Singgah di Sebuah Warung Asli dan Tidak Buka Cabang di Tempat Lain


Seperti di tahun-tahun sebelumnya, kami menyengaja untuk mudik pada satu hari menjelang lebaran. Bukan tanpa maksud. Ini upaya kami untuk memaksimalkan hari-hari dan malam-malam terakhir Ramadan.

Biasanya pun jalanan sudah tidak seramai pada dua-empat hari sebelum Idulfitri. Nyatanya memang benar. Perjalanan kami hanya sebentar. Google Maps menginformasikan, kami membutuhkan hanya lima sampai enam jam menuju tempat tujuan.

Saya pikir kelancaran itu juga didukung kebijakan pemerintah yang memberikan cuti bersama tidak mepet dengan lebaran. Alhasil, semua pemudik bisa mengatur waktu terbaik untuk mudik dan tidak tumpah ruah di masa yang bersamaan. Yang penting: bisa sampai ke kampung halaman sebelum salat Id.

Baca: Sebuah Prakata Buku Sindrom Kursi Belakang

Jalan Tol Fungsional

Kami berangkat dari Pondok Aren pada Selasa pagi, 9 April 2024. Tepatnya pukul 08.19. Di gerbang kompleks kami menyerahkan sedikit bingkisan kepada Pak Satpam yang masih bertugas di sana sambil menitipkan rumah.

Sebelum masuk tol, kami memenuhi tangki mobil dengan bahan bakar. Kami juga mengecek tekanan semua ban. Setelah itu kami memasuki Gerbang Tol Parigi.

Sebelum berangkat, Mas Haqi yang memegang setir memberi saran untuk tidak memasuki jalan tol JORR yang berujung di jalan tol Cikunir. Ia menyarankan untuk menggunakan jalan tol fungsional Cimanggis-Cibitung. Jadi dari Bintaro terus melaju menuju jalan tol baru Depok sampai ke Cimanggis. Dari Cimanggis, mobil tidak masuk ke Jagorawi, tetapi tetap lurus menuju Cibitung. Saat di Gerbang Tol Cimanggis, saya melihat jam menunjukkan pukul 09.03.

Kami memasuki jalan tol Cimanggis yang nantinya menyambung di jalan tol Cikampek KM-25. Jalanannya masih kasar. Masih banyak alat-alat berat di sisi kanan-kiri jalan tol. Jadi memang jalan tol ini masih belum apa-apa untuk digunakan secara normal. Namun, sudah cukup membantu buat para pemudik yang berasal dari Selatan seperti Bogor dan dari Barat seperti Bintaro, Serpong, dan Banten.

Jalan tol Cimanggis Cibitung ini hanya dibuka dengan jam tertentu saja. Kalau tidak salah, sesi pagi hanya sampai pukul 12.00. Nanti, setelah ditutup akan dibuka untuk mobil dari arah sebaliknya. Tentunya akan diatur kemudian jam-jam operasional pada saat arus balik.

Baca: Mengapa Dipergilirkan. Pasti Ada Maksud dan Tujuannya. Ulasan Buku Sindrom Kursi Belakang

Jalanan Sepi

Kami sampai di KM-25 pada pukul 09.23. Tiga puluh satu menit kemudian kami sudah sampai di Gerbang Tol Cikampek. Saya melihat jalur one way dibuka. Karena kami mengambil sisi kiri di gerbang tol itu, jadi kami tidak bisa menggunakan jalur one way. Kami tidak menjumpai antrean mobil sama sekali. Kami tidak menemukan keramaian. Ini seperti di hari-hari biasa saja, sungguh.

Kami sampai di Gerbang Tol Palimanan pada pukul 11:11. Kami terus melaju menuju Semarang. Saya menanyakan kepada Mas Haqi apakah ia sudah mengantuk atau enggak. Ia masih bertahan. Sudah jadi templat dalam perjalanan kami, kalau sopir mengantuk berarti harus minggir untuk gantian memegang kemudi atau kalau tidak ada yang kuat lagi mesti tidur dulu di rest area.

Di kilometer entah berapa, Mas Haqi sudah tidak punya daya untuk menahan kantuk. Ia meminggirkan mobil di bahu jalan dengan terlebih dahulu memencet lampu hazard. Saya yang di bangku tengah maju ke depan. Mas Haqi mundur ke barisan tengah menemani uminya. Mas Ayyasy masih ada di kursi depan sebagai navigator. Kinan masih terlelap di kursi belakang.

Saya menengok ke belakang. Dari kejauhan saya melihat ada mobil dengan kelap-kelip lampu biru melaju mendekati kami di bahu jalan. Saya pikir petugas jalan tol yang akan menegur atau mengecek kondisi kami. Saya bergegas untuk tidak terlalu lama di sana. Mobil itu melewati mobil kami dan tetap melaju di bahu jalan.

Saya memegang setir kini. Saya berusaha menjaga kecepatan dan jarak dengan mobil sekitar. Terutama berhati-hati pada saat melewati jalan tol Kanci Pejagan yang bergelombang. Kami menjumpai hujan di daerah Pejagan, Brebes, Tegal, Pemalang, dan sebagian jalan tol menuju Pekalongan. Alhamdulillah sampai di titik ini pun perjalanan lancar.

Namun, kantuk mulai menyerang saya. Mas Haqi pun sepertinya sudah mendapatkan istirahat yang cukup. Di SPBU KM-338 di daerah Pekalongan, tepatnya pada pukul 12:53, saya menyerah. Setir saya serahkan ke Mas Haqi. Di SPBU itu kami tidak rehat sama sekali. Kami langsung jalan lagi. Masih ada 80 km lebih untuk sampai di Gerbang Tol Kalikangkung.

Ketika saya kembali duduk di barisan tengah, saya memang langsung terlelap. Saya sesekali terbangun ketika mobil berguncang keras dan tak bosan-bosan mengingatkan Mas Haqi untuk menurunkan kecepatan dan senantiasa jaga jarak. Tidak ada yang dikejar. Mengejar apa lagi? Selamat adalah tujuan utama.

Baca juga: Testimoni Seorang Bibliophagist

Tetap Saja Mampir ke Toko Buku

Saya benar-benar terjaga ketika mobil sudah sampai di Gerbang Tol Kalikangkung pada pukul 13:50. Tidak sampai satu jam dari mula Mas Haqi mengambil alih kemudi. Tidak ada antrean seperti hari-hari sebelumnya. Pun, tidak ada kemacetan di jalan tol menuju pintu tol Gayamsari. Kami sampai di pintu tol Gayamsari pada pukul 14:05.

Seperti biasa, seperti tahun-tahun sebelumnya, kami tidak menuju rumah. Kami pergi dulu ke Masjid Agung Jawa Tengah untuk salat dan rehat. Kami sampai di masjid itu pada pukul 14:15. Tidak sampai enam jam kami melakukan perjalanan mudik. Lancar dan tidak ada kendala sama sekali. Semata-mata ini karena Allah Swt. yang menghendakinya demikian.

Di hari terakhir Ramadan 1445 H ini rencananya kami berbuka puasa di pinggir jalan. Namun, waktu iftar itu masih lama. Jadi akan ke mana dulu? Akhirnya, usai rehat, kami pergi ke toko buku di sekitaran Simpang Lima, dekat Masjid Raya Baiturrahman. Namanya seperti nama masjid ikonis di Banda Aceh.

Di toko buku itu banyak sekali buku yang ingin saya beli. Ujung-ujungnya saya tetap harus menyisihkan beberapa buku dan hanya satu buku yang saya bawa. Hanya buku yang benar-benar akan saya baca sampai selesai yang saya beli, sekaligus untuk menghindari Sundoku.  Ini hasrat membeli banyak buku, namun pada akhirnya tidak ada buku yang dibaca sama sekali, bahkan plastik pembungkus bukunya saja masih utuh.

Baca: Daftar Isi Buku Sindrom Kursi Belakang

Pak Edi yang Banyak

Pada saat membayar empat buku, kami bertanya kepada si mas kasir soal tempat makan untuk berbuka puasa. Dia menyarankan tahu gimbal semarang. Oke, kami ke sana. Satu jam lagi akan ada kumandang azan 1 Syawal.

Tak lama kemudian kami sampai di tempat tujuan. Pinggir jalan itu masih menyisakan satu tempat untuk mobil. “Tempat parkir mobil ini hanya untuk yang mau makan di warung ini,” kata mas parkirnya. Oke juga. No problem. Tidak masalah yang sebenarnya masalah karena tidak ada yang berhak mengeklaim pinggir jalan itu, kecuali pemerintah kota.

Kami singgah di Warung Tahu Gimbal Pak Edi Asli Tidak Buka Cabang yang berada di ujung Jalan Pandanaran 2, yang tukang parkirnya meminta kami harus makan di warung itu. “Sebelah warung ini apa, Mas?” tanya saya kepada Mas Haqi.

“Warung tahu gimbal juga. Namanya Pak Edi juga,” katanya. “Kok begitu?” pikir saya.

Jari saya kemudian mengetikkan sesuatu di mesin pencarian Google: “Tahu Gimbal Pak Edi”. Beragam informasi soal warung tahu gimbal Pak Edi bermunculan. Barulah saya tahu, ternyata ada lebih dari delapan warung yang mengeklaim nama Edi dan nama turunannya baik memakai huruf y atau ataupun i sebagai jenama warung tahu gimbalnya. Barulah saya tahu juga yang asli adalah yang memakai gelar haji di depan nama Edy.

Untuk saat ini kita tak beranjak untuk mempermasalahkan orisinalitas kudapan iftar. Yang prioritas buat kami saat ini adalah tempat dan makanan yang pas. Di saat yang sama ada Gaza yang tengah nestapa.

Masih ada waktu 40 menit untuk berbuka puasa. Saya dan Kinan membaca buku. Pun, pesan-pesan dan doa-doa suci sudah mulai masuk melalui aplikasi percakapan di ponsel. Iya, Ramadan sebentar lagi pergi. Entah dia akan berkenan menjumpai kita lagi atau enggak? Cuma harapannya adalah kesangatan pertemuan karena di sana banyak keberkahan dan kebahagiaan, baik di ujung hari, maupun di ujung bulan.

“Azannya sebentar lagi. Pukul 17.46,” kata mas tukang masaknya saat saya bertanya jam berapa azan magrib di sini. Sesuatu yang disanggah oleh pengunjung yang baru tiba di warung itu.

“Ayo Pak. Sudah azan. Buka, Pak. Silakan,” kata sang ibu dalam bahasa Jawanya sambil mengambil es teh manis. Ternyata azan tidak terdengar sampai ke sudut jalanan ini. Kami hanya mengandalkan niat baik orang yang mendengar waktu berbuka puasa itu entah di mana dan menginformasikannya kepada kami.

Alhamdulillah. Ya Allah karena-Mu aku berpuasa, dengan-Mu aku beriman, kepada-Mu aku berserah dan dengan rezeki-Mu aku berbuka, dengan rahmat-Mu, Ya Allah yang Tuhan Maha Pengasih.

Bahagia itu bukan orang lain yang buat, tetapi kita sendirilah. Namun, sejatinya bahkan Allah-lah yang memberikan kebahagiaan itu kepada orang yang dikehendaki-Nya. Sehat-sehat selalu ya.

Kita bertemu di Ramadan mendatang. Insyaallah.

***
Riza Almanfaluthi
11 April 2024
Memesan buku Sindrom Kursi Belakang dan Kita Bisa Menulis di tautan berikut: https://linktr.ee/rizaalmanfaluthi.

One thought on “Singgah di Sebuah Warung Asli dan Tidak Buka Cabang di Tempat Lain

Tinggalkan Komentar:

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.