Tak Ada Derek dan Sabari Pagi Ini


“BULAN DESEMBER***ini saya baru lari 12 kilometer. Jadi bagaimana supaya saya bisa mempersiapkan diri buat lari 30 kilometer di malam tahun baru dari Depok ke Bogor?” tanya saya kepada bujang ganteng itu. Ia juga ikut di even Tugu ke Tugu ini.

“Besok Minggu Half Marathon saja,” jawabnya. Baiklah. Akhirnya saya canangkan target besok pagi hari Ahad ini saya akan lari 24 kilometer. Setara 80% dari 30 kilometer. Kata pelari pro sih begitu katanya. Minimal kalau latihan ya ambil 80% dari jarak tempuh lomba.

Malam itu, segera saya tidur cepat. Enggak juga sih sebenarnya. Menjelang tengah malam baru bisa tidur. Sepertinya efek espresso double shot yang sebenarnya americano dari warung kopi besar itu benar-benar beraksi. Atau karena aku sedang memikirkanmu? (Hayyah…)

Paginya, setelah pakai kostum lengkap saya mulai lari sekitar pukul 06.15. Saya pakai vest (tas atau rompi lari). Ini bukan untuk gaya-gayaan. Ini peralatan wajib yang kudu dipakai minggu depan. Selain head lamp, lampu led yang bisa menggeridip, peluit, wind breaker, jas hujan, charger, telepon genggam, dan banyak lagi yang lainnya.

Nah, pagi tadi mulai lari. Lima kilometer pertama masih bisa mengejar waktu di bawah 30 menit. Tapi setelah itu mulai melambat. Bahkan sudah mulai kehilangan kekuatan di kilometer delapan. Di kilometer 16 benar-benar kepayahan. Dan di Kilometer 21,1, saya didera dengan lecutan kram. Kram yang menyerang kaki kanan dan kiri. Bahkan sampai paha bagian atas. Tapi saya masih bisa melanjutkan lari.

Rute lari saya itu mulai dari rumah, Gang Langgar, Perumahan Perdagangan, PDAM, CCM, Perempatan Sentul, Kompleks Pabrik Sentul, balik lagi ke Perempatan Sentul dan berakhir di Stadion Pakansari.

Di Perempatan Sentul menuju Stadion Pakansari, tepatnya di kilometer 22, di lampu merah, saya berhenti sampai meringis. Kram menyerang lagi. Padahal jarak tempuh masih 2,5 kilometer lagi. Tanggung banget kalau berhenti.

Saya menyinambungkan lagi pelarian ini. Sampai ketika persis di kilometer 22,85 saya sudah tak kuat lagi. Saya sampai rukuk. Bahkan orang-orang di pinggir jalan sudah mau memapah saya saja ke trotoar. Tapi saya masih bisa berjalan kok. Jadi tak perlu dipapah sih. Istirahat sebentar di trotoar, di bawah pohon yang rindang. Dikasih minyak aroma terapi buat membalur kram di betis.

Lalu setelah mulai enakan saya bangkit lagi. Provokasi untuk menghentikan waktu di Garmin besar banget. Tapi ini tanggung. Sebentar lagi. Apapun yang terjadi, apa yang sudah dimulai, harus dituntaskan, harus diselesaikan.

Saya jadi terkenang dengan Sabari dalam novel Ayah, pelari maraton yang terus melanjutkan berlari, menolak untuk menyerah meski lomba sudah usai dan para juara sudah ditentukan. Saya tidak seperti Sabari yang menyeret kakinya yang berdarah, wajah pucat, keadaannya compang-camping. Tidak. Saya masih lebih baik daripada Sabari. Barangkali yang menyamakan adalah kami masih punya yang namanya “tekad” di sisa-sisa tenaga.

Pelan-pelan saya mulai lari lagi. Saat itu matahari lagi lucu-lucunya setengah memanggang orang di bawahnya. Pace bahkan menyentuh di angka 9 menit per kilometer. Enggak apa-apa lambat begitu. Yang penting lari, lari, lari dan selesai. Akhirnya sampai juga di kilometer 24.

Barangkali kalau Derek Anthony Redmond ada di kilometer 24 dan melihat saya pasti dia akan menyalami saya. Melihat saya seperti melihat dirinya 25 tahun lalu. Saat ia digadang-gadang sebagai juara lari 400 meter di Olimpiade Barcelona.

Tapi sayang baru 150 meter. Ia kena cedera Hamstring. Ia terkapar. Ia kesakitan. Tetapi bersikeras untuk tetap lari. Ia bangkit dan terus berlari dengan kaki terpincang-pincang. Panitia lomba memintanya berhenti. Ia tak peduli. Seseorang mendesak masuk ke arena lari. Merangkul Derek. Itu bapaknya yang mencoba membujuk Derek untuk berhenti. Tapi Derek menolak. “Baiklah, mari kita lari bersama.”

Derek didiskualifikasi. Tapi di garis finis sambutan 65.000 penonton betapa meriahnya. Derek memenangkan hati penonton. Di Belitong, Sabari pun demikian. Jika ada manusia yang tak menjadi juara lomba, tetapi lebih terkenal daripada sang juaranya sendiri, orang itu adalah Derek dan Sobari.

Sudahlah, kembali berpijak kepada bumi. Tak ada Derek dan Sabari pagi ini. Pun, tak ada hati yang harus dimenangkan pada Minggu pagi ini. Kenapa maksain sih? Enggak juga. Ini sekadar memaksa otot-otot kaki saya mengingat dan menyimpan memori bahwa dirinya bisa lari sampai 24 kilometer. Jadi ingatannya tinggal mengingat 6 kilometer lagi. Bagaimana? Ya, Akang lelah, Neng. Kumaha engke we atuh.

Latihan lari secara rutin tidak akan pernah menjadi laku Raden Sucitra kepada Durna. Tidak akan pernah ingkar janji. Dan saya tidak melakukan rutinitas itu. Lari 30 kilometer terakhir pada Juli 2017 lalu. Lari 21 kilometer pada akhir Oktober 2017 lalu. Setelah itu latihannya kurang jauh, kurang lama.

Kram itu karena otot-otot kaki sudah mulai tidak ingat lagi dirinya kapan terakhir pernah lari jarak jauh. Macam mana pula kalau full marathon, kudu dipersiapkan betul atuh.

Dari Stadion Pakansari yang menggoda dengan banyaknya orang menjual aneka ragam kenikmatan syahwat mulut, saya pesan ojek daring. Sudah pengen cepat-cepat sampai rumah. Sudah hampir jam 10 pagi. Enggak pakai lama, akang ojek dari Katulampa yang enggak tahu jalan ini datang dan mengantarkan saya ke rumah.

Kopi Ciwidey dari ketinggian 1400 mdpl sudah habis diminum. Itu setelah digiling dulu, disiram air panas, dan disaring dari penyaring Cafflano. Di pembungkus kopinya yang putih ada tulisan tangan begini: mango, caramel, tanggal sangrai 15/10/17.

Menulis ini memang sengaja sambil minum kopi yang raksi sekali aromanya itu. Setengah jam setelah sampai rumah barulah ditulis. Itu pun setelah makan nasi uduk yang luar biasa enaknya. Itu saja kali yah cerita larinya hari Ahad ini.

Ini hanya sekadar latihan belaka. Latihan agar kelak bisa tangguh berlari di palung jantungmu yang Mariana. Sampai takdir yang menentukan jantung siapa yang harus berhenti berdenyut terlebih dahulu. Milikmu atau aku?

Aappassih…?

 

***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
Citayam, 24 Desember 2017

 

Advertisement

Tinggalkan Komentar:

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.