Suteru! Gijutsu: Seni Membuang Barang, Jangan Bilang Sayang


Coba cek sekarang juga apakah rumah Anda berantakan? Apa penyebabnya?

Biasanya ini karena Anda tidak meletakkan barang-barang pada tempatnya. Selain itu karena banyak barang-barang yang sebenarnya sudah tidak dibutuhkan namun masih ada di dalam rumah.

Kita merasa sayang untuk membuangnya. Pun, kita merasa barang itu akan dipakai kelak pada saat kita membutuhkannya nanti. Faktanya, dari bertahun-tahun yang lalu sampai detik ini, barang itu tidak pernah tersentuh sama sekali.

Ada harga yang harus dibayar dari menunda membuang barang. Salah satunya rumah dipenuhi timbunan sampah dan menjadi sempit. Ujungnya kebahagiaan kita tercerabut. Ingat, salah satu variabel kebahagiaan adalah rumah yang lapang.

Baca:  Sinopsis Buku Sindrom Kursi Belakang

Alasan lainnya dan ini terasa paling berat adalah ada kenangan khusus pada barang tersebut sehingga kita merasa sayang untuk membuangnya.

Sebagian kita membutuhkan waktu lama hanya untuk memilah-milah dan menyobek-nyobek tumpukan dokumen tidak terpakai di atas meja pada saat pindah kantor. Ini karena kita mengikutkan perasaan pada saat memilahnya.  Kita merasa ada ekor kenangan yang tak bisa musnah di pikiran ketika membaca-baca kembali dokumen-dokumen tersebut. Dan itu berat. Mikirnya kelamaan.

Nagisa Tatsumi punya jurusnya. Ia menulis buku Suteru! Gijutsu. Seni Membuang Barang: Enyahkan Berantakan dan Raih Kebahagiaan. Buku ini pertama kali terbit di Jepang pada tahun 2000 dan terjual jutaan eksemplar dalam waktu yang tidak lama.

Bahkan buku ini mengilhami Marie Kondo muda melahirkan Metode Konmari. Metode ini menekankan pada aktivitas merapikan semua yang ada di rumah sekaligus, bukan dalam langkah-langkah kecil. Marie beralasan kalau merapikan rumahnya sedikit-sedikit kemungkinan besar rumah akan berantakan kembali. Saya tidak akan membahas Marie Kondo di sini. Saya akan mengantarkan Anda pada Suteru! Gijutsu.

Nagisa Tatsumi menggambarkan hambatan psikologis yang membuat orang enggan untuk membuang barang yang tidak terpakai sehingga menumpuknya di dalam rumah. Terutama mentalitas kapan-kapan, padahal kita tidak tahu pasti tepatnya “kapan” itu akan datang.

Baca: Puluhan Testimoni Pembaca Buku Sindrom Kursi Belakang

Ia juga akan mengajari kita bahwa melepas barang-barang yang tak diinginkan akan melahirkan kebahagiaan dalam kehidupan sehari-hari. Ada saran dan teknik praktis melepas barang-barang yang memenjarakan serta kiat-kiat agar kita tidak menimbun barang.

Buku ini memang bisa dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan secara radikal dipraktikkan untuk buku-buku yang tidak kita baca. Menurutnya, kalau buku itu tidak dibaca dan cuma jadi pajangan ya dibuang. Di bagian ini saya tidak menyepakatinya karena buku dan perpustakaan mini itu penting dalam lingkup keluarga sebagai fondasi peradaban. Fernando Baez, penulis buku Penghancuran Buku dari Masa ke Masa, akan menentang keras buku ini.

Lihat Video: Semua Bisa Menulis dalam Frans Membahas #46

Keengganan membuang buku, menurut Nagisa Tatsumi, juga berkaitan dengan soal gender. Ini karena laki-laki itu paling enggan membuang—secara berurutan—buku, majalah, dan pakaian. Sedangkan perempuan paling enggan membuang pakaian, berikutnya buku, dan kemudian foto.

Keradikalan ini barangkali bisa kita terima kalau kita melihat latar belakang penulis buku dan di mana buku ini diterbitkan. Rata-rata rumah orang Jepang itu minimalis yang berarti identik dengan ukurannya yang kecil. Semakin banyak barang akan semakin mempersempit rumah mereka. Kita pun hidup di dunia di masa Jepang mampu memproduksi dan mengonsumsi barang secara massal. Oleh karena itu, Suteru! Gijutsu menawarkan demikian.

Setidaknya Suteru! Gijutsu mencegah orang memiliki hoarding disorder. Orang yang mengidap hoarding disorder ini merasakan adanya kebutuhan yang kuat untuk menyimpan suatu barang meskipun barang itu tidak dibutuhkan atau bernilai.

Efeknya ia menimbun barang di rumah sampai rumah menjadi berantakan, kotor, bau, dan tidak ada tempat untuk dirinya sendiri beraktivitas. Ini sudah merusak kesehatan mental. Mengutip Daryl Austin dalam artikelnya yang dipublikasikan oleh National Geographic pada 21 Desember 2023, profesor riset psikologi dari Florida State University Brad Schmidt menyatakan, orang-orang dengan gangguan penimbunan bahkan meninggal karena benda-benda di rumah mereka roboh menimpa mereka.

Pada Oktober 2023 lalu kita dihebohkan dengan konten viral anak kos yang mengidap hoarding disorder. Ini bermula pada saat pemilik kos mengecek air yang keluar terus-menerus dari sebuah kamar kos. Ternyata setelah masuk ke dalam kamar itu, pemilik kos menemukan kran air di kamar mandi tidak tertutup rapat. Kondisi kamar berantakan penuh sampah menumpuk. Perempuan penghuni kamar kos itu sedang berada di atas kasur yang menghitam tanpa seprai.

Baca juga: Review Buku Sindrom Kursi Belakang, Tak Setetes Pun Air Mata

Kita tidak mengetahui data statistik pengidap hoarding disorder ini di Indonesia. Namun, dari Daryl Austin lagi, data menyebutkan, satu dari empat puluh orang Amerika Serikat mengidap masalah penimbunan ini.

Nagisa Tatsumi benar. Sebagaimana kita tidak boleh makan terlalu banyak, kita seharusnya juga tidak boleh mengumpulkan terlalu banyak barang di sekitar kita. Makanan mungkin lezat dan bergizi, tetapi harus ada batasnya; barang mungkin murah, berkualitas, dan berguna, tetapi kita tak boleh menimbun barang terus menerus (halaman xxiii).

Langkah awal untuk bisa Suteru! Gijutsu ini dan bisa dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari adalah jangan bilang sayang kepada barang itu. Tanyakan dua pertanyaan ini. Apakah barang ini perlu? Bisakah ini dibuang?

 

***
Riza Almanfaluthi
20 Januari 2024
Memesan buku Sindrom Kursi Belakang di tautan berikut: https://linktr.ee/rizaalmanfaluthi.

Tinggalkan Komentar:

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.