Waktu itu senja, di sebuah warung kecil di tepian pantai yang berada di atas teluk berair tenang. Perempuan berparas ayu berjilbab rapat itu yang duduk di bangku sebelah kami bangkit menuju ke belakang warung dan tak lama ia sudah berkaos putih, bercelana pendek warna merah mempertontonkan putih pahanya, tanpa jilbabnya yang terbang entah kemana memperlihatkan pendek rambutnya, lalu bersalto menceburkan dirinya ke laut.
**
Di Rihlah Riza sebelumnya (Nomor 71) telah diceritakan aktivitas kami memulai perjalanan menuju Sinabang, Simeulue dan kegiatan kami di hari pertama itu. Kini izinkan saya untuk melanjutkan cerita perjalanan ini.
Sinabang hujan pagi itu. Sekalipun masih gelap aktivitas warung kopi sudah ramai dengan orang-orang yang kongko-kongko.Saya tetap memulai hari ini dengan lari lima kilometer. Syukurnya saya masih sanggup berlari dengan waktu di bawah 30 menit. Entah kenapa jam Garmin saya tidak bisa merekam peta lari saya.
Selepas sarapan yang disediakan losmen, kami berangkat ke Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) Sinabang. Acara dimulai jam sembilan pagi nanti tapi kami butuh waktu untuk melihat semua persiapan sehingga perlu datang lebih awal ke tempat acara.
Pada saatnya tiba, saya bertugas sebagai pembawa acara sosialisasi Amnesti Pajak buat Wajib Pajak di Sinabang. Mas Sigit Indarupa sebagai pemateri bersama Account Representative Kantor Pelayanan Pajak Pratama Tapaktuan: Ricky Rinaldy dan Syukrunaddawami. Tentunya Pak Syaefuddin sebagai Kepala KP2KP Sinabang yang membuka dan menutup acara ini.
Tentu akan timbul pertanyaan. Buat apa acara ini diadakan di sebuah pulau terpencil seperti ini? Ya, tentu jawabannya klise. Namanya juga ikhtiar. Kita tak pernah tahu masa depan dan hasil yang diperoleh. Yang kita yakini, bahwa hasil tak akan pernah mengkhianati proses.
Seperti yang sudah pernah saya tulis di artikel lain bahwa ketika 165 triliun rupiah terkumpul dari uang tebusan Amnesti Pajak ini maka dari jumlah itu ada sen-sen rupiah dihasilkan oleh KPP Pratama Tapaktuan dan dihasilkan dari sosialisasi yang diadakan di Kabupaten Simeulue ini.
Selesai acara sosialisasi kami mengadakan rapat dengan pegawai KP2KP Sinabang untuk memberikan pembekalan cara bagaimana mereka kudu bisa melayani Wajib Pajak yang akan mengikuti Amnesti Pajak.
Setelah itu kami menuju Hotel Graha D-Fit LM, tempat menginap yang lebih representatif. Hotel ini berada di pinggir teluk yang berair tenang. Kamarnya tidak banyak. Tapi pihak pengelola hotel memiliki bangunan berupa saung besar yang berada di atas teluk. Ini salah satu kelebihannya. Saung ini jadi tempat pas untuk berbincang-bincang sambil makan dan minum serta menikmati keindahan pemandangan laut yang memesona.
Istirahat sejenak sudah cukup buat kami. Menjelang sore kami menuju ke sebuah tempat yang eksotis: Teluk Latak Ayah. Dari Sinabang butuh waktu satu setengah jam untuk menempuh 68-an kilometer.
Ada apa di sana? Ada kompleks pemakaman Syaikh Khaliilullah, seorang penyebar Islam pertama di Simeulue. Lalu tempat makan yang biasa jadi tempat tujuan para pelancong. Sebenarnya tempat makannya biasa-biasa saja. Hanya warung kecil pun. Lagi-lagi warung ini berada di perairan yang tenang. Di atas sebuah teluk juga. Namun yang bikin beda adalah menunya. Menu lobster dan udang kipas jadi yang utama.
Lokasinya luas, ada pantai yang membentang, air teluknya tenang, banyak perahu yang ditambatkan, ramai oleh para penduduk yang jalan-jalan ke sana. Tapi keramaiannya jangan dibandingkan dengan keramaian penduduk kota besar yang memenuhi area wisata. Orang-orangnya masih bisa dihitung dengan jari juga. Intinya lokasi ini bisa jadi tempat jalan-jalan sore. Selain itu buat apa juga? Mandi-mandi. Terutama oleh anak-anak dan para remaja.
Dan sebelum memulai itu semua, kami harus menempuh 70 km perjalanan dalam waktu lebih dari satu setengah jam. Melewati jalanan sepi, pantai-pantai berombak besar, rumah-rumah penduduk yang berjarak, ternak-ternak berkeliaran bebas, dan rumput jepang yang menjadi penguasa ekosistem rumput liar yang mengisi setiap jengkal tanah kosong. Tidak ada yang berubah.
Kami sempat berhenti melewati sebuah bangunan masa lalu. Peninggalan masa perang dunia kedua. Bekas bungker artileri pertahanan pantai pasukan Jepang. Ini adalah salah satu bungker yang berada di hampir seluruh garis pantai Simeulue.
Tentu lokasinya berada di tepi jalan dekat pantai. Bangunan itu berbentuk bulat, berdinding tebal dengan warna kusam, dan dikelilingi pagar agar dapat terjaga dan terpelihara. Kami foto-foto sejenak lalu berangkat kembali. Tak lama. Karena ini bukan tujuan kami.
Ketika sampai di tujuan kami berziarah ke makam Syaikh Khaliilullah. Tentang makam ini dan kisah di baliknya sudah pernah saya ceritakan di Rihlah Riza #22: Sehari Menjadi Singa.
Tidak lama kami berada di makam. Kami kemudian beranjak ke warung kecil yang berada di atas tambak. Kami langsung memesan mi instan campur udang kipas. Kami tidak memilih lobster. Padahal ini tempat terbaik buat para pecinta lobster. Kata Ricky Rinaldy, “Kolesterolnya tinggi banget.” Okelah. Saya apa saja.
Kami menikmati mi rebus campur udang kipas yang besar-besar itu sambil menikmati pemandangan indah dan ikan-ikan yang berseliweran di air laut berwarna hijau yang tenang di bawah kami. Sesekali kami memberi makan kumpulan ikan-ikan itu dengan serpihan daging udang kipas.
Kami tidak langsung pulang ketika kami habis menyantap semuanya. Kami masih menikmati pemandangan sore dan anak-anak yang mandi di laut. Tidak lama kemudian datang serombongan anak-anak dan remaja putri. Mereka kongko-kongko di warung itu.
Salah satunya berparas khas perempuan Simeulue dan berjilbab rapat yang duduk di bangku sebelah kami. Rupanya ia tak tahan melihat teman-temannya sudah mulai berenang. Ia kemudian bangkit menuju ke belakang warung dan tak lama ia sudah memakai kaos putih, bercelana pendek warna merah mempertontonkan putih pahanya, tanpa jilbabnya yang terbang entah kemana memperlihatkan pendek rambutnya, lalu bersalto menceburkan dirinya ke laut. Salto Bro!
Jangan pernah membayangkan saat ia keluar dari air. Saya tak akan menceritakannya di sini. Skip…skip…
Kami pulang. Matahari sudah mau tenggelam. Tapi teluk itu masih ramai. Kiranya waktu buat kami sudah cukup. Masih dua jam lagi perjalanan kami untuk sampai di Sinabang dan mengunjungi warung yang kemarin kami sambangi. Rencananya kami akan makan supnya.
Jam setengah delapan malam kami sudah berada di warung itu. Alhamdulillah ternyata sup kaki kerbau itu masih ada. Saya pesan sup tanpa nasi. Sudah banyak kalori yang masuk pada hari ini. Dan sungguh besar banget Bro, tulang kaki kerbau itu. Sumsumnya pun bisa dihisap dengan sedotan.
Ah, kalau saya tulis semua akan banyak yang terceritakan di sini. Besok saya akan kembali ke Tapaktuan.
**
Jam sembilan pagi saya sudah berada di Bandara Lasikin. Sebentar lagi saya akan menaiki Susi Air menuju Bandara Kuala Batu, Blangpidie, Aceh Barat Daya. Pas di pesawat, ternyata wajah pilot bulenya sudah familiar. Saya tidak tahu namanya cuma tahu wajahnya saja.
Kalau lihat dari atas, rute pesawat itu sepertinya menuju ke arah timur menyusuri pulau Banyak, lalu naik ke atas yaitu ke utara menyusuri pinggiran pantai barat Aceh Selatan, mulai dari Kota Tapaktuan, Labuhan Haji, baru setelah itu Blangpidie. Entahlah…
Tiba di Bandara Kuala Batu jam setengah sebelas. Bandara ini berada di daerah yang sepi. Jarang angkutan umum dan becak motor. Satu tas besar di punggung, satu tas kecil terselempang di bahu, dan satu lagi tas berisi in-focus di tangan kanan.
Dari bandara saya menuju perempatan jalan. Jaraknya kira-kira 500 meter. Insya Allah tidak masalah. Saya sudah terbiasa lari. Ada labi-labi (angkot tua) lewat sambil membunyikan klakson, supirnya melihat saya dari kejauhan tapi tetap juga tidak berhenti.
Saya menuju gardu kecil di perempatan itu. Ada beberapa orang menghampiri saya dan menanyakan jualan saya. Mereka mengira saya pedagang jam tangan keliling karena banyaknya gembolan yang saya bawa. Tidak masalah juga saya dianggap itu. Hahahaha…
Ketika saya bertanya ada ojek atau tidak, mereka cuma bilang agar saya bersabar menunggu becak motor yang mungkin akan lewat. Kalau di Jakarta, kesempatan itu akan dimanfaatkan oleh mereka sebagai tukang ojek dadakan. Di sini tidak.
Tidak lama ada becak lewat berlawanan dengan arah tujuan saya. Salah satu dari mereka bilang, “Nanti becak motor itu akan balik lagi.”
Dan benar, kira-kira 10 menit berlalu, becak motor itu kembali. Saya langsung menaikinya menuju tempat ngetem L-300 yang akan membawa saya menuju Tapaktuan.
Mobil ini sedang ngetem di salah satu jalanan di kota kecil Blangpidie. Kata supirnya dia sedang menunggu dua ibu-ibu yang sedang berbelanja di pasar. Karena angkutan di wilayah Pantai Barat Aceh ini serba terbatas maka tidak ada pilihan buat saya.
Dari jam sebelas siang mobil itu mondar-mandir sampai lima kali melewati jalanan yang sama di pusat kota Blangpidie.
Mobil ini baru benar-benar berangkat pada jam satu siang. Luar biasa. Dan ini pengalaman pertama kali saya naik L-300 selama saya tiga tahun kerja di Tapaktuan. Ah, semoga ini yang terakhir kali.
Barulah pada jam setengah tiga sore saya sampai di mes pajak Tapaktuan. Perjalanan pun selesai juga akhirnya. Dan saya teringat sesuatu.
Norton Juster dalam The Phantom Tollbooth pernah menyebutkan, “The most important reason for going from one place to another is to see what’s in between, and they took great pleasure in doing just that. Saya mendapatkan semuanya itu. Bukan tentang Simeulue Girl bahkan Liberian Girl sekalipun. Salah satunya adalah…
Karena syariat semestinya tak sekadar casing, melainkan ke kedalaman. Ruh dan akal. Tabik!
Tim Empat: Syukrunaddawami, saya, Sigit Indarupa, Ricky Rinaldy.
Pemandangan di sekitar Hotel Graha D-Fit LM.
Sama…
Ngapain kau Syuk?
Bekas Bungker Artileri Pertahanan Jepang.
Pemandangan di Sekitar Bungker Artileri Pertahanan Jepang.
Di makam Syaikh Khaliilullaah, Latak Ayah, Simeulue.
Merenungi nasib…Hehehe. Di lokasi yang nantinya perempuan itu salto menceburkan dirinya ke laut.
Ayo makan.
Mi instan rebus plus udang kipas yang dagingnya luar biasa lezatnya.
Sup Kaki Kerbau Sinabang. Kok hijau? Ini pencahayaan karena warungnya bercat hijau. Entahlah.
Susi Air mendarat di Bandara Lasikin, SInabang. Akan membawa saya ke Bandara Kuala Batu, Blangpidie.
Mendarat di Bandara Kuala Batu, Blangpidie.
***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
Rihlah Riza #72
8 September 2016
mantab…
LikeLiked by 1 person
🙂
LikeLike
Anda menginspirasi saya untuk lebih sehat lagi…selain tentunya tulisan2 Anda..Inget tulisan “Mel” yg juara 1 itu khan?
LikeLiked by 1 person
Hehehe… tentu inget. Btw, siapa nih? 😊
LikeLike
Ah jadi kangen Sinabang! Kenapa dulu ga kepikiran untuk makan lobster/udang ya? Hahaha… Ah tapi udah cukup senang bisa balik ke sana dan makan gulai ikannya. Semoga bisa ke sana lagi.
LikeLiked by 1 person
🙂 amiin…. 🙂
LikeLike