Percikan Pengakuan


Percikan air mata ibu yang kehilangan anak-anak yang didamba.
Aku!

Percikan debu dari batu yang dilempar para pemuda.
Aku!

Percikan batu bata runtuh dari tembok-tembok kudus nan tak ternoda.
Aku!

Percikan doa ke ujung langit untuk segenggam mahardika.
Aku!

Percikan debum di roket buat kota-kota mereka.
Aku!

Percikan senyum di paras wajah para syuhada.
Aku!

Percikan aib untuk kaututupi dengan wangi cendana.
Aku!

Percikan nasib pengharap surga dari samudra dosa.
Aku!

Percikan api di ujung-ujung peluru yang menembus dada.
Aku!

Percikan apa lagi setelah hari hari penuh renjana?
Aku?

Mengaku: aku.

Mengaku-aku.

***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
Sebuah tugu, 17 Desember 2017

Advertisement

Mereka Sejenis: Sama-sama Menantang Allah



Menggelitik sih. Dikirimin ini dari lapak sebelah. Melihat liberalis menertawakan dan mempertanyakan hal-hal seperti ini. Tapi sungguh hal ini sudah biasa. Dan Allah sudah kasih jawabannya 14 abad yang lalu.

Dalam penggalan surat Muhammad ayat 4 disebutkan, “Demikianlah, apabila Allah menghendaki niscaya Allah akan membinasakan mereka tetapi Allah hendak menguji sebahagian kamu dengan sebahagian yang lain.”

Baca Lebih Lanjut.

Suami Istri Ini Rela Sahur Hanya dengan Mi Rebus untuk Sumbang Palestina


Suami Istri Ini Rela Sahur Hanya dengan Mi Rebus untuk Sumbang Palestina

 

 

Aksi solidaritas untuk Palestina yang dilakukan oleh ribuan masyarakat pada hari Ahad (13/7) di Bunderan Hotel Indonesia Jakarta menyisakan kisah-kisah yang sangat mengharukan. Kisah-kisah tentang kepedulian para mustad’afin (orang-orang lemah) kepada saudara-saudaranya di bumi Palestina yang menjadi korban kebiadaban Israel.

Apa saja kisah-kisah mengharukan tersebut? Diantaranya diutarakan oleh Ririn, administrator komunitas ODOJ (One Day One Juz) 46. Komunitas yang mempunyai program memfasilitasi dan mempermudah umat Islam agar dapat membiasakan tilawah Alquran satu juz sehari. Kisah ini telah beredar melalui pesan dalam grup ODOJ pagi ini. Menarik untuk disimak.

Ceritaku sebagai tim sunduk dari ODOJ di Aksi Solidaritas untuk Palestina. Awalnya rada sungkan, namun lama kelamaan asyik juga, apalagi kalau yang dikasih berupa Garuda Merah (lembar uang dengan nominal seratus ribu rupiah—red).

Berada di antara ratusan mobil yang lalu-lalang. Bahagia banget kalau ada ada yang membunyikan klakson kemudian membuka sedikit jendelanya dan si Garuda Merah atau Biru masuk ke kantong hijau ODOJ. Senang bukan main.

Tetapi ada satu hal yang membuat aku sampai mengeluarkan air mata di antara air hujan yang membasahi bumi yaitu sepasang suami istri dengan motor butut memberikan beberapa lembar Garuda Merahnya. Setelah memberikan lembaran itu, suami tersenyum kepada istrinya seraya berkata, “Ikhlas ya Mi, sahur dengan mi rebus?” Anggukan anggun si istri membuat aku terpana. Ya Allah, itu lembar terakhir mereka. Semoga Allah ganti lembaran-lembaran Garuda Merahmu untuk saudara muslim di Palestina kita dengan surga-Nya, wahai saudara muslimku.

Kemudian ada juga pemulung yang memberikan uang recehnya untuk saudara muslim Palestinaku seraya ia berkata, “Neng, Bapak bisa gak ya ke Palestina?” Tanyanya. “Kalau mau perang ke sana harus punya hafalan 30 juz ya Neng? Aduh, Bapak mah boro-boro hafalan, salat saja bolong-bolong, tapi Bapak pengen ke sana, Bapak ingin syahid Neng.”

Bapak pemulung itu berpakaian lusuh, namun hatinya laksana mutiara. Sepanjang menjalankan kotak sunduk, air mataku mengalir. Mereka mengajarkan kedahsyatan yang luar biasa. Hari ini aku bersyukur bisa terlibat menjadi bagian hal ini.

Bagi para pembaca jangan melewatkan diri untuk membantu saudara-saudara kita yang ada di Palestina dengan memberikan infak terbaiknya. Jika tidak, minimal dengan doa yang tidak putus-putusnya. Apalagi di bulan Ramadhan ketika Allah banyak memberikan waktu mustajab buat orang yang berpuasa untuk berdoa. Doa adalah senjata kaum beriman. [Riza Almanfaluthi]

[CATATAN SENIN KAMIS]: EUFEUMISME PARADOKSAL


EUFEUMISME PARADOKSAL

 

Bergumul dengan percakapan tadi malam dengan seseorang membuat saya menafsirkan ulang arti dari sebuah permintaan, pernyataan, ataupun penegasan akan sebuah keinginan. Inilah pentingnya memahami arti atau makna yang sebenarnya dari sebuah kalimat yang terlontar. Tanpa ada reduksi arti ataupun distorsi makna.

Pun, karena kita berada di sebuah tatar di mana sebuah kesopanan dijunjung di atas kepala setinggi-tingginya dengan sebuah aforisme 1000 kawan terlalu sedikit dan satu musuh terlalu banyak maka yang tampak mengemuka adalah eufeumisme. Penghalusan ungkapan sebagai pengganti ungkapan yang dirasa lebih kasar, tidak menyenangkan, ataupun merugikan.

Maka akan banyak sekali kita temukan di negeri sejuta eufeumisme ini, semua penghalusan itu. Mulai dari kematian hingga menyangkut masalah apa yang ditelan manusia. Bahkan menular pada kehidupan perpolitikan negeri ini yang penuh basa-basi dan kehidupan kita sehari-hari.

Sebuah perusahaan ketika ingin memecat seseorang, maka yang dilakukan bukan seperti orang-orang di Barat yang tanpa tedeng aling-aling mudah untuk bicara “You are fired!!!” dengan berteriak di depan durja sang korban, hanya beberapa sentimeter saja jaraknya. Tidak seperti itu. Tetapi cukup dengan sebuah ungkapan “tidak membutuhkan Anda lagi” yang didahului dengan kata maaf.

Yang lebih halus lagi adalah ketika pinta itu direpresentasikan dengan hal-hal yang kontradiktif dari kalimat yang terucap—melanjutkan contoh di atas—misalnya, “Anda sepertinya butuh waktu untuk istirahat, dan kami dengan senang hati memberikannya kepada Anda.” Sebuah tawaran yang teramat baik dan terpuji. Tetapi dibaliknya adalah: “Kau dipecat!!!” Ironi. Paradoks. Menyakitkan.

Inilah eufeumisme paradoksal.

Hakim di Pengadilan Pajak sedang meneliti syarat formal pengajuan gugatan yang diajukan Penggugat. Dalam hal ini Penggugat kebetulan mencantumkan dua keputusan yang digugat dalam satu surat gugatan. Maka Majelis Hakim menilai bahwa gugatan ini tidak dapat diterima. Majelis hakim mengatakan kepada Penggugat, “Gugatan Penggugat tidak dapat diterima.” Sebenarnya itu cukup tapi terkadang ditambah dengan kalimat, “Lebih baik perbaiki saja surat gugatan ini.”

Padahal sia-sia saja untuk diperbaiki karena biasanya pemeriksaan gugatan dilakukan setelah batas waktu pengajuan 30 hari terlampaui. Penggugat tak akan bisa lagi mengajukan gugatan karena jatuh tempo pengajuan itu telah lewat. Dengan kata lain, “Percuma!” Tawaran hakim Inilah yang bisa disebut eufeumisme paradoksal.

Suatu malam di ujung telepon sana, atau di sudut layar telepon genggam, atau di layar putih surat elektronik, atau dalam gerak cepat layar chat box, seorang laki-laki menerima pesan terucap atau tertulis seperti ini, “Maukah kau melupakanku dari hidupmu, karena kau terlalu baik buatku. Tetapi aku tetap menjadi kawan atau adik terbaik buatmu.”

Laki-laki ini terkejut, hatinya karut seiring langit yang memuntahkan angkaranya dengan petir membahana. Ia tahu perempuan itu cuma mau bilang, “Kau, aku, selesai!” Sebuah pernyataan tentang kemuakan, kebencian, ketakbergunaan, tak perlu diingat lagi kepada laki-laki itu. Tetapi dibalut dengan eufeumisme “maukah kau melupakanku dari hidupmu.” Yang sebenarnya adalah “Gua empet lihat muka elo!” Plus paradoksal, “karena kau terlalu baik buatku.” Yang sejatinya terkatakan adalah: “Iblis bermuka nabi”. Inilah eufeumisme paradoksal.

Yitzak Rabin di tahun 1992 adalah Perdana Menteri baru buat Israel. Ini kali kedua setelah ia menjabat pertama kalinya sebagai Perdana Menteri di tahun 1974-1977. Ia dikenal dengan tangannya yang berlumuran darah rakyat Palestina.

Tahun 1948 ia melakukan teror dan pengusiran terhadap puluhan ribu rakyat Palestina dari tanah mereka. Ratusan ribu lainnya menyusul di tahun 1967. Pada saat gerakan intifadhah selama 4 tahun yang dimulai tahun 1987, Israel dibawah kendalinya sebagai Menteri Pertahanan melakukan pembunuhan, penyiksaan, pemotongan anggota badan, pemenjaraan, dan pengusiran terhadap bangsa Palestina.

Dan apa yang ditawarkan setelah ia menjabat sebagai Perdana Menteri Israel kala itu: menawarkan keinginan dan visi perdamaian. Tetapi sejalan dengan itu Rabin tetap memerintahkan penyelesaian 11 ribu unit perumahan yang belum jadi di Tepi Barat, menolak setiap kompromi terhadap kota Yerusalem, dan menolak pemberian kewarganegaraan Israel bagi orang-orang Palestina yang hidup di tanah pendudukan tersebut. Di tahun 1994, ia dianugerahi Nobel Perdamaian hanya gara-gara ia mau berdamai dengan Palestina di tahun 1993.

Tangan kanan Yitzak Rabin menyerukan salam perdamaian kepada rakyat Palestina dan dunia namun tangan kirinya tetap dengan cambuk yang siap untuk dilecutkan. Inilah eufeumisme paradoksal. Bahkan diabadikan sampai sekarang oleh seluruh penerusnya.

Rwanda di akhir abad 20 adalah contoh getir dari ketiadaan harga nyawa manusia dan pembiaran dunia internasional atau impotennya negara-negara pengoar-ngoar demokrasi dan hak asasi manusia.

Rwanda dengan mayoritas Hutu yang tambun, bulat, berkulit gelap, dan petani dengan minoritas Tutsi yang ramping, tinggi, berkulit kurang gelap, dan peternak. Berkaitan dengan benang sejarah lampau antara Hutu yang sahaya dengan Tutsi yang penguasa. Namun di awal tahun 90-an itu Rwanda dipegang oleh Hutu. Tentu dengan semangat penuh kebencian dan kemarahan warisan kolonialisme Belgia kepada minoritas Tutsi. Sebagian Tutsi kuat diluar perbatasan Rwanda melalui RPF (Front Patriotik Rwanda) dan siap merongrong pemerintahan Hutu yang berkuasa.

November 1992, Leon Mugessera—kuasa Hutu dalam pidatonya, menyerukan untuk mengirim Tutsi ke Ethiopia—karena menurutnya Ethiopia adalah negara sebenarnya buat Tutsi dan bukan Rwanda—melalui sungai Nyabarongo. Inilah eufeumisme paradoksal itu. Di tahun 1994, faktanya Nyabarango penuh dengan Tutsi, benar-benar penuh, hingga sampai ke Danau Victoria. Tapi dalam wujud bangkai. Genosida selama 100 hari—6 April hingga 18 Juli 1994—itu memakan korban sekitar 800 ribu orang terbunuh. Atau rata-rata 5 orang per menitnya.

Lima tahun berikutnya karena benci telah menemukan tempat strategisnya, Ambon pun membara. Tapi lidah kelu untuk bicara dan mengisahkannya karena banyak tikungan tragedi di sana. Atau ah, kalimat terakhir tadi cuma eufeumisme paradoksal untuk sekadar berkelit bahwa sesungguhnya saya memang ketiadaan pengetahuan tentangnya. Bisa jadi.

***

 

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

geretap daun kena hujan

00.42 7 Juni 2011

 

Tags: eufeumisme, paradox, eufeumisme paradoksal, pengadilan pajak, rwanda, ethiopia, genosida, ambon, leon mugessera, danau Victoria, nyabarongo, hutu, tutsi, belgia, rpf, yitzak rabin, nobel perdamaian, palestina, yerusalem,

 

 

 

 

 

 

 

JAWABAN BUAT ISMAIL HASANI SI PENUDUH


JAWABAN BUAT ISMAIL HASANI SI PENUDUH

Di setiap masanya, Islam selalu digedor oleh musuh-musuhnya. Tidak hanya dari kalangan luar, dari orang-orang yang berwajah atau bernama layaknya nabi pun tidak kalah tangguhnya untuk ikut ramai-ramai menjadi penghancur agama. Minimal punya penyakit bernama kecemasan luar biasa, tidak percaya dan curiga berlebihan yang lazim disebut paranoid.

Tepatnya saat ini sosok paranoid itu ada pada Ismail Hasani, peneliti SETARA Institute, yang menyatakan dalam sebuah diskusi bahwa TKIT (Taman Kanak-kanan Islam Terpadu) dan SDIT (Sekolah Dasar Islam Terpadu) sebagai sarana pemupuk benih radikalisme Islam. Bahkan dia mengatakan bahwa lagu-lagu jihad Palestina yang biasa dinyanyikan oleh siswa-siswa lembaga pendidikan tersebut mengancam NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) dan bertentangan dengan Pancasila. Diskusi yang mengetengahkan tema tentang deradikalisasi untuk mengatasi kasus-kasus kekerasan atas nama agama itu diselenggarakan di Hotel Atlet, Jakarta (10/1).

Pernyataan Ismail Hasani sebagian memang tepat. Dulu, di zaman pergerakan nasional, sekolah memang menjadi tempat tumbuhnya sosok-sosok nasionalis radikal dan antikolonial. Ini menjadi dilema bagi penjajah Belanda pada saat itu, di lain pihak sekolah adalah tempat terbaik untuk menghasilkan administratur yang handal buat mereka. Tak bisa dipungkiri bahwa sekolah memang menjadi tempat yang tepat untuk menyuburkan idealisme.

Sayangnya sekarang Ismail Hasani sama seperti orang-orang Belanda puluhan tahun lampau itu. Takut dengan munculnya benih-benih idealisme. Bedanya Ismail Hasani berkulit coklat, mereka berkulit putih. Dulu yang berkulit putih identik sekali dengan penindas.

Dengan pernyataannya, Ismail Hasani terlihat alergi dengan jihad Palestina seberapapun ia menyangkal. Jihad Palestina adalah perjuangan rakyat Palestina untuk memerangi kesewenang-wenangan dan penindasan yang dilakukan oleh para imperialis dan zionis Israel itu. Dan setiap gerakan perlawanan terhadap kesewenangan-wenangan imperialisme, dalam sejarah, disebut juga sebagai gerakan nasionalisme. Lalu apa yang salah dengan pengumandangan lagu-lagu jihad Palestina tersebut?

Atau semuanya bertitik tolak terhadap definisi nasionalisme yang dipakai oleh Ismail Hasani yang terlihat sempit ala Nicolas Chauvin. Semua orang yang ada di luar batas tanah air mereka tidak dipedulikan dan hanya mengurus semua yang berkaitan langsung dengan apa yang ada di dalam batas wilayahnya.

Islam mengajarkan nasionalisme yang lebih luas dari sekadar itu. Berbuhul pada ikatan akidah esensinya. Jika nasionalisme itu adalah cinta, keberpihakan, rindu, berjuang membebaskan tanah air dari cengkeraman ketidakadilan, serta menanamkan makna kehormatan dan kebebasan dalam jiwa putera-puteri bangsa, memperkuat ikatan kekeluargaan antar anggota masyarakat, menyatukan diri dalam sebuah keluarga besar yang bernama NKRI dengan tetap turut merasakan apa yang saudara-saudara muslim rasakan di belahan manapun, maka Islam mengakuinya. Dan itulah nasionalisme dengan segala kebaikan yang ada untuk tanah air ini.

Yang tidak dibaca oleh Ismail Hasani juga adalah peran serta, opini serta dukungan dari rakyat Palestina terhadap proklamasi kemerdekaan republik Indonesia yang pada saat itu hanya secara de facto. Butuh pengakuan dari bangsa-bangsa lain untuk dianggap berdaulat dan sejajar dengan bangsa merdeka lainnya.

Terkecuali memang Ismail Hasani sudah memakan mentah-mentah tanpa dikunyah tuduhan Israel dan Ameriksa Serikat terhadap gerakan perlawanan Palestina sebagai gerakan terorisme. Maka wajar ia menyamakan lagu-lagu jihad Palestina itu sebagai lagu perusak NKRI. Dan ia membalas dengan tuba partisipasi rakyat Palestina itu untuk kemerdekaan negeri ini.

Ismail Hasani juga lupa dengan sejarah atau memang pemikirannya yang sudah kena virus deislamisasi penulisan sejarah kalau kemerdekaan republik ini diperoleh dengan keringat dan darah yang dikorbankan para ulama dan santri yang mengobarkan semangat jihad untuk melawan penjajah Belanda. Atau aksi jihad yang dilancarkan seorang panglima besar Soedirman yang merupakan mantan seorang guru Moehammadijah.

Bung Tomo sudah kadung terkenal dengan teriakan takbir dan seruan jihadnya pada 10 November 1945. Tak terlepas 18 hari sebelumnya, kakek Gus Dur—salah seorang badan pendiri SETARA Institute—yang bernama Kiai Haji Hasyim Asy’ari mendeklarasikan resolusi jihad: perang suci melawan Belanda yang ingin kembali menjajah.

Ada sebuah tuntutan terhadap Ismail Hasani sebagai penuduh untuk membuktikan bahwa menyanyikan lagu-lagu jihad Palestina itu bertentangan dengan Pancasila. Sila yang keberapa? Sila pertamakah? Kedua? Atau sila yang mana? Bukanlah pula nasyid-nasyid jihad Palestina adalah juga lagu-lagu perjuangan. Lalu apakah ada jaminan bila lagu-lagu perjuangan selain nasyid yang jika dikumandangkan akan menghasilkan manusia yang pancasilais?

Amir Sjarifoeddin Harahap, mantan perdana menteri RI yang menandatangani perjanjian Renville, sebelum ditembak mati menyanyikan lagu L’Internationale—lagu kebangsaan kelompok Bolsyevik Uni Soviet—dan Indonesia Raya, padahal ia adalah seorang komunis. Lagu-lagu perjuangan diperdengarkan setiap tahun namun Indonesia masih jago dalam hal korupsi. Jadi akan terlalu sempit bila sebatas lagu menjadi ukuran sosok berkarakter kuat pancasilais.

Dan saya meyakini betul, kalau di TKIT dan SDIT itu diajarkan pula tentang lagu-lagu perjuangan, tidak hanya nasyid jihad Palestina yang menjadi pelengkap acara hiburan pada saat pelepasan murid-muridnya.

Pada akhirnya saya hanya khawatir, bahwa Ismail Hasani cuma menjadi kepanjangan suara dari negara-negara barat yang gemar menuduh serampangan kepada mereka yang berseberangan dengan kepentingan besar negara-negara tersebut. Setelah dulu madrasah dan pesantren dituduh sebagai tempat perkecambahan radikalisme. Sekarang TKIT dan SDIT. Lalu besok apalagi?

Si penuduh wajib memberi bukti dan si tertuduh wajib memberikan sumpah. Kaidah elok untuk Ismail Hasani.

Wallohua’lam bishshowab.

***

 

Riza Almanfaluthi

Penulis dan Blogger

dedaunan di ranting cemara

01.30 Citayam 14 Januari 2011

 

Tags: ismail hasani, setara institute, gus dur, hasyim asy’ari, amir syarifuddin harahap, komunis, palestina, nasyid, amir sjarifoeddin harahap, bolsyevik uni soviet, nasionalisme, imperialisme, israel, zionisme, nicolas chauvin, jihad, radikalisme, terorisme, l’internationale

Aku dan Israel Memang Tanpa Nurani: Siap-siaplah Menjadi Monyet


Aku dan Israel Memang Tanpa Nurani:

Siap-siaplah Menjadi Monyet

Para pemimpin negara Timur Tengah berusaha mewujudkan daerah Timur Tengah sebagai Negara bebas nuklir. Tapi sudah pasti rencana itu ditolak oleh Israel sebagai satu-satunya negara di kawasan itu yang mempunyai senjata nuklir yang siap luncur.

Alasannya itu diperlukan untuk menghadapi kekuatan semua negara Timur Tengah yang dalam bawah alam sadarnya merupakan musuh-musuh sejatinya. Sungguh negara ini benar-benar tak punya nurani.

Kini dunia dipertontonkan oleh arogansi Israel yang dengan semena-mena menembaki kapal relawan asing di perairan Internasional. yang memuat  bantuan kemanusiaan untuk warga Gaza. Sudah 10 relawan yang telah tewas dalam pembantaian itu.

Israel memberikan alasan bahwa kapal perang mereka dilempari dengan pisau dan kayu oleh relawan. Sehingga sudah menjadi kewajiban mereka untuk mempertahankan diri. Aih…dasar kumpulan orang-orang yang tak mempunyai nurani.

Sebuah alasan yang mengada-ada. Karena bagaikan Dawud melawan Jalut, pisau dan kayu tak ada apa-apanya dibandingkan dengan baja-baja dari kapal perang Israel itu.Dan kalaupun benar, jika nurani mereka punya, mereka tentu bisa menahan diri untuk tidak terpancing. Tapi ternyata tidak. Mereka tidak punya nurani.

Maka akankah negara-negara barat kembali menutup mata dengan mengebiri kembali nurani mereka yang selama ini mereka lakukan. Tidak berbuat apa-apa?

Akankah negara-negara kaya minyak di Timur Tengah itu pun kembali mempertontonkan sikap mereka yang berlawanan dengan kehendak rakyatnya yang menginginkan para penguasanya tidak sekadar diam saja tetapi ikut berperan serta secara langsung dan efektif membantu rakyat Palestina dan mengusir rasa ketakutan mereka akan kehilangan dunianya ketika mereka melepaskan diri dari himpitan ketiak penguasa dollar?

Akankah momen ini menjadi momen menentukan bagi Umat Islam untuk kembali bersatu setelah sekian lama masih saja mempertengkarkan diri mereka dengan urusan-urusan khilafiah?

Bahkan inikah saat tepat untuk kembali memikirkan dan menyisipkan harapan kepada Allah di antara doa-doa panjang kita untuk saudara-saudara kita di Palestina sana?

Seharusnya ya. Tidak ada kata terlambat untuk itu. Allahummansur mujaahidiina wa ikhwana fi Filistin…Daripada tidak sama sekali.

Atau jika kita memang berpikir sudah tak ada urusannya kehidupan kita yang nyaman ini dengan Palestina pada saat ini, maka yang layak adalah jika kita berbicara pada diri sendiri: “ Aku dan Israel memang tak punya nurani.” Siap-siaplah untuk menjadi monyet. Karena monyet memang licik, rakus, egois, dan narsis.

Allohua’lam bishshowab.

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

21:33 31 Mei 2010.

SERAPAH UNTUK MEREKA


Aih…tanduk siapa yang menjelma pada si angkara murka,

Aih…ekor runcing siapa yang menjelma pada wajah-wajah bengis

dari keturunan para kera

hingga nyawa-nyawa berebutan keluar dari jasad

sungguh Surga untukmu Bur’i…

 

****

Syair kepedihan untuk Bayi-bayi Palestina yang jadi korban biadab Israel.

Riza Almanfaluthi 

16:32 4 Maret 2008

(Berita terkait di sini: Hafez)

PALESTINA DAN SOEHARTO


PALESTINA DAN SOEHARTO (ABU SIGIT AL-KIMUSIKY)

Siang hari kemarin, berombongan kami dari Pabuaran menuju MONAS untuk bergabung bersama-sama ikhwah yang lain untuk menyuarakan solidaritas kami terhadap rakyat Palestina yang sampai tulisan ini dibuat pun masih saja dianiaya dengan kezaliman Israel La’natullah. Dari Pabuaran kami melalui tol Jagorawi dari Citeureup, lalu masuk ke tol dalam kota untuk nantinya keluar dari pintu tol Cempaka Putih. Dari sana kami lalu menuju Masjid Istiqlal untuk menunaikan sholat dhuhur.
Di pintu Al Fatah Masjid Istiqlal itulah saya merasakan getar-getar yang jarang saya rasakan kembali pada tahun-tahun terakhir ini. Yaitu keharuan untuk berkumpul dengan saudara-saudara seperjuangan. Dengan banyak pemuda yang memancarkan kesalehan dari wajah-wajah mereka. Yang berombongan datang dari daerah masing-masing entah dengan berkendaraan motor, mobil, angkutan umum yang disewa ataupun jalan kaki.
Bahkan saya melihat ada beberapa ikhwah yang walaupun tidak diberikan kesempurnaan secara fisik untuk berjalan tegap karena kakinya cacat, dapat meluangkan dirinya berpartisipasi di acara itu dengan berjalan jauh di tengah hari yang terik . Saya sungguh terenyuh dan terharu. Subhanallah, semoga Allah membalasnya dengan kebaikan yang berlipat ganda.
Dua anak saya pun kiranya dapat menahan kelelahan mereka untuk berjalan jauh dari Masjid Istiqlal menuju Monas, lalu berdiam diri di sana selama setengah jam, dan kemudian berjalan kaki lagi menuju Kedubes Amerika Serikat dan kembali ke Masjid Istiqlal sekitar pukul 16.30 WIB.
Sedari dini saya mengajarkan kepada mereka yang kini sudah duduk di kelas dua SD dan TK B untuk turut merasakan solidaritas ini. Betapa mereka masih diberikan banyak kenikmatan di negeri Indonesia ini dengan makanan yang Insya Allah terjamin, bermain setiap saat tanpa diiringi dentuman senjata atau rudal yang meledak di tengah kerumunan mereka, pendidikan yang mencukupi, dan perdamaian yang ada. “Nak, sungguh beruntunglah kamu,” batinku.
Sudah saatnya mereka juga turut mensyukuri itu dengan merasakan panasnya berdemo , lapar dan haus mereka , karena betapa sengsaranya mereka di acara itu belumlah sebanding dengan keadaan yang dialami oleh saudara-sudara mereka di Palestina. Kelelahan itu semoga dibayar oleh Allah SWT. Bukti bahwa kami telah berbuat dengan upaya kami dan semampu kami. Daripada banyak yang teriak-teriak tapi tanpa aksi nyata. Semoga walaupun sebagian dari mereka tidak berdemo, juga turut mendoakan perjuangan rakyat Palestina di sana. Yang aneh adalah yang tidak ikut, yang tidak berinfak, yang juga tidak mendoakan mereka, tapi bisanya cuma mencela terhadap upaya saudara-saudaranya di sini untuk menyuarakan penderitaan rakyat Palestina. Sungguh Allah tidak tidur melihat mereka.
Lalu tidakkah kita terlalu perhatian dengan rakyat Palestina sedangkan rakyat Indonesia sendiri masih banyak yang kudu dibantu? Tentu kita tidak melupakan mereka, kita tidak melupakan saudara-saudara terdekat kita dulu, karena sesungguhnya sedekah terbaik adalah sedekah yang diberikan kepada saudara-saudara terdekat kita sendiri. Dan kita juga tidak perlu gembar-gembor kepada dunia bahwa kita telah berusaha membantu dengan sekuat tenaga mungkin untuk membantu negeri ini. Biarlah Allah saja yang melihat semua upaya itu. Tetapi yakinilah bahwa upaya itu Insya Allah sudah banyak dilakukan.
Setidaknya dengan upaya kemarin itu adalah upaya yang menyadarkan kepada masyarakat dunia dan bangsa Indonesia sendiri, bahwa tidaklah layak kita sebagai orang yang beriman mendiamkan kekejian itu berlangsung terus di hadapan mata dunia tanpa ada campur tangan dari negara lain untuk bertindak menghentikan semua itu. Ya, Negara lain cuma diam saja.
Setidaknya pula, upaya kemarin itu adalah upaya untuk membangkitkan semangat rakyat Palestina bahwa mereka tidak sendiri, masih ada saudara-saudara mereka yang berusaha bertindak nyata dan mendoakan mereka. Ini akan membuahkan efek positif yang luar biasa, memberantas segala rasa keputusasaan, dan membangkitkan jiwa kepahlawanan.
Jikalau, pada hari ini tidak ada sedikitpun pemberitaan demonstrasi kemarin karena bertepatan dengan meninggalnya Abu Sigit AlKimusuky (Bapak HM Soeharto), tidaklah mengapa, karena kami berdemo bukanlah untuk mengharapkan pemberitaan yang kiranya dapat memberikan celah ketidakikhlasan kami atas perjuangan ini. Sungguh, Allah mboten sare. Cukuplah menyerahkan segala sesuatunya kepada Allah karena Ia maha menilai segala sesuatu dengan teliti.
Hari kemarin, Ahad (Minggu) tanggal 27 Januari 2008, adalah hari yang begitu mengguncang bagi saya. Di sanalah keharuan saya masih menyentak (yang sempat pesimis masihkah saya mempunyai keharuan itu saat melihat geliat semangat para ikhwah) dan keharuan atas sebuah ibrah (pelajaran) penting bahwa manusia yang pernah berkuasa dulu dengan segala yang dimilikinya tidak bisa berkuasa apa-apa terhadap sebuah kematian.
Ia gagah, dulu, tetapi ia lemah kini. Kaku. Tidak berdaya. Tinggal mempertanggungjawabkan semua perbuatan di dunianya. Saya mendoakan sosok kaku yang saya lihat di televisi itu dengan sebuah pengharapan semoga Allah melapangkan kuburnya, mengampuni segala dosanya, biarlah Allah yang mengadili dengan pangadilan yang seadil-adilnya.
Sungguh sejak kematian ibu saya, saya menjadi orang yang sering terhanyut dengan perasaan. Saya menjadi orang yang mudah menangis melihat sosok yang terbujur kaku dengan kafan putih yang menutupi sekujur tubuhnya. Begitu pula kepada Anda wahai Abu Sigit Al-Kimusuky, mata saya berkaca-kaca. Sekali lagi, semoga Allah mengampuni Anda dan senantiasa Anda ditemani dengan amal-amal kebajikan di kubur di saat menunggu hari kiamat tiba.
Anda dan anak-anak Palestina, Ibu-ibu palestina, tua renta Palestina, para pemuda Palestina, pejuang-pejuang Palestina adalah tetap saudara bagi saya. Tidak berbeza. Anda sangatlah layak mendapatkan doa dari saya, sama dengan layaknya mereka di Palestina. Karena Anda adalah seorang muslim. Sama dengan mereka.
Allohua’lam bishshowab.

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

12:08 28 Januari 2007

Novel Imperia


14.7.2005 – resensi NOVEL BARU Akmal: IMPERIA dan Penaklukan Yerusalem

Tentang resensinya Bang Ekky terhadap Imperia-nya Bang Akmal, setidaknya saya sedikit banyak dapat memahami betapa ensiklopedisnya bang Akmal. Ini dapat dilihat dalam paragraph:
“Tetapi, semangat eksplorasi ensiklopedis ini ternyata juga menjadi
bumerang. Akibatnya, cerita menjadi tidak intens dan tidak fokus, di
beberapa tempat. Dan ini yang membedakannya dengan gaya Brown.”
Eksplorasi ensiklopedis ini juga pernah ditanggapi oleh Bang Herry Nurdi dalam resensinya:
“Cerita terakhir, tentang kesaktian Akmal Nasery Basral nampak ketika terjadi diskusi diruang maya milis Forum Lingkar Pena tentang film Kingdom of Heaven. Film yang berkisah tentang Sultan Saladin, King of Lepre, Balian of Ibelin, Tiberias dan berbagai tokoh lain dalam sejarah Perang Salib. Beberapa anggota milis berdebat tentang jalan cerita dan pemerannya. Tentang fiksi dan fakta, tentang eksis atau maya. Dan di antara perdebatan itu, Akmal muncul dengan postingan yang panjang menjelaskan sekian fakta tentang beberapa tokoh, lengkap dengan sejarahnya, asal kotanya, bahkan nama-nama kecil mereka dan nasib mereka setelah peristiwa yang digarap Ridley Scott dalam film itu.”
So, Bang Ekky dan Bang Herri Nurdi tahu persis mengenai Bang Akmal. Ini yang diharapkan bagi para pembaca (saya) dalam membaca resensi kedua abang ini, bahwa peresensi menulis dari kedalaman pengetahuannya dan memahami betul terhadap objek (imperia) juga subjeknya (bank Akmal).
Dalam membaca karya dua peresesensi ini setidaknya saya tidak alami sedikit gangguan. Beda ketika saya membaca sebuah ulasan Film Kingdom of Heaven di Majalah Tempo di halaman 151-152 kolom 6 paragraf 2 edisi 16-22 Mei 2005.
Entah ini sudah diulas (di sadari) oleh Bank Akmal (selaku wartawan Tempo) dalam membaca resensi film itu atau saya juga enggak tahu kalau sudah ada yang mengirim sedikit kritik atas ulasan tersebut dari pembaca Majalah Tempo yang lain—saya sudah mengirim email ke redaksi Majalah Tempo untuk sedikit bercerita tentang paragraph tersebut namun email saya balik lagi dengan “alert” yang berbunyi email undeliverable, mungkin email server di kantor kami yang sedang ngadat.
***
Senin itu Majalah Tempo baru milik teman sudah tergeletak dengan manisnya di meja saya. Setelah sedikit membaca berita utama saya tergerak untuk membaca ulasan film itu yang judul tulisannya adalah “Yang ‘Kudus’ ..yang Berdarah”.
Saya terbentur di halaman, kolom dan paragraph tersebut. Memori saya langsung bergerak memutar sedikit ruang ‘ensiklopedi’ kecil di kepala saya. Apa isi dari paragraph itu, setidaknya saya penggal pada bagian intinya:
“….dan seperti Abu Bakar yang menaklukkan Yerusalem pada 637, atau di dunia Islam Arab lain kala itu, ia mengijinkan warga Yahudi untuk melakukan pekerjaan apa saja, mulai dokter sampai pegawai…”.
Nah di sinilah letaknya yakni pada Abu Bakar yang menaklukkan Yerusalem pada 637.
Dapat saya ungkapkan di sini adalah bahwa yang menaklukkan Yerusalem pada era awal pemerintahan Islam Pasca kematian Rosululloh Muhammad SAW adalah sahabat Umar bin Khaththab ra bukan sahabat Abu Bakar (Ashshidiq) ra. Itupun terjadi pada tahun 638 M bukan di tahun 637 M.
Yang pertama ingin saya komentari adalah tahun terlebih dahulu, namun dalam masalah tahun hal ini masih bisa diperdebatkan karena menyangkut adanya konversi dari hijriah ke tahun masehi. Karena dalam berbagai referensi yang saya baca menunjukkan tahun-tahun yang berbeda, berkisar 636 dan 638 M.
Perbedaan tahun penaklukkan itu dapat diungkapkan di sinisebagai berikut:
1. Ensiklopedia Tematis DUNIA ISLAM jilid 2 (ensiklopedi ini pas ada di samping Majalah Tempo); PT Ichtiar baru Van Hoeve: terjadinya pada tahun 638 M;
2. Ensiklopedi Islam jilid 5; PT Ichtiar baru Van Hoeve: tahun 636 M (penerbit yang sama memberikan tahun yang berbeda dalam amsalah ini);
3. 100 Tokoh Yang Paling Berpengaruh Dalam Sejarah; Michael H Hart: Pustaka Jaya: Penakhlukkan Yerusalem terjadi dua tahun setelah Yarmuk (636 M) berarti terjadi pada tahun 638M;
4. Umar Bin Khattab; Muhammad Husin Haekal: Litera Antar Nusa: Penaklukan terjadi 15 Hijriah berarti tahun 622 M (tahun Rasululloh hijrah ke Madinah) ditambah 15 tahun jadi sekitar tahun 637 M, tapi yang fatal (ini entah kesalahan cetak atau bukan saya tidak tahu) ditulis dalam tanda kurung adalah pada tahun 535 M.
5. History of The Arabs; Philip K Hitti: Serambi Ilmu Semesta; tahun penaklukan berkisar tahun 638M.
Saya berusaha mencari di tiga buku lainnya tentang sejarah Daulat Islamiyah yang menyangkut pula Yerusalem ternyata tidak memuat tahun penaklukannya.Sekali lagi bahwa masalah tahun masih bisa diperdebatkan.
Namun yang paling fatal pula adalah bahwa penaklukan Yerusalem itu dilakukan oleh Abu Bakar—saya anggap nama ini adalah nama pendek dari Abu Bakar Assidiq, khalifaturasyidin pertama. Dari delapan buku yang saya baca semuanya jelas-jelas merujuk pada tokoh Umar bin Khattab bukan sahabat Abu Bakar Assidiq.
Salah satu contohnya bisa dilihat pada buku Ensiklopedia Tematis DUNIA ISLAM jilid 2 di halaman 48 kolom 2 paragraf 3:
“Persetujuan ini disampaikan kepada Khalifah di Madinah, yang disertai permohonan agar Umar bersedia datang untuk menerima penyerahan Yerusalem. Pemimpin ini menyetujui perjanjian itu dan segera berangkat ke Palestina. Pada tahun 638 M, penyerahan kota suci itu dilakukan dari Patriach Sophorius kepada Khalifah Umar bin Khaththab.”
Sedangkan pengembangan wilayah pada masa Abu Bakar belum sampai pada penguasaan Yerusalem, bisa di baca pada halaman 47 buku yang sama pada kolom 2 paragraf 3:
“Pengembangan wilayah pada masa Abu Bakar berlangsung dari 12-13 H. Pada akhir pemerintahannya, pasukan Islam telah dapat menguasai daerah yang cukup luas. Selain Jazirah Arabia, yang dapat disatukannya kembali setelah munculnya gerakan pembangkang, beberapa daerah di luarnya dapat ditaklukan dan dimasukkan ke dalam kekuasaannya. Wilayah-wilayah yang berhasil ditaklukannya pada masa khalifah pertama ini antara lain Ubullah (terletak di pantai Teluk Persia), Lembah Mesopotamia, Hirah, Dumat al Jandal (kota benteng yang terletak di perbatasan Suriah), sebagian daerah yang berbatasan dengan Palestina, perbatasan Suriah dan sekitarnya.”
Kesimpulannya adalah Abu Bakar tidak sempat membebaskan Yerusalem pada masa keperintahannya karena beliau keburu wafat. Pada masa Umar bin Khattab itulah dilanjutkan ekspedisi tersebut hingga akhirnya Yerusalem dapat ditaklukkan.
Demikian koreksi ini saya sampaikan, karena bagi mereka yang terbiasa membaca tentang sejarah Islam akan mengalami “keterperanjatan” yang mengganjal.
Saya mohon maaf kalau hal (ulasan Kingdom of Heaven) ini sudah basi, atau sudah dibahas oleh Bang Akmal dalam postingan yang terdahulu, karena saat itu saya belum mengikuti milis ini.
Kurang lebihnya mohon maaf. Billaahittaufiq wal hidayah.
Wassalaamu’alaikum wr.wb.
dedaunan di ranting cemara
di antara malam yang smakin menggigit
citayam, 02.15, 15 Juli 2005