Menjadi Cermin


Apa kabarmu? Apakah engkau menjumpaiku dalam mimpimu semalam? Atau mengeram amarah dalam pikirmu pagi ini? Aku ingin menjadi cermin tempatmu memandang sepasang telaga yang tak sanggup kurenangi dan kumengerti. Kekosongan adalah potongan kertas-kertas kecil yang kutaburkan di atas permukaannya. Berisi huruf-huruf puisi dan ketololanku merayakan kehilangan dengan secangkir kopi.

***
Riza Almanfaluthi
4 September 2020

Advertisement

Video Puisi: Komidi Putar


Jeda


18812389_362995950769861_2463093538720579584_n

Di sore ini, di sebuah stasiun, banyak orang singgah untuk melahirkan anak kembar sekaligus: jeda dan duka. Kamu tahu apa itu jeda? Sebuah keterpisahan dan ketakberdayaan kata-kata. Ia adalah anak jadah dari waktu yang menghamili arah: ibu segala tujuan. Dikandung selama sembilan bulan dan lahir ke muka dunia dari rahim kenangan. Kamu tahu duka itu apa? Kata seorang penyair, duka adalah mentega yang meleleh di penggorengan yang panas. Untuk ke sekian kali, kau mentega, aku adalah api yang menghanguskan segala kesementaraan.

***

Riza Almanfaluthi

Dedaunan di ranting cemara

8 Juni 2017

Mengintip Hujan Bersembunyi


sore ini,
hujan dan segala alasannya meluluhlantakkan tanah kerontang,
ia turun dari daun-daun pohon nangka, pohon jambu, pohon pisang
lalu mengalir ke pinggir tebing untuk didekap sungai pesanggrahan. .

kau tahu cara deranya saat ia merajam tanah ingatan?
memencil dari semua yang terlihat,
membisu dari semua yang berbisik,
meruar dari segala yang mewangi,
lalu meleleh ke hulu jantung untuk dirangkul sungai kenangan.

***

Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
11 Juni 2016

Gambar dari: 1freewallpapers.com

Puisi yang Pralaya Setelah Kau Sajakkan


Nak, malam ini kita sama-sama merayakan kata-kata. Kau serupa Isa yang membangkitkan  puisi yang pralaya sampai ia bisa menari di lidah-lidahmu, lalu terjun ke dinding-dinding, dan meleleh di sudut-sudut bulan yang sabit. Dan melihat itu, kucing kuning kita berjingkrakan dengan meong yang tak henti-henti. Tabik, serunya.

Nak, lalu kau ingat, pemilik puisi yang kau hidupkan itu tiba-tiba datang menjenguk. Mencari puisinya yang hilang dan tak jelas rimbanya. Ia minta puisi itu kembali ke haribaannya. Tapi kau menolak, karena puisi itu sudah jadi bonekamu , yang kau timang-timang , kau ajak bicara, kau ganti bajunya, kau sisir rambutnya, walau sehelai dua helai kata-kata rontok tak ketulungan.

Nak, penyair itu pulang dengan kesedihan. Tanpa membawa puisinya yang bergelandangan, menjauh darinya, dan hilang. Padahal dari mulutnya yang durga itu dia bisa saja tumbuhkan benih-benih puisi yang lain. Lalu mendewasakan dan membuntingi mereka satu persatu. Dan lagi-lagi seperti biasa, kegilaan penyair menjadi sebab kehancuran hati para puisi. Lara tak terperikan. Pantas saja mereka minggat dan bunuh diri. 

Nak, kau bersama puisi itu malah tertawa kesenangan melihat penyair itu sengsara. Entah apa yang kau pikirkan sehingga kau gandrung bersamanya. Ayuklah, kita makan bakso malam ini, ajakmu. Puisi lahap memakan ribuan bakso hingga membuat buncit kata-kata sampai berbual-bual. Keringatnya menetes hampir-hampir menghapus sebagian huruf-hurufnya. Malam itu malam yang merunduk kelelahan. 

Nak, saat kau tidur. Puisi di sampingmu masih begadang. Aku masih terjaga. Dia melihatku. Aku memandangnya. Tak berkedip. Saling menatap. Di antara kami dibatasi uap kopi panas yang tadi aku buat sendiri. Sepertinya uap rela dirinya jadi wasit adu kedigdayaan ini. Kami masih saling selidik. Membaca simbol-simbol. Membaca absurditas. Membaca yang tak terdefinisikan. Membaca yang tak bisa ditulis dengan ribuan kata-kata. Sampai suatu ketika dering telepon genggam berbunyi mengganggu sepi yang binal.  Aku angkat telepon itu dan ada suara di seberang sana: aku mati, katanya.

Nak, seketika itu juga puisi di sampingmu yang sedang lahap memamah mimpi-mimpimu, mimpi-mimpiku,  terjun kata-katanya, huruf-hurufnya, ke dinding. Tak hanya dia. Rambut kataku, hidung kataku, tangan kataku, kaki kataku, semua kata-kataku, huruf-hurufku terjun ke dinding. Sama-sama meleleh di sudut-sudut bulan yang sabit. Kali ini kucing kuning kita diam disambar sunyi. 

Nak, dengkurmu saja seperti puisi. 

***

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

Semarang Lelayu, 30 April 2017

Ritual


 

images (2)

Selamat ulang tahun puisi. Kuhadiahkan sepetak

pelukan di tubuhmu yang dingin

sehabis bangun tidur. Beruntung kau kuat

hingga tak merontokkan kata-kata, huruf-huruf

di sekujur tubuhmu yang rindang oleh luka.

 

Selamat ulang tahun puisi. Sekarang, aku yang payah

mengingatmu. Hingga tak tahu kalau hari ini

engkau mengulang  ritual. Kuberikan sepetak dekapan

di tubuhmu yang dingin sehabis bangun tidur. Terberkatilah

matahari karena ia mendapatkan cahayanya dari

kumpulan kunang kata-katamu.

Baca Lebih Lanjut.

Candra Membulat di atas Legian



Kehidupan malam yang gempita itu tak membuat saya beranjak dari lobi hotel. Benar-benar tidak mengusik kepenasaran saya tentang Legian. Hanya segelas kopi hitam panas yang saya sesap di atas meja sambil memandang candra yang membulat di hadapan dan di atas Legian.

Sampai pukul 01.15 dini hari sembari menunggu email yang masuk. Dari 100 orang itu berapa yang akan mengirim naskahnya. Masih belum sempat saya ketahui. Naskah yang lolos seleksi tahap pertama itulah yang akan diteruskan kepada saya.

Baca Lebih Lanjut.

Hujan yang Dipeluk Rindu


rinainya menyala-nyala dengan cinta

tak pernah minggat dari tanah ini

tiga hari tiga malam

mengembara berjinjit-jinjit

sembunyi di balik rumput

sebagiannya menjadi asa

yang tumbuh di kepala

akarnya ceracau

rantingnya puisi

daunnya ribang

buahnya sekotak dingin

yang terjengkang di atas tubuhku

dihantam sekerat sunyi

dan setumpuk mimpi yang antri

kalau begitu kita khatamkan sama-sama

segara huruf dalam berjilid-jilid buku

yang berjudul:

engkau.

***

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

Tapaktuan, 17 Oktober 2016