KAMIS YANG RINGAN


KAMIS YANG RINGAN

 

Malam ini saya hanya ingin menulis apa-apa yang terjadi di hari kamis kemarin. Hari yang ringan sih sebenarnya. Dimulai dengan bangun dini hari, membuka netbook dan menulis sedikit. Saat yang ternyata lebih efektif daripada pulang kantor langsung menulis sampai tengah malam.

Adzan shubuh berkumandang di masjid sebelah, lalu saya pun shalat shubuh. Setelahnya langsung siap-siap menyiapkan alat ‘perang’ untuk pergi ke kantor. Jas hitam jangan dilupa, soalnya hari itu saya sidang.

Setelah cium sana-cium sini di pipi Haqi, Ayyasy, dan Kinan yang masih terlelap tidur, setengah enam lebih sepuluh saya berangkat ke Stasiun Citayam. Sepuluh menit sampai. Lima menit kemudian KRL Pakuan Ekspress Bogor Tanah Abang datang. Masih ada ruang untuk menggelar kursi lipat.

Baca koran yang tadi dibeli sebelum naik? Tidak, saya buka handphone, “cring…!“suara ringtone desingan samurai yang keluar dari sarungnya terdengar. Dua saja yang saya lakukan: buat monolog atau puisi. Membayangkan tempat atau lokasi tertentu atau wajah seseorang yang menginspirasi, konsentrasi sedikit, lalu segera memencet tombol-tombol di keyboard HP. Lima belas menit selesai.

Setelahnya saya buka bukunya Bakdi Soemanto yang judulnya Sapardi Djoko Damono: Karya dan Dunianya. Tak sampai 15 menit kemudian kereta sudah sampai di Stasiun Sudirman. Eh…pas sampai di sana ketemu teman-teman dari Pontianak dan Samarinda yang mau menuju ke kantor saya juga. Mereka mau ikutan In house training di Gedung Utama DJP Gatot Subroto. Salah satu dari mereka mengajak bareng naik taksi. Tak sampai di situ saja, bahkan sesampainya di kantor saya diajak untuk sarapan bersama. Ya sudah saya ucapkan terima kasih atas semuanya itu. Gratis. ^_^

Tiba di ruangan, saya mempersiapkan berkas sidang hari ini yang hanya satu Pemohon Banding namun dengan 33 berkas. Juga buat laporan sidang hari-hari kemarin. Dan tak lupa untuk mengecek Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Tahun Pajak 2010 yang paling lambat harus dilapor Jum’at. Ternyata banyak yang salah. Saya ketik ulang dan selesai. Lapornya sore saja nanti kalau sudah pulang dari Pengadilan Pajak.

Jam 9 pagi berangkat dengan bus dinas ke Pengadilan Pajak. Pagi ini banyak teman yang ikutan naik bis. Tetapi pulangnya biasanya tak sebanyak berangkatnya karena jadwal akhir sidang tak bisa ditentukan. Bisa lebih awal selesainya atau malah lebih sore.

Setengah jam kemudian sampai di Pengadilan Pajak. Ternyata tim kami mendapat giliran pemeriksaan pertama oleh Majelis Hakim karena Pemohon Bandingnya berada di urutan teratas dalam daftar hadir. Tak sampai 45 menit sidang selesai. Masih ada tiga jam waktu menunggu bus pulang ke basecamp. Eh, saya dipinjamkan atau tepatnya meminjam USB modem. Ya sudah colokin ke netbook yang sengaja saya bawa. Buka email dan lain sebagainya. Kaget juga ada kabar teman yang sakit. Insya Allah sembuh sorenya, doa saya.

Jam 2 siang kami pulang. Cuma bertiga di dalam bus. Jadi berlima dengan supir dan keneknya. Saya memanfaatkan waktu setengah jam ke depan untuk tidur. Terbangun sebentar karena ada dering SMS masuk. Monas, Paspamres Istana Kepresidenan, patung Arjuna Krisna dan kudanya, patung selamat datang di Bunderan HI, Patung Sudirman, dan bapak-bapak Polisi di sepanjang perjalanan benar-benar tidak saya sapa. Saya ngantuk.

Sampai di kantor jam tiga siang. Langsung menuju lantai 24 untuk melapor SPT Orang Pribadi saya. Cuma dua menit dilayani oleh petugas Dropbox Kantor Wilayah DJP Jakarta Selatan. Thanks Bro…

Selanjutnya shalat ashar di masjid bawah. Setelah itu tidak ada lagi yang harus dikerjakan selain mempersiapkan berkas-berkas untuk besok hari. Kami akan kembali ke Pengadilan Pajak untuk melakukan uji bukti kebenaran materi dengan Pemohon Banding.

Tepat jam lima sore saya pulang. Saya dan ketiga teman bersepakat untuk naik taksi ke Stasiun Sudirman. Mengejar KRL pukul 17. 21 atau 17.40. Sampai di sana, KRL yang berangkat 17.21 sudah berada di Stasiun Tanah Abang. Nah, yang pukul 17.40 masih di Citayam. Wadaww…terpaksa deh saya ikutan KRL jadwal 17.21 yang penuh sesak itu.

Tapi tak apalah daripada kemalaman, ternyata memang betul ada masalah persinyalan di antara Stasiun Manggarai dan Stasiun Cawang yang harus dilayani secara manual sehingga banyak KRL yang alami keterlambatan. Tetapi di KRL yang saya naiki saya masih dapat buka kursi lipat.

KRL 17.21 tidak berhenti di Stasiun Citayam sehingga saya harus turun di Stasiun Bojonggede setelah Stasiun Citayam atau turun di Stasiun Depok Lama sebelum Stasiun Citayam. Saya pilih yang terakhir.

Sampai di Stasiun Depok Lama saya menunggu sekitar 10 menitan. Yang datang terlebih dahulu adalah KRL Ekonomi. Saya naik KRL itu. Tidak di dalam gerbongnya yang sumpek itu. Tidak juga di atas atap kereta yang rawan kena strum tegangan tinggi. Tidak juga di samping kereta seperti Spiderman. Tidak juga di bawah kereta, emang saya baut? Tetapi saya naik di kabin masinis di persambungan gerbong 4 dan 5.

Tumben tuh kabin terang benderang. Biasanya lampunya mati, gelap kayak kuburan. Ini tidak. Dan tidak penuh juga. Saya masuk ke dalamnya. Cuma satu menit berhenti, kereta sudah mulai berangkat lagi.

Saya berada di dekat pintu dan bisa melihat keindahan suasana maghrib yang mulai gelap. Lampu-lampu neon yang berlarian ke belakang. Semburatnya mengular ke depan. Roda-roda kendaraan yang beradu dengan aspal jalanan terlihat jelas di depan mata saya. Rima goyangan kereta. Ini membuat saya merenung tentang apa yang terjadi belakangan ini.

Hmmmf….helaan nafas panjang berkali-kali dilakukan. Sebulan penuh tanpa henti kata-kata itu keluar dari hulunya. Lima menit saya kontemplasi dengan pandangan kosong keluar pintu kereta. Mengesankan sekali. Tapi Stasiun Citayam sudah di depan mata, gerak kereta sudah mulai pelan. Sudah saatnya mengakhiri perenungan sebentar itu. Masih ada hari esok. Jum’at dan hari-hari selanjutnya.

Senin hingga rabu saya dipanggil diklat menulis lagi. Jadi tidak ke kantor selama tiga hari itu. Omong-omong, hari Kamis ini, hari yang ringan, hari yang tenang untuk mengingat, walau ada sahabat dengan sakit yang menderanya. Cepat sembuh yah…

***

 

riza almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

rumah tenang

dibuat sampai 04.54 25 Februari 2011

 

 

 

 

 

tags: Pengadilan Pajak, Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Tahun Pajak 2010, SPT, Sapardi Djoko Damono, bakdi soemanto, DJP, dirktorat jenderal pajak, in house training, iht, krl pakuan ekspress, bogor, tanah abang, stasiun bojonggede, stasiun citayam, stasiun depok lama, krl

 

MATI AKU!


MATI AKU!

“Matek aku…!” serunya sambil membolak-balikkan berkas gugatan yang ada di hadapannya. Pak Aclak—bukan nama sebenarnya dan tidak mempunyai jiwa pemberontak—ini kuasa hukum salah satu penggugat melawan Direktorat Jenderal Pajak sebagai tergugat. Orang sekaliber Pak Aclak yang sudah malang melintang di dunia peradilan pajak saja masih tetap teledor dalam hal pemenuhan masalah formal gugatan. Apa coba?

    Dia telat satu hari memasukkan permohonan gugatannya ke Pengadilan Pajak. Sekali lagi, cuma satu hari. Makanya dia sampai bilang: “Matek aku”, di sidang yang tengah berlangsung. Saya akan bahas kronologis semua ini bisa terjadi.

    PT Dia Bilang Maaf Jujur Belum (DBMJB) selanjutnya disebut Wajib Pajak mengajukan permohonan pengurangan sanksi administrasi tahun pajak 2009 ke DJP. Namun setelah dilakukan penelitian, permohonan tersebut dianggap tidak memenuhi syarat secara material, sehingga permohonan tersebut ditolak dan sanksi administrasi yang diberikan DJP tetap atau tidak dikurangi sama sekali.

    Surat keputusan atas permohonan pengurangan sanksi administrasi tersebut dikeluarkan tanggal 10 Januari 2011 dan dikirim oleh Kantor Pelayanan Pajak (KPP) kepada Wajib Pajak melalui pos pada tanggal 12 Januari 2011.

    Wajib Pajak ini masih belum puas atas keputusan itu dan ingin melakukan gugatan ke Pengadilan Pajak. Maka permohonan gugatan harus diajukan 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterima Keputusan yang digugat. (Pasal 40 ayat (3) UU 14 Tahun 2002)

    Namun perlu diketahui dulu apa yang dimaksud dengan tanggal diterima dalam UU tersebut. Ternyata yang dimaksud dengan tanggal diterima salah satunya adalah tanggal stempel pos pengiriman. Selain itu adalah tanggal faksimile, atau dalam hal diterima secara langsung adalah tanggal pada saat surat, keputusan, atau putusan diterima secara langsung.

    Sekarang kita hitung dah, 30 hari sejak tanggal stempel yaitu tanggal 12 Januari 2011. Ternyata jatuh pada tanggal 10 Februari 2011. Nah Pak Aclak ini memasukkan permohonannya secara langsung ke Pengadilan Pajak tanggal 11 Februari 2011. “Matek aku…!”.

Padahal kalau saja Pak Aclak datangnya sehari sebelum tanggal 11 Februari 2011 jelas permohonannya diterima. Atau dikirim via pos di antara tanggal 12 Januari 2011 sampai dengan tanggal 10 Februari 2011 maka permohonannya dianggap diterima walaupun sampai ke Pengadilan Pajak melebihi jangka waktu itu.

Majelis hakim menggambarkan pengajuan gugatan harus “di dalam jangka waktu” itu dengan penjelasan seperti ini: Misal, yang dimaksud tahun 2007 adalah mulai tanggal 01 Januari 2007 sampai dengan 31 Desember 2007. Di dalam jangka waktu itu berarti tanggal di antara tersebut. Maka tanggal 01 Januari 2008 sudah di luar jangka waktu itu.

Akhirnya permohonan gugatan PT DBMJB tidak dapat diterima. Untung kuasa hukumnya cuma bilang begitu, tidak marah-marah. Biasanya yang marah-marah kalau yang datang Wajib Pajaknya langsung. Kami—tim DJP—terkadang dicaci maki juga.

Ah, biarlah. Namanya juga tugas. Risiko pekerjaan.

***

 

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

di sepertiga malam

09.32 23 Februari 2011

 

Tags: pengadilan pajak, majelis hakim, jangka waktu pengajuan gugatan, masalah perpajakan, sengketa pajak,

 

UNTUK ADEKKU YANG MANIS


UNTUK ADEKKU YANG MANIS


Bismillaahirrahmaanirrahiim.

Assalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh.

Puput, adekku yang manis, apa kabar hari ini? Semoga Allah senantiasa memberikan kesehatan Iman dan Islam kepada Puput. Tak lupa tentunya adalah kesehatan raga, apatah lagi sebentar kemudian hari-hari yang dinanti itu akan segera tiba. Wuih, bahagianya momen indah itu. Aang, turut bahagia sekali tentunya.

Puput, adekku yang manis. Ini bukan basa-basi loh. Bagaimana tidak manis hingga Mamah Aang senantiasa memajang foto keponakannya di ruang tamu di antara foto-foto keluarga kita. Hingga setiap pulang dari kampus—saat liburan itu—Aang selalu mendapati foto itu bertambah semakin manis-dan manis. Walaupun itu foto masa kecil Puput.

Dan tiba-tiba teknologi membuat kita terhubung dengan mudahnya setelah era facebook muncul ke permukaan dunia dan mengobrak-abrik sekat-sekat jarak yang memisahkan kita. Aang tak pernah tahu lebih jauh tentang Puput, karena Aang pernah datang ke rumah dulu, dulu sekali waktu Puput masih kecil, masih SD.

Tak disangka, tak dinyana tiba-tiba facebook membuat kita bertemu sekitar setengah tahun yang lampau. Dan tiba-tiba Puput sudah mau menautkan hati dengan sang idaman. Alhamdulillah, Aang senang.

Aang, sebagai saudara—kalau memang Puput masih menganggap Aang demikian, Insya Allah—tentunya hanya berpesan niatkanlah semata-mata pernikahan itu karena Allah swt. Tak lain dan tak bukan karena kehendak-Nya hingga semua ini terjadi. Jikalau ada bersitan niat-niat bukan karena-Nya, maka segeralah untuk meluruskannya. Ah, alangkah baiknya.

Ayah dan Ibu tentu senang bukan kepalang. Putrinya semata wayang akan menjadi seorang yang berbeda di pekan yang akan datang. Jika Allah berkenan Aang akan datang. Aang juga kangen dengan Salawu. Akankah suasana di sana seperti 15-an tahun yang lampau? Semoga.

Puput yang manis, tentunya Aang hanya bisa mendoakan di hari bahagia itu, semoga Puput menjadi:

  • Perempuan teragung sejagat raya layaknya Khadijah Istri pertama Rasulullah saw;
  • Perempuan dermawan dan murah hati layaknya Saudah binti Zam’ah;
  • Perempuan yang kesuciannya diumumkan dari tujuh lapis langit layaknya ‘Aisyah binti Abu Bakar;
  • Perempuan yang ahli puasa dan shalat layaknya Hafshah binti Umar;
  • Perempuan yang dengan kesabaran dan ketabahan membuahkan balasan yang agung layaknya Ummu Salamah;
  • Perempuan yang pernikahannya diatur dari tujuh lapis langit layaknya Zainab binti Jahsy;
  • Perempuan paling berkah bagi keluarganya layaknya Juwairiyah bin Al-Harits;
  • Perempuan yang dengan ketabahannya membuahkan balasan mulia layaknya Ramlah binti Abu Sufyan;
  • Perempuan yang berusaha di setiap detik dari usianya untuk beramal layaknya Shafiyyah binti Huyay;
  • Perempuan yang paling kuat menjaga silaturahmi layaknya Maimunah binti Al-Harits;
  • Perempuan yang memimpin para wanita surga layaknya Fatimah binti Rasulullah saw;
  • nti Al-Harits;
  • Perempuan yang memimpin para wanita surga layaknya Fatimah binti Rasulullah saw;
  • Perempuan yang paling banyak jasanya layaknya Halimahas Sa’diyah;
  • Perempuan yang menorehkan tinta emas perjalanan jihad layaknya Ummu Aiman, ibu asuh Rasulullah saw;
  • Perempuan yang mas kawinnya adalah dua kalimat sahadat layaknya Ummu sulaim;
  • Perempuan mujahidah yang senantiasa melindungi junjungannya layaknya Ummu Umarah;
  • Perempuan yang didoakan Rasulullah dengan doa : ‘”Semoga Allah mengganti selandangmu dengan dua selendang di Surga” layaknya Asma’ binti Abu Bakar;
  • Perempuan syahid dan penyabar layaknya Ummu Haram binti Milhan;
  • Perempuan yang diberi minum dari langit layaknya Ummu Syuraik;
  • Perempuan Ahli Bait yang paling dicintai oleh Rasulullah saw layaknya Umamah binti Abul ‘Ash;
  • Perempuan yang menurunkan penerus sebagai ulama terbesar dan ahli tafsir terkemuka layaknya Ummul Fadhl Lubabah ibunda Ibnu Abbas;
  • Perempuan pemilih hewan ternak yang penuh keberkahan layaknya Ummu Ma’bad Al-Khuza’iyyah;
  • Perempuan yang diselamatkan oleh ayat-ayat Al-qur’an layaknya Ummu Kultsum binti Uqbah. Amin, amin, amin…

Berat? Namanya do’a Puput yang manis. Sebanyak-banyaknya, setinggi-tingginya. Dan Allah Maha Mendengar.

Itu saja Puput yang manis dari Aang. Sudah malam yah, Aang ngantuk. Semoga ukhuwah kita tetap terjaga. Dan jangan lupa untuk dapat mampir ke Citayam. Di sana ada keponakan-keponakan Puput: Haqi, Ayyasy, dan Kinan.

Manusia tak luput dari kekhilafan dan kesalahan. Maafkan Aang jikalau surat ini menyinggung Puput. Aang berharap menemukan telaga maaf yang teramat teduh dari Puput. Lalu biarlah Aang mereguk airnya dan mendapatkan kesegaran di dalamnya.

Alhamdulillah, wassalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh.

dari Aangmu:

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

di antara kepingan malam yang penuh nyamuk

10:52 25 Desember2010

*atas seizinnya  (putri utami) surat ini bisa dinikmati semua

RINDU LAUT


RINDU LAUT

    Malam ini kembali saya tak bisa tidur. Ada gundah yang membuncah. Ada gelembung yang siap mengapung dan pecah. Ada kata-kata yang tak mau berhenti untuk diucap. Ada pikiran yang tak mau berhenti kembara. Dan semuanya berujung tiba-tiba dengan bangkitnya saya dari peraduan. Lalu menyalakan netbook. Membuka lembaran putih. Kemudian mengetikkan dua kata: rindu laut.

    

Semuanya terbentang. Dengan rasa yang tak tertahankan pada deru gelombangnya. Ombaknya yang tidak pernah muntah menjilati tepian pantai. Anginnya yang menerjang tak pernah berhenti. Teriakan camar cerewet. Bau khasnya yang selalu menggelitiki hidung. Batu karang yang sombong. Pohon kelapa yang menari. Pasir-pasir yang berusaha untuk melembutkan dirinya pada setiap telapak kaki dengan cangkang-cangkang tiram mengilap terselip di sana. Semuanya ada pada benak saya malam ini.

    Dan tanda tanya tiga di belakang sebuah kalimat berikut: kapan lagi saya akan merasakannya setelah hampir 8 tahun lamanya, menyemut di kepala. Rindu laut membuat saya memelas meminta kepada memori yang ada di tempurung otak saya untuk membongkar kenangan dua puluh tahunan lampau.

    Memori itu menemukan serakan-serakan seperti ini. Perkemahan sabtu minggu, upacara bendera di tepi pantai, jilatan ombak, senja, dentingan gitar, perahu di tengah laut, dan lagu kemesraan yang mengalun indah. Ya kutemukan saat itu adalah saat—yang kata Iwan Fals—semoga jangan cepat berlalu. Ada kedamaian di sana katanya lagi.

Sampai sekarang momen-momen itu tak pernah saya lupakan. Karena memang lautnya sendiri cantik dan manis. Ngangenin. Ia pun pandai sekali bercerita. Cerita apa saja. Sampai berbusa-busa. Buktinya betapa banyak puisi dan syair yang tercipta darinya. Betapa banyak lirik lagu dan instrumentalia terinspirasi darinya. Memetaforakan apa saja. Memersonifikasikan siapa saja.

Malam ini saya rindu laut. Pada warna-warna yang seringkali berebutan menjadi warna dominan dalam sebuah kanvas lukisan. Biru muda pada langitnya. Biru tua pada lautnya. Kuning pada mataharinya. Jingga pada senjanya. Putih pada awan-awannya. Hitam dan putih pada pasirnya. Tujuh warna pada pelanginya yang seringkali muncul. Hijau pada nyiur-nyiur yang melambai.

    Malam ini saya rindu laut untuk sejenak melupakan apa yang terjadi. Melupakan segenap yang ada. Hingga waktu ini mau tunduk pada saya untuk segera berputar cepat. Tapi terlihat ia enggan dengan teramat sangat. Apa boleh buat seringkali saya menghelanya dengan keras. Jika diperlukan ada cambuk yang siap dilecutkan padanya.

    Malam ini saya rindu laut sedangkan Citayam jauh sekali darinya. Butuh puluhan kilometer untuk memisahkannya. Di barat lebih indah. Di utara penuh dengan sampah. Di timur kejauhan. Di selatan terlalu ganas. Ya aku akan menuju barat. Tapi setelah malam ini tentunya. Setelah urusan selesai semuanya. Untuk sekadar menuntaskan rindu yang tak tersampaikan.

    Setelah rindu ini selesai, rindu mana lagi?

***

 

riza almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

dari citayam yang masih terasa gerah

malam ahad hingga 01.40 13 Februari 2011

pertama kali diunggah di: http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2011/02/13/rindu-laut/

gambar berasal dari: sini

 

 

Tags: laut, iwan fals, kemesraan, citayam, pelangi

 

 

    

BIBI TEBU


BIBI TEBU

Bibi saya yang satu ini sangat dekat sekali dengan ibu saya. Waktu meninggalnya ibu dia tampak yang sangat terpukul. Ibu adalah tempat curhat bibi di saat ia kesepian ditinggal suaminya kerja di Arab Saudi. Sebelum menikah pun ia tinggal dengan ibu.

    Hari ini saya teringatnya. Ia masih muda. Tapi saya menganggapnya sebagai pengganti ibu. Dua minggu dengan serangan maag bertubi-tubi, saya baru sadar kalau saya belum minta doa padanya. Segera saya mengirimnya pesan pendek tadi pagi. “Lik, nyuwun pandongane, kula kena maag dereng sembuh sampun kali minggu.” Yang tidak mengerti bahasa Indramayu saya terjemahkan ke bahasa Inggris Indonesia dulu: “Lik, minta doanya, saya kena maag belum sembuh juga sudah dua minggu.”

    Pada saat saya sedang mendiskusikan berkas yang akan diperiksa di Pengadilan Pajak dengan tim saya, pesan dari bibi saya mampir di telepon genggam, mau tahu apa yang ia katakan? Saya tidak menyingkat pesannya agar bisa dimengerti.

“Assalaamu’alaikum, Ang aja mangan sing pedes-pedes, keras-keras, asem-asem ari lagi kerasa. Lamon bisa mangan segane sing lemes toli baka mangan aja langsung akeh, setitik-setitik tapi sering. Lamon parek tak gawekena jamu kunir karo temulawak. Alhamdulillah Lik Idah ora pernah kerasa maning. Sing sabar bae ya Ang gage diobati sebelum parah. Ari Bapak priben waras?”

    Saya terus terang saja mengulum senyum saat baca pesan dari bibi saya ini. Saya jadi kangen bicara Dermayuan. Tapi tolong pembaca ya, jangan kami samakan dengan saudara kita yang bicaranya ngapak-ngapak itu yang kalau ngomong seperti ini nih: “Mamake wis balik?” Dengan huruf k yang medok banget. Beda sungguh. Jangan tersinggung yah.

    Ayo kita terjemahkan satu persatu ke dalam bahasa Jerman (Jejeran Sleman) Indonesia. Oh ya Ang itu adalah panggilan kepada kakak atau saudara tua. Bibi saya selalu memanggil saya Ang Riza agar anak-anaknya—saudara sepupu saya—juga ikutan memanggil dengan sebutan demikian. Sebuah penghormatan.

“Assalaamu’alaikum, Ang jangan makan yang pedas-pedas, keras-keras, asam-asam kalau lagi terasa. Kalau bisa makan nasi yang lemas, juga kalau makan jangan langsung banyak, sedikit-sedikit tapi sering. Kalau dekat sih akan dibuatkan jamu kunir dengan temulawak. Alhamdulillah Lik Idah tidak pernah terasa lagi. Yang sabar saja ya Ang cepat diobati sebelum parah. Kalau Bapak bagaimana sehat?

    Pesan darinya seperti bara yang dimasukkan ke dalam air, cess…! Mendinginkan. Bibi saya ini memang perhatian banget dengan anak-anaknya ibu saya. Kalau pulang dari rumahnya di desa Segeran—sentra buah mangga Indramayu—saya pasti diberi oleh-oleh kesukaan saya seperti krupuk melarat atau krupuk bumbu. Atau dimasakkan “blekutak” sejenis cumi dengan tinta hitamnya yang khas. Makanya setiap lebaran sebelum ke Semarang Insya Allah saya selalu mampir ke rumahnya.

    Hmm, yang pasti kalau lagi musim buah mangga, wuih itu yang namanya desa Segeran penuh dengan pohon-pohon yang buahnya sampai terjuntai ke tanah. Kuning merekah. Saya biasanya dibawakan satu kardus penuh buah mangga untuk dibawa ke Jakarta. Bukan untuk saya, karena saya tidak suka buah. Bibi sudah tahu itu. Untuk siapa dong? Untuk keluarga di rumah dan teman-teman kantor biasanya. Itulah kebaikannya.

    Dan bapak saya sampai berpesan, “tolong bantu kalau dia butuh pertolongan.” Insya Allah Pak. Tiba-tiba teringat masa kecil waktu bibi disuruh Ibu untuk menceboki saya. Ia dengan enggan mendatangi saya. Saya jelas lari darinya. Kenapa? Dia pakai batang tebu untuk menceboki saya. Saya langsung kabur.

    SMS-nya masuk kembali. “Tapi wis berobat durung? Toli kerjane priben? Tetep mangkat? Sangu roti bae kanggo ngisi weteng sebelum jam makan, aja sampe kosong nemen.” (Tapi sudah berobat belum? Kemudian pekerjaan bagaimana? Tetap berangkat? Bekal roti saja buat mengisi perut sebelum jam makan, jangan sampai kosong sekali).

    Saya cuma membalasnya dengan ucapan Jazakillah Khoiron Katsiiro, Bi. Semoga Allah membalas kebaikan bibi dengan kebaikan yang berlipat ganda. Doanya telah meringankan saya hari ini.

***

 

 

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

di atas ketinggian lantai 9 gedung Pengadilan Pajak

11.32 10 Februari 2011    

 

    Tags: segeran , jatibarang, ngapak, dermayuan, indramayu, jerman, jejeran sleman, sleman, inggris, indonesia, pengadilan pajak, sentra mangga

TANDA-TANDA


tanda-tanda

 

jika langit gelap

sadarilah ia tak selamanya mendung

jika hujan gerimis menetes

sadarilah ia tak selamanya akan menjadi badai

jika ada pohon ringkih

sadarilah tak selamanya tanda tumbang

jika ada bumi yang bergoyang

sadarilah tak selamanya itu gempa yang mengguncang

tapi kalau ada hatiku yang berdebar-debar

percayalah itu tanda cinta dan rindu

untukmu

 

 

***

 

riza almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

senja di peron 2 stasiun sudirman

17.31 09 Februari 2011

^_^

EKSPRESI MANA YANG AKAN IA PILIH?


EKSPRESI MANA YANG AKAN IA PILIH?

 

Tengah malam ini saya kembali terbangun. Setelah rehat sejenak seperti kucing yang sedang menyembuhkan dirinya karena terlindas motor, saya keluar kamar dan seperti biasa memandang buku-buku di lemari. Tanpa berpikir panjang bukunya ‘Aidh Al-Qarni sudah berada di tangan. Don’t be Sad.

Sudah berulang kali saya baca buku ini. Sudah banyak pula lipatan yang membekas pada lembaran-lembarannya untuk menandai kalimat-kalimat bermutu yang bertaburan di sana. Salah satu lipatannya adalah menunjuk pada bab tersenyumlah yang membicarakan bagaimana tertawa itu adalah kenikmatan surga. Ya betul, bagaimana mungkin penghuni neraka akan tertawa selagi tubuh-tubuh mereka disiksa dengan siksaan yang teramat pedih. Tertawa adalah hanya milik penghuni surga.

Mengingat tertawa saya jadi teringat dengan cara-cara tertawa yang digunakan teman-teman untuk mengungkapkan ekspresi kegembiraannya di dunia maya. Di dunia itu yang ada simbol-simbol belaka– bisa juga disebut dengan smiley emoticon—atau gabungan dari beberapa karakter.

Ekspresi ini adalah tanda agar orang tahu perasaan apa yang kita alami pada saat kita ngobrol dengannya. Pun supaya tidak terjadi salah persepsi. Tak ada suara tawa yang terdengar seperti di dunia sesungguhnya. Terkecuali kalau memang webcam sudah terpasang di computer, masing-masing simbol-simbol itu tak diperlukan lagi.

Maka bagi saya macam-macam ekspresi tertawa itu punya sentuhannya sendiri-sendiri. Saya menggunakannya pun sesuai dengan perasaan saya. Berikut rasa yang saya tangkap dari simbol-simbol atau karakter-karakter itu:

Lol = Laugh out Loud = Tertawa terbahak-bahak. Bagi saya walaupun terbahak-bahak seperti itu tetapi tetap tidak seekspresif Ha ha ha ha. Orang barat biasa memakai ini.

Ha ha ha ha. Yang tertawa demikian orangnya terbuka, tak punya malu-malu, ekspresif, dan jujur, tidak jaim. Turunan dari tertawa seperti ini adalah wakakakak atau wkwkwkwkwk. Woteperlah.

He he he he, ini cengengesan namanya. Tapi tepat kalau mengungkapkannya di saat malu. Tidak seterbuka ha ha ha ha di atas. Turunannya adalah ke ke ke ke.

Hi hi hi hi, kayaknya aneh aja kalau cowok pakai tertawa yang seperti ini. Feminin banget. Ketiadaan maskulinitas. Saya jarang memakainya. Rasanya gimana gitu.

Qi qi qi qi, tertawa cekikikan. Cewek dan cowok sering tertawa seperti itu. Saya juga memakainya. Model ini seperti tertawanya tokoh kartun Jepang. Tertawanya sampai tidak terlihat bola mata dengan kedua tangan tertangkup di dagu. Lucu.

Xi xi xi xi, saya tak mengerti tertawa macam mana pula ini? Kayaknya mirip orang Cina yang lagi mengucapkan terima kasih.

^_^ membuat saya nyaman.

🙂 ini jaim. Tapi berpahala karena ini adalah sedekah.

Itu saja setahu saya. Ada lagi yang mau menambahkan?

Saya baca lagi kalimat di buku itu: “Orang yang tertawa adalah orang yang memiliki karakter baik, watak mulia, serta pemikiran yang jernih. Sebaliknya memiliki air muka yang muram dan bermuka masam adalah ciri-ciri karakter yang rendah, terganggu jiwa, dan berwatak keras.” Dan Islam mengajarkan semuanya pada titik pertengahan. Tidak berlebihan.

Malam ini saya berterima kasih kepada buku itu karena telah memberikan saya arti tertawa dan menjadi sahabat baik saya. Buku memang tepat menjadi teman. Pantas Al-Jahizh—penulis Arab abad silam—yang dikutip ‘Aidh AlQarni sampai berkata: “Buku adalah teman yang tidak suka memujimu dan tidak menyeretmu kepada kejahatan. Ia adalah sahabat yang tidak membuatmu bosan, dan ia adalah tetangga yang tidak mengancam keselamatanmu. Ia adalah sahabat yang tidak berniat untuk memeras kebaikan darimu dengan rayuan, dan ia tidak akan menipumu dengan kepalsuan dan dusta.”

Dan malam ini—di waktu tersisa—saya ingin bermimpi menjadi buku buat sahabat saya yang esoknya akan bilang: “biarkan waktu yang menjawabnya.” Saya ingin melihat dia tertawa. Entah ekspresi apa yang akan ia pilih.

 

***

 

 

 

Riza Almanfaluthi

masih mencoba untuk menata hati

dedaunan di ranting cemara

02.24 08 Februari 2011

titik tanpa jeda


…..titik tanpa jeda

 

adanya adalah desahan nafas

tiadanya adalah perhentian

jika ada koma di antaranya

maka ia adalah rehat sejenak

tuk kelana perjalanan

ke tujuan

 

di sini, aku hapus satu persatu

titik titik

itu

agar tak ada kata sakit

di benak kita

sebelumnya

sesudahnya

 

maka saat kita memintal waktu

bersama di jembatan Adelaide

dalam malam-malam penuh jeritan

binatang gelap

aku terlelap

tersentak…

aku berdiri tertegun

engkau adalah ketiadaan

ketiadaan tanpa titik

besok

biarkan aku menjadi titik-titik itu

buatmu

tanpa jeda

 

***

 

riza almanfaluthi

indah dengan a comme amour

dedaunan di ranting cemara

Citayam , 17.13 05 Februari 2011

CARILAH MODEL: DARI INDIA HINGGA MALAYSIA


CARILAH MODEL: DARI INDIA HINGGA MALAYSIA

 

Cakra saya masih setengah. Malam ini saya masih ingin menulis yang ringan-ringan saja. Ada sih di otak bahan untuk nulis nyang entu tuh…reward and punishment atau stick and carrot. Biarlah itu sih untuk hari libur saja. Besok juga masih harus rekonsiliasi dengan Wajib Pajak di Pengadilan Pajak. Masih ada hari esok. Tak perlu dipaksakan.

Sudah jam satu malam tapi masih saja ada yang corat doret di di dinding facebook (fb)–termasuk saya. Ada yang nyetatus lagu India ada juga lagu Malaysia—lagunya itu tuh Siti Nurazizah Nurhaliza. Yang lagu India diposting dari temen yang ada di Dammam Arab Saudi. Di sono masih jam 10-an malam kali.

Saya jadi teringat sesuatu nih. Masih dengan sosok ibu Guru kelas 1 SD yang ada di Sidoarjo sana. Punya semangat besar menulis. Berusaha untuk menciptakan karya. Walaupun hanya untuk ditampilkan di sebuah blog. It’s oke. Perjuangan yang patut untuk diapresiasi. Tanya ini dan itu pada saya. It’s oke juga. Saya justru senang. Itu ciri orang mau maju. Dia nganggap saya guru—dengan segala keterbatasan yang ada. Jeruk makan jeruk. Guru makan guru.

Saya jadi ingat sekitar hampir enam atau tujuh tahun lampau. Saat saya masih sama kondisinya dengan guru yang dari Sidoarjo ini dalam dunia kepenulisan. Berusaha untuk membangkitkan kemampuan menulis yang terpendam lama dengan berusaha belajar kepada sosok teman yang sudah hebat dalam proses kreatif menulis. Dia juga sudah menghasilkan buku. Salah satunya adalah: Hari Ini Aku Makin Cantik, ya betul penulisnya adalah dia, dia, dia Azimah Rahayu. Cari saja di Google atau FB ada deh nama itu.

Saya banyak belajar darinya. Saya sedang mencari model. Saya cermati betul tulisannya. Jumlah karakter. Jumlah kata. Jumlah paragaf dan jumlah halamannya. Coba lihat artikel-artikel saya zaman dulu: gaya tiga halaman adalah persis dari dia. Saya juga belajar cara dia memandang sesuatunya, cara membuka dan menutupnya, dan lain sebagainya. Pokoknya dia adalah the real model. Yang pasti dia mau berbagi. Mau memberikan saran dan masukan. Sampai pada suatu titik bahwa apapun yang diberikan guru tetap semuanya tergantung pada diri kita sendiri.

Akhirnya inilah saya, pada saat ini. Yang menulis hanya untuk mencari kepuasan. Menuntaskan kegelisahan. Mengabadikan pikiran. Menentang kezaliman. Menyuarakan ketertindasan. Melawan kebohongan. Menyingkirkan kebisuan. Mengungkapkan perasaan. Tidak lain. Tidak bukan. Insya Allah.

Saya—dari hati yang paling dalam—pada malam ini mengucapkan terimakasih yang tulus kepada teman saya dan ibu guru saya, compradore di Forum Lingkar Pena: Azimah Rahayu, semoga ini menjadi amal ibadah yang tak berhenti mengalir.

Yang saat ini masih terus menerus belajar menulis, pesan saya satu: carilah model. Siapapun dia dan di mana pun dia berada. India, Malaysia, Indonesia whatever-lah. Pelajari dengan seksama. Suatu saat Anda akan menemukan gaya Anda sendiri. Yang ini sudah saya bilang berkali-kali pada ibu guru di timur sana. Tetap semangat. Terus menulis. Ungkapkan semua yang dirasa, yang dilihat, yang didengar. Siti Nurazizah Nurhaliza yang bukan seorang penulis saja dan tengah malam ini lagi nyanyi-nyanyi sampai berpesan: “kekasih tulis namaku di dalam diari hatimu”. Ayo tulislah. Apapun.

Semoga bermanpaat bermanfaat. Selamat berkarya.

***

 

Riza Almanfaluthi

ngantuk…

dedaunan di ranting cemara

02.21 WIB 28 Januari 2011.

 

Tags: forum lingkar pena, flp, azimah rahayu, siti nurhalizah, dammam, arab saudi, saudi arabia

 

CINTA ITU BUTA


23.25

Membuka surel (surat elektronik) darinya itu membuatku tak mampu untuk tidak merasakan kegundahannya. Tentang sebuah asa atas cinta yang begitu membuncah. Atas sebuah rindu yang tak tertahankan kepada seseorang yang dicinta. Tapi sayangnya ada sebuah gunung tinggi menjulang yang tak mungkin ia singkirkan untuk dapat memiliki wanita idamannya. Wanita itu sudah bersuami.

“Kenapa tidak kau pilih yang lain?” tanyaku pada suatu kesempatan. “Engkau masih muda, kaya, berpendidikan, sudah kerja lagi?”

“Aku tak sanggup untuk tidak memikirkannya sampai saat ini, Za,” katanya resah.

Keresahan itu mewujud, tampak dari raut mukanya. Tak dapat disembunyikan. Aku hanya tersenyum-senyum sendiri seakan-akan mengenang masa lalu. Tapi pada akhirnya keresahan itu memuarakan dirinya pada gerimis dan hujan yang terasa indah. Sore dan senjanya. Malam dengan bulannya. Lagu-lagu India yang terasa romantis sekali. Apalagi dangdut. What the… pria metropolis penyuka dangdut?

Film India lebih disuka. Mulai dari Mohabbatein, Rab Ne Bana Di Jodi, hingga Kabhi Alvida Naa Kehna. Yang terakhir lebih disukanya karena temanya hampir persis dengan apa yang dialaminya. Bintang filmnya sama pula: Shah Rukh Khan. Ada yang tak berbeda dengan dua orang itu. Sama-sama penyuka gym dan punya sixpack. Aku cukup onepack saja. Mengejar yang limanya hanya sebuah obsesi.

Soundtrack film itu juga ada pada ipod-nya yang kulihat kemarin. Ngomong-ngomong tentang ipod, darinyalah pertama kali aku merasakan kualitas mp3 player yang memang luar biasa. Sehingga aku turut berusaha untuk memilikinya juga. Dia memang teman karibku. Aku boleh buta dan belajar darinya segala tentang Jakarta dan kehidupan siang malamnya. Tetapi tentang cinta, ia yang harus belajar padaku. Cinta itu memang buta. Hingga aku harus membuatnya tersadar pada realita. Menuntunnya ke tempat yang terang.

“Bagaimana kalau saya carikan? Pakai kerudung. Sholihah. Aktivis? Segera. Secepatnya,” desakku. Dia hanya menggeleng. Dengan headset yang tetap terpasang di telinganya. Lamat-lamat dari mulutnya terdengar petikan lirik-lirik india itu:

Dur jaake bhi mujhse

tum meri yaadon main rehna.

Kabhi alvida na kehna.

Halah… “Ngaji…! ngaji…!”teriakku. Aku meninggalkannya segera. Tak lama lagi dia akan menghubungi via gtalk. Hanya aku yang memang mampu untuk mendengarkannya. Semua keluh kesah itu. Aku memang pendengar yang baik. Apapun yang ia ceritakan dalam chatting itu, aku cuma bilang I see…I see. I am listening.

00.32

Aku masih memikirkan temanku ini. Apalagi pada saat ia memandangi foto wanita itu. Jangan bayangkan foto itu ada pada selembar kertas berwarna seperti zaman dahulu yang bisa diselipkan di sela-sela buku. Sekarang eranya sudah moderen. Semuanya sudah ada dalam genggaman. Pada handphone-nya.

Dulu harus meminta-minta untuk mendapatkan satu lembar saja. Itu pun dikasih atau diminta dengan sangat terpaksa. Tetapi sekarang cukup dengan diterima sebagai temannya. Maka foto-foto itu dengan mudah didapat. Facebook memang hebat. Ia menyentuh sisi terdalam sifat manusia. Ingin dikenal dan mengaktualisasikan dirinya.

“Seberapa cantik dia hingga kamu teramat kesengsem padanya?”

“Aku tak peduli Za masalah itu. Ada sesuatu yang unik pada dirinya.”

“Dia tahu kamu mencintainya?”

“Ya…”

“Dan…?”

“Dia membiarkanku seperti ini. Tak ada jawaban iya.”

Aku memahami dan menyetujui sikap wanita itu. Ah, teman. Lupakan saja ia.

06.30

Pagi ini dengan tetap mengingatnya.

Beberapa bulan setelah aku pindah kantor. Ia masih tetap sahabatku yang kukenal. Masih membujang. Masih dengan badan atletisnya tetapi dengan cerita yang lebih seru.

“Za, dia sudah bercerai,”serunya riang.

“Apa? Kamu yang menyebabkan semua ini?”

“Sebejat-bejatnya aku. Aku tak mau menjadi pemecah rumah tangga orang. Dia dicerai sama suaminya.”

“why…?” tanyaku sok londo.

Dia jawab pakai bahasa Inggris sampai aku terbengong-bengong. Entah karena apa yang diungkapkannya atau karena aku tak mengerti cas-cis-cusnya itu, aku hanya: I see…I see. Skor toeflnya memang jauh di atasku.

“Sekarang aku lagi nyetel lagunya Irwansyah Za, Kutunggu jandamu,” tulis dia lagi di chatroom.

Aku tulis Smiley Icon yang pake bacok-bacokkan itu.

“Pffhhhh…Bro, perawan banyak di luaran sana. Tetap saja kau pilih dia. Terserahlah…Pesen aku cuma satu: agamanya bro!.”

Yang tampil di layar kemudian adalah cuma ikon cengengesan.

*

Pagi ini aku masih menunggu undangan dari temanku itu. Yang entah kapan akan datang.

***

Riza Almanfaluthi

dengan seizinnya aku tulis cerita ini.

dedaunan di ranting cemara

08.24 22 Januari 2011