Membeli Martabak di Bulak


MEMERANGKAP***Senja.

Ketika kami tiba di Masjid Alhusna, Kinan langsung menuju saf terdepan saja.  Tak ada yang menemaninya. Umminya Kinan sedang tak enak badan jadi tak bisa salat id. Sedangkan kami bertiga segera masuk ke dalam ruangan utama masjid.

Hari ini lebaran. Kami kembali salat di masjid ini. Mengulang ritual setahun sekali. Khatibnya berkhotbah selama 30 menit yang isinya diingat dengan baik oleh Kinan. Di antaranya tentang nyamuk, organ tubuhnya, alat untuk menusuk korban, dan obat bius yang dipakai satoan itu saat menggigit manusia.

Kinan mengutarakan itu ketika kami bertemu di halaman masjid usai salat. Ia bicara banyak tentang isi khutbah itu. Good job, Nak. Sedang di benakku masih banyak  jejak cerita mudik yang ingin kutulis dan kubagi.

Perjalanan mudik kami kali ini terbilang lancar dan tidak melelahkan. Barangkali karena kami tidak ngoyo untuk langsung ke Semarang. Tujuan awal kami adalah rumah bibi di Segeran, Karangampel, Indramayu. Selasa siang itu, hari ke-27 Ramadan, pukul 13.45, kami berangkat dari rumah di Citayam.

Emoney buat bayar tol sudah kuiisi, tangki bensin sudah penuh, ban isi nitrogen sudah dicek kembali, dan terpenting peta di Google Maps masih dominan dengan warna biru. Bubuk kopi Gayo, biji kopi Shunda, dan Cafflano tidak lupa kubawa. Oh ya, doa sebelum berangkat kami panjatkan agar tidak ada aral melintang dalam perjalanan mudik kali ini.

Dari Gerbang Tol Sentul, mobilku yang menuju Jalan Tol Cikampek tidak diarahkan melalui Jalan Tol Lingkar Luar, melainkan menuju Cawang. Dari sana baru menuju Jalan Tol Cikampek. Aku turuti saja peta itu.

Sayangnya aku yang tidak waspada, aku tak sempat mengambil ancang-ancang untuk belok  dan keluar di Pintu Tol Rumah Sakit Bhayangkara menuju Cawang, malah aku terus. Akhirnya aku kebablasan dan masuk jalan tol menuju arah Tanjung Priok, tetapi aku segera keluar di Pintu Tol Jatinegara, lalu putar balik, dan masuk ke Jalan Tol Cikampek.

Tahun lalu karena melihat Jalan Tol Cikampek di Google Maps yang merah darah, kami akhirnya menyusuri pantura dan tidak melewati jalan tol. Tahun ini tidak ada kemacetan yang berarti selama perjalanan kami sore ini. Barangkali karena para pemudik sudah diberikan banyak hari alternatif dengan adanya tambahan cuti bersama dan hari libur oleh pemerintah.

Azan Magrib berkumandang ketika kami sudah berada di Jalan Tol Cipali di antara Subang dan Indramayu. Kami memasuki SPBU di KM-130 yang sudah padat dan harus antre untuk memasukinya. Pas kami masuk, di depan kami ada mobil yang keluar dari tempat parkirnya. Alhamdulillah, kami langsung menggantikan tempatnya.

Kami menggelar tikar di pinggir parit jalan tol, kemudian membuka bekal, dan bersantap ala kadarnya. Itu saja sudah sesuatu yang patut disyukuri. Lebih dari 30 menit kami berada di sana. Setelah itu kami melanjutkan perjalanan.

Kinan

Ummi Kinan

Maulvi

Toang

Ada dua jalan alternatif menuju Segeran yang diberikan Google Maps: keluar melalui Gerbang Tol Kertajati atau melalui Gerbang Tol Palimanan.

Kalau engkau diberikan pilihan yang pilihan itu memakan waktu yang sama namun jaraknya berbeda, engkau akan memilih yang mana? Pilihan jarak dengan kilometernya jauh atau lebih dekat?

Google Maps memberikan pilihan yang kedua kepada kami yaitu jaraknya lebih pendek. Jadi kami keluar melalui Gerbang Tol Kertajati. Jalan Kertajati menuju Jatibarang ini adalah jalan yang seumur-umur belum pernah aku lewati.

Kertajati yang berada di Kabupaten Majalengka ini memang sekarang sedang berkembang karena di sana sudah berdiri Bandar Udara Internasional Jawa Barat. Infrastruktur di daerah itu semakin diperbaiki dan ditambah.

Jalanan Kertajati-Jatibarang ini mulus, tetapi di malam itu sangatlah sepi dan gelap. Pengendara motor sedikit. Tidak ada mobil yang menyusul kami. Dan sedikit mobil yang berlawanan arah dengan kami. Walaupun demikian kami harus tetap berhati-hati .

Kami melewati toang panjang. Toang itu Bahasa Indramayu yang menyebut sebuah jalan persawahan yang panjang, sepi, dan tidak ada rumah penduduk sama sekali.

Kami melewati Kecamatan Jatitujuh, Majalengka yang jalanannya sedang ramai karena pasar malam. Melewati kota kecil itu aku jadi teringat teman-teman SMP-ku yang berasal dari Pabrik Gula Jatitujuh. Setiap hari mereka diantar jemput dengan bus milik pabrik gula menuju sekolah yang berada di Jatibarang.

Banyak teman-temanku berasal dari sana. Ketika jab tangan kiri James “Buster” Douglas menghantam keras Mike Tyson di ronde ke-10 dan membuatnya KO, aku menonton pertandingannya di salah satu rumah temanku di sana.

Kami juga melewati Tukdana. Nama kecamatan di Indramayu yang sudah lama kudengar namun baru aku lewati. Ujung-ujungnya Desa Widasari. Untuk memasuki Jatibarang kami harus melewati putaran dengan jarak 10 kilometer karena setiap perlintasan sudah ditutupi dengan beton-beton penghalang.

Kami sampai di Jatibarang yang jalanannya sedang ramai-ramainya pada saat itu. Di pinggir-pinggirnya banyak lapak kosong yang baru digelar. Aku baru ingat, besok adalah hari Rabu, hari pasaran di Jatibarang selain hari Minggu. Hari pasaran yang sudah ada sejak aku masih kecil dan barangkali sejak Jatibarang menjadi sebuah pedukuhan ratusan tahun lampau. Besok tentunya akan ramai sekali. Hari pasaran terakhir di bulan Ramadan.

Kami melewati toko-toko pakaian yang sedang penuh dengan pengunjung. Pemilik toko-toko itu kebanyakan adalah tionghoa. Merekalah penguasa ekonomi Jatibarang sejak dulu. Aku jadi teringat di suatu malam lebaran ketika ibu mengajak aku dan adikku untuk membeli baju lebaran di salah satu toko itu. Momen itu sampai sekarang masih kuingat dengan betul.

Ibuku yang selalu mengantar kami membeli baju lebaran. Ia yang memilih-milih baju, mengepaskannya dengan tubuh kami, menawar baju itu, dan ketika harganya cocok, baju itu ia ambil. Kalau tidak cocok harganya kami pindah ke toko sebelahnya. Begitulah yang ibu lakukan untuk kami. Sampai di sini aku ingin berdoa untuk ibuku: “Allahummaghfirli waliwaalidayya warhamhumaa kamaarobbayani shagiraa.”

Aku melewati rumah tempat aku dilahirkan. Sekilas saja aku melihatnya. Kemudian aku melewati tempat perbelanjaan terbesar di kota kecil ini yang ramai sekali. Kami juga melewati Gang Senen, tempat dulu aku pernah tinggal.

Dan inilah yang paling epos saat kami melewati Desa Bulak. Aku tunjukkan kepada anak-anakku dengan semangat. Di sana ada situs petilasan Buyut Banjar tempat 41 monyet abadi itu hidup. Jumlahnya selalu tetap. Kalau ada satu monyet yang lahir, maka ada satu monyet yang akan mati. Konon ke-41 monyet itu adalah prajurit yang dikutuk penguasa karena tidak menuruti perintah. Seperti itu legendanya.

Setiap hari raya, di tempat itu selalu ada pasar malamnya. Sejak kecil aku sering berkunjung ke tempat itu. Macam-macam wahana permainan ada di sana seperti ombak banyu, komidi putar, tong setan, dan gua hantu. Pada masa jayanya selalu digelar orkes dangdut dengan mendatangkan artis ibu kota.

Di pasar malam itu juga banyak penjual mainan, arum manis, dan martabak. Untuk yang terakhir ini aku menghentikan laju mobilku di depan salah satu dari mereka dan membeli martabaknya. Sekadar mencicipi makanan yang pernah aku nikmati saat aku masih kecil. Harganya cuma 4000 rupiah sebiji. Masih panas lagi. Aku kembali teringat saat martabak menjadi lauk utama kami bersama nasi.

Tapi Bulak sekarang tidaklah seramai dulu saat orang–orang dari segala penjuru Indramayu berbondong-bondong datang ke sana dengan menggunakan moda transportasi apa saja. Barangkali dulu, hiburan tidak sebanyak sekarang dan telepon genggam yang cerdas itu belumlah merebut kehidupan manusia seperti saat ini hingga membuat toang di hati banyak pemiliknya. Zaman memang sudah berganti.

Tempat tinggal bibi di Segeran sudah tidak jauh dari Bulak. Agar kami sampai tidak larut malam, aku segera melajukan mobil ke sana.

Dan malam itu, jalanan Segeran, di depan-depan rumah penduduknya, penuh dengan lampu-lampu hias. Begitulah kebiasaan di sana saat menyambut hari raya. Semarak.

Seperti semaraknya hati kami saat tiba di rumah bibi dengan selamat.

Ayyasy

***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
1 Syawal 1439 H

Cerita Mudik 2018 berikutnya (2): Di Titik Didih Kerinduan
Cerita Mudik 2018 berikutnya (3): Bagaimana Kalau Kangen?

Advertisement

5 thoughts on “Membeli Martabak di Bulak

Tinggalkan Komentar:

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.