Nazi di Balik Republik Nias Merdeka


Badan Keamanan Laut Republik Indonesia (Bakamla) lagi sibuk-sibuknya pada saat ini. Terutama mencegah kapal yang berisi pengungsi Rohingya masuk ke wilayah Indonesia. Mereka datang bergelombang sejak November 2023.

Badan yang dibentuk pada tahun 1972 ini memang memiliki tugas melakukan patroli keamanan dan kesalamatan di wilayah perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi Indonesia.

Satu kapal Bakamla terus melakukan patroli di perairan Aceh bekerja sama dengan unsur TNI Angkatan Laut dan Polri. Ada yang menarik dengan apa yang disampaikan Kepala Bakamla Laksamana Madya Irvansyah.

Menurutnya, secara kemanusiaan, bantuan kepada pengungsi Rohingya tetap harus diberikan. Dalam kondisi perang saja, bila menemukan musuh tak berdaya, tidak bisa diserang. “Siapa pun, jangankan Rohingya yang kita belum tahu salahnya apa, musuh yang salah saja kita harus tolong kalau mereka punya kedaruratan atau emergency di laut. Kalau kita tidak menolong, itu sudah melanggar kode etik dunia,” lanjut Irvansyah kepada media di Jakarta pada Jumat, 29 Desember 2023.

Bakamla masih punya nurani. Namun, ada yang mengabaikannya dalam peristiwa pada 81 tahun lalu. Tepatnya 19 Januari 1942. Dunia mengenal tragedi Kapal Van Imhoff. Nama Van Imhoff sendiri diambil dari nama Gubernur Jenderal Hindia Belanda ke-27 Gustaaf Willem Baron van Imhoff yang memerintah Hindia Belanda pada 1743-1750

Baca juga:  Sinopsis Buku Sindrom Kursi Belakang

Tepergok Pesawat Pengebom Jepang

Mulanya Nazi menginvasi Belanda pada 10 Mei 1940. Koloni Belanda yang berada di Hindia Belanda kemudian menangkapi 2.400 Jerman yang ada di Hindia Belanda (Indonesia sekarang). Kebanyakan dari mereka adalah insinyur, seniman, pedagang, dan misionaris.

Jepang menyerang Semenanjung Malaya untuk menggedor kedudukan Inggris pada dinihari 8 Desember 1941. Satu jam kemudian Jepang menyerang Pearl Harbor pada waktu setempat, tepatnya 7 Desember 1941. Dari sanalah Jepang mengobarkan perang Pasifik.

Untuk menghindari pembebasan tawanan Jerman oleh Jepang sebagai sesama negara Poros, para tawanan dipindahkan oleh Belanda ke India dalam tiga gelombang dengan menggunakan kapal. Dua gelombang sampai ke India dengan selamat. Tersisa 478 interniran Jerman yang dibawa dengan menggunakan kapal Van Imhoff dan berlayar dari Sibolga pada 18 Januari 1942.

Kapal Van Imhoff memiliki perlengkapan sangat minim dan Van Imhoff tidak membawa tanda-tanda palang merah untuk melindunginya dari serangan Jepang.

Pada besok harinya, pesawat pengebom Jepang muncul dan memergoki Van Imhoff di Samudra Hindia. Ini sekitar 177 km dari pantai barat Pulau Sumatra.

Melihat kapal itu tanpa ada tanda-tanda palang merah, Van Imhoff menjadi sah untuk diserang dan ditenggelamkan sebagaimana hukum perang internasional.

Pesawat Jepang menyerang dengan bom dan senapan mesin selama setengah jam. Empat kali bom diluncurkan, Van Imhoff bisa bermanuver dan selamat. Namun, tidak untuk bom yang kelima yang berrhasil melubangi badan kapal. Kapal masih bertahan selama dua jam di permukaan air sebelum akhirnya tenggelam ke dasar laut bersama 276 interniran Jerman pada pukul 16.50.

H.J. Hoeksema sebagai kapten kapal adalah orang pertama yang naik sekoci. Jadi jangan pernah membayangkan dia menjadi orang yang paling belakangan meninggalkan kapal seperti cerita-cerita di novel ataupun film.

Empat sekoci dibawa oleh kru Belanda. Hanya satu sekoci tersisa dipakai oleh 53 orang Jerman yang masih hidup. Yang lainnya sebanyak 14 orang Jerman menggunakan perahu dan 135 orang Jerman lainnya menumpang di enam rakit bambu.

Perahu dan rakit bambu diikat pada sekoci membentuk konvoi. Karena dayung sudah dirusak oleh kru Belanda, mereka mendayung dengan tangan dan papan seadanya. Di malam berikutnya empat rakit bambu hilang dan tak pernah bisa ditemukan lagi.

Baca: Daftar Isi Buku Sindrom Kursi Belakang

Bertemu SS Boelongan

Pada 20 Januari 1942, mereka ditemukan oleh pesawat amfibi Belanda yang memberikan isyarat ke arah utara. Ternyata ada kapal Belanda bernama SS Boelongan yang dinakhodai oleh Kapten M.L. Berveling. Nakhoda ini bertanya melalui megafon apakah ada orang Belanda di antara orang-orang Jerman itu.

Berveling langsung memutar haluan ke kiri ketika mendengar jawaban tidak ada. Kapal mulai menjauh. SS Boelongan pun mengabaikan permintaan orang-orang Jerman itu supaya diberi makanan dan air.

Setelah perang usai, diketahui memang kalau Berveling mendapat perintah dari komandannya untuk tidak menyelamatkan orang Jerman karena Jerman musuh bagi orang-orang Belanda. Membiarkan musuh mati lebih baik daripada menolongnya. Mereka tidak perlu bersusah payah untuk menyelamatkan orang Jerman.

Usai perjumpaan dengan SS Boelongan, orang-orang Jerman yang berada di sekoci dan perahu mulai menerapkan hukum rimba. Mereka melepaskan dua rakit bambu yang tersisa karena mulai terasa mengganggu. Dua rakit itu kemudian hilang.

Baru pada 25 Januari 1942, sekoci dan perahu yang menyisakan 65 orang mencapai Pulau Nias, Sumatra. Kedatangan itu disambut oleh segelintir polisi Belanda yang masih bertahan di sana.

Singkat cerita, ke-65 orang Jerman itu ditahan dalam tangsi. Dalam sebuah kesempatan mereka berhasil mengambil senjata, melakukan kudeta, dan menangkapi polisi Belanda.

Interniran Jerman itu kemudian memproklamasikan Republik Nias Merdeka. Republik yang berumur singkat karena pada April 1942, Jepang datang ke Pulau Nias dan orang-orang Jerman itu menyerahkan kekuasaan kepada Jepang.

Cerita tentang pengabaian nurani di tengah lautan ini bisa dibaca lebih detailnya dalam buku berjudul Nazi di Indonesia, Sebuah Sejarah yang Terlupakan. Penulisnya adalah Nino Oktorino yang memiliki spesialisasi menulis sejarah perang dunia kedua.

Baca juga: Puluhan Testimoni Pembaca Buku Sindrom Kursi Belakang

Rasul Kejahatan

Dalam suasana damai, semua orang bisa mengeklaim patuh pada hukum internasional. Namun itu perlu pembuktian dalam kondisi perang. Belanda mengabaikan itu.

Dan pada saat ini, dunia ditunjukkan secara nyata sebuah fakta bahwa Israel mengabaikan semua hukum internasional pada masyarakat Gaza dan Palestina.

Bahkan para prajurit IDF mempertontonkon kebengisan itu dengan bangga di media sosial seperti TikTok. Salah satunya dengan jemawa ia bercerita kalau dia sudah menembak kepala dua remaja Palestina yang sedang bermain sepakbola.

Israel memang banyak menderita kerugian alutsista dan personel dalam penyerbuannya ke Gaza. Yang mereka banggakan cuma keberhasilannya membunuh puluhan ribu penduduk sipil tak bersenjata. orang tua, wanita, anak-anak, dan bayi.

Membunuh bayi dan anak laki-laki adalah cara keji Firaun pada ribuan tahun lalu untuk menghilangkan nyawa manusia yang diramalkan oleh para penyihir akan merongrong kekuasaan Firaun. Dan ini ditiru habis oleh Netanyahu dan IDF. Mereka membunuh bayi dan anak-anak supaya tidak menjadi The Next Hamas. Para pejuang Hamas saat ini adalah anak-anak yang belum sempat mereka lenyapkan dulu pada 20-30 tahun yang lalu.

Pada saat ini, sahlah sudah kalau Israel itu telah menjadi rasul kejahatan, ikon kebengisan, dan villain buat kemanusiaan dan dunia.

 

***
Riza Almanfaluthi
30 Desember 2023
Memesan buku Sindrom Kursi Belakang di tautan berikut: https://linktr.ee/rizaalmanfaluthi. Dapatkan diskon ongkos kirim di marketplace.

Tinggalkan Komentar:

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.