
Azan Subuh mengamuk di gendang telinga. Menutupinya dengan bantal rasanya sudah cukup untuk meredakannya. Apalagi perjalanan semalam dari Wringinputih, Magelang menuju Sempulur, Boyolali yang menguras daya dapat menjadi alasan lebih dari sekadar.
Pada akhirnya tidak demikian juga. Saya masih bisa beranjak. Kandung kemih yang penuh mendorong saya untuk segera turun ranjang.
Saya mengarahkan kaki menuju suara selawatan yang terdengar dari pelantang. Begitu banyak suara selawatan yang datang dari berbagai penjuru desa ini. Saya pilih yang paling keras. Ini berarti, masjid asal suara itu yang paling dekat dengan rumah adik ipar.
Dari ketinggian, saya masih bisa melihat siluet masjid dan menaranya yang berlampu. Tidak lebih dari 200 meter jaraknya. Jalan beton menuju ke sana menurun dan gelap, membelah sawah, lalu menaik lagi. Saya berjalan setengah oleng. Dunia yang ada di kepala masih belum seimbang.
Sesampai di sana, saya menuju toiletnya yang resik, mengambil air wudu, dan menyusul jemaah yang sedang mendengarkan bacaan setelah Alfatihah dari imam. Entah, imam membaca potongan surat Alquran yang mana di rakaat pertama itu.
Sampai imam itu menengokkan kepalanya ke kanan dan ke kiri, jemaah laki-laki ini tak beranjak dari bilangan dua saf yang tak penuh sempurna. Jemaah perempuan berada di ruangan lain di sebelah ruangan utama masjid.
Setelah melamatkan beberapa zikir dan doa, saya segera beranjak menyusuri kegelapan yang sudah mulai kelabu. Sekarang, mata saya sudah mulai terbiasa menyerap cahaya yang segelintir.
Suara serak-serak basah dari imam yang menua itu tertinggal di belakang. Suaranya meritmis, membumbungkan kalimat-kalimat ilahi, meredam gelinjang bumi yang sudah mulai jengkel lagi kepada ulah anak Adam yang baru saja lepas tiga hari dari Ramadan.
Saya tidak segera masuk ke dalam rumah. Ada satu meja kecil dan dua kursi kayu sederhana menjadi perabot paling mewah di terasnya. Meja itu harus diganjal di salah satu kakinya agar tak bergoyang. Saya duduk di salah satu kursi sembari menikmati hawa pagi nan sejuk dan melimpah.
Tidak lama, sepiring aneka gorengan muncul. Mengudap dua tempe dan satu tahu goreng bergelimang tepung terigu sudah cukup mengenyangkan. Ditambah lagi segelas teh manis hangat yang tidak biasa. Aroma dan rasa tehnya bersenyawa sengit dengan sangit kayu bakar dari pendiangan. Ciamik tenan, ik. Pagi mana lagi yang kauingkari?
Tak seberapa lama kemudian sepincuk nasi gudang terhidang. Serupa nasi jamblang, makanan khas Cirebon, pembungkus nasi gudang memakai daun jati. Isinya setumpuk nasi, sepotong tempe, mi, dan urap daun pepaya. Harganya empat ribu perak. Di hari biasa cuma dua ribu perak. Harga naik pada saat lebaran.




Lebaran memang saat terbaik untuk menaikkan harga dan meraup keuntungan. Lagi mrema, kata orang. Namun lebaran juga adalah saat terbaik untuk kembali kepada muasal, fitrah, orang tua, kerabat, kenangan, dan masakan. Apalagi masakan buatan ibu. Jejak rasanya masih tertinggal di lubuk pikiran yang paling dalam walaupun ia sudah berpulang.
Atau pula makanan khas daerah yang tiada mudah ditemui, entah karena waktunya yang tidak tepat karena kuliner itu hanya dijumpai pada saat lebaran atau karena tempat usaha kita agar pendiangan tetap menyala membuat jarak yang tak terkira.
Lebaran juga saat terbaik untuk menihilkan dendam, hingga kemudian kita mengaku menjadi diri yang paling banyak salah dan khilaf. Sampai di sini, saya teringat kepada kalimat penuh permenungan yang mampir di salah satu grup percakapan. Isinya begini:
Luar biasa pada hari ini dan kemarin, tidak ada orang yang merasa benar, semua mengaku salah dan tanpa malu meminta maaf. Betapa damainya negeri ini bila ruh Idulfitri selalu menjadi marwah dalam kehidupan sehari-hari, baik di rumah maupun di lingkungan pergaulan bahkan pekerjaan. Mari kita biasakan menjadi orang yang berani mengakui salah, bukan orang yang selalu merasa benar atau hebat.
Tetapi atas semua itu tak mestinya kita melupa, lebaran pun adalah awal untuk berjuang sekuat tenaga di sepanjang lini masa sebelas purnama setelah sebulan dididik penuh hikmat menjadi salik di madrasah Ramadan. Masihkah kita kemudian sanggup untuk bertahan di tengah gempuran goda hedonisme? Atau masihkah bertahan menjadi pemberi dan pembagi daripada melulu menjadi penerima?
Kalau engkau tahu, memberi itu adalah engkau serupa mata air cinta. Engkau tak pantas menjadi seorang pecinta jikalau tak pernah memberi dan membagi. Mencintai adalah memberi, memberi adalah mencintai. Di titik ini, saya mengenang kepada masa tiga hari menjelang Ramadan berakhir.
Seorang nenek papa tetangga satu RT datang ke rumah kami. Ia bersilaturahmi dan berbincang-bincang dengan kami. Kemudian ia menyerahkan buah tangan: manisan kolang-kaling dan satu kaleng biskuit berisi tumpukan berondong manis. Itu saja sudah membuat kami terharu.
Ia sedemikian cintanya kepada kami sehingga dengan keras mengupayakan hadiah itu. Seharusnya ia tak perlu memberi, sebaliknya kami yang perlu banyak memberi. Ia susah, namun masih mau berbagi.
Sudah, kuakhiri saja dengan puisi:
Lebaran
Ketika aku tiba di ambang pelukmu, kudengar kumandang rindu dan pekik petasan di dalam kaleng khong guan. (Joko Pinurbo, 2019)
***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
Sempulur, 3 Syawal 1440 H
Baca juga: Cerita Mudik: Sarungan untuk Pulang ke Udik
One thought on “Cerita Lebaran: Seusai Menjadi Salik Selama Sebulan”