Cerita Lari Mandiri Jogja Maraton 2018 (Terakhir): Inong, Apakah Aku Anak Ikan?


Di suatu pagi.

“Inong, apakah aku memang anak ikan?” tanya anak lelakiku itu. Air mata membiak di pipinya.

“Kata siapa?”

“Kata Among.”

“Kenapa Among berkata seperti itu? Ada apa?” tanyaku mendesak. Aku cemas. Ada yang tak beres hari ini dan untuk hari-hari berikutnya.

“Aku bawa nasi dan lauk yang Inong suruh tadi ke ladang. Tapi aku lapar. Aku makan sebagiannya di tengah jalan.” Tubuhnya gempa. Ia masih menahan isak yang semakin menariknya ke bumi. “Lalu setelah makan aku ke ladang. Di sana, Among murka melihat makanannya sudah tinggal sedikit. Lalu bilang kalau aku anak yang kurang ajar, karena aku keturunan ikan.”

“Hm…” Aku memacu nafas. Ada yang mulai panas di mataku. Waktunya telah tiba. Sudah saatnya aku pergi, suamiku. Engkau sudah mengingkari sumpahmu. Bertahun lampau, engkau bersedia memenuhi syarat yang kuajukan kepadamu kalau hendak menjadi suamiku. Engkau berjanji untuk tidak akan pernah mengatakan kepada siapa pun kalau aku ini memang ikan yang pernah ditangkapmu dulu di sungai di samping rumah. Mengatakan itu kepada benda mati saja kularang, apalagi kepada manusia.

Kupeluk anakku. Kubisikkan sesuatu di telinganya. “Kita pergi, yah. Kita tinggalkan semuanya.” Wajah anakku serupa Toba ini penuh tanda tanya. Aku tak ingin wajahnya semakin dihujani banyak pertanyaan. Aku tak bergeming. Aku berdiri memandangi langit.

Siang yang benderang mulai temaram. Mega hitam bergulung-gulung datang dari langit yang jauh. Mendekat menuju ke atas kami. Langit gemeretak. Pecah. Kilatan putih menyambar-nyambar.

Sembari itu lesatan cahaya lembut warna biru batu teserract mendadak turun dari langit, menerpa tubuhku dan anakku. Kami melayang. Naik, semakin naik. Tetesan air mulai turun.

Sebelum semua menderas, dari jauh dan ketinggian, aku melihat Toba berlari. “Istriku!!!! Janganlah pergiiiiiiiiii!” Jangan tinggalkan aku!” Ia jatuh berlutut. Ia sudah menyadari kesalahannya. Wajahnya macam Sinabung di waktu Subuh. Tetapi aku tak kuasa memutar waktu.

“Ini takdir kita, Suamiku.”

Hujan seperti mencintai bumi. Tak henti-henti ia menciumi tanah di setiap millimeter perseginya dengan butiran, tetesan, dan genangan yang kemudian menjadi luapan tak tertahankan. Ada yang membanjir, meledak-ledak, dan menerjang ke segala arah. Ada tangan yang mencoba menggapai-gapai permukaan sebelum klimaks. Setelah itu semuanya menikmati kesepian, sesudah lelah menuju keseimbangan.

Pada perayaan kesunyian itu, danau besar menjelma, ada sebuah nusa di tengahnya.

**

Aku, Bang Patar, dan Leccy kelelahan. Sudah jelas, ini karena puluhan kilometer dilibas hanya dengan berlari. Sehabis finis Full Marathon Mandiri Jogja Marathon itu, kami, tepatnya aku dan Leccy yang lebih akhir tiba di garis akhir dibandingkan Bang Patar, tidak bisa berlama-lama di seputaran Candi Prambanan. Bang Patar harus segera check out lalu sorenya ke Jakarta, sedangkan aku harus ke Bandung, Leccy pulang ke Pati.

Kalau saja waktu yang kumiliki lebih banyak, ingin rasanya aku lebih lama melihat-lihat lebih detail candi Hindu itu. Tetapi aku kemudian ingat, yang terpenting daripada lawatan itu adalah memulihkan segera tubuhku setelah remuk redam diajak berlari. Aku butuh asupan protein, makan yang banyak, dan obat pencegah demam.

“Maraton itu kalau sudah dijalani ya B saja,” kata Bang Patar sambil memakai satu huruf yang biasa digunakan anak muda zaman sekarang.

“B?” tanyaku.

“Biasa saja,” jawabnya.

Aku pikir benar juga pendapatnya. Setelah menjalani dan mengalaminya sendiri, ya begitulah jawaban yang paling tepat. Aku yakin Bang Patar mengatakannya pun tidak dengan jemawa. Kalau dengan latihan, persiapan, dan strategi yang baik, maraton bukan sesuatu yang menakutkan dan mengerikan.

Aku jadi ingat, semalam sebelum pelarian itu dilakukan, saat menuju tempat carbo-loading, Bang Patar sudah mulai mengajak untuk ikut race berikutnya.

“Bagaimana kalau Samosir Lake Toba Ultra 2018?” tanyanya. Ia menyebut kegiatan lomba lari yang masih berbulan-bulan lagi penyelenggaraannya.

Mau pilih jarak yang mana? 5 km, 10 km, 25 km, atau 50 km? Wow, ini perlu perjuangan: izin dan extra effort.

Seumur-umur aku belum pernah datang dan melihat Danau Toba dari dekat. Sewaktu 3 tahun 4 bulan menjalani pulang pergi Tapaktuan-Kualanamu, aku hanya bisa melihat danau itu dari jauh, saat aku menempuh perjalanan siang hari dari Sidikalang menuju Merek. Itu pun bisa dihitung dengan dua jari.

Di sinilah harusnya aku paham, setiap angan dan keinginan selayaknya harus disikapi dengan pikiran positif. Yakinkan diri dan aminkan saja kalau kita bisa ke tempat itu suatu saat kelak. Dan ini mengejutkanku.

Setelah mengantarkan Bang Patar ke hotelnya dan berpamitan, kami menuju ke rumah Mas Binanto Suryono di Alun-Alun Kidul, tempat pohon beringin kembar itu berada. Di sana kami akan istirahat sebentar sebelum melanjutkan perjalanan ke tujuan masing-masing.

Sejak pagi kami belum makan besar. Leccy sudah tak kuat lagi berjalan untuk cari makan. Yang patut disyukuri olehku adalah kakiku masih bisa kuajak kepada jalan yang benar. Tak tertatih-tatih.

Dua kali kupesan makanan melalui ojek daring, dua kali itu pula gagal karena warung tujuan tutup. Kemudian aku diantar saudaranya Mas Binanto pergi ke Warung Handayani, warung yang menjual brongkos di sebelah selatan Alun-Alun Kidul.

Brongkos pun aku tak tahu sebenarnya masakan apa. Setelah dijelaskan sama ibu penjual, aku coret dari daftar keinginan. Aku pesan saja nasi ayam dua bungkus untuk dimakan di rumah. Aku benar-benar ingin makan nasi. Aku sempat melirik nasi yang ditumpahkan centong ke dalam kertas pembungkus: banyak banget.

Jam digital sudah menunjukkan pukul 14.10 saat kami makan dengan lahap. Pas itu, ojek daring sudah datang untuk menjemput Leccy. Bhayyy Leccy, jumpa lagi di racerace berikutnya. Singapore Marathon sudah menunggumu bukan?

Aku masih berangkat nanti. Aku sempat tidur selama satu jam. Tidur yang nikmat sekali kurasakan, karena sehabis berlelah-lelah dan ditingkahi desiran angin yang masuk dari halaman samping rumah. Kakiku telah kulaburi dengan salonpas agar tetap hangat. Tolak angin juga sudah kuminum.

Azan Asar mendesak-desak telingaku. Aku bangun. Aku harus bersiap-siap pergi ke Bandara Adisutjipto. Aku ada urusan mahapenting yang tak bisa ditinggalkan di Bandung.

Sore itu akhirnya aku berpisah dengan Mas Binanto dan sang penari Jawa itu: Abrar. Yuk, kita pose sejenak, Abrar. Cekrek!

Bersama Mas Binanto Suryono
Bersama Abrar bin Binanto Suryono.

**

Bersama Mas Yudhi Meilando, Parapat, Kamis, 3 Mei 2018.

Di suatu pagi yang sederhana. Di sebuah kegiatan bukan untuk berlari-lari.

“Bang, aku sudah ada di pinggirnya,” isi pesanku kepada Bang Patar Marlon Siregar melalui Whatsapp.  Kukirim sebuah fotoku bersama dengan seorang teman di atas sebuah bukit, di pinggiran kaldera penuh berisi air: Danau Toba.

Belum juga genap tiga minggu. Mimpi itu tak perlu menunggu.

***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
05 Mei 2018

Cerita sebelumnya:
Cerita Lari Mandiri Jogja Marathon 2018 (1): Aku Membutuhkanmu
Cerita Lari Mandiri Jogja Marathon 2018 (2): Melangit Menuju Svarloka
Cerita Lari Mandiri Jogja Marathon 2018 (3): Menghilang di Rerimbunan Kembang Kenikir

 

 

3 thoughts on “Cerita Lari Mandiri Jogja Maraton 2018 (Terakhir): Inong, Apakah Aku Anak Ikan?

Tinggalkan Komentar:

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.