Sehabis lari tipis-tipis ke atas sejauh 2,5 kilometer, sempat digonggong dan dikejar anjing, lalu turun lagi dengan jarak yang sama, di Lembang yang pagi harinya kelabu dan menggigilkan tubuh, aku kembali balik ke ruang kelas untuk mendapatkan banyak wiyata.
Lokakarya kepenulisan kali ini diisi oleh Yusi Avianto Pareanom, penulis novel Pangeran Mandasia si Pencuri Daging Sapi. Ia banyak memberikan penugasan kepada peserta lokakarya. Lalu ketika tugas itu selesai dikerjakan, Pak Yusi akan mengevaluasi satu per satu tugas itu.
Ia meminta kami untuk mengerjakan tugas membuat angle, outline, lead, deskripsi, judul, dan majas. Saat tiba di giliranku, ia melewatkanku. Tetapi aku tetap mengacungkan tangan.
“Oh, kirain Mas Riza tidak akan turut serta,” katanya.
“Oh tidak, Pak. Saya ikut kok Pak,” kataku.
Barangkali karena aku duduk di bangku paling belakang sehingga dianggap sebagai panitia maka aku tidak perlu ikut serta mengerjakan tugas. Tidaklah, Pak. Aku juga tetap ingin belajar.
Dan inilah yang kukerjakan sampai suatu ketika ada pertanyaan yang diajukan Pak Yusi setelahnya.
Anton memakai jaket ojek daringnya yang berwarna hijau sepulang jam kantor sore itu. Anton adalah salah satu dari ribuan pegawai Direktorat Jenderal Pajak, eselon 1 di Kementerian Keuangan yang mengumpulkan uang pajak sebanyak Rp1.424 trilyun pada 2018. (Tugas bikin lead pertama)
Adonan serabi Bandung itu masih dipanggang di atas mangkuk gerabah tanah liat. Harumnya menguar ke mana-mana. Serabi akan dianggap matang dan siap disantap jika sudah berlubang. Nikmatnya akan paripurna jika dicampur dengan air kinca. (Tugas bikin lead kedua)
Anton berseragam juru sita pajak bersama beberapa aparat kepolisian menyambangi salah satu rumah di kompleks perumahan elit di Republik ini siang itu. Anton berniat membeslah aset mewah milik Agus, pejabat kementerian yang punya sejumlah utang pajak besar. Saat didatangi, raut paras Agus langsung berubah serupa kepiting rebus. Ia tak menyana kedatangan petugas pajak secepat ini. (Tugas bikin deskripsi)
“Berulang kali aku mengatakan kepadamu perihal ini Anton. Tapi engkau tak juga pandai-pandai membaca isi hatiku. Berapa juta kalimat lagi aku harus mengatakannya agar isi tempurung kepalamu itu bisa bercahaya disinari matahari selepas hujan?” Berondong Ayu dengan wajah seperti sehabis melihat bajaj berhenti mendadak di depannya. Anton mematung. Pandangannya lurus ke luar jendela. Tajam. Kulit dahinya bergelombang. Nafasnya masih teratur. Ia tetap bergeming. (Tugas bikin deskripsi orang yang jengkel dan orang goblok yang tidak mengerti-ngerti)
5 Alasan Pegawai Ditjen Pajak Terima Tunjangan Besar, Nomor Empat Mencengangkan. (Tugas bikin judul)
Mengganti ungkapan-ungkapan yang klise ini dengan majas yang baru. Ada lima ungkapan lama yang Pak Yusi minta kepada kami, tetapi hanya dua yang mampu kujawab segera. Terpencil adalah tempat yang bunyi detak jantungmu akan kaudengar begitu kerasnya. Orang yang sangat kaya raya diganti dengan “ia seperti Sulaiman dan Karun”. (Tugas membuat majas)
Saat aku selesai mengerjakan tugas, aku pun ditanya Pak Yusi, “Mengapa selalu nama Anton?”
“Entahlah, Pak. Nama itu selalu mudah diingat oleh kepalaku.”
“Nama itu cocok bersanding dengan Tante Siska,” katanya.
Aku cuma bisa meringis.
Di zaman ketika anak-anak kita tidaklah cukup dengan satu atau dua kata untuk sebuah nama, maka nama itu begitu lekatnya di ingatanku.
Dan di sisi lain, di bulan-bulan ini, ketika senarai nama peserta ujian diumumkan, saatnya kita memanen nama-nama panjang penuh doa. Harapan tertinggi dari ayah dan bunda. Di dunia atau pun kelak di alam sana.
Seberapa panjang nama anakmu?
***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
24 April 2018