Akulah pemegang undang-undang penjara, akulah yang mematikan dan menghidupkan, aku boleh membunuh seratus orang sehari dan tiada siapa boleh menghalang. Jika tuhan turun, aku akan sumbat ke dalam penjara dan akan aku sula.
Hamzah Basyuni
**
Keberanian pasukan muslim menginap di Tabuk tanpa ada perlawanan pihak Romawi sebagai salah satu adikuasa pada saat itu membuat derajat kaum muslimin naik satu tingkat di mata bangsa Arab lainnya. Kemudian berdatanganlah utusan kabilah Arab dari berbagai penjuru menemui Rasulullah saw. Salah satunya dari Bani Amir yang mengutus Amir bin Thufail dan Arbad bin Qais. Dua orang yang tercatat dalam sejarah tapi dengan tinta hitam yang mengeruhkan.
Karena kedatangan mereka dengan mengancam Sang Terpilih. Ancaman yang tidak main-main: menghilangkan nyawa. “Kalau kita sudah berjumpa dengannya, saya akan membuatnya sibuk dan lupa denganmu. Kalau dia sudah lengah, pukullah dia dengan pedangmu,” kata Amir bin Thufail kepada Arbad. Tapi Rasulullah saw adalah makhluk yang terpelihara. Usai menolak menemui Amir bin Thufail yang menginginkan perbincangan empat mata, Rasulullah saw berdoa, “Ya Allah, cukupkanlah aku dari Amir bin Thufail.” Apa yang terjadi?
Di tengah safari meninggalkan Madinah, Allah kirimkan penyakit thaun kepada Amir bin Thufail. Pembesaran kelenjar yang membuatnya menjerit kesakitan hingga kematian menjemputnya di rumah seorang wanita Bani Salul—suatu kabilah Arab yang dianggap rendah oleh kabilah Arab lainnya. Bagaimana dengan Arbad bin Qais?
Penuh sesumbar ia berkata saat ditanya para pemuka kaumnya tentang Rasulullah saw setelah tiba di kampung halamannya, “Dia (Rasulullah) mengajakku beribadah kepada sesuatu (Allah). Kalau saja dia ada di dekatku, pasti aku panah sampai mati.” Allah balas ancaman kepada kekasih-Nya itu tanpa menunggu lama. Dua hari setelah ucapan Arbad yang buruk itu Allah utus halilintar menyambar dirinya yang sedang menunggang keledai. Aih…
Berhati-hatilah dan takutlah kamu kepada seseorang yang tidak menemukan baginya penolong dari kejahatanmu kecuali Allah. Begitulah ujaran para orang bijak yang dikutip Dr. Aidh bin Abdullah Alqarni dalam kitabnya yang berjudul Laa Tahzan. Tak ada tabir antara orang yang dizalimi dengan Allah. Doanya mustajab sampai ke langit agar mereka para penzalim, penindas yang lemah, dan perampas hak orang lain ditimpakan petaka. Benarlah apa yang dikatakan Sang Penutup Nabi yang mengatakan, “Hati-hatilah dengan doa orang yang tertindas, karena sesungguhnya tidak ada tabir penghalang antara dia dan Allah.”
Inilah yang dialami oleh penzalim lainnya seperti Ahmad bin Abi Du’ad Alqadhi Almuktazili. Sebagai seorang menteri Almakmun dan Almu’tashim—khalifah dinasti Abbasiyah—dan penyebar paham Alquran adalah makhluk, ia memenjarakan serta menyiksa Imam Ahmad bin Hanbal. Ideolog tulen yang menolak keras Alquran adalah qadim itu menjalani dengan penuh kesabaran empat belas tahun penuh derita. Yang bisa dilakukan Imam Ahmad bin Hanbal adalah mendoakan sang penzalim.
Allah mendengar doa dan mengabulkannya. Setengah badan Ahmad bin Abi Du’ad Alqadhi Almuktazili layuh, sampai-sampai ia mengatakan jika saja ada gergaji yang memotong-motong badannya, ia tak akan pernah merasakan apa pun. Atau ketika ada lalat yang hinggap di tubuhnya maka itulah awal dari penderitaannya yang berkepanjangan.
Kisah-kisah di atas bukan berarti menegaskan kepada dunia tentang ketidakbesaran jiwa mereka atas sebuah perilaku buruk yang ditimpakan para penzalim kepada mereka. Sungguh Rasulullah saw adalah pemilik sebaik-baik akhlak. Dan Imam Ahmad bin Hanbal adalah empunya nama yang dibalut dengan kemuliaan akhlak. Ini bukan tawarikh tentang kezaliman yang dibalas dengan pemaafan. Untuk hal itu sudah banyak tertuliskan dengan tinta emas sejarah oleh mereka berdua sebagai antesedennya. Tetapi untuk kali ini, babad ini memberikan tamsil agar kita berhati-hati dan mafhum bahwa tak selaiknya kita menjadi seorang penzalim.
Penzalim selalu menyepadankan diri dengan sifat jemawa. Maka dengan kejemawaannya itu Hamzah Basyuni, penyiksa terkenal di negeri Kinanah, Mesir, pada zaman pemerintahan Jamal Abdul Nasir, berkata, “Akulah pemegang undang-undang penjara, akulah yang mematikan dan menghidupkan, aku boleh membunuh seratus orang sehari dan tiada siapa boleh menghalang. Jika tuhan turun, aku akan sumbat ke dalam penjara dan akan aku sula.”
Perkataan yang bahkan iblis pun tak pernah berucap sedemikian itu di hadapan Tuhannya. Lalu apa yang terjadi? Sebatang besi menancap dari kepala sampai ke perutnya saat truk yang membawa batangan besi menabrak mobil Hamzah Basyuni. Akhir yang buruk dari penindas para ulama. Allah tidak tidur, Allah Maha mendengar.
“Kejemawaan adalah selendang-Ku, dan keagungan adalah sarung-Ku. Maka barangsiapa mengambil salah satu dari keduanya dari-Ku, niscaya Aku campakkan ke neraka,” sebuah hadis qudsi menyatakan demikian. Sungguh ini beririsan dengan firman-Nya, “Yang berbuat sewenang-wenang dalam negeri. Lalu mereka berbuat banyak kerusakan dalam negeri itu. Karena itu Tuhanmu menimpakan kepada mereka cemeti azab.” QS Alfajr: 11-13. Kezaliman sepadan kejemawaan. Kejemawaan menuai azab.
Ramadhan memastikan dirinya sebagai “tools” untuk men-delete virus kezaliman dan kejemawaan. Keduanya muncul dari kebanyakan orang yang merasa kenyang. Jiwa dan fisik yang menginginkan makan maka akan berusaha mendapatkan kebutuhan itu. Namun setelah kebutuhan itu didapat, ia merasa dirinya menang. Muncullah kemudian rasa berpuas hati sebagai bibit dari keangkuhan yang menjerumuskan.
Karenanya Syaikh Muhammad bin Shalih Alutsaimin menulis, “Puasa menghilangkan kesombongan jiwa pelakunya sehingga ia akan menjadi orang yang tunduk kepada kebenaran dan bersikap lembut terhadap sesama makhluk.” Konsentrat nasihat itu adalah puasa pun meniadakan dua sekaligus: kejemawaan dan kebengisan.
Lagi, Ramadhan mendawamkan kesadaran paling bawah dari manusia untuk bermesra-mesraan dengan lapar. Bahwa kehidupan tidak serta merta berlalu dengan kenyang sepanjang masa. Karena kenyang senantiasa nyaris bermuara ke lautan hedonisme. Dan seringkali hedonisme menjadi mula dari kehancuran sebuah bangsa. Dinasti Abbasiyah mencatatkan dirinya demikian. Itu sebabnya bangsa Tartar dengan mudah meluluhlantakkan Kota 1001 Malam, Baghdad, dengan ratusan ribu bangkai manusia memenuhi seantero kota.
Senyampang itu pertanyaan Anis Matta relevan sebagai pemungkas dalam memahami logika sejarah peradaban, “Bisakah pemimpin yang benaknya hanya dipenuhi oleh urusan perempuan membangun peradaban dan menghadapi musuh?”
Sungguh nyata Ramadhan sebagai mesin cuci besar membersihkan kita dari kerak-kerak kezaliman dan kejemawaan yang melekat dalam segumpal darah bernama hati. Mari rayakan Ramadhan.
***
Riza Almanfaluthi
18 Juni 2015 (Ramadhan 1436 H)
Artikel ini telah dilombakan dan menjadi Pemenang Pertama pada Lomba Menulis Ramadhan 1436 H Masjid Salahuddin DJP (Setahun lalu).
Gambar diambil dari wfiles.brothershop.com
telat sekali saya baru membaca tulisan bagus macam ini. Alhamdulillah. 🙂
LikeLiked by 1 person
Alhamdulillaah.
LikeLike