Kisah Ini Bukan untuk Kalian yang Imannya Sudah Tebal


Sedekah yang Bikin Kaget Orang

(Sebuah Kisah Nyata)

 

“Mas, Tini demam. Panas banget nih,” kata Supinah, istrinya di ujung telepon. Bambang tercenung.

Adiknya yang bernama Agus bertanya, “Ada apa?”

Baca Lebih Lanjut

Mengurangi 3.000.000 Butir Permen


Tahu tidak? Ketika kita datang ke sebuah layanan pelanggan (customer service) perusahaan kita menjumpai di mejanya ada yang menyediakan permen dalam sebuah mangkuk atau toples kecil.  Penggunaan mangkuk dan toples ini ternyata punya dampak berbeda-beda. Berdasarkan penelitian, menggunakan toples lebih menghemat konsumsi permen dibandingkan menggunakan mangkuk. Mengapa demikian?

Ini karena penggunaan mangkuk tanpa ada penutup senantiasa memantik keinginan pelanggan untuk mengambil permen, entah seberapa besar atau kecil keinginannya dalam mengonsumsi permen. Sedangkan kalau diletakkan dalam toples yang ada penutupnya akan ada usaha kecil untuk dapat mengambil permen. Itu saja sudah dapat menghambat keinginan yang tak besar memakan gula-gula.

Baca Lebih Lanjut

Secuil Cerita Digaplok Kepala Stasiun Jatibarang


Photo by James Wheeler on Pexels.com

Waktu itu Sekolah Dasar (SD) kami menyelenggarakan kegiatan Pramuka. Acaranya hiking dan mencari jejak. Saya ikut. Lengkap dengan seragam pramuka dan perlengkapannya. Ditambah satu termos besar berisi es bungkus. Es bungkus dengan rasa teh manis ini saya ambil dari tetangga.

Ya, sambil ikut pramuka saya jualan juga. Laku? Alhamdulillaah, laku keras. Saya senang kalau teman-teman pada kelelahan karena berjalan jauh ini di tengah terik matahari, dengan begitu mereka akan mengincar es teh saya. Semakin mereka lelah, semakin ringan termos yang saya bawa ini. Keuntungan jualan ini buat jajan. Itu pengalaman berdagang saya waktu SD.

Baca Lebih Lanjut

CARA AJAIB AGAR PERKATAAN ANDA DIDENGAR DAN DITAATI


CARA AJAIB AGAR PERKATAAN ANDA DIDENGAR DAN DITAATI

Saya pernah membaca kisah di bawah ini. Entah kapan. Tetapi sepertinya sudah puluhan tahun lampau. Entah pada saat saya di sekolah dasar atau pada saat saya sedang kuliah. Namun itu tak penting. Yang penting adalah pati kisah itu melekat kuat di benak saya. Kuat sekali. Kisah sebuah keteladanan.

    Sabtu sore, saya sedang menulis sesuatu. Kebetulan terkait masalah kemunafikan. Lalu saya ingat kembali kisah itu. Tetapi karena khawatir jalan ceritanya menyimpang, saya tunda untuk menuliskannya.

    Saat jelang maghrib, saya melihat sebuah majalah wanita. Saya iseng mengambil dan membolak-balikkan halamannya. Kali saja saya dapat materi yang bagus untuk saya transfer dan bagi kepada jama’ah masjid. Kemudian mata saya terantuk pada sebuah rubrik yang diasuh oleh Ustadz Musyafa Ahmad Rahim yang membahas hadits Ar’bain nomor 28.

Subhanallah, kebetulan luar biasa, di sana ditulis juga tentang kisah yang saya ingin tulis, kisah yang sudah lampau sekali terekam dalam memori saya dan saya temukan kembali. Saya langsung ingin menceritakannya pada Anda semua Pembaca, semoga bermanfaat.

Diceritakan bahwa Al-Hasan Al-Bashri, salah seorang ulama tabi’in, dikenal seorang ulama yang mau’izhahnya sangat berkesan. Saat dilakukan penelusuran dan penelitian, ternyata rahasianya adalah kesesuaian antara ucapan dengan perbuatannya.

Pada suatu hari sekumpulan hamba sahaya mendatangi Al-Hasan Al-Bashri, mereka meminta kepadanya agar dalam forum mau’izhah mendatang beliau berbicara tentang keutamaan memerdekakan budak. Harapan mereka, para pendengar mau’izhahnya yang banyak dari kalangan para tuan mereka, akan langsung memerdekakan para hamba sahayanya. Mendengar permintaan tersebut, Al-Hasan Al-Bashri menjawab, “Insya Allah.”

Ternyata saat majelis mau’izhah dibuka, dia tidak menyampaikan keutamaan memerdekakan budak. Maka para hamba sahaya itu mendatanginya lagi dan mengulangi permintaan yang lalu. Al-Hasan Al-Bashri menjawab permintaan mereka dengan mengatakan, “insya Allah.” Dan saat forum mau’izhahnya dibuka, dia pun tidak menyampaikan tema keutamaan memerdekakan budak. Dan para hamba sahaya itu mendatanginya lagi dan mengulangi permintaan mereka sebagaimana yang lalu.

Pada saat waktu mau’izhahnya tiba, Al-Hasan Al-Bashri menyampaikan tema keutamaan memerdekakan budak. Benar saja para tuan yang hadir dalam forum itu langsung memerdekakan hamba sahaya mereka. Dan jadilah mereka manusia-manusia merdeka.

Para hamba sahaya yang telah menjadi manusia merdeka itu pun mendatangi Al-Hasan Al-Bashri lagi. Mereka mengucapkan terima kasih sekaligus celaan, kenapa tidak dari awal Al-Hasan Al-Bashri menyampaikan mau’izhah tentang keutamaan memerdekakan budak. Kalau demikian, niscaya mereka telah menjadi manusia merdeka sejak kemarin-kemarin.

Maka Al-Hasan Al-Bashri menjelaskan, bahwa waktu mau’izhah pertama tiba, dia belum mempunyai uang untuk membeli budak. Begitu juga saat mau’izhah kedua. Baru menjelang majelis mau’izhah yang ketiga, dia mempunyai cukup uang untuk membeli budak. Lalu di depan khalayak, ia langsung memerdekakan semua budak yang dibelinya. Setelah itulah dia baru bisa berbicara tentang keutamaan memerdekakan budak. Subhanallah. (Majalah Ummi No1/XXII/Mei 2010/1431 H)

**

Saya mengambil sari yang mudah dicerna buat para sahabat-sahabat saya di lingkungan rumah saya dan tentunya buat saya pribadi juga, karena ini merupakan nasehat besar. Bahwa kalau ingin perkataan kita didengar dan ditangkap dengan baik oleh istri dan anak-anak—sebagai kumpulan individu yang paling dekat–kita, maka selaraskanlah antara perkataan dan perbuatan.

Ya, bagaimana menginginkan anak kita ketika adzan maghrib terdengar, mereka langsung mematikan televisi, play station, komputernya untuk segera berbondong-bondong ke masjid sedangkan diri kita cuma bisa menyuruh dan masih saja menikmati acara televisi?

Atau bagaimana menginginkan anak kita tidak merokok, sedangkan diri kita masih mempertontonkan nikmatnya klepas-klepus di depan mereka? Dan bagaimana mungkin menginginkan istri-istri kita menjadi sholihah, sedangkan kita malas untuk mendatangi halaqah, majelis dzikir, dan majelis ilmu lainnya?

Ohya, ibarat motor selain diisi dengan pertamax maka perlu ditambah pula dengan cairan suplemen agar larinya bisa sekencang mungkin. Begitu pula agar perkataan kita bisa didengar lebih berbobot dan mantap lagi oleh pasangan hidup dan anak-anak kita, selain menyelaraskan antara perkataan dan perbuatan, maka ada satu suplemen pelengkapnya: Shalat Malam.

Ya betul, pada saat shalat malam itu Allah menurunkan kepada para pelakunya perkataan yang berat. Insya Allah semua akan mendengar perkataan kita dan meresapinya dalam hati. Saya berharap Anda dan saya bisa menerapkannya.

Kiranya para pemimpin di republik ini perlu juga menerapkan cara ini agar perkataannya bisa didengar, diikuti, dan tidak dilecehkan oleh masyarakatnya sendiri. Tak perlu buang uang untuk membeli suara rakyat saat pemilihan umum tiba. Tak perlu bayar mahar atau pergi ke dukun untuk buka-bukaan aura segala. Inilah sebuah cara ajaib untuk menundukkan hati.

Demikian. Semoga bermanfaat.

*** )I(***

 

Mau’izhah atau al-wa’zhu adalah nasehat dan pengingatan tentang suatu akibat atau akhir dari kejadian atau kesudahan dari sebuah perjalanan.

    Maraji’: Al-Muzzammil ayat 5, Majalah Ummi No1/XXII/Mei 2010/1431 H

 

riza almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

03.49 11 Mei 2010

SEBELUM PERTEMPURAN SELESAI


SEBELUM PERTEMPURAN SELESAI

Ahad pagi yang lalu teman saya yang sedang mencalonkan diri jadi Ketua RW di komplek kami menelepon saya untuk menyiapkan dokumen yang hendak disampaikan dalam pidato kekalahannya. Padahal penghitungan suaranya saja belum dilakukan. Rencananya jam sepuluh siang nanti akan dibuka kartu suara yang terkumpul.

Saya mencoba memaklumi suasana kebatinan yang ada pada dirinya. Sebenarnya dia tidak berniat untuk menjadi Ketua RW. Karena saya dorong untuk maju membawa misi menyelamatkan kepentingan masjid,  barulah ia mau.  Formulir pendaftarannya itu pun baru ia serahkan beberapa jam sebelum batas waktu yang telah ditentukan. Dia hanya punya waktu dua hari untuk mempersiapkan diri melawan satu calon lain yang sudah dikenal oleh warga.

Yang menjadi beban berat baginya adalah fitnah ataupun kampanye hitam yang bersileweran tentang dirinya.   Seperti isu tentang dirinya yang menjadi anggota ataupun pengurus sebuah partai politik. Padahal ia adalah seorang Pegawai Negeri Sipil Departemen Keuangan yang dalam kode etiknya disebutkan tentang pelarangan untuk menjadi anggota ataupun simpatisan aktif partai politik.

Kemudian saya mencoba mengirim pesan singkat untuknya. “Sebelum pertempuran benar-benar selesai pantang untuk berbicara kekalahan. Insya Allah Anda yang menang.”

Jam setengah dua belas siang sebuah pesan singkat masuk ke dalam kotak surat telepon genggam saya. “Alhamdulillah, dengan kekuasaan Allah ikhwan kita terpilih menjadi ketua RW. Wassalamu’alaikum.” Selisih suaranya  lima puluh suara. Cukup signifikan  dan cukup untuk sebuah legitimasi kepemimpinan selama tiga tahun ke depan.

Saya mengirim nasihat untuk teman saya itu. “Pak Haji Sholeh, amanah berat sudah menghadang Anda. Saya berpesan kepada Anda jadilah pemimpin yang adil dan amanah. Pemimpin yang menjauhi forum ghibah dan fitnah. Senantiasa menyayangi rakyat,  mustadh’afin, dan anak yatim. Selalu memudahkan urusan orang lain hingga Allah pun akan memudahkan urusan Anda. Ketika pemimpinnya bertaqwa maka RW.17 pun akan diberikan keberkahan Allah. Semoga anda masuk surga. Amin. Wassalam. Riza.

**

Ya, saya ulang. Sebelum pertempuran benar-benar selesai pantang bicara tentang kekalahan. Karena ketika kita berbicara kekalahan maka pikiran akan mengondisikan seluruh tubuh untuk menerima aura kekalahan, kekalahan, dan kekalahan. Maka kita pun akan kalah. Dan Allah pun hanya berdasarkan prasangka hamba-Nya.

Apa yang saya dapatkan dari komik  Naruto mulai Chapter 1 hingga 477 hanya sebuah pesan besar tentang SEMANGAT PANTANG MENYERAH. Semangat untuk tidak berputus asa ketika nyawa masih ada di badan. Semangat untuk tidak menyerah pada keadaan, semangat untuk senantiasa berbuat baik, semangat untuk merubah keadaan, semangat untuk senantiasa menjadi pemenang.

Yaa Ayyuhal ikhwah, semangat itulah yang seharusnya menjadi milik kita! Bukan mereka! Karena kita punya Allah. Dan tidaklah sebuah kemenangan melainkan di sisi Allah. Pun janji-janji-Nya tak pernah diingkari: sesungguhnya setelah kesulitan ada kemudahan.

Kepada Anda yang hari ini sedang berputus asa. Kepada Anda yang hari ini menyerah pada suatu kondisi. Kepada Anda yang hari ini cuma menjadi pecundang saya berkata:

“Karena Anda masih punya nyawa pada saat ini, karena Anda bukanlah bangkai, karena pertempuran belum selesai! maka BANGKITLAH! HIDUPLAH! SEMANGATLAH! Raih harapan Anda. Allah menyertai kita semua. Yakinilah.”

***

Allahua’lam bishshowab

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

08:24 08 Januari 2010

ORANG BAIK ORANG KUAT


ORANG BAIK ORANG KUAT

Orang baik adalah orang yang senantiasa meninggalkan kenangan yang tak mudah dilupakan buat orang yang ditinggalkannya. Orang baik adalah orang yang ketidakberadaannya adalah sebuah kehilangan buat orang yang berat melepas kepergiannya. Dan tentu orang baik adalah pahlawan bagi sebagian orang, hingga Benyamin Disraeli (Perdana Menteri Inggris) mengatakan, “The legacy of heroes is the memory of a great name and the inheritance of a great example.” Warisan dari para pahlawan adalah kenangan sebuah nama besar dan peninggalan dari keteladanan yang hebat.

Di suatu hari, seorang kepala kantor memimpin rapat bersama kepala seksi teknis dan para bawahannya membahas pencapaian-pencapaian, kinerja dan target yang akan diraih di waktu mendatang. Sedang asyik-asiiknya rapat datang kabar mendadak bahwa di ruang tamu telah tiba atasan kepala kantor yang lebih senior. Lalu sang atasan tersebut tanpa membuang waktu ikut pula dalam rapat tersebut dan ia yang bertubuh besar, berkumis, serta dikenal dengan temperamennya yang keras langsung memberondong kepada seluruh peserta rapat dengan pertanyaan ini dan itu. Kedatangannya sudah barang tentu membuat suasana rapat yang semula cair menjadi tegang.

Tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan seputar kinerja kantor dari para bawahan, sang atasan dari kantor pusat menegur kepala kantor dan menegaskan bahwa pekerjaan yang dilakukannya tidak beres, tidak becus, dan kepala kantor dianggap tidak bisa memimpin. Tentu, semua yang meluncur dari mulutnya membuat yang mendengarnya pun menjadi risih. Apatah lagi dengan yang ditegur mukanya menjadi merah dan terlihat kikuk.

Setelah memberikan beberapa pengarahan yang disertai ancaman mutasi sang atasan pergi untuk melakukan peninjauan ke kantor cabang lainnya. Dengan kepergiannya para peserta rapat menjadi lega bercampur khawatir bahwa kepala kantor akan marah-marah dan menekan mereka sebagai pelampiasan dari dirinya yang dipermalukannya di hadapan banyak orang.

Tapi kekhawatiran itu ternyata sia-sia dan tidak menjadi wujud. Kepala kantor dengan tenangnya mengatakan bahwa atasan marah itu biasa. “Dimarahi olehnya pun biasa dan saya memahami karakter beliau karena saya pernah bertugas bersama beliau. Jadi dimaklumi saja.”

“Cessss…!” Perkataannya seperti air yang mampu mendinginkan bara api. Biasa saja. Tanpa panik. Tanpa mengumbar dan membalas kepada yang lemah dengan kemarahan yang berlipat-lipat padahal ia mampu untuk melakukannya jika mau. Tanpa ada ancaman. Pantaslah suasana rapat pun kembali menjadi cair dengan segera.

Lebih dari sebuah pelajaran terbentang di hadapan mata. Pelajaran sebuah kesabaran. Pelajaran menahan diri dari kemarahan dan pembalasan. Pelajaran sebuah ketenangan. Pelajaran tidak merasa dihina dan dilecehkan.

ah,

sosok itu meneguhkanku akan sebuah kesabaran

waktu itu,

sang radang datang kepadanya

kepadaku

lalu sang radang menyemburkan

segala kekesalan pada sosok itu

di hadapanku

tapi sosok itu dengan teduh bersikap

menjadi tembok raksasa dari sebuah pembalasan

mengabaikan malu

mengabaikan harga diri yang terperosokkan

tapi tidak bagiku

harga dirinya menjulang ke langit

kokoh bercahaya

Suatu saat, ketika ia ditanya mengapa tidak mudah atau bahkan tidak pernah marah, ia menjawab: “Saya adalah manusia biasa, punya rasa marah juga. Tetapi ketika marah itu butuh pelampiasan, kesadaran saya muncul bahwa buat apa saya marah jikalau marah itu ternyata membuat diri kita sendiri menjadi rugi.”

Betullah apa yang dikatakannya, dalam sebuah artikel dikatakan bahwa marah buruk bagi kesehatan karena marah bisa menyebabkan serangan jantung atau stroke. Hasil penelitian Harvard Medical School menunjukkan hal tersebut. Orang yang paling mudah marah berpeluang tiga kali lipat untuk memiliki penyakit jantung. Marah-marah pada usia muda merupakan prediktor yang baik terhadap terjadinya serangan jantung hari tua. Semakin tinggi marahnya maka semakin tinggi resikonya. 1)

Prosesnya adalah sebagai berikut, bahwa ketika marah datang maka ia dapat memengaruhi saraf dan mengeluarkan hormon adrenalin. Hormon ini merupakan sari dari gundukan lemak yang ada di pinggang bagian atas, dan berfungsi sebagai jaringan adaptasi tubuh, serta menyiapkannya untuk menerima pengaruh-pengaruh goncangan saraf, di antaranya ketika marah.

Hormon tersebut bergerak menuju ke saluran pankreas untuk menghentikan insulin, dan akan menambah kadar gula dalam darah, sehingga akan menaikkan produktivitas gula dalam organ produksi minyak dalam tubuh juga protein. Kemudian akan berpengaruh terhadap jantung, bahkan bisa mengakibatkan berhentinya detak jantung, hingga terjadilah kematian. Ia juga dapat menjadikan detak jantung bertambah cepat dan kuat, memompa lebih banyak darah, mengeluarkan banyak cairan keringat, dan mempercepat denyut nadi serta meninggikan tensi darah.2)

Itu baru dampak secara fisik belum secara nonfisik yang memang bekasnya seringkali akan membuat orang jatuh ke dalam jurang kesombongan, kekotoran hati, bahkan sampai pada kekufuran.

Sang kepala kantor menegaskan kepada kita semua, walaupun secara fisik tubuhnya kecil dan terma ini lekat konotasinya dengan golongan orang-orang yang lemah, tapi sejatinya ia adalah orang yang kuat yang kekuatannya bahkan melebihi dari orang yang secara fisik kuat tapi tak mampu menahan kemarahannya. Bukankah Rasulullah SAW pernah bilang: “orang yang kuat itu bukanlah orang yang pandai bergulat, hanya saja orang yang kuat adalah orang yang dapat menahan kemarahannya.” 3)

Pantas saja dengan sifat yang seperti ini banyak orang yang mengiringi kepergian sang kepala kantor saat ia meninggalkan kantor lama untuk pindah ke kantor cabang yang lain. Dan masih banyak yang mengajaknya bersalaman walaupun itu sudah dilakukan pada saat acara perpisahan.

Terakhir, orang baik adalah orang yang mampu mengendalikan kemarahannya. Orang baik adalah orang yang saat dihina, dilecehkan tidaklah menyebabkan ia merasa jatuh harga dirinya di mata manusia 4) karena sesungguhnya kemuliaan dan keridhaan di mata Allah-lah yang menjadi tujuan.

Saya masih perlu banyak belajar darinya.

Catatan kaki:

1.

http://smartpsikologi.blogspot.com/2007/11/seputar-emosi-marah.html;

2) Syaikh Fauzi Said dan Dr. Nayif Al-Hamd, Jangan Mudah Marah!, Penerbit Aqwam, Cet.I, Agustus 2006, Solo;

3) Hadits riwayat Bukhari dan Muslim

4)AA Gym, Menikmati Kritik dan Celaan.

riza almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

14:22 11 November 2008

SEKEHENDAKMU, UMMI!


Sore itu, dalam perjalanan pulang dari kantor menuju rumah, menyusuri jalan rindang penuh rerimbunan pohon, di jalan setapak Kampus Universitas Indonesia.
“Alhamdulillah, Ummi bersyukur punya suami kayak Abi,” bisiknya meningkahi deru motor.
“Syukurnya kenapa?”tanyaku penasaran. Maklum pembicaraan ini seumur-umur baru terdengar.
“Jangan geer yah…”tegasnya padaku.
“Insya Allah enggak.”
“Syukurnya Abi tidak banyak menuntut macam-macam. Kayak menghalangi Ummi untuk dibina dan membina.”
“Ah masak?”
“Betul kok…”
“Emang ada contoh yang menghalangi istrinya untuk itu?” tanyaku lagi. “Banyak,” jawabnya sambil menyebut nama salah seorang dari ustadz kami.
“Sebenarnya satu saja bagi Abi untuk membiarkan Ummi tetap menjalani apa yang Ummi kehendaki. Itu ‘kan komitmen awal kita sebelum menikah bukan? Masak lupa sih?”
“Terus apa lagi?” tanyaku lagi tentang kesyukuran dia memilikiku.
“Ummi enggak masak, Abi tidak marah.”
“Karena dalam biodata Ummi ‘kan sudah jelas ditulis tidak bisa masak, ya Abi pasrah saja. Nrimo apa adanya. He…he…he….”
“Ada lagi?” tanyaku.
“Cukup itu saja dulu.”
“Kayaknya banyak deh yang harus Ummi banggakan dari diri Abi ini,” kataku.
“Iya sebanding pula dengan kelemahan yang ada pada diri Abi,” tukasnya.
“He…he…he…tahu saja Ummi sih…” jawabku sambil tersenyum.
***
Pembicaraan di atas motor tadi adalah sarana paling efektif yang sering kami lakukan untuk bisa saling memahami. Di atas motorlah, di sepanjang perjalanan pulang, kami membicarakan apa saja yang bisa kami bicarakan sampai tuntas untuk membunuh rasa jenuh saat melintasi jalanan dengan rute yang sama dari hari ke hari. Tapi terkadang kami sibuk dengan pikirannya masing-masing, terutama kalau dalam perjalanan pergi ke kantor di pagi hari. Sehingga bisa jadi tanpa sepatah katapun saling terucap. Tidak mengapa.
Ada pertanyaan buat kami, mengapa pembicaraan itu tidak dilakukan ketika sampai di rumah ketika kita semua sudah dalam keadaan tubuh yang segar dan sedang istirahat? Jawabannya adalah bahkan kalau di rumah sepertinya kami tidak bisa berkomunikasi dengan efektif karena selalu diganggu oleh anak-anak dan kegiatan kemasyarakatan lainnya. Sehingga seringkali kami memanfaatkan waktu yang ada di manapun berada untuk berkomunikasi dengan efektif. Dan di atas motor itu adalah salah satu cara terbaik bagi kami walapun terkadang dengan suara yang harus dikeraskan karena sering ditingkahi oleh deru kendaraan yang lain.
Dalam majalah Safina No. 1/ Th II Maret 2004 ditulis tentang pentingnya komunikasi buat pasangan suami istri.
Salah satu kunci keharmonisan rumah tangga Islam adalah komunikasi dan dialog yang intensif dan sehat antara suami istri. Pada saat ini tidak jarang terjadi adanya sumbatan komunikasi diantara pasangan suami istri. Ada banyak faktor yang menyebabkan terjadinya hal itu, misalnya kesibukan kerja, terlampau letih dan lain-lain. Bahkan karena begitu sibuk dan letihnya, ada pasangan bertatap mukapun tidak sempat. Sebagai akibatnya, tentu saja mereka tidak memiliki kesempatan untuk melakukan komunikasi satu dengan lainnya.
Komunikasi yang hambar biasanya mengakibatkan hubungan kemesraan menjadi berkurang. Bahkan tidak jarang menimbulkan ketegangan dan terjadilah perselisihan, kalau sudah begini suami istri akan mengalami penderitaan. Sangat disayangkan apabila hubungan yang hambar ini terjadi pada keluarga muslim yang dibangun dalam rangka beribadah kepada Allah. Diperlukan pengertian yang mendalam dari kedua pasangan agar komunikasi dapat berjalan secara kontinyu.
Tidak ada yang menjamin bahwa saat kita sudah merasa sekufu, satu agama, sama-sama ngaji, sama-sama aktifis dakwah, setara, sama, cocok, dan percaya seolah-olah semua urusan rumah tangga akan beres. Padahal, banyak pasangan gagal meneruskan bahtera rumah tangga mereka karena kurang peduli dengan urusan komunikasi seperti ini.
Dengan komunikasi di atas motor itulah saya bisa tahu apa yang diinginkan oleh istri saya, bagaimana perasaan saya pada saat itu terhadapnya atau sebaliknya. Dan adanya keterbukaan yang terjalin pada saat itu tanpa ada yang ditutup-tutupi. Hingga terbentuknya rasa kerinduan di hati saat ia tidak membonceng di belakang saya karena ia pulang duluan.
Saya senantiasa berharap komunikasi yang senantiasa kami jalankan di setiap harinya, dengan cara kami sendiri itu, bisa menyadarkan kami betapa komunikasi itu sangatlah penting untuk bisa saling memahami. Dengan pemahaman itulah saya harapkan dia bisa mengerti apa yang aku kehendaki dari dirinya dan sebaliknya, hingga saya bisa berkata pada dirinya: “Sekehendakmu saja, Ummi!”

Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
01:59 09 Oktober 2007

Cuma Kisah Sederhana 5: Saya yang akan Menanggung Semua


Cuma Kisah Sederhana 5: Saya yang akan Menanggung Semua

Musholla Al Barkah, persis di sebelah utara empang kampus STAN, menjadi tempat yang tidak bisa dilupakan oleh saya hingga saat ini. Musholla yang kini telah berubah menjadi masjid itu memang persis di samping tempat kost saya selama tiga tahun menuntut ilmu di STAN. Lima kali dalam sehari adzan yang diperdengarkan memenuhi ruang keseharian saya di sana.
Tempatnya yang strategis karena dekat pintu alternatif keluar masuk kampus dan ditengah-tengah kos-kosan para mahasiswa membuatnya tidak pernah sepi dari jama’ah dalam lima waktu sholat itu. Bahkan sampai harus meluber ke bangunan tambahan yang didirikan di pelataran depannya bila tiba waktunya sholat.
Pernah dalam suatu periode kepengurusan remaja musholla, saya ditunjuk dan diberi amanah untuk memimpin organisasi kecil ini. Mulai dari memikirkan dan mengatur strategi pengumpulan infak demi terselenggaranya kegiatan kajian keislaman yang diisi oleh ustadz-ustadz ma’had, membuat majalah dinding, melengkapi isi perpustakaan dan mengatur system peminjamannya, sampai kepada terselenggaranya pengajaran baca tulis al-Qur’an untuk anak-anak dan remaja.
Karena setelah sholat maghrib, aktivitas tidak berhenti sampai di situ. Beberapa mahasiswa yang tempat kosnya tidak jauh dari musholla meluangkan waktu dari kesibukan dan ketatnya system perkuliahan di sana untuk mengajar baca tulis al-Quran (Taman Pendidikan Al-Qur’an/TPA). Tentunya tidak hanya itu nilai-nilai Islam dan sirah diajarkan pula kepada mereka. Agar senantiasa ada akhlak indah, wawasan yang bertambah, dan kukuhnya benteng aqidah di era moderen sekarang ini. Itulah harap kami dari pengajar dan pengurus terhadap mereka.
Salah satu pengajar itu—sebut saja Abdullah—adalah tetangga kos, teman satu angkatan di kampus, dan teman akrab saya. Kesabaran dan kedekatannya pada anak-anak membuatnya cukup dikenal di kalangan mahasiswa lain. Dan dengan bermodalkan itu saya memercayainya untuk mengambil amanah sebagai ketua bidang pengajaran TPA . Akhirnya dengan dibantu oleh teman-teman yang lain, ia sanggup untuk memegang amanah itu.
Beberapa bulan kemudian ada usulan dari anak-anak TPA untuk mengadakan piknik bersama. Usulan itu pun disampaikan kepada saya oleh Abdullah. Saya cukup menghargai usulan tersebut. Dan saya pikir ini adalah suatu hal yang pantas bagi anak-anak untuk dapat menghilangkan kejenuhan belajar. Sekaligus untuk dapat merekatkan ukhuwah di antara mereka dan nanti pada akhirnya dapat membangkitkan semangat belajar lagi.
Bersama saya, akh Abdullah dan beberapa teman yang lain merumuskan rencana piknik persama itu. Mulai dari kepanitiaan, tempat yang dituju, waktu penyelenggaraannya, hingga dana yang dibutuhkan.
Semua telah selesai direncanakan, kecuali factor klise yakni ketidaktersediaan dana. Apalagi kami membutuhkan bus besar sebagai sarana transportasi menuju lokasi karena ada banyak peserta yang akan ikut serta. Tentunya ini membutuhkan biaya yang lebih besar lagi.
Untuk itu saya ditugaskan dalam rapat terebut untuk mengecek seberapa besar biaya yang diperlukan untuk menyewa bus. Esoknya saya pergi ke daerah Blok M—tempat di mana kantor bus pariwisata terkenal itu berada.
Saya terkejut mendengar harga sewanya. Jumlah sebesar 350 Ribu rupiah hanya untuk pemakaian sehari saja adalah jumlah yang besar sekali di tahun 1996. Saya pun kembali ke kampus dengan membawa beban berat. Akan didapat darimana lagi uang untuk menutupi ongkos transportasi ini.
Untuk meminta kepada peserta jelas tidak mungkin. Karena jelas kalau akan dipungut biaya mereka tidak akan berangkat. Untuk meminta patungan lagi kepada para panitia terasa segan, karena mereka telah banyak mengeluarkan uang untuk membiayai terselenggaranya acara ini. Meminta infak kepada para mahasiswa sekitar…? Wah, bisa diusahakan, tapi berat dan lama uey…Kepada pengurus Musholla? Jelas tidak mungkin, ada banyak kebutuhan yang harus ditunaikan seperti melanjutkan penambahan teras depan. So…
Akhirnya di rapat selanjutnya, saya meminta kepada teman-teman berusaha mencari dana untuk menutupi sisanya. Padahal waktu yang telah dijanjikan kepada para peserta telah mepet dan kami harus segera memesan bus tersebut sepekan sebelumnya. Setelah itu saya cuma bisa berharap kepada Allah agar Ia selalu memudahkan langkah-langkah kami.
Tidak berapa lama, Akh Abdullah mendatangi saya untuk menanyakan perkembangan masalah ini. Saya hanya menggeleng saja. Yang mengejutkan adalah reaksi dari akh Abdullah ini.
“Kalau memang demikian, biar saya saja yang akan menanggung semua ongkos sewa bus ini.” Katanya mantap.
“Akhi, benar nih…?” setengah tidak percaya.
“Insya Allah, sekarang tinggal mematangkan acara kita.”ujarnya meyakinkan.
Subhanallah…Allah telah memberikan kepada kami seorang al-akh yang berguna di saat–saat kami membutuhkan pertolongan. Padahal kami tahu, beliau tidaklah kaya-kaya amat, sama keadaannya seperti mahasiswa lainnya, bahkan terlalu sederhana malah. Namun jiwa sosialnya itulah yang mengesankan saya. Dan saya melihat tidak kali itu saja ia berbuat demikian.
Akhirnya pada hari yang telah ditentukan, berangkatlah kami ke Kebun Binatang Ragunan. Terlihat begitu gembiranya anak-anak melakukan rihlah ini. Sepanjang perjalanan, nasyid penyemangat pun didendangkan entah dari tape bus ataupun dari mulut-mulut kecil mereka.
Selain jalan-jalan melihat beraneka ragam hewan, di sana kami juga mengadakan berbagai macam permainan yang menarik sampai menjelang Ashar. Lalu setelah itu kami bersiap-siap pulang.
Di tengah perjalanan pulang itulah saya bersyukur kepada Allah karena telah diberikan kelancaran pada jalannya acara. Bersyukur pula saya mempunyai teman baik seperti al-akh Abdullah ini. Yang mampu berinfak di kala senggang ataupun sulit. Yang begitu supel dan luar biasa perhatiannya terhadap anak-anak.
Sepuluh tahun berlalu kebaikan yang dilakukannya masih saja teringat oleh saya. Dan saya berharap untuk tidak pernah melupakan kebaikannya itu. Sungguh saya malu pada diri saya sendiri yang belum mampu melaksanakan banyak amal nyata seperti dia. Sungguh dari satu bibit kesederhanaan akan tumbuh sejuta pohon kebaikan. Saya bertekad untuk mencontoh dan meneladani ini. Insya Allah.

***

Untuk Akh Suprayitno di Lombok, Saya tak akan pernah melupakan kebaikan Anda. Semoga Allah membalas dengan balasan yang lebih baik. Tetap di jalan ini.

riza almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
sekadar ingatan belaka dari memori lapuk
15:05 16 Mei 2006