HAJI KHOIR DAN SANG BANGOR
Gedoran keras di pintu kamar itu membuat saya terbangun. “Bangun! bangun! Siap-siap Shubuh!” teriak paman saya. Dengan malas saya bangkit dari ranjang besi dan melongokkan kepala sambil teriak, “Iya Liiik!”
Setelah tahu kalau saya sudah bangun, maka ia beranjak pergi ke musholla tua untuk adzan. Saya yang juga tahu kalau ia sudah pergi, maka saya datangi kembali kasur untuk saya dengkuri. Tapi itu tak lama, karena bibi sudah datang menggedor, “Bangun Za! Bangun!”
Itu berarti titah tak terbantahkan. Saya pun ke kamar mandi, ambil wudhu, dan pergi ke musholla. Shubuh dilakoni dengan mata terpejam, dengan kantuk yang luar biasa akibat begadang. Maklum, karena semalam belajar matematika habis-habisan.
Setelah sholat shubuh saya punya tugas yang tak bisa dialihkan kepada siapa-siapa. Saya hampiri bibi yang tengah memasak nasi dengan kayu bakar. “Nih uangnya. Beli tahu dan tempe seperti biasa,” katanya sambil menyodorkan gumpalan uang lusuh dari dompet kecilnya. Saya terima uangnya dan mengambil sepeda ontel tua yang masih enak dipakai itu.
Saya pergi ke warung yang jaraknya 500 meter dari rumah bibi. Bibi memang jualan nasi yang dicampur dengan oreg. Tahu dan tempe goreng menjadi teman yang enak buat nasinya. Saya kesengsem sama tahu dan tempe gorengnya itu. Setelah dari warung saya harus mengisi bak kamar mandi yang ukurannya tiga meter kubik. Biasanya pada timbaan yang keseratus bak kamar mandi sudah penuh. Dan itulah aktivitas saya di pagi hari selama tiga tahun di rumah bibi, waktu masih di SMA. Antara tahun 1991 sampai dengan 1994 yang lampau.
Bibi saya ini sebenarnya saudara jauh sepupu Bapak. Tetapi karena berdasarkan catatan nasab keluarga besar, bahwa keluarga Bapak itu termasuk yang paling tua, maka saya tidak memanggil bibi—yang umurnya bahkan jauh lebih tua daripada Bapak—dengan panggilan uwak. Dalam keseharian saya juga sebenarnya tidak memanggil beliau dengan sebutan Bibi, tapi memanggilnya dengan sebutan Mimi. Mimi itu panggilan khas masyarakat Cirebon, panggilan anak kepada ibunya.
Kepada suaminya yang bernama Haji Khoir, saya tetap memanggilnya Lik (paman). Tubuh lelaki ini sudah membungkuk sebagai pertanda usia yang telah sepuh. Dia adalah guru ngaji saya setiap bakda isya setiap harinya. Mengaji kitab kuning. Salah satunya kitab safinatunnajah. Tapi khusus malam minggu ada liburnya karena beliau pergi ke pesantren Kempek, pergi ke komunitasnya untuk ngaji bareng lagi belajar kitab. Walau sudah tua semangat menuntut ilmunya juga masih tinggi.
Aktivitas bakda maghrib saya saat itu adalah belajar mengaji Alqur’an pada anaknya—ini berarti sepupu saya—yang sudah hafidz 30 juz. Kepada semua muridnya dipersyaratkan seperti ini: untuk bisa membaca kitab Alqur’an yang tebal itu—yang merupakan prestise dan level pembeda—semua muridnya harus hafal juz 30 terlebih dahulu. Mulai dari surat Alfatihah , Annaas, sampai surat Annaba.
Kalau sudah hafal Annaba lalu sudah boleh pegang Alqur’an begitu? Tidak. Harus kembali diperdengarkan (disimak) kepadanya dari Annaba sampai ke Annaas, dan Alfatihah. Satu hari satu surat. Kalau ada bacaannya yang masih salah jangan harap berpindah surat untuk esok harinya. Alfatihah saja lama banget untuk pindahnya. Butuh waktu satu bulan supaya melafalkan alfatihah dengan benar.
Ohya jangan lupa, tongkat rotannya siap menghantam paha kalau kita salah. Padahal yang tasmi’ kepadanya tidak satu orang dalam waktu bersamaan melainkan bisa sampai empat orang. Tapi kok ia tahu saja kalau saya salah lidah. Kayaknya ia punya telinga banyak deh. Enggak hanya dua. Dan tahukah kalian, dalam tiga tahun itu saya ‘sukses’ enggak pernah pindah ke Alqur’an. Masih saja menghafal juz 30. Kalah sama anak SD.
“Za, pergi ke kebun sana. Ambil setandan pisang,” kata Lik Haji pada sebuah siang. Saya ambil dan kayuh sepeda ontel kesayangannya yang berat tapi mantap itu. Sepertinya saya juga sudah sejiwa dengan sepeda itu karena ketika saya mengayuhnya saya sampai bisa lepas tangan tak pegang kemudi, jauh dan lama.
Sepeda itulah yang selalu nemenin saya pergi ke komplek perumahan pabrik semen untuk main basket, atau pergi ke Kempek setiap malam minggunya, bukan untuk ke pesantrennya, tapi untuk “main”. You know-lah.
Yang saya ingat dari diri Lik Haji ini adalah pesannya saat kami mengaji kitab di musholla, di suatu malam, di bawah lampu bohlam lima watt yang temaram, kepada dua muridnya ini, saya dan teman saya. “Jangan buku pelajaran umum saja yang dipelajari, tapi kitab juga kudu dibuka. Kudu dibaca. Buku umum saja yang bisa sampai rusak karena sering dibaca, tapi kalau kitab kuning bukunya bagus terus karena tak pernah tersentuh, tak pernah dibuka-buka.” Sebuah pesan kuno tapi benar yang hari ini kalah dan takluk dengan semarak gaya hedonisme yang abai pada hal-hal transendental.
Pesan itu memang ditujukan buat saya dan untuk menyindir saya. Karena pada saat itu—ditengah bangor dan badegnya (baca: kebandelan) saya—beliau selalu melihat saya rajin belajar, selalu buka-buka dan membaca buku pelajaran. Tapi tidak untuk kitab kuning. Kalau dalam pemahaman saya waktu itu, inti pesannya adalah: sebaiknya buku pelajaran itu ditinggal saja. Biar fokus ngaji kitab kuning belaka.
Belasan tahun kemudian salah satu cucunya bisa diterima di STAN, yang saya yakini betul kalau cucunya ini selalu rajin belajar, selalu buka-buka dan membaca buku pelajaran. Kalau tidak? Enggak akan mungkin diterima di almamater saya itu.
**
Rabu pukul 20.41. Kecipak air tanda pesan japri Whatsapp masuk terdengar. Dari Ma’am, cucu Lik Haji Khoir yang telah ditempatkan di salah satu kantor pelayanan pajak di Sumatera sana.
“Assalaamu’alaikum wrwb ang rija.”
“Maap wasap bengi2, nembe kelingan ngupai kabar.”
“Mama tuwa tutup yuswa mau awan.”
Deg…Innalillaahi wainnaailaihi rooji’uun. Pesan yang mengagetkan. Paman saya, guru ngaji saya, telah berpulang ke Rahmatullah siang tadi dalam umur 87 tahun. Saya segera menelepon Bapaknya Ma’am dan meminta maaf karena tak bisa datang. Darinya saya mengetahui kalau penguburan dilangsungkan bakda isya tadi. Insya Allah khusnul khotimah. Akhir yang baik buat Lik Haji Khoir yang meninggal dengan wajah tersenyum bercahaya serta jasad yang mewangi berdasarkan persaksian banyak orang.
Saya cuma bisa berdoa semoga Lik Haji Khoir diampuni dosa-dosanya oleh Allah swt, dilapangkan kuburnya, ditemani dengan amal baiknya, dan diberikan tempat yang terbaik di sisi Allah swt. Insya Allah ada pahala yang selalu mengalir karena ada ilmu yang bermanfaat yang telah diwariskan kepada saya dulu. Ya Rabb, kabulkanlah doa ini.
**
Terjemah:
“Assalaamu’alaikum wrwb Ang Riza.”
“Maaf WhatsApp malam-malam, baru teringat untuk memberi kabar.”
“Mama tua tutup usia tadi siang.”
*Mama tua panggilan Ma’am kepada kakeknya, Lik Haji Khoir.
*Bangor; badeg; bahasa sunda yang sepadan dengan bandel.
***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
03.30 13 Desember 2012
Gambar diambil dari situs ini.
Tags: bangor, badeg, bandel, haji khoir, stan, kantor pelayanan pajak, ma’am, ma’muroh, whatsapp, stan, safinatunnajah
ok, good!
LikeLike
Terima kasih. 🙂
LikeLike
Wow… Jalan hidupnya pak Riza menarik ya…
Aaaamiiiin… Allahumaghfirlahu warhamhu…
LikeLike
Amiin. Terima kasih.
LikeLike