan tatapan orang lain. Lari jalan. Lari jalan. Gate 13 sampai. Masih ada lima gate lagi. Saya berlari lagi. Gate 14. Masih ada empat gate lagi. Lari jalan. Lari jalan. Gate 15. Masih ada tiga gate lagi. Saya ukur jarak antar-gate itu sekitar 70-an meter. Di sinilah saya merasa latihan lari saya sejak tahun 2014 ada gunanya, walaupun memang terasa ngos-ngosannya. Ini bercampur dengan adrenalin yang mengalir deras ke sekujur tubuh.

Sampai di Gate 17, saya melihat lampu Gate 18. Hampir dua kali lipat jarak biasanya. Ternyata Gate 18 berada di ujung koridor sebelum berbelok ke kiri menuju gate paling ujung.

Di ruang tunggu Gate 18 sudah tidak ada orang lagi selain saya dan orang di depan saya. Ada juga yang hampir telat bersamaan saya. Saya menengok ponsel. Jam digital menunjukkan pukul 08.57. Byuuuh ….

Di depan petugas kru darat Citilink, saya menyerahkan ponsel untuk dicek. Sejak awal, KTP masih berada di saku baju. “Ayo cepat masuk, Pak,” serunya seusai mengecek layar komputer. Saya pun kembali setengah berlari menuju pesawat dengan menggunakan garbarata. Saya tak bisa membayangkan kalau masih harus naik bus lagi atau turun tangga dan melalui apron untuk masuk ke dalam badan pesawat. Oh iya, ini bukan maskapai itu.

Baca: Prakata Buku Sindrom Kursi Belakang, Mesin Hanya Memiliki Chip

Begini Saja Saya Sudah Bersyukur

Setelah masuk ke dalam pesawat, saya menuju kursi saya yang berada di dekat jendela. Di maskapai ini, untuk memilih kursi yang diinginkan harus bayar pada saat web check-in atau kalau mau gratis akan dipilih kursi secara acak. Beruntung bisa mendapatkan kursi di posisi itu.

Dan saya menemukan kursi saya sudah diduduki oleh orang lain. Seorang kakek-kakek, yang istrinya berada di kursi tengah. Duh, kok bisa yah … dah lah. Saya ikhlaskan saja. Saya bisa naik pesawat ini saja dan tidak tertinggal sudah merupakan anugerah luar biasa. Masih ada hal lain yang mesti disyukuri. Saya duduk di kursi yang bersebelahan dengan lorong. Saya izin ke pramugari untuk ke toilet. Di depan cermin toilet, saya melihat wajah saya berkeringat. Ya, wajar. Ini perjuangan banget. Di sinilah saya baru merasakan letihnya.

Saya kemudian kembali ke kursi. Ada kru darat menghampiri barisan kursi saya dan menyebut nama Riza Almanfaluthi. Ia ingin mengecek apakah saya ada atau tidak. Saya langsung mengangkat tangan. Ia pun mengangguk.

Tak berapa lama kemudian, pramugara datang membawa kertas berwarna merah. Lalu meminta sang kakek yang duduk di jendela untuk mengeluarkan tiketnya. “Harusnya di sini enggak ada orangnya,” gumam pramugara tersebut. Saya langsung ngeh, pasti pramugara ini sedang mencari saya juga. “Saya Riza, Pak. Saya yang sebenarnya duduk di sana,” kata saya sambil menyerahkan ponsel saya kembali. Clear semua.

Akhirnya pesawat mulai bergerak. Saya mengecek jam digital yang menunjukkan angka 09.14. Alhamdulillah.

Setibanya di kota yang berjudul The Spirit of Java itu, saya menceritakan kisah mengejar pesawat ini kepada seorang teman. “Inilah beruntungnya orang yang sudah terbiasa lari,” ujarnya. Oh begitu ya.

Atau sebenarnya sikap pasrah dan selawat yang terucap itu bahkan yang paling menyelamatkan. Pasrah yang tak menyerah dengan terus berikhtiar. Lebih tepatnya, saya hanya tak ingin berhenti di tengah jalan. Saya ingin maksimal berusaha saja.

Seringkali memang ketika sudah di titik puncak kepasrahan malah pertolongan Allah itu datang dan menjungkirbalikkan logika matematis yang telah diskenariokan oleh manusianya itu sendiri. Kalau dipikir ulang secara matematis kemungkinannya kecil sekali saya bisa terbang.

Kalau dihitung-hitung, banyak sekali pertolongan Allah yang datang, mulai dari awal saya naik mobil, perjalanan di tol tanpa suatu kejadian, gate yang pindah, petugas keamanan serta calon penumpang lain yang memaklumi, dan diberikannya kemampuan untuk terus berlari. Allah maha baik dan maha penolong kepada hamba-Nya yang pendosa ini.

Dan ternyata, dari kabar yang ada, masih ada yang tertinggal di belakang. Gate 18 sudah tertutup walaupun ia sudah berada di depannya. Duh …

 

***
Riza Almanfaluthi
29 Februari 2024
Foto berasal dari soekarnohatta-airport.co.id
Memesan buku Sindrom Kursi Belakang di tautan berikut: https://linktr.ee/rizaalmanfaluthi.

 

Tinggalkan Komentar:

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.