RIHLAH RIZA #6: NKRI SEBELAH MANA?


RIHLAH RIZA #6: NKRI SEBELAH MANA?

 

“Tapaktuan…!” teriak seorang teman yang sedang melihat pengumuman di SIKKA, sebuah aplikasi kepegawaian di Direktorat Jenderal Pajak. Saya yang sedang asyik menyusun daftar biaya perkara pengajuan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung sedikit terkejut. “Pengumuman apa ini?”

“Mas selamat ya…” ucapan selamat kemudian berbondong-bondong datang dari teman-teman satu ruangan atas pengangkatan saya menjadi kepala seksi. Saya jabat satu persatu tangan teman-teman. Pertanyaan lanjutannya yang saya tak tahu jawabannya.

“Ditempatkan di mana Mas?”

“Aduuh…saya juga tidak tahu. Saya belum lihat pengumumannya. Jadi pastinya di mana saya tidak tahu,” kata saya persis seperti seleb di infotainment saat ditanya wartawan gosip.

Tapi itu tak lama. Salah seorang teman yang sudah melihat pengumuman itu langsung memberitahu saya, “Tapaktuan Mas.”

Suwer…saya baru tahu ada di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini daerah yang bernama Tapaktuan. Di Aceh pulak.

**

Akhir September 2010 saya dipindah dari Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Penanaman Modal Asing Empat ke Direktorat Keberatan dan Banding (DKB) Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak sebagai Penelaah Keberatan. Di DKB saya masuk di Subdirektorat Banding dan Gugatan II menjadi petugas banding. Tugasnya mewakili Direktur Jenderal Pajak menghadiri persidangan di Pengadilan Pajak atas banding dan gugatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.

Selama dua tahun delapan bulan saya menjadi petugas banding. Kemudian Ibu Direktur melakukan mutasi internal dan menugaskan saya di subdirektorat lain agar terjadi penyegaran. Tepatnya di Subdirektorat Peninjauan Kembali dan Evaluasi. Di subdirektorat ini saya tergabung dalam Seksi Peninjauan Kembali.

Tugas saya di seksi ini adalah membuat memori peninjauan kembali dan kontra memori peninjauan kembali ke Mahkamah Agung. Setiap putusan Pengadilan Pajak akan dievaluasi oleh Penelaah Keberatan di seksi lain yang menjadi evaluator putusan Pengadilan Pajak. Setiap evaluator akan memberikan rekomendasi dalam laporan hasil evaluasinya apakah putusan Pengadilan Pajak ini akan diajukan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung atau tidak.

Kalau rekomendasinya adalah diajukan PK ke Mahkamah Agung maka Seksi Peninjauan Kembali membuat memori peninjauan kembali. Selain itu kalau ada Wajib Pajak yang mengajukan memori peninjauan kembali karena kalah di Pengadilan Pajak maka kita membuat kontra memori peninjauan kembali.

Selain direktur, kepala subdirektorat, dan kepala seksi, para Penelaah Keberatan di Seksi Peninjauan Kembali ini juga diberi kuasa khusus langsung oleh Direktur Jenderal Pajak untuk membuat memori peninjauan kembali dan kontra memori peninjauan kembali dan mengajukannya ke Mahkamah Agung.

Teman-teman di Subdirektorat PKE—entah petugas evaluatornya atau petugas pembuat memori peninjauan kembali—sama-sama dikejar jatuh tempo. Makanya teori relativitas Einstein bekerja di sini. Waktu itu berjalan dengan sangat cepat. Tak terasa hari sudah jumat saja. Tak terasa pekerjaan banyak dan menuntut harus diselesaikan. Dan sampai hari itu datang, 26 September 2013…

**

Pemberkasan sudah beres. Sisa-sisa pekerjaan lainnya saya selesaikan. Tugas mengambil uang buat biaya perkara peninjauan kembali ke Mahkamah Agung sudah terlimpahkan. Tidak enaknya masih ada sebagian pekerjaan yang mau tak mau harus ditinggalkan karena saya harus pergi ke Tapaktuan. Saya khawatir ini membebankan. Tapi apa mau dikata.

Oleh karenanya saya ucapkan terima kasih kepada teman-teman di Seksi Peninjauan Kembali yang selama ini membantu dan membimbing saya. Satu hal pelajaran berharga yang didapat dari sana adalah sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat buat yang lain. Ini bisa jadi adalah sebaik-baik Penelaah Keberatan adalah yang paling bermanfaat buat teman Penelaah Keberatan yang lain. Terima kasih pula buat teman-teman semuanya di seksi lain di Subdirektorat PKE. Maaf kalau saya terlalu banyak menagih laporan hasil evaluasinya. Kerja sama yang selama ini kita bina sungguh tiada cela.

Yang pasti tak ada lagi tagihan saya kepada teman-teman seperti ini: “Slip Mbak…slip Mas…” Slip itu slip setoran biaya perkara ke bank. Itu biasa yang saya tanyakan kepada teman-teman Penelaah Keberatan yang membuat memori peninjauan kembali. Kalau ada memori yang mereka buat, mereka wajib membuat slip setorannya dan menyerahkannya kepada saya untuk kemudian disetorkan ke bank oleh teman saya yang lain.

Dan pada waktunya itu, di sebuah acara kecil-kecilan, sedikit kata-kata yang bisa saya sampaikan kepada teman-teman atas semua yang telah mereka berikan kepada saya. Hanya maaf tak terkira termohonkan kiranya agar teman-teman bisa lapang hati dan lapang dada memaafkan segala salah.

Paling depan: Mbak Fransisca Warastuti, Mbak Wahyu Nursanty, Mbak Sary Laviningrum, dan Pak Dani Koesworo. Barisan tengah: Mbak Eka Dewi Iswanti Harahap, Mbak Ayu Endah Damastuti, dan Mbak Kusumo Pratiwiningrum. Barisan belakang: Mas Bayu Ajie Yudhatama dan Mas Anndy Dailami. Semuaitu arrizquminallah betulkan Mas Anndy?

Yang memotret adalah Mas Sularso—Barakallah Mas semoga berkah pernikahannya—dan satu Penelaah Keberatan lagi adalah Mas Budi Rahardjo yang tidak bisa hadir karena ada memori peninjauan kembali yang harus segera diselesaikan. Thanks to all…

Terima kasih pula buat Pak Budi Christiadi yang telah memberikan pelajaran tentang arti sebuah pembelaan pada bawahan saat ditempatkan di timur sana dan yang terus menyemangati saya sampai akhir untuk tetap bisa survivedi tanah seberang. Terima kasih Pak.

 

Saya dan Pak Budi Christiadi (Foto milik Andreas Joko Putranto)

**

“Ini Seksi PDI ya Bu? Bisa bicara dengan OC-nya Bu?”

“Betul. Ini dari mana?”

“Saya Riza dari Tapaktuan.”

“Sebentar,” perempuan ini kemudian memanggil sebuah nama dengan suara keras yang saya di ujung telepon ini pun ikut mendengarnya.

“Mas…!!! Telepon dari tapak nyonyaaaaa….!!! teriak perempuan itu sambil tertawa-tawa.

Entah perempuan ini tahu tidak di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebelah mana daerah itu berada. Apa perlu ditapaktuankan terlebih dahulu? :p *melet.

***

 

 

 

Keterangan:

  • Seksi PDI adalah Seksi Pengolahan Data dan Informasi di Kantor Pelayanan Pajak
  • OC adalah Operator Console, atau bisa disebut juga admin sistem kantor.

 

 

 

Riza Almanfaluthi    

dedaunan di ranting cemara

21.30 31 Oktober 2013

 

Tags: budi christiadi, farchan ilyas,taslim,dedi supriadi,sularso,anndy dailami,fransisca warastuti,eka dewi iswanti harahap,budi rahardjo,kusumo pratiwiningrum,wahyu nursanty,sary laviningrum,bayu ajie yudhatama,ayu endah damastuti,fery wibowo,dewi novita,wahyu ary wibowo,rois antoni,mangatur elvina simanjuntak,henny puspita sari,pebranto hasudungan banjarnahor,ken suryo purnomo,rajonti hutajulu,andreas joko putranto,fitri,krisman hasintongan purba,achmad sunhaji, i made nesa widiada,krishna triswara wisnu,wulandari,natalina patriani,dedy damhadi,fahmi ahmad,erwin,pasti katulistiwa kasawilaga,sudiyanto,trisna sena,tito adi suwasto,ani tri wahyuni,rizky syabana,yulis bimas sakti,bambang siswanto,anhari masrob,etik prasetiyowati,imron hidayatullah,nur endah anayanti,rudy irawan, agnes meilani,amin waluya, iwan sutrisno, direktorat jenderal pajak, direktorat keberatan dan banding, subdirektorat banding dan gugatan ii, seksi peninjauan kembali, subdirektorat peninjauan kembali dan evaluasi, subdit bg ii, subdit pke, kantor pelayanan pajak penanaman modal asing empat, kpp pma empat, kpp pma 4, mas acho, memori peninjauan kembali, kontra memori peninjauan kembali, mpk, kontra mpk, dkb, Andreas Joko Putranto

RIHLAH RIZA #5: BANG HAJI DAN MIYAGI


RIHLAH RIZA #5: BANG HAJI DAN MIYABI MIYAGI

 
 

 
 

Dalam aku berkelana

Tiada yang tahu ke mana kupergi

Tiada yang tahu apa yang kucari

Gunung tinggi ‘kan kudaki

Lautan kuseberangi

Aku tak perduli


Tak akan berhenti aku berkelana
Sebelum kudapat apa yang kucari
Walaupun adanya di ujung dunia
Aku ‘kan ke sana ‘tuk mendapatkannya

 
 

(Berkelana Raden Haji Oma Irama, 1978)

**

Hari ketiga di Banda Aceh. Pesawat yang membawa kami pulang ke Jakarta dijadwalkan jam dua belas siang. Pak Andy Purnomo akan mengantarkan kami ke kapal PLTD (Pembangkit Listrik Tenaga Diesel) Apung 1 dan museum tsunami kalau masih ada waktu. Makanya kami harus check out pagi ini setelah sarapan.

Tak ada yang banyak saya lakukan menunggu jemputan jam sembilan pagi ini selain packing dan memastikan tidak ada yang tertinggal sama sekali. Pak Andy Purnomo datang tepat waktu bersama Slamet Widada. Sekarang ia tinggal bersama Pak Andy Purnomo di rumah dinas. Slamet tidak pulang ke Jakarta karena pekan depannya sudah dipanggil lagi ke Jakarta untuk mengikuti seminar keberatan.     

Tempat yang pertama kali kami sambangi adalah kapal apung ini. Tempat parkir mobil di lokasi yang sudah menjadi tujuan wisata turis lokal maupun mancanegara ini seadanya. Ada penduduk setempat yang mengarahkan kami harus parkir di mana. Untuk memasuki tempat ini pun tidak dipungut bayaran alias gratis. Namun ada kotak yang diletakkan di tengah pintu masuk. Silakan untuk memasukkan uang di kotak itu. Melewatinya saja juga tak apa-apa. Ada penjaga duduk di dekat pintu masuk sambil tangannya membawa alat hitung. Kalau ada orang masuk alat itu bunyi: “cekrek…cekrek…cekrek…”

 
 

Dokumentasi Pribadi

 
 

Kapal PLTD Apung 1 ini berdasarkan informasi dari Wikipedia awalnya milik PLN yang pada saat terjadinya bencana tsunami tahun 2004 terseret dua sampai tiga kilometer ke daratan dan menabrak rumah beserta isinya. Kapal ini beratnya 2600 ton atau 2,6 juta kilogram. Beratnya minta ampun ya…Tapi kedahsyatan air bah pada saat itu mampu membawa kapal itu sampai ke daratan. Nah, kenapa tidak dipindahkan saja? Kata Mas Andy Purnomo butuh biaya besar untuk memindahkannya. Orang Jerman minta biaya sampai dua puluh hingga empat puluh miliar rupiah. Sebenarnya kalau tak mau repot datangkan saja orang Madura dijamin itu kapal sudah habis tak bersisa.

Saya, Slamet Widada, dan Pak Andy Purnomo (Koleksi Foto Teman)

Sewaktu bencana tsunami di Jepang 11 Maret 2011 ada hal yang sama dengan yang di Aceh. Ada kapal terdampar sampai jauh ke daratan. Kali ini adalah kapal nelayan yang berbobot 300 ton bernama Kyotoku Maru No.18. Masih lebih kecil daripada yang mendarat di daerah Kampung Punge Blangcut, Jayabaru, Banda Aceh.

Gambar diambil dari sini.

Namun masyarakat di dekat tempat kapal ini terdampar tepatnya di Kesennuma, prefektur Miyagi sana tidak mau kapal itu ada. Mayoritas menginginkan agar kapal itu dibongkar saja karena hanya mengingatkan tragedi yang menelan lebih dari 19 ribu korban jiwa itu. Tragedi yang mengakibatkan bocornya Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Fukushima dan membuat mereka sedih serta bermuram durja tak terobati. Akhirnya mereka sepakat untuk menjadikan kapal itu sebagai besi rongsokan belaka.

Di Aceh, lokasi kapal ini sudah tertata rapih. Ada menara-menara yang dibangun di sekitar kapal itu untuk bisa dinaiki oleh pengunjung. Dari menara itu bisa dilihat dari kejauhan bukit-bukit dan sekelingnya. Dulu pada saat tsunami dataran ini rata dengan tanah tanpa ada rumah-rumah. Sekarang sudah banyak rumah.

 
 

Pemandangan dari ketinggian menara.(dokumentasi pribadi)

Kami tidak lama-lama di sana. Kami tidak menaiki kapal. Kami cuma melihatnya dari menara. Setelah mengambil beberapa gambar teman-teman pun sepakat untuk melanjutkan perjalanan langsung ke bandara. Kami tidak jadi ke museum karena waktu yang mefet mepet. Pun kalau melihat-lihat diorama yang ada di sana tentu butuh waktu lama. Apalagi buat saya yang wajib melihat detil isi museum. Sebelum pergi saya membeli kaos peugot (buatan) Aceh untuk Ayyasy dan dompet kerajinan tangan khas Aceh buat Umminya Kinan.

Tiga hari di Banda Aceh tentunya banyak pengalaman yang didapat walau dengan sedikit tempat yang dikunjungi. Belum lagi kota Sabang dan keindahan panorama pantai di pulau We. Perlu banyak waktu khusus untuk menjelajahinya. Tapi bukan sekarang. Saya datang ke kota Banda Aceh dalam rangka pelantikan mengemban amanah baru sebagai kepala seksi dan bukan untuk piknik. Kedatangan kami ke sana pun sebenarnya awal perjalanan panjang mengemban tugas yang telah diberikan negara. Di kota naga, Tapak Tuan, saya sejatinya akan berlabuh. Di pekan berikutnya. Bukan dengan surat tugas seperti saya datang ke Kutaraja melainkan dengan surat keputusan saya datang ke Tapak Tuan. Sama-sama surat tetapi membuat perbedaan yang jauh. Jauh sekali.

Ini sebuah kelana. Ini sebuah kembara. Ini sebuah rihlah. Ini sebuah babak baru. Yang orang tahu ke mana saya pergi. Yang orang tahu apa yang saya cari. Tidak seperti lirik lagu Bang Haji Rhoma Irama di atas. Walau ada beberapa kesamaan pengelanaan Bang Haji dengan pengelanaan saya: gunung tinggi kudaki dan lautan kuseberangi. Entah
berapa gunung yang dilewati oleh pesawat yang saya naiki. Selat Sunda sudah pasti saya seberangi.

 
 

Saya memegang apa yang dikatakan ‘Aid Al Qarni tentang sebuah kembara ke berbagai tempat itu akan memberikan kebahagiaan kepada jiwa. “Bepergian dan membaca alam terbuka adalah sarana bagi seorang yang beriman agar bisa menyerap banyak pelajaran dan pesan moral.” Tiga hari di ibu kota provinsi tanah rencong ini saja sudah banyak sekali pelajaran yang didapat apalagi berhari-hari dan berbulan-bulan terdampar di ibu kota kabupaten yang tidak ada angkotnya itu. Insya Allah ini benar adanya.

Sebagai akhir pemikiran malam ini adalah pertanyaan: “ingin terdampar seperti kapal yang berada di Miyagi atau di Aceh?”

Dalam aku berkelana…

***

 
 

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

Tapak Tuan 18:24 29 Oktober 2013

 
 

Tags: banda aceh, andy purnomo, tapak tuan, fukushima, kapal pltd apung 1, kapal apung, museum tsunami, ‘aid al qarni, ‘aid alqarni, sabang, pulau we, ayyasy, mohammad yahya ayyasy, kinan, kinan fathiya almanfaluthi, ummi kinan, tsunami, berkelana, bang haji rhoma irama, raden haji oma irama, 1978, berkelana 2, kyotoku maru no.18, miyagi,

RIHLAH RIZA #4: BOSCH DAN KOPI


RIHLAH RIZA #4: BOSCH DAN KOPI

 

Kita tak pernah tahu teh dan kopi panas yang kita minum di saat coffe break ternyata punya cerita panjang di balik keberadaannya. Ada banyak jejak amis darah dan pengorbanan dari nenek moyang kita.

 

Setelah hampir bangkrut karena terlibat perang dengan Pangeran Diponegoro, maka selama lebih dari satu abad (1935-1940) penjajah Belanda menikmati kas negara yang berlimpah dari sistem tanam paksa. Sistem ini mewajibkan setiap desa menyisihkan 20% luas tanahnya untuk ditanami komoditi ekspor seperti kopi dan teh. Jika tidak punya tanah maka penduduk desa wajib bekerja selama 75 hari di kebun-kebun penjajah. Inilah era yang dikenal sebagai era paling menindas dari penjajah Belanda di bumi pertiwi ini. Bahkan lebih kejam daripada VOC yang bangkrut duluan karena korupsi itu.

**

Ini masih di hari kedua di Banda Aceh. Setelah acara pelantikan dan rapat bersama Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) DJP Aceh, saya bersama dengan dua orang teman yang juga ditempatkan di Tapak Tuan bertemu dengan Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Tapak Tuan Pak Jaelani. Kami memperkenalkan diri kepadanya. Singkat cerita, untuk lebih mengakrabkan diri, Pak Jaelani mengajak kami ngupi-ngupi nanti malam di kedai kopi. Tentunya kami bersedia.

Setelah bertemu dengan Pak Jaelani, saya menyempatkan diri bertemu dengan teman lama yang asli Aceh. Ia satu angkatan dengan saya di STAN Prodip Keuangan dulu. Kalau di grup Whatsapp kami, namanya Opa Lucu. Nama sebenarnya Nova Yanti. Sejak lulus sudah ditempatkan di Banda Aceh. Sekarang dia sebagai Penelaah Keberatan di Kanwil DJP Aceh. Dua teman saya yang sama-sama berangkat dari Jakarta, Slamet Widada dan Agung Pranoto Eko Putro, sudah silaturahmi duluan dengannya. Saya belakangan dan cuma sebentar ketemu Opa Lucu karena sudah ditunggu rombongan untuk pulang ke penginapan. Tak apalah, yang penting silaturahminya sudah. Itukan bikin panjang umur dan tambah rezeki kita.

Kami sampai di Hotel Medan maghrib. Hujan masih turun. Saya rehat sejenak. Sehabis makan malam saya menunggu jemputan untuk ngupi-ngupi itu. Jarum jam pendek udah melewati angka tujuh, lalu angka delapan, dan angka Sembilan. Tidak ada informasi jadi atau tidaknya. Sepertinya memang menunggu hujan dan gerimisnya reda. Baru pada pukul 21.46 ada informasi kalau jemputan akan datang ke Hotel Medan. Setengah jam kemudian saya telah berada di dalam mobil yang di dalamnya sudah berisi lima orang.

Ternyata ada Mas Hidra Simon yang nyetir. Mas Hidra Simon ini adalah Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi IV di KPP Pratama Banda Aceh. Wajahnya tak asing karena pernah kami undang untuk bersama-sama menghadiri persidangan banding di Pengadilan Pajak atas kasus sengketa pajak yang kami tangani sewaktu saya masih di Direktorat Keberatan dan Banding. Di sampingnya duduk Mas Afrizal Kurniawan Syarief, satu kantor dengan Mas Hidra Simon. Ia Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi III.

Selain itu ada Mas Oji Saeroji. Teman yang ditempatkan di KPP Pratama Tapak Tuan bersama-sama saya. Di KPP itu ia menjabat sebagai Kepala Seksi Pelayanan. Ia adalah salah satu penulis Buku Berbagi Kisah dan Harapan (Berkah) Perjalanan Modernisasi Direktorat Jenderal Pajak. Ketemu pertama kali waktu ada workshop kepenulisan buat para kontributor Buku Berkah di akhir 2010. Terakhir ketemu waktu ada workshop Tax Knowledge Base di Bandung akhir Mei 2013. Dan dunia itu kecil. Sempit. Karena ternyata dia kenal juga dengan teman SMA saya. Alamaak…

Ada lagi yang sama-sama ditempatkan di Tapak Tuan, Mas Suardjono. Ia jadi Kepala Seksi Ekstensifikasi Perpajakan di KPP Pratama Tapak Tuan. Terakhir adalah Mas Maman Purwanto. Ia orang baru yang ditempatkan di KPP Pratama Subulussalam sebagai Kepala Seksi Ekstensifikasi Perpajakan juga. Jadi selain Mas Hidra Simon dan Mas Afrizal, kami berempat adalah orang baru di daerah Aceh ini.

Kami tiba di sebuah warung kopi besar: Aan ‘n Adua Kupi. Ada layar lebar seperti layar tancap. Yang diputar adalah film-film tv kabel. Sound system-nya gede. Warung ini berfasilitas wifi. Sudah banyak orang di warung itu. Kebanyakan anak muda dengan laptop masing-masing. Asap rokok pun membumbung ke mana-mana. Pak Jaelani bersama dua anaknya dan dua keponakannya sudah menunggu di warung. Pak Jaelani ini memang orang asli Aceh, setiap akhir pekan beliau pulang dari Tapak Tuan karena keluarganya tinggal di Banda Aceh.

 

Gambar kopi dari sini.

Saya pesan kopi biasa. Teman-teman yang lain pesan kopi sanger (kopi susu). Selain kopi dihidangkan pula roti dan gorengan tempe dalam sebuah piring kecil. Sambil ngupi-ngupi itu kami mengobrol lama. Ada rencana yang tersusun akhirnya. Nanti hari minggu Mas Oji dan Mas Suardjono akan berangkat ke Tapak Tuan satu mobil bersama Pak Jaelani. Berangkat jam sepuluh pagi dari Banda Aceh. Diperkirakan sampai di Tapak Tuan jam tujuh malam. Sedangkan saya masih memikirkan moda transportasi alternatif menuju Tapak Tuan pada satu pekan yang akan datangnya. Karena ada penugasan lain dari kantor lama saya baru satu minggu kemudian menyusul dua teman saya itu ke Tapak Tuan. Pak Jaelani sudah menawarkan saya untuk ikut mobilnya. Saya belum mengiyakan cuma tak enak saja karena takut merepotkan lagi.

Malam semakin larut. Akhirnya pertemuan silaturahmi awal ini pun selesai. Saya cuma bisa meminum segelas kopi saja. Tapi alhamdulillah lambung tak menolak seperti biasanya. Kami pulang. Pak Jaelani khawatir kalau ngupi-ngupi nya dilanjutkan lebih malam lagi, kami tak bisa beristirahat terutama saya yang kudu balik lagi ke Jakarta.

Warung kopinya tetap buka. Saya tak tahu kapan tutupnya. Warung kopi tak bisa dilepaskan dari kehidupan malam masyarakat Aceh. Pun kopi yang kami minum tadi. Ini warisan kerja rodi nenek moyang masyarakat Aceh sejak tanam paksa. Kita tinggal menikmatinya. Kita tak tahu tragedi apa yang ada di balik setiap tanaman kopi yang dipaksakan ditanam oleh penjajah Belanda ini. Seperti kita tak tahu pula tragedi apa yang dialami oleh nenek moyang kita dari setiap baut dan kayu jati yang tertempel di rel kereta api sepanjang utara Jawa.

Tanam Paksa (Gambar diambil dari sini)

Tapi yang pasti betapa banyak korban dari kekejaman sistem tanam paksa ini. Busung lapar dan kelaparan melanda Cirebon, Demak, dan Grobogan. Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch pencetus cultuurstelsel malah dianugerahi gelar kebangsawanan Graaf atas jasa-jasanya dalam penerapan sistem kejam ini. Tapi karena perubahan politik di negeri penjajah itu sendiri, maka sistem tanam paksa dicabut di tahun 1870. Mekipun demikian era ini belumlah berakhir untuk daerah di luar Jawa. Penjajah Belanda mengembangkan penanaman besar-besaran yang difokuskan pada tanaman kopi. Contohnya di Tanah Gayo, Aceh, sejak tahun 1904.

Sekarang produksi kopi menjadi tulang punggung sebagian masyarakat Aceh terutama di Aceh Tengah dan Bener Merah. Dari data terakhir di tahun 2012 Aceh menjadi daerah penghasil kopi terbesar keenam setelah Sumatera Selatan, Lampung, Sumatera Utara, Jawa Timur, dan Bengkulu.

Catatan ini sudah terlalu panjang. Saatnya mengakhirinya dengan satu pesan: kini berpikirlah sejenak saat kita meminum kopi. Karena ada masa lalu yang mengikutinya.

***

 

 

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

5:41 26 Oktober 2013

 

Thanks to: Mas Hidra Simon dan Afrizal Kurniawan Syarief karena telah mengantar kami untuk ngupi-ngupi. Thanks to Opalucu karena telah menerima kami.

 

Tags: Hidra Simon, Suardjono, oji saeroji, jaelani, kepala KPP Pratama Tapak Tuan, afrizal kurniawan syarief, maman purwanto, kpp pratama banda aceh, kpp pratama tapak tuan, kpp pratama subulussalam, aan ‘n adua kupi, opa lucu, nova yanti, @opalucu, slamet widada, agung pranoto eko putro, Johannes van den bosch, cultuurstelsel, cultuur stelsel, hotel medan, pangeran diponegoro, tanah gayo, kopi aceh, kopi gayo, graaf,

 

 

RIHLAH RIZA #3: BAGHDAD, BANDA ACEH, DAN BARMAKI


RIHLAH RIZA #3:

BAGHDAD, BANDA ACEH, DAN BARMAKI

 

Baghdad. Satu jam sebelum tragedi. Keluarga Barmaki sedang memamerkan kekayaan mereka, sutra yang lembut dan indah. Dalam suka cita, ketenteraman, dan jauh dari marabahaya. Mereka tidak tahu ada bencana mengintai yang akan melenyapkan semuanya. Dalam sekejap…

**    

Banda Aceh. Pelantikan itu diadakan di lantai 2 gedung Kantor Wilayah (Kanwil) DJP Aceh bakda shalat Jumat. Gedung Kanwil DJP Aceh sendiri berada di dalam kompleks Gedung Keuangan Negara di jalan Tgk. Chik Di Tiro. Selain Kanwil DJP Aceh di dalam kompleks itu ada beberapa satuan kerja Kementerian Keuangan yang lain, seperti Kantor Wilayah I Direktorat Jenderal Perbendaharaan Negara, Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara Percontohan Banda Aceh, Kantor Wilayah I Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, dan Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang Banda Aceh.

    Langit sudah mendung dengan mega hitamnya. Bahkan tak lama kemudian hujan mulai turun dan semakin deras. Sebelum kami diminta naik ke lantai 2, kami berkumpul di lobi gedung. Di dindingnya terpampang peta besar, peta Propinsi Aceh beserta letak kantor-kantor unit vertikal Kanwil DJP Aceh. Secara otomatis kami berkumpul dan melihat-lihat peta itu.

 

Peta Aceh dan Letak Kantor Pajak di Seluruh Wilayah Propinsi Aceh (foto pribadi)

    “Dua tahun lalu, pertama kali datang ke sini yang saya lihat peta ini,” kata Mas Hidra Simon, teman kami—senior saya—yang sudah lama bekerja di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Aceh. Dari peta itu saya baru tahu kalau di Kanwil DJP Aceh terdapat tujuh KPP dan belasan Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan Konsultasi Perpajakan. Dari peta itu juga saya bisa melihat utuh letak keseluruhan unit pengumpul penerimaan Negara yang berada di tanah rencong ini.

    Kami diminta untuk berkumpul di atas. Dalam sebuah ruangan tengah yang tidak seberapa luas acara pelantikan akan segera dilaksanakan. Kami diminta pula untuk menempati posisinya masing-masing yang telah ditentukan sebelumnya. Di lantai sudah tersedia papan nama. Reflek saya melihat papan nama untuk mencari posisi berdiri. Saya melihat satu per satu. Ada tulisan Pejabat Eselon III, Pejabat Eselon IV, Rohaniwan, dan Pejabat yang Dilantik. Tak ada papan nama untuk Penelaah Keberatan atau pun jabatan pelaksana lainnya, padahal itu yang saya cari. Sedetik kemudian tersadar dan ngeh kalau sekarang saya tidak lagi jadi keduanya. “Ooo…kepala seksi itu pejabat yah,” pikir saya. Ternyata status saya sudah berubah setelah 16 tahun berada di hirarki terbawah jabatan di DJP. Seperti ada sesuatu yang berdesir dalam hati.

Namun desiran itu bukan seperti lenguhan Gollum—tokoh yang ditakdirkan harus ada dalam The Lord of The Ring—saat memandang cincin yang ia pegang selama ratusan tahun dengan mata berbinar-binar sambil berkata: “My precious…! My precious…!”

Desiran itu bukan karena bangga dengan jabatan baru. Tetapi lebih mengarah pada apa yang ada di balik itu. Pelaksana atau pun pejabat pada dasarnya sama saja. Karena mereka semua akan dimintakan pertanggungjawabannya atas amanah yang mereka emban. Pejabat setinggi apa pun tidak akan direken ketika ia mulai tidak amanah. Pelaksana atau pun pejabat di mata Allah yang dilihat cuma takwanya. Tidak lain.

Ya betul. Amanah itulah yang ada di balik semua jabatan yang tertera di masing-masing papan nama. Bisa tidak amanah itu diemban dengan sebaik-baiknya? Saya teringat pesan dan nasihat Ibu Direktur Keberatan dan Banding saat saya berpamitan dengannya, “Jabatan itu bukan hak, karena jika jabatan adalah hak maka bila haknya terlepas dari orang itu, ia bisa menuntut untuk mendapatkannya kembali. Sedangkan jabatan itu terkait dengan amanah. Amanah itu kepercayaan.”

Perkataan itu terngiang-ngiang dalam ingatan saya. Jadi karena amanah itu terkait dengan kepercayaan, maka bisa tidak kita menjadi orang yang dipercaya dan memegang kepercayaan itu dengan sebaik mungkin. Pun sejatinya yang memberi jabatan itu bukan manusia tapi Sang Pencipta Manusia itu sendiri. Dialah yang memberikan jabatan itu kepada siapa yang dikehendaki. Dan Dialah pula yang mencabut jabatan itu dari siapa yang dikehendaki. Bukankah ini adalah dzikir kita setiap pagi dan sore hari?

 

(Ali Imron:26)

Siapa yang tidak mengenal Yahya bin Khalid Al-Barmaki pada saat itu? Ia adalah perdana menteri nonarab yang diangkat oleh Khalifah Harun Al-Rasyid untuk mengurusi keuangan Negara, rakyat, dan pemerintahan dalam kekuasaan yang tidak terbatas. Masalah pemecatan, memperkerjakan orang, memberikan jabatan termasuk dalam urusan wazir itu.

Jabatan sang wazir kemudian diteruskan kepada sang anaknya Ja’far bin Yahya Al-Barmaki. Tetapi di sinilah ketika kekuasaan tanpa batas itu kemudian cenderung kepada korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Keluarga Barmaki memperkaya diri sendiri dari harta dan keuangan Negara bahkan kemewahannya hampir menyamai keluarga Istana.

Sampai di suatu pagi ketika ketinggian jabatan, kejayaan, dan kehormatan telah mencapai puncaknya dan melenakan mereka, prajurit Harun Al-Rasyid datang menyerbu, menghancurkan rumah, merenggut para budak, merampas 30,6 juta dinar, serta menumpahkan darah keluarga Barmaki. Yahya Al-Barmaki dipenjara. Ja’far bin Yahya Al-Barmaki disalib dan dibakar tubuhnya.

Allah mempergilirkan kekuasaan kepada siapa yang Ia kehendaki. Allah mengambil kejayaan keluarga Barmaki tanpa diduga-duga oleh orang terdekat mereka. Pagi mereka dalam keceriaan dan ketika malam menjelang mereka sudah berada di liang kubur. Ketika ketidakamanahan telah dilakukan maka yang tampak adalah sebuah kezaliman. Dan Allah sebaik-baik pemberi balasan bagi orang-orang yang zalim.

“Apa penyebab semua ini ayah?” tanya anak perempuan Yahya yang menjenguknya dalam penjara. ‘Aid Al-Qarny menulis dalam bukunya jawaban sang ayah ini: “Barangkali ini karena doa orang yang telah kami aniaya, doa yang melesat naik di tengah malam ketika kami tidak meyadarinya.”

Kami disumpah jabatan dalam acara pelantikan ini. Kemudian Kepala Kanwil DJP Aceh dalam arahannya memotivasi kami untuk tetap bekerja dengan penuh semangat dan berdedikasi walau berada jauh dari keluarga. Pesan lainnya pun kurang lebih sama, agar kami tidak menjadi keluarga Barmaki dan menjalankan tugas Negara ini dengan penuh amanah dan tanggung jawab. Pertanggungjawabannya tidak hanya di hadapan orang-orang yang hadir pada saat acara pelantikan ini, melainkan di hadapan Allah swt.

Kami, once upon a time in Banda Aceh, bukan di Baghdad berabad silam, di sebuah jabatan baru, daerah baru, dan kami bukan keluarga Barmaki. Insya Allah.

***

 

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

5:54 24 Oktober 2013

 

tags: hidra simon, barmaki, yahya bin Khalid al-barmaki, yahya al-barmaki, ja’far bin yahya Al-barmaki, Baghdad, harun al-rasyid, direktur keberatan dan banding, catur rini widowati, Gollum, the lord of the ring, gedung keuangan Negara, kantor wilayah djp aceh, aceh, banda aceh,

RIHLAH RIZA 2: DE JAVU MUHAMMAD DAN FATHIMAH


RIHLAH RIZA 2: DE JAVU MUHAMMAD DAN FATHIMAH

Sultan Iskandar Muda ini menghukum mati adiknya—Meurah Pupok—yang berzina dengan istri seorang perwira. Ada kalimat yang difatwakannya ketika ia dihalangi oleh para penasehatnya untuk tidak menghukum sang adik, “Mati anak ada makamnya, mati hukum ke mana akan dicari keadilan.”

**

Jam 6 pagi Banda Aceh masih gelap dan saya masih terbaring di atas kasur. Ke depannya lagi saya tidak akan berurusan dengan hal yang bernama Commuter Line di waktu yang sama, dengan manusia yang berjejalan di dalamnya, dengan aroma parfum yang menusuk hidung, dan ketergesaan ala orang-orang metropolitan.

Ini hari kedua kami di ibu kota propinsi paling barat Indonesia ini. Kami sepakat untuk jalan-jalan pagi sebelum sarapan. Kemana? Ke mana saja kaki ini akan membawa kami. Itu jawabannya.

image

Ini para mantan Penelaah Keberatan Direktorat Keberatan dan Banding di sebuah sudut Banda Aceh.(foto pribadi)

“Lokasinya dekat,” jawab saya atas sebuah pertanyaan teman tentang keberadaan masjid yang menjadi landmark kota Banda Aceh. Itu juga karena saya selalu ingat-ingat betul rute yang ditempuh mobil jemputan kami sepanjang perjalanan kemarin dari bandara menuju hotel. Letaknya lebih dari satu km dari tempat kami menginap.

image

Suasana Masjid Baiturrahman pagi itu (18/10). Foto pribadi.

Masjid Baiturrahman ini dibangun pada masa Sultan Iskandar Muda, seorang sultan yang membawa kesultanan Aceh pada kejayaan dan kemakmurannya. Masjid yang mulanya hanya satu kubah ini pernah terbakar pada saat agresi penjajah Belanda di 1873 dan dibangun kembali pada 1881. Pada 1935 masjid dipugar dengan menambah dua kubah. Di masa orde baru, tepatnya di tahun 1979 masjid yang menjadi kebanggaan masyarakat Aceh ini dipugar kembali dengan menambah dua kubah dan dua menara di utara dan selatannya.

Dari segi arsitekturnya masjid ini indah banget. Dengan kolam yang berada di halaman depannya mengingatkan kita dengan Tajmahal di Agra. Sebuah bangunan indah peninggalan raja Mughal, Sultan Shah Jahan, yang kebetulan pula sebagian tahun pembangunannya bersamaan dengan masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda di Kesultanan Aceh.

image

(foto pribadi)

Karena keterbatasan waktu saya tak sempat untuk memasuki masjid itu. Saya hanya memandangnya dari luar saja. Insya Allah suatu saat saya akan shalat di dalamnya.

Dari masjid kami berjalan ke arah timur. Melewati sebuah lokomotif dan satu gerbong yang ditaruh di atas sebuah bangunan. Kami melihatnya dari jauh. Ada plang berkarat yang menginformasikan tentang sejarah perkeretaapian di Aceh.

Jalan kereta api di Aceh dibangun oleh Belanda dengan tujuan utamanya adalah untuk kepentingan politik dan ekonomi. Besi dan kayu didatangkan dari Singapura bulan Nopember 1474; kayu untuk bantalan rel dari Malaka tahun 1875 dan meterial untuk rel dari Inggris (1875). Jalan kereta api Ulee Lhee-Kuta Radja sepanjang 5 KM dibuka untuk lalulintas umum pada tanggal 12 Agustus 1876. Lintas Ulee Lhee-Kuta Radja terkenal sebagai lintas kereta api negara yang ada di Nusantara.

image

Lokomotif dan gerbong di Komplek Kereta Api Banda Aceh (foto pribadi)

Ada yang salah dari informasi di plang itu. Besi dan kayu didatangkan dari Singapura bulan Nopember 1474? Apakah benar? Yang benar mungkin 1874. Karena Belanda baru menduduki Banda Aceh di tahun 1873 setelah mengorbankan 80 serdadu mati dan tewasnya Jenderal Kohler dalam agresinya. Tahun 1474 saja Kesultanan Aceh belum berdiri. Sultan Ali Mughayat Syah mendirikannya di tahun 1514.

Dari sebuah buku yang ditulis oleh sejawaran Ahmad Mansur Suryanegara yang berjudul Api Sejarah maka kita akan mengetahui maksud adanya pembangunan rel kereta api di masa penjajahan Belanda.

Menurut teori geopolitik McKinder, kereta api sebagai alat transportasi dalam upaya penguasaan wilayah. Pada masa perang, kereta api berfungsi sebagai Benteng Stelsel dalam penguasaan teritorial. Serdadu Belanda dalam Perang Aceh menggunakan jasa kereta api sebagai sarana ruthless operation—operasi tanpa belas kasih, menumpas perlawanan ulama dan santri—santri insurrection. Malam harinya dihancurkanlah rel kereta api oleh gerilyawan Aceh. Di Pulau Jawa, dibangun jalan kereta api sebagai gurita yang menyempitkan ruang gerak ulama dan santri.

Dari komplek milik perusahaan kereta api kami terus menuju ke selatan. Melewati komplek perumahan militer. Di sana kami menjumpai Komplek Makam Kandang XII. Terdapat 12 makam sultan Aceh beserta keluarganya. Antara lain: Sultan Syamsu Syah, Sultan Ali Mughayyat Syah, Sultan Shalahuddin, Sultan Ali Riayat Syah AlQahar, Sultan Husain Syah—empat sultan terakhir secara berurutan ini merupakan para sultan di awal-awal Kesultanan Aceh, dan Malikul Adil.

image

Komplek Makam Para Sultan Aceh (foto pribadi)

Ada pagar tembok yang mengelilingi komplek ini. Kalau Anda mau menziarahinya silakan lewati pintu besi yang tak terkunci. Ingat adab-adab ziarah kuburan. Ucapkan salam dan doakan mereka. Assalaamu’alaikum ya ahlal qubur. Saya sekadar lewat dan tidak memasukinya karena teman-teman sudah jauh meninggalkan saya.

Kemudian ada area terakhir yang kami kunjungi—sebenarnya cuma lewat doang—untuk pagi itu, yakni Meuligoe Gubernur Aceh atau pendopo atau rumah dinas Gubernur Aceh. Dulu pendopo ini merupakan kediaman dari gubernur Belanda dan didirikan di tahun 1880 saat penjajah Belanda mulai menguasai Banda Aceh.

image

(foto pribadi)

Setelah itu kami kembali bergegas ke tempat kami menginap, karena kami harus bersiap-siap. Bakda sholat jumat nanti kami akan segera dilantik. Pak Andy Purnomo akan menjemput kami pukul 12.00 siang dan mengantarkannya ke Kanwil DJP Aceh.

Pagi itu ada jejak-jejak masa lalu yang saya dapatkan. Jejak dari sebuah kejayaan bangsa. Masa keemasan Sultan Iskandar Muda telah dicatat dalam sejarah sebagai masa yang paling gemilang bagi masyarakat Aceh. Dan kegemilangan serta kejayaan itu simetris dengan penegakan hukum tanpa pandang bulu yang dicontohkannya. Keteladanan yang patut ditiru oleh para penguasa saat ini di republik ini. Siapa pun orangnya, apa pun jabatannya.

Ia tak akan melindungi anaknya, adiknya, istrinya, kerabatnya, saat mereka melanggar hukum. Biarlah menjadi gema apa yang dikatakan Sultan Iskandar Muda ke dalam sanubari setiap anak bangsa saat ini: “Mati anak ada makamnya, mati hukum ke mana akan dicari keadilan.” Ini seperti de javu episode Muhammad saw dan Fathimah 14 abad yang silam.

***

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

18:45 21 Oktober 2013

RIHLAH RIZA: IBNU BATHUTHAH DAN SATE MATANG


RIHLAH RIZA: IBNU BATHUTHAH DAN SATE MATANG

 

Sekitar 659 tahun yang lalu Abu Abdullah Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Ibrahim al-Lawati atau Samsudin atau lebih dikenal orang dengan nama Ibnu Bathuthah—sang penjelajah Muslim, berkunjung
ke Samudera Pasai di masa pemerintahan Sultan Mahmud Malik Zahir.

Berabad-abad kemudian Abu Kinan Fathiya bin Munawir bin Hasan Basri bin Orang yang tak diketahui lagi siapa namanya dan tak pernah disebut-sebut lagi itu atau lebih dikenal dengan sebutan Riza Almanfaluthi—muslim biasa-biasa saja—berkunjung ke tanah yang sama yang pernah diinjak Ibnu Bathuthah. Bedanya, Ibnu Bathuthah selama 15 hari berkunjung di sana, saya cukup tiga hari saja.

Seperti juga Ibnu Bathuthah yang menyambangi Mekkah terlebih dahulu daripada Aceh, saya pun demikian. Mekkah yang ngangenin telah saya sambangi di Oktober 2011. Dua tahun kemudian serambinya, Aceh baru saya datangi. Tepatnya di kota Banda Aceh untuk memenuhi kewajiban menghadiri pelantikan pejabat eselon IV di Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Aceh. Setelah dilantik ini saya harus segera menuju ke Tapaktuan, Kabupaten Aceh Selatan, karena di sanalah sejatinya tempat saya bertugas: nagih-nagih utang pajak.

Banda Aceh, dengan segala informasi yang memenuhi pikiran saya akhirnya bisa dijejaki setelah menempuh penerbangan selama lebih dari dua jam setengah dari Jakarta dengan transit terlebih dahulu di Bandar Udara Internasional Kuala Namu Medan. Ini penerbangan yang kembali saya rasakan setelah penerbangan menuju Jeddah dua tahun lalu itu.

    Bandar Udara Internasional Sultan Iskandar Muda (BTJ) seperti bandara-bandara lainnya di kota-kota daerah, sepi. Di sana, kami berenam (Saya, Slamet Widada, Widodo, Teguh Pambudi, Marzaini, Agung Pranoto Eko Putro), disambut teman kami dari Kanwil Aceh, Pak Andy Purnomo, Kepala Seksi Bimbingan Pelayanan. Ini orang baiknya enggak ketulungan. Dia yang senantiasa mengantarkan kami ke mana-mana: ke hotel tempat kami menginap, ke tempat-tempat yang mengingatkan kami tentang tsunami, ke kantor wilayah tempat pelantikan, ke pusat oleh-oleh, ke rumah dinas yang akan dihuni teman saya, atau balik ke bandara mengantar kami pulang.

Bahkan dia yang menawarkan saya untuk menghubunginya kembali jika akan balik lagi ke Banda Aceh. Satu prinsip yang ia ajarkan kepada saya, siapa lagi yang akan menyambut dengan sebaik-baik sambutan kecuali sesama perantau. “Sudah jauh dari keluarga, ya jangan ditelantarkan,” tuturnya. Sungguh, Pak Andy ini sosok anshor buat kami para musafir.

Banda Aceh sudah barang tentu tidak seramai Jakarta. Kotanya tenang. Jalanannya masih lengang. Jam enam pagi masih sunyi. Geliatnya baru mulai terasa siangan dikit. Malam-malamnya warung kopi yang berfasilitas wifi dan layar besar buat nonton bareng-bareng, ramai dengan para pengunjung. Tak ada lagi wanita lepas jilbab, bercelana pendek, tank top, mondar-mandir pamer aurat. Laki-laki pakai celana pendek juga tak terlihat. Di sana tak ada yang namanya tukang tambal ban adanya tukang tempel ban. Di facebook teman saya sampai bertanya, ditempel apa bannya? Sholat jam lima pagi di sana haram hukumnya, karena pada saat itu waktu shubuh jatuh pada pukul 05.24 WIB.

Kami bermalam di Hotel Medan. Hotel yang pada saat tsunami dulu ada kapal nelayan yang terdampar di halamannya. Foto hotel dan kapal nelayan saat tsunami itu saat ini menjadi foto-foto yang menghiasi dinding-dinding hotel bahkan menjadi gambar utama yang tercetak di kartu kunci pintu kamar hotel.

(foto kompas)

Selama dua hari dua malam kami menginap di sana. Malam pertama kami isi dengan mencari warung makan. Tak perlu jauh-jauh karena lapar yang sudah sangat mendera, jadi kami ambil tempat di sebuah warung sate matang persis di pertigaan depan hotel kami. Sate matang adalah sate daging sapi. Dimakan bersama bumbu sate dan kuah yang disediakan di piring lain. Ditambah dengan gulai, lengkap sudah nikmatnya.

    Teman saya menikmati Mi Aceh. Mi Aceh ya Mi Aceh juga. Tak seperti warung sate di Madura atau pun warung nasi di Tegal yang menyembunyikan nama kotanya, di kaca etalase warung Mi Aceh terpampang gede-gede tulisan Mi Aceh.

    Setelah itu kami jalan-jalan sebentar. Lihat-lihat suasana malam di sekitaran tempat kami menginap. Suasana jembatan di atas sungai yang saya tak tahu namanya dan di pasarnya, masih ramai walau sudah jam 10 malam. Kalau di Citayam jam segitu sudah sepi. Tak jauh-jauh kami pergi karena kami harus mempersiapkan diri buat keesokan harinya.

Suasana di tepian krueng di Banda Aceh. Ada yang mancing di sudut kiri bawah foto.

    Ini cuma sekelumit, masih banyak yang akan terkisahkan. Seperti pula Ibnu Bathuthah yang mengumpulkan cerita perjalanannya keliling dunia dalam sebuah kitab fenomenal yang bernama: Rihlah Ibnu Bathuthah. Maka saya namakan pula kumpulan cerita perjalanan ini dalam sebuah kitab catatan ringan bernama: Kitab Wiro Sableng Kitab Putih Wasiat Dewa Rihlah Riza. Insya Allah.

(bersambung)

***

Thanks to: Pak Andy Purnomo, hanya Allah yang bisa membalas kebaikan Anda dengan kebaikan yang berlipat ganda.

 

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

3:40

20 Oktober 2013

 

Tag: Bandara sultan iskandar muda, kuala namu, banda aceh, ibnu bathutah, krueng aceh, Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Aceh

SEPERTI BELLA SAPHIRA, ADORA MASUK ISLAM


SEPERTI BELLA SAPHIRA, ADORA MASUK ISLAM

 

Telepon berdering.

“Mas di mana?” tanya suara di sebelah sana.

“Di tiit…tiit…tiiit,” bunyi sensor sebuah merek toko buku.

“Bisa cepetan balik kantor gak Mas, ada teman yang mau masuk Islam?”

“Ok dah.”

***

Jumat kemarin, saya bereskan semua pekerjaan sebelum meninggalkan kantor lama ini menuju Tapak Tuan. Pemberkasan telah saya rampungkan. Barang-barang pribadi telah saya bawa pulang ke rumah. Meja telah bersih dan rapi. Setelahnya saya mau keluar sebentar mengurus internet banking dan melihat-lihat tas gede dan buku di bilangan Semanggi.

    Baru saja datang dan mengecek di komputer melihat ketersediaan buku itu, telepon tadi berdering. Saya bergegas kembali ke kantor menjumpai teman yang tadi menelpon. Jadi intinya saya diminta menjadi salah satu saksi masuk Islam temannya. Pengikraran kalimat syahadatnya akan dilakukan di Masjid Al-Azhar, Kebayoran Baru. Kami akan ke sana setelah sholat Jumat di Masjid Shalahuddin.

    Usai jumatan kami berempat bergegas ke Masjid Al-Azhar. Seorang perempuan yang wajahnya familiar telah menunggu di pelataran masjid. Kami pun menuju ruang takmir masjid. Saya menyerahkan KTP kepada petugas pembuat sertifikat. Identitas dua orang saksi akan dicantumkan di sertifikat itu.

Masjid Bersejarah buat Adora

    Tak lama kami diminta masuk ke ruangan ber-AC yang berukuran delapan meter persegi. Kami menghadap seorang ustadz yang telah duduk di depan meja. Sebuah pigura besar tertempel di dinding berisi kalimat syahadat dalam bahasa dan tulisan Arab, bahasa Indonesia, dan Inggris.

    Setelah memberikan iftitah (pembukaan) ustadz muda itu bertanya kepada Adora—sebut saja demikian—apa alasannya masuk ke dalam Islam. Karena Islam itu adalah agama yang tidak boleh memaksa orang untuk masuk ke dalamnya.

    “Ini kejadiannya sudah lima tahun yang lalu. Waktu itu saya sedang mengalami kekalutan hidup dan permasalahan keluarga. Suatu hari ketika saya baru tiba di kantor ada teman yang menyetel pengajian (baca murottal-ed). Saya mendengarnya. Dan saya merasakan ketenteraman dan kedamaian yang luar biasa. Damaiiii sekali…” tuturnya sambil terisak dan terbata-bata. Tak terasa, mata saya sudah basah mendengar penuturannya. Teman-teman juga sudah mulai main tangan mengusap matanya masing-masing.

    Sejak saat itu Adora rindu mendengar suara adzan dan browsing tentang Islam diam-diam. Ia pun tahu risiko yang biasa dihadapi para mualaf. Pengusiran dari rumah adalah salah satunya. Seperti yang dialami artis Bella Saphira misalnya. Ketakutan itulah yang menghalanginya selama ini untuk segera masuk Islam. Tetapi ia tidak bisa menampik kerinduan terhadap Islam. Keputusan bersejarah harus dibuat. Jumat itu menjadi awal hidup barunya.

     Sang Ustadz meminta Adora mengikuti apa yang diucapkannya. Adora cukup lancar mengucapkan dua kalimat syahadat. Tapi ustadz masih memintanya mengulangi sekali lagi. Adora mengulang syahadatnya. Adora menangis ketika mengucapkan persaksian tentang Muhammad adalah utusan Allah.

    “Alhamdulillah,” ucap kami serempak mendengar persaksian Adora. Ustadz muda itu memberikan nasehat panjang lebar tentang iman dan Islam, tentang pembebanan kewajiban yang sudah mulai ia harus tanggung sebagai konsekuensi dari syahadatnya.

    Acara itu diakhiri dengan doa yang dipimpin Sang Ustadz yang juga membuat kami terisak. Benar-benar sebuah prosesi yang sangat mengharukan. Adora bilang: “Saya sangat tidak enak hingga membuat teman-teman repot.” Sang Ustadz malah bilangnya tak perlu tak enak-tak enak segala. Karena memang sudah kewajiban teman-temannya menemani Adora ke Al-azhar.

    Kami meninggalkan tempat itu setelah Adora mendapatkan sertifikat dan goody bag berisi kitab Alqur’an dan sejumlah buku. Tak ada sepeser pun yang dipungut pengurus Masjid Al-Azhar dalam prosesi itu. Kalau pun mau memberikan dana, kami diminta untuk mengisi kotak infak yang tersedia.

    Adora akan mulai melaksanakan sholat dan belajar mengaji. Teman kami pula yang akan membimbingnya. Adora masih meminta kepada kami untuk merahasiakan keislamannya. Untuk saat ini ia masih belum siap. Tapi ia akan pelan-pelan mengondisikan keluarganya. Kami cukup memahami kekhawatirannya itu.

    Siang itu saya merasakan bahagia yang sangat luar biasa. Menjadi saksi dari sebuah sejarah Adora. Pun karena bisa menangis lagi setelah gersang sekian lama. Kata ustadz mah katanya orang yang bisa menangis itu tanda ada iman di dalam hatinya. Saya harap demikian karena terkadang malu memikirkan iman di dalam dada.

    Selamat Adora. Barakallahufik. Semoga Allah tetap menjaga hidayah ini sampai ajal menjemput. Hidayahmu, hidayah saya, hidayah kami semua.

Suatu saat kelak kalian akan mengetahui siapa Adora—yang bukan artis ini—adanya.

***

 

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

15 Oktober 2013

    Gambar diambil dari sini.

RINDU YANG TAK PERNAH SELESAI


RINDU YANG TAK PERNAH SELESAI

 

Saya terbangun. Melihat jam dinding. Keluar dari kamar. Mengambil air putih hangat, duduk, dan meminumnya pelan-pelan. Sambil merenung. Dan akhirnya mandi di tengah malam tanpa kembang. Kalau pakai kembang setaman—ada mawar, anyelir, melati—oke juga, tak mengapa. Bikin wangi. Halal. Setelah itu buka laptop dan menuliskan sesuatu.

    Beberapa jam lagi ke depan saya sudah harus berangkat ke kantor. Naik commuter line ke stasiun Sudirman. Kemudian di sana saya menunggu teman, Uda Marzaini, yang membawa mobil taruna merah tuanya ke kantor pusat DJP. Saya jadi penebeng. Penebeng selain saya biasanya ada Bro Teguh Pambudi, biasa disebut TP, dan Kang Asep Wahyudin Nugraha—panggil saja dia Kang Awe.

    Kami berempat masuk ke Direktorat Keberatan dan Banding (DKB) sama-sama di bulan September 2010 dari Kantor Wilayah DJP Jakarta Khusus. Ini sudah tiga tahun berlalu. Dan Allah menakdirkan kami berempat, di bulan September 2013 ini, mendapatkan penugasan baru. Kami disebar ke daerah yang jauh. Sejauh al masyriqi wal maghribi. Sejauh timur dan barat. Kami bertiga selain Kang Awe ditempatkan di Nanggroe Aceh Darussalam, sedangkan Kang Awe di wilayah Papua.

    Tepatnya, saya di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Tapaktuan, Uda Zain di KPP Pratama Langsa, dan Bro TP di KPP Pratama Meulaboh. Dan Kang Awe di Kantor Wilayah DJP Papua dan Maluku yang terletak di Jayapura.

    Perjalanan dari kota Banda Aceh menuju Tapaktuan ditempuh selama delapan jam perjalanan darat, sedangkan Meulaboh berada di tengahnya. Jadi cukup empat jam saja dari Kota Banda Aceh. Sedangkan Langsa malah lebih dekat dari kota Medan. Empat jam saja katanya. Sedangkan Kang Awe dengan delapan jam perjalanan udara dari Jakarta. Ini hampir seperti perjalanan Jakarta ke Jeddah saja. Indonesia bener-bener luas yah?

    Bertahun-tahun kami jadi tebenger di mobilnya Uda Zain. Sebentar lagi kami yang ada di mobil taruna OX nya ini akan berpisah. Dan saya yang sering banget numpang ini jelas akan kehilangan. Mobil Uda Zain ini bagi saya seperti telaga, ngademin gitu setelah berjibaku di sesaknya commuter line yang pengap. Masuk ke dalam mobilnya selalu ada sensasi nyeeeessss. Menyejukkan dan wangi. Terima kasih Uda selama ini rela ditumpangin. Semoga Allah membalasnya dengan kebaikan yang berlipat ganda.

    Dan kami tetap menikmati perjalanan pagi dengan taruna merah itu sampai ada keputusan kapan kami harus berpisah. Dinikmati dan disyukuri saja waktu kebersamaan yang tinggal sisa-sisa ini. Kalau disyukuri sudah jelas ada pakemnya yaitu ditambah nikmatnya lagi. Mungkin dengan bentuk kenikmatan yang lainnya. Entah apa. Biar Allah saja yang tahu yang terbaik buat hambaNya. Yang penting bagi saya Allah tidak menggolongkan kami ke dalam golongan hamba-hambaNya yang tidak bersyukur.

    Sebentar lagi kami jadi musafir. Benar-benar musafir secara hakikat. Yaitu orang yang pergi dari tempatnya tinggal menuju sebuah tempat yang jauh. Kalau berdasarkan madzhabnya Imam Syafi’i, Imam Malik, dan Imam Hambali ada ukuran jarak minimal yang ditempuh seorang musafir yaitu 80,5 km plus 140 meter. Kami ribuan kilometer.

Dan musafir itu butuh bekal. Salah satu bekalnya adalah doa. Saya pun kembali mengutip Anis Matta dalam Setiap Saat Bersama Allah:

Beginilah sang musafir, bila mulai terbangun dari tidur panjangnya. Ia mulai membersihkan wajahnya dengan wudhu dan menjalani hari-harinya dengan munajat yang tak pernah putus. Hatinya telah terbang tinggi ke langit dan terpaut di sana. Sementara kakinya beranjak dari satu tempat ke tempat lain dalam bumi, hatinya bercengkrama di ketinggian langit.

Kini sang musafir telah menyadari bahwa doa bukanlah pekerjaan yang sederhana. Doa bukanlah kumpulan kata yang kering. Doa bukanlah harapan yang dingin. Doa bukanlah sekadar menengadahkan kedua tangan ke langit.

Tidak! Kini, sang musafir menyesali mengapa ia terlambat memahami makna dan hakikat doa. Ternyata doa adalah “surat” dari sang jiwa yang senantiasa terpaut dengan langit. Doa adalah rindu kepada Allah yang tak pernah selesai. Maka setiap kata dalam doa adalah gelombang jiwa yang getarannya niscaya terdengar ke semua lapisan langit. Di sini, tiada tempat bagi kepura-puraan. Di sini, tak ada ruang bagi kebohongan. Begitulah jiwa sang musafir, terus berlari ke perhentian terakhir, ketika raganya masih berada dalam gerbong kereta waktu. Dengarlah munajat sang musafir ini:


Allaahumma a’inni ‘alaa dzikrika wasyukrika wahusni ‘ibadatik

Ya Allah bantulah aku untuk senantiasa mengingatMu, mensyukuriMu, dan menyembahMu dengan cara yang baik. (HR Abu Dawud dari Muadz bin Jabal).

Kami sejatinya akan menjadi musafir, pelaku perjalanan jauh menuju tempat penempatan baru masing-masing. Walau sejatinya harus diakui bahwa kami hidup di dunia ini pun sudah jadi musafir sejak dari lahir untuk menuju kampung akhirat.

Kami sejatinya akan menjadi musafir, seorang perindu ulung yang tak pernah selesai dengan apa yang dirindukannya. Rindu padaNya dengan pedang doa. Rindu kampung halaman. Rindu kebersamaan.

***

 

 

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

03:03 02 Oktober 2013

gambar diambil dari sini.

    

 

WAJAH YANG TERASING


WAJAH YANG TERASING

 

Wajah dan penampilan saya tidak bisa dipercaya oleh Wajib Pajak sehingga sempat “disekap” di sebuah ruangan tertutup sambil ditanya macam-macam oleh karyawan Wajib Pajak. Sedangkan karyawan yang lainnya mengonfirmasi kebenaran saya sebagai PNS di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Penanaman Modal Asing (PMA) Tiga.

    Waktu itu saya masih sebagai Jurusita Pajak Negara. Kebetulan sedang tidak memakai seragam Jurusita. Sedangkan teman saya yang lain—Jurusita senior—juga sedang memarkirkan mobilnya dan sengaja membiarkan saya sendiri belajar menghadapi Wajib Pajak.

    Yang menerima telepon dari Wajib Pajak adalah Kepala KPP sendiri. Dan ia kebetulan pas lagi tidak ingat dengan nama saya. Kebetulan pula atasan saya, Pak Mubari, Kepala Seksi Penagihan, sedang berada di depannya. Pak Kepala KPP bertanya kepada Pak Mubari apakah benar ada yang namanya Riza Almanfaluthi sebagai pegawai KPP PMA Tiga. Langsung saja Pak Mubari mengiyakan.

    Selamat. Saya bisa pulang juga pada akhirnya dengan tetap meminta kepada Wajib Pajak untuk mematuhi apa yang tersurat di dalam Surat Paksa dalam jangka waktu 2 x 24 jam. Kalau tidak? “Mbuh.”

    Itu bertahun lampau. Kisaran 2004-an. Sekarang 2013. Pada akhirnya saya bergaul lagi dengan masalah penagihan setelah ada penugasan baru sebagai Kepala Seksi Penagihan di KPP Pratama Tapaktuan Oktober 2013 nanti. Tempat baru, teman-teman baru, jabatan baru, semua baru. Seperti biasa saya cuma bisa menyandarkan kepada Sang Maha Pengatur Segalanya. Agar pada saatnya nanti saya diberikan kekuatan untuk menjalankan amanah ini.

    Jadi ingat pada kalimat dalam sebuah buku yang ditulis oleh Anis Matta dalam bukunya yang berjudul: “Setiap Saat Bersama Allah”.

    Sering, tentu, kita bepergian dan bertemu dengan daerah baru atau orang baru. Lalu kita merasa terasing. Karena Rasulullah saw ingin agar kita kuat, maka beliau mengajarkan doa ini kepada kita: A’udzu bikalimatillaahitaammah min syarri maa kholaq. Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang Mahasempurna ini dari segala kejahatan yang ada (yang diciptakan-Nya). Hadits riwayat Muslim.

    Sekarang kudu belajar undang-undang penagihan pajak lagi. Belajar prosedur penagihannya, pemblokiran, penyitaan, ilmu komunikasi, ilmu negosiasi, dan banyak lagi lainnya. Untuk bisa dipelajari dari Direktorat Keberatan dan Banding (tempat kerja yang akan saya tinggalkan ini) dapat juga kiranya dibawa putusan-putusan Pengadilan Pajak tentang gugatan Wajib Pajak kepada Direktorat Jenderal Pajak karena adanya kesalahan prosedur penagihan.

Ohya tidak akan lupa baca-baca buku yang satu ini: Berbagi Kisah & Harapan: Untaian Kisah Perjuangan Penagihan Pajak. Buku yang kebetulan saya menjadi anggota tim redaksinya.

    Buku ini merupakan kumpulan 43 tulisan yang ditulis oleh para pegawai pajak dari seluruh pelosok tanah air yang sehari-harinya bergerak dan bergaul di dunia penagihan pajak. Buku ini bercerita tentang pengalaman-pengalaman mereka dalam melakukan penagihan pajak dan menghadapi banyak tipe orang yang susah ditagih utang pajaknya.

    Beberapa hari yang lalu saya sempat menanyakan tentang penyebaran bukunya kepada teman yang kebetulan tahu betul. Ternyata baru beberapa KPP yang kebagian dan dicetak sedikit karena terkendala dana. Padahal itu buku bagus buat “sharing” pengalaman ke sesama petugas di Seksi Penagihan. Semoga tak lama lagi buku ini bisa tersebar ke seluruh pegawai pajak di tanah air.

    Saya akan bawa buku ini ke Tapaktuan untuk bisa dibaca buat teman-teman Seksi Penagihan di sana. Saya juga akan belajar banyak kepada mereka: Mas Rachmad Fibrian (pelaksana di Seksi Penagihan KPP Pratama Tapaktuan), Mas Rizaldy, dan Mas Fahrul Hady (Jurusita). Semoga mereka bisa menerima saya sebagai muridnya.

***

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

Hitung mundur menuju Tapaktuan.

17:40 28 September 2013