Cerita Lari Mandiri Jogja Marathon 2018 (3): Menghilang di Rerimbunan Kembang Kenikir


Mandi di sendangmu (Foto milik sendiri).

Asyik. Aku tiba juga di Water Station (WS) kilometer (KM)-26. Di sana ada Fruit Station. Yang jelas ada pisang. Aku mengambil pisau yang ada di meja lalu memotong potongan pisang yang sudah kecil kemudian menyantapnya. Aku menikmati potongan itu tanpa ada keinginan untuk muntah.

Air yang keluar dari Water sprinkler memancur deras. Aku sekalian mandi. Segar rasanya disiram butiran air. Ini Svarloka. Tempat sungai mengalir dan buah-buahan tumbuh. Sudah cukup. Jalan saja.

Di saat itulah aku bersua dengan Mas Deny Hastomo dari DJP Runners juga. Aku meminta ia mengambil gambar saat aku di bawah water sprinkler. Ajakannya setelah itu yang tak bisa ditampik. Ia meminta saya untuk lari. “Jalannya nanti saja di kilometer-kilometer terakhir,” katanya.

Akhirnya aku melanjutkan pelarian ini. Dan anehnya semangatku timbul. Pikiranku mendesak sel-sel tubuhku serupa sel-sel Bruce Banner yang tercemari radiasi gamma untuk menjadi Hulk, lalu bergerak, dan terus berlari. Niatku bangkit kembali untuk bisa berlari sampai KM-35.

KM-30 aku lalui dalam waktu 4:09:25 jam. Aku kembali menelan dua kapsul salt stick Gu Roktane. Di KM-31 aku berkemih lagi. Dari tiga toilet yang disediakan panitia rata-rata kondisinya baik, tidak bau, dan menjijikkan.  Para pelari di depanku yang menggunakan toilet ini benar-benar bertanggung jawab.

Di KM-32 aku kembali memakan GU Gel yang ketiga. Akhirnya kami berdua sampai di KM-35. Aku sudah berlari 4:57:11 jam. Lebih cepat 38 menit daripada dua minggu lalu. Dan yang terpenting batas psikologis jarak 35 km ini kutempuh tanpa sakit-sakit, drop, kram, dan masih bisa melanjutkan ke kilometer berikutnya walau dengan jalan kaki.

Aku mempersilakan Mas Deny jikalau ia mau lari duluan. Ia menolak. Karena aku sudah tidak kuat untuk terus berlari, ia membuat target finis pendek buat kami, misalnya gapura, pertigaan jalan, pohon, jembatan sebagai garis finis bayangan. Ini supaya kami tidak jalan terus. Dan menurutku metodenya benar-benar efektif.

Saat aku berlari, ada harapan yang diberikan Mas Deny. Nanti katanya ada banyak refreshment buat pelari di kilometer-kilometer akhir: es dawet dan buah-buahan. Menarik sekali membayangkan meminum dawet dengan cairan gula di dasar gelas dan santan putih memenuhi dinding gelas. Ah…

Aku melewati KM-36 jauh di bawah COT 6 jam. Tepatnya 5:10:35 jam. Melewati titik KM-36 dan KM-37, di tengah persawahan yang terik, Mas Dandi Sahman, fotografer, bersembunyi, samar, dan seperti menghilang di balik rerimbunan kembang, memotret kami.

Bukan tiada maksud ia sampai berdedikasi begitu. Selain untuk menghindari sengatan panas matahari juga untuk mencari latar belakang bagus buat foto-fotonya. Bunga-bunga kenikir warna kuning jadi elemen yang membuat ciamik foto lari kami.

Asyiiiik…
Mas Hafidz in action.

Apa yang dikatakan Mas Deny betul. Selepas KM-38 kami menemukan WS yang disediakan oleh Klaten Runners. Tapi es dawetnya sudah habis. Yang masih ada buah semangka yang diiris kecil-kecil dan tipis-tipis. Tetapi buat saya itu sudah luar biasa. Sejak 2015 buah ini sangat kusuka. Aku makan banyak dan foto banyak juga di sana.

Kami melewati keramaian di dekat Candi Plaosan Lor. Banyak orang mengerumuni lapangan kecil. Di tengahnya, ada para penari yang sedang mempertunjukkan kesenian daerahnya.

Ini baru cocok, irama kendangnya menyemangati. Sebelumnya berbeda. Entah di kilometer berapa, aku melewati sebuah grup musik daerah yang sedang menyajikan lagu campur sari. Kau tahu lagu apa yang dinyanyikan biduanitanya? Keno Godho. Nurhana, mana Nurhana.

Peteng dedet rasaning atiku
Bareng keprungu kabarmu
Nyatane sing kondur mung layangmu
Ora ngiro keno godho

Di KM-39 aku merasa gembira. Aku memakan Fitbar yang terakhir. Finis semakin dekat. Kami tetap dengan metode jalan lari jalan lari. Di sinilah aku merasa patokan jarak yang dibuat panitia sudah tak sama dengan jarak yang ada di jam. Selisihnya sampai 500 meter.

Kami sampai di penanda KM-40 yang dibuat oleh panitia. Kemudian kami memasuki kompleks Candi Sewu. Jangan mengira bahwa di titik itu sudah banyak orang yang menyambut pelari dan menyoraki kami agar segera sampai finis. Tidak ada. Tetap masih sepi.

Dwarapala, patung raksasa penjaga candi, masih ajek di tempatnya sambil memegang gada memandangi kami. Ia dan reruntuhan batu-batu candi menjadi saksi atas kelelahan kami. Aku yakin dalam diamnya mereka juga menyemangati kami. “Cepat-cepatlah selesai, sebentar lagi matahari terbit!” Aku seperti menjadi Bandung Bondowoso.

Kami tiba di titik KM-41 dan melewati kompleks Candi Bubrah dan Candi Lumbung. Panas masih menyengat. Penamaan candi itu cocok memang dengan kondisi kami. Glikogen sebagai lumbung energi di tubuh kami sudah bubrah (rusak).

Kami masuk di kilometer terakhir. Jalannya lebih teduh daripada sebelumnya dengan pohon-pohon tinggi memayungi sisi kanan kiri jalan. Kami serupa memasuki Kebun Raya Bogor.  “Nanti di jembatan hijau dekat air mancur itu kita lari lagi. Sampai garis finis,” kata Mas Deny, “sudah dekat.”

Kami semakin mendekati sekitaran Candi Prambanan. Lima ratus meter lagi garis finis. Banyak peserta lari yang sudah sampai duluan berada di pinggir-pinggir jalan. Barangkali menunggu teman mereka yang belum sampai.

Sebentar lagi finis, Bro.
Speechless. Fotonya bagus. Ekspresinya juga bagus. Seperti wajah-wajah tanpa utang.

Asyik. Aku dan Mas Deny sebentar lagi sampai. Dan tak lama kemudian, balon gerbang finis tampak di hadapan. Dan, dan, dan, dan akhirnya kami finis. Kami sudah berlari 6:20:51 jam.  Pada saat itu dopamin membanjir menuju reseptor di balik tempurung kepala kami. Neurotransmitter mengirimkan getaran kebahagiaan pada otak.

Lari bersama Mas Deny ini memberiku perbedaan. Benarlah kata pepatah Afrika yang mengatakan demikian, “If you want to run fast, run alone. If you want to run far, run together.” Ini lari sendiri boro-boro cepat, malah lambat.  Lari jauh bersama kawan bikin aku sampai cepat di garis finis.

Aku bahagia. Tak menyangka saja aku bisa berlari maraton seperti ini. Teringat ketika November 2014 lampau, saat aku masih di Tapaktuan, masih tambun seperti Dwarapala, dan tak bisa lari 100 meter.

Aku kudu berterima kasih kepada Anja Alicja M, Free Athlete dari Jerman, yang menginspirasiku dengan postingan lari Half Marathon-nya. Saat itu aku masih terbengong-bengong sewaktu ia bisa lari 21 km. “Aku bisa enggak, ya?” pikirku. 

Kali ini, di FM ini, target finis sehat tercapai. Kakiku tidak sakit, tidak kram-kraman, tidak demam, dan aku tidak muntah juga. Sepatu Reebokku jebol. Tepatnya di sisi dalam sepatu kiriku, dekat bagian bawah jempol, robek.

Mbak Yuli Susanti, istrinya Mas Deny, memanggil kami untuk berfoto dulu dekat balon gerbang finis. Lalu kami masuk ke area refreshment untuk mengambil medali, air minum, dan makanan yang berlimpah di sana. Aku mengambil getuk dan kacang rebus. Lalu keluar area refreshment sambil menerima kaos penamat. 

Akhirnya kami finis bersama. (Foto milik Mbak Yuli Susanti)
Mas Salman saat tiba di garis finis lebih dahulu daripada kami.

Kami berjumpa dengan DJP Runners yang lebih dulu sampai. Bang Patar, Mas Asda, Mas Arif, Mas Salman, Mas Yakob Yahya, dan yang lainnya. Ahai, lalu bagaimana dengan Leccy? Kutahu ia berada di KM-21 untuk mengobati kaki kramnya. Tak lama kemudian ia muncul dari area refreshment. Alhamdulillah, finis juga. Kemudian kami ambil banyak foto. 

Boleh bukan jikalau aku berfoto untuk barang sebentar saja? (Foto milik sendiri).
Bersama Kapten DJP Runners, mentor ala ala, pemilik Gugel dan Gu Roktane, Asdaferry Bitana (Foto milik sendiri).
DJP Runners (Foto milik Leccy).

AKu meraba medali yang tergantung di leher. Aku meraba saku celana lariku. Masih ada satu Gu Gel tersisa. Rasa espresso. Tiba-tiba aku ingin minum kopi. Tiba-tiba aku ingin makan ayam penyet. Tiba-tiba aku ingin segera tidur. Tiba-tiba aku ingin segera ke Bandung.

Bandung, tunggulah aku.

Cerita sebelumnya:
Cerita Lari Mandiri Jogja Marathon 2018 (1): Aku Membutuhkanmu
Cerita Lari Mandiri Jogja Marathon 2018 (2): Melangit Menuju Svarloka

Epilog:
Cerita Lari Mandiri Jogja Marathon 2018 (Terakhir): Inong, Apakah Aku Anak Ikan?

***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
21 April 2018

5 thoughts on “Cerita Lari Mandiri Jogja Marathon 2018 (3): Menghilang di Rerimbunan Kembang Kenikir

  1. hmmmmmmmmm.. kok pipisnya berkali2 ya……
    semestinya habis keluar via keringat
    aku aja gak ke toilet kok sepanjang race….
    apakah karena :
    1. Minum terlalu banyak sebelum race
    2. minum teh/ kopi yang mengikat air
    3. Minum di WS terlalu banyak
    4. Kurang di”gas”larinya hingga keringat tidak keluar banyak
    atau???

    Liked by 1 person

Tinggalkan Komentar:

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.