Disasarkan Google Maps ke Tepi Jurang


Pemandangan dan suasana pagi di Wringinputih, Borobudur, Magelang.

Ketika kami kembali ke Semarang dari Magelang pada Ahad petang, 14 April 2024, kami tidak mengambil jalur biasa: jalan Magelang-Ambarawa karena padatnya yang minta ampun. Kami mengambil jalan alternatif, yaitu Jalan Grabag-Pucang. 

Google Maps mengarahkan mobil kami belok kiri ke Jalan Grabag Secang. Seharusnya kami belok, tetapi kami abaikan. Mau putar balik juga nanggung karena Google Maps menunjukkan jalur lainnya. Akhirnya kami terus melaju menuju jalur lain yang ditunjukkan oleh Google.

Baca: Cerita Mudik sebelum artikel ini: Singgah di Sebuah Warung Asli dan Tidak Buka Cabang di Tempat Lain

Kami belok kiri, tetapi sebelum lanjut kami istirahat dulu untuk salat. Lalu saya bertanya kepada salah satu jemaah yang akan menunaikan salat Isya.

“Pak ini benar kan Pak menuju Jalan Magelang Ambarawa?” tanya saya.

“Benar sih. Ini pasti Mas dapat dari Google Maps yah? Cuma jalannya sempit. Kalau bisa cari jalan lain,” katanya.

Istri yang bertanya kepada jemaah ibu-ibu malah disarankan untuk tetap melewati jalan itu karena sudah dekat dengan jalan besar Ambarawa Magelang.

Setelah mengumpulkan informasi dan melihat lagi peta Google yang kalau kami harus balik lagi malah menjauh dari jalur, kami memutuskan untuk tetap melaju di jalan yang sudah ditunjukkan Google sebelumnya.

Kami berhati-hati melalui jalan yang saya pun tak tahu apa namanya itu. Jalanannya sepi, gelap, dan sempit yang muat hanya untuk satu mobil. Sempat juga kami berpapasan dengan mobil penduduk setempat yang sudah biasa melalui jalan itu. Buktinya, ketika kami meminggirkan mobil di tepi jurang, ia dapat melalui mobil kami dengan mudah. Setelah bersusah payah akhirnya kami menemukan kembali jalan yang benar: Jalan Ambarawa Magelang.

Kami melalui jalan besar Magelang Ambarawa itu dengan lancar. Kami menemukan kemacetan panjang di kilometer akhir Jalan Lingkar Ambarawa. Kalau saya melihat Google Maps, jalan tol dan nontol menuju Semarang berwarna merah darah di beberapa bagiannya. Kami tetap bersikukuh untuk masuk tol dari Pintu Tol Bawen.

Setelah bersabar sekian lama dengan mengantre di Jalan Lingkar Ambarawa itu, kami akhirnya lolos dari kemacetan dan menuju Pintu Tol Bawen. Kami berhasil belok kiri di perempatan Pintu Tol Bawen sebelum pak polisi menarik plang dilarang masuk. Alhamdulillah. Sepertinya untuk mengantisipasi lonjakan arus balik dari Salatiga, mobil-mobil dilarang masuk ke tol dari Bawen.

Perjalanan di tol Bawen-Gayamsari terhitung lancar. Walaupun padat, mobil tetap bisa bergerak. Tidak ada kemacetan yang tersendat-sendat. Sampai akhirnya pada pukul 22.00 kami keluar dari pintu tol Gayamsari. Dan memang benar sekali, pintu masuk tol Gayamsari, Semarang ditutup dengan pembatas warna oranye oleh Pak Polisi. Mobil yang akan menuju Solo maupun Jakarta dilarang masuk di wilayah Semarang ini. Saya mendengar kabar dari radio, kalau kita bisa memasuki jalan tol itu di pintu tol Weleri. Wah, jauh sekali.

Kami memang tidak berniat pulang ke Jakarta malam ini. Kami singgah lagi di Semarang, nanti pada Selasa siang kami baru pulang. Itu pun tidak langsung menuju Jakarta. Kami ingin bersilaturahmi dengan bibi di Segeran, Karangampel, Indramayu.

Baca: Sebuah Prakata Buku Sindrom Kursi Belakang

Menuju Karangampel

Selasa duha itu, mobil sudah bersiap-siap berangkat lagi dengan kabin penuh barang bawaan, terutama oleh-oleh dari sanak saudara. Hasil bumi dari kebun di Magelang juga kami bawa seperti pisang dan singkong. Sebagian besar sudah dibagi-bagikan, tetapi tetap saja masih memenuhi ruang kosong mobil. Belum lagi nanti dari Lik Idah di Segeran seperti krupuk mlarat yang sudah kami pesan sebelumnya.

Kami berangkat pada pukul 10.30 dan ketika kami melewati Jalan Majapahit ternyata pintu tol Gayamsari buka. Langsung kami belok ke sana. Saya melihat jam digital sudah menunjukkan pukul 10.42. Kami sampai di Gerbang Tol Kalikangkung pada pukul 11.05. Alhamdulillah lancar dan tidak ada kemacetan seperti dua hari sebelumnya.

Di sepanjang perjalanan di dalam jalan tol itu kami tidak berhenti di rest area sama sekali. Kami keluar di pintul tol Plumbon untuk menuju Karangampel. Google Maps mengarahkan kami melewati Jalan Nyi Gede Cangkring. Di jalan itu kami melewati Kantor Kecamatan Plered. Seumur-umur saya baru melewati jalan ini, walaupun saya dulu pernah bersekolah di SMA Negeri Palimanan.

Setelah melalui jalan itu, mobil dibelokkan ke arah Jalan Ki Gede Cangkring yang jalannya tidak beraspal dan melewati perkumpungan penduduk. Karena jalannya rusak dan sempit, kami tidak bisa memacu kendaraan dengan cepat. Pantas saja jalan itu diwarnai dengan warna kuning di Google Maps. Ujung jalan ini adalah Jalan Raya Cirebon-Indramayu. Di jalan ini, barulah kami bisa memijak pedal gas lebih dalam.

Alhamdulillah, saat melewati jalan raya itu, tidak ada kejadian seperti lebaran tahun lalu. Seperti yang sudah pernah saya tulis, ban mobil kami pernah kempis karena dihunjam oleh potongan besi keras di jalan itu. Malam-malam lagi.

Akhirnya kami sampai di rumah Lik Idah di Segeran pada 15.06. Ini berarti kami hanya membutuhkan empat jam tiga puluh menit untuk sampai di sana dari Semarang.

Baca: Mengapa Dipergilirkan. Pasti Ada Maksud dan Tujuannya. Ulasan Buku Sindrom Kursi Belakang

Blekutak dan Krupuk Mlarat

Sesampainya di Segeran itu, sudah saya putuskan untuk menginap di rumah Lik Idah. Rencananya sore itu juga kami ke kuburan bapak dan mamah di Jatibarang, sehingga besoknya, Rabu pagi, bisa langsung bablas ke Jakarta.

Setelah beristirahat sebentar, kami langsung pergi ke Jatibarang. Jaraknya itu kurang lebih 15,6 km dari rumah Lik Idah. Kami menyusuri jalanan Karangampel-Jatibarang yang lengang. Dulu sebelum jalan tol Cipali ada, jalan ini jadi jalan alternatif pemudik menuju dan dari Jawa Tengah. Namun, tidak banyak yang tahu dan menggunakan jalan ini. Para pemudik biasanya melalui jalan utama Jatibarang-Palimanan. Saya sering menggunakan jalan alternatif ini selama arus mudik dan balik lebaran.

Ketika sudah sampai di Jatibarang, saya menunjukkan kepada anak-anak beberapa spot yang menjadi tempat bermain saya sewaktu kecil, terutama Pasar Malam Taman Wiyata Buyut Banjar Desa Bulak, Jatibarang yang selalu ramai kalau Idulfitri maupun Iduladha. Dari berbagai penjuru Indramayu, masyarakat berbondong-bondong datang dengan menggunakan mobil dan truk. Sekarang zaman telah berubah, arena bermain yang banyak monyetnya itu telah sepi. Tidak seramai dulu sewaktu belum ada internet.

Kami ziarah ke makam bapak dan mamah. Setelah mendoakan mereka, kami pulang. Itu pun karena azan Magrib akan berkumandang. Kami juga bersilaturahmi dengan saudara sepupu saya, Yu Ibad, yang rumahnya di depan terminal Jatibarang. Setelah itu kami pulang ke Segeran.

Menyusuri Jatibarang kembali dan melihat beberapa spot lainnya membuat hati saya berdenyut seperti melihat rumah masa kecil saya, SMP Negeri 1 Jatibarang, menara PDAM, kantor pos, alun-alun, dan Masjid Nurul Huda. Tetap saja tanah tumpah darah ini tidak bisa dilupakan walaupun sudah merantau di negeri orang puluhan tahun lamanya.

Setelah malamnya beristirahat, paginya kami siap-siap berangkat lagi. Kami dibekali dengan makanan laut kesukaan saya yang sudah dimasak seperti blekutak (sotong bercangkang) hitam, sumber kolesterol paten. Tak lupa adalah lima ikat krupuk mlarat. Masyaallah, ini krupuk ngangenin banget. Kalau disiram dengan sambal pedas atau kacang, krupuk itu luar biasa nikmatnya. Karena ada tambahan muatan itu, kursi belakang pada akhirnya dilipat sehingga bagian belakang mobil benar-benar penuh dengan barang. Kinan harus maju ke tengah.

Baca juga: Testimoni Seorang Bibliophagist

Bersama Lik Tarmizi di Segeran.
Bersama Lik Idah.
Bersama Lik Idah dan Salam.

Dari Segeran menuju Jakarta

Kami berangkat dari Segeran pada pukul 08:11 menuju Pintu Tol Kertajati. Alhamdulillah lancar juga. Tidak ada kejadian seperti tahun lalu pada saat kami menyusuri Jalan Jatibarang Kadipaten. Waktu itu ban mobil kami kempis lagi kena ranjau. Padahal malam sebelumnya kena besi juga di daerah sebelum Karangampel.

Kami baru menemukan kemacetan ketika kami keluar dari Gerbang Tol Kertajati dan memasuki Jalan Tol Cipali. Ternyata penyebabnya ada satu mobil mogok di bahu jalan. Itu saja sudah bikin macet.

Entah di rest area KM berapa kami berhenti untuk berkemih dan membeli kopi. Setelah itu kami melanjutkan perjalanan. Tidak ada kemacetan parah yang kami temui. Semuanya lancar. Ketika memasuki jalan tol Cikampek, kami putuskan untuk tidak memakai Jalan Layang Tol MBZ karena kami ingin memasuki Jalan Tol Cibitung Cimanggis di KM-25.

Kami berharap bisa mengulang untuk memakai jalan tol fungsional seperti saat mudik itu. Namun, kami harus kecewa. Saat kami keluar tol Cikampek dan belok kiri di KM-25, ternyata Gerbang Tol Cibitung menuju Cimanggis ditutup. Ternyata penggunaan untuk menunjang arus balik sudah berakhir satu hari sebelumnya. Itu yang kami dapatkan dari berita di internet. Ya sudah kami masuk kembali ke jalan tol Cikampek, lalu menuju JORR, dan keluar di Pintu Tol Tanjung Barat untuk mengantarkan Kinan ke Stasiun Tanjung Barat. Kemudian kami masuk lagi JORR, keluar di Pintu Tol Bintaro, dan tiba di rumah pada pukul 14:00. Hampir enam jam perjalanan.

Alhamdulillah, selesai sudah perjalanan balik ini dengan selamat. Semoga tahun depan bisa diberikan kesempatan untuk bersilaturahmi dengan keluarga lagi. Amin.

Baca: Daftar Isi Buku Sindrom Kursi Belakang

Mendokumentasikan Sejarah

Saya membuat catatan perjalanan ini supaya tidak hilang. Beberapa hari sebelum membuat tulisan ini, saya sempat membaca dari awal cerita mudik yang terdokumentasikan di blog saya.

Syukurnya saya telah mencatat cerita mudik ini sejak lebaran tahun 2007. Ada beberapa lebaran yang terlewat yang tidak saya tulis, yaitu di tahun 2008, 2010, dan 2012. Saya ingat tahun 2008 itu kami tidak mudik karena kelahiran Kinan. Tahun yang lainnya saya tidak tahu kenapa tidak tertulis.

Dengan membaca lagi cerita mudik di blog saya itu, saya seperti memutar ulang memori, mendapatkan sensasi luar biasa, serta dapat mengenang kembali detail-detail yang benar-benar terlupa. Apalagi kejadian Brexit yang saya alami di tahun 2016 sehingga membuat perjalanan mudik kami ditempuh dalam waktu 35 jam.

Mudik selalu ada ceritanya. Cerita yang bisa dikenang kembali oleh saya, keluarga, atau anak cucu saya. Untuk itu saya paksakan menulis ini di malam-malam lelah, untuk menjadi sejarah yang tidak akan musnah. Insyaallah.

 

***
Riza Almanfaluthi
24 April 2024
Memesan buku Sindrom Kursi Belakang dan Kita Bisa Menulis di tautan berikut: https://linktr.ee/rizaalmanfaluthi.

Tinggalkan Komentar:

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.