Percikan air mata ibu yang kehilangan anak-anak yang didamba.
Aku!
Percikan debu dari batu yang dilempar para pemuda.
Aku!
Percikan batu bata runtuh dari tembok-tembok kudus nan tak ternoda.
Aku!
Percikan doa ke ujung langit untuk segenggam mahardika.
Aku!
Percikan debum di roket buat kota-kota mereka.
Aku!
Percikan senyum di paras wajah para syuhada.
Aku!
Percikan aib untuk kaututupi dengan wangi cendana.
Aku!
Percikan nasib pengharap surga dari samudra dosa.
Aku!
Percikan api di ujung-ujung peluru yang menembus dada.
Aku!
Percikan apa lagi setelah hari hari penuh renjana?
Aku?
Mengaku: aku.
Mengaku-aku.
***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
Sebuah tugu, 17 Desember 2017