
“Inong, apakah aku memang anak ikan?” tanya anak lelakiku itu. Air mata membiak di pipinya.
“Kata siapa?”
“Kata Among.”
“Kenapa Among berkata seperti itu? Ada apa?” tanyaku mendesak. Aku cemas. Ada yang tak beres hari ini dan untuk hari-hari berikutnya.
“Aku bawa nasi dan lauk yang Inong suruh tadi ke ladang. Tapi aku lapar. Aku makan sebagiannya di tengah jalan.” Tubuhnya gempa. Ia masih menahan isak yang semakin menariknya ke bumi. “Lalu setelah makan aku ke ladang. Di sana, Among murka melihat makanannya sudah tinggal sedikit. Lalu bilang kalau aku anak yang kurang ajar, karena aku keturunan ikan.”