RIHLAH RIZA #45: Ekspedisi Gua Kalam, Amazing Saudara-saudara!!!


Yang penting bukan seberapa keras Anda terbentur, tapi seberapa kuat tekad Anda untuk tetap maju walau terbentur, seberapa banyak Anda dapat menarik pelajaran dan bergerak merangsek ke depan.

(Rocky Balboa)

Hari ini Tapaktuan hangat dan cerah. Matahari memancarkan sinarnya ke lautan biru Samudera Hindia. Ombak putih menjadi zikir harian kota kecil ini. Sedangkan di atas, langit biru sedang bercengkerama dengan sedikit awan putih.

Mereka sepertinya bersepakat menemani rencana perjalanan kami kali ini. Bukan ekspedisi mencari batu, melainkan eskpedisi menyusuri salah satu tempat eksotis di Aceh Selatan: Gua Kalam.

Menurut legenda yang beredar di masyarakat Aceh Selatan, Gua Kalam ini tempat bertapanya Tuan Tapa dan tempat Putri Naga tinggal setelah diselamatkan Tuan Tapa dari cengkeraman sepasang naga yang menculik putri itu.

Baca Lebih Lanjut.

Sekrup-Sekrup Kecil: Empat Modus Perkaya Diri Jadi Masa Lalu


 


Pagi itu telepon berdering. Nomornya tidak dikenal. Kemudian terdengar suara seorang perempuan di ujung sana. Tak lama saya baru ngeh. Ternyata suara itu berasal dari seorang perempuan yang pernah saya kenal sewaktu saya menjadi Account Representative di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Penanaman Modal Asing (PMA) Empat. Perempuan ini dulu pernah menjadi tax manager sebuah perusahaan di Sidoarjo. Perusahaan pembalut buat ibu setelah melahirkan ini termasuk ke dalam kategori Wajib Pajak yang taat pajak.

Walaupun saya sudah bertahun lampau meninggalkan kantor itu dan sekarang berada di ujung negeri, ia masih menyimpan nomor telepon saya. Seperti waktu dulu, ia pun bertanya-tanya kepada saya mengenai kasus perpajakan yang ditanganinya. Bedanya, sekarang ia telah menjadi seorang konsultan manajemen. Penanganan kasus perpajakan hanyalah bonus yang diberikan kepada klien yang menyewa jasa konsultasi manajemennya.

Baca Lebih Lanjut

RIHLAH RIZA #42: ANTARA TAPAKTUAN DAN GAZA: DI KARNAVAL INI TERSELIP DOA UNTUK MEREKA


ANTARA TAPAKTUAN DAN GAZA:

DI KARNAVAL INI TERSELIP DOA UNTUK MEREKA

Kemarin, ada petugas datang ke rumah dinas, mengecek dan menanyakan kepada para penghuni, “Mengapa bendera merah putih belumlah berkibar?” Esok Paginya merah putih itu telah kami kibarkan. Sensitivitas di daerah bekas konflik.

(Uswan, Ulee Kareng, Banda Aceh)

Karnaval peringatan HUT RI yang ke-69 berlangsung meriah hari ini (16/8). Sebanyak 17 gampong di Kecamatan Tapaktuan menjadi peserta pawai. Selain berbusana daerah dan tampilan khas para pejuang kemerdekaan, para peserta karnaval menampilkan atraksi-atraksi hebat yang dipersembahkan kepada masyarakat.

Titik pusat karnaval berada di Jalan Merdeka, Tapaktuan. Di sana didirikan panggung tempat Bupati dan Wakil Bupati hadir dan melihat jalannya acara. Yang menarik dari panggung tersebut adalah pesan yang ditulis di atas sebuah papan dan berada di depan meja Bupati. Pesan itu berbunyi: “DOA KAMI UNTUK GAZA”. Pesan yang mengingatkan kepada dunia bahwa masyarakat Aceh Selatan yang jaraknya ribuan kilometer dari Palestina ini sungguh peduli terhadap nasib penduduk Gaza yang ditindas dan dibantai Israel.

Baca lebih lanjut

RIHLAH RIZA #40: BUKU, KUE , DAN TAS


RIHLAH RIZA #40: BUKU, KUE , DAN TAS

Akan dipergilirkan kepada mereka tertawa usai kesedihan. Dan akan dipergilirkan kepada mereka sedih usai tertawa.

Saya tidak tahu mau bicara atau menulis apa atas begitu banyak keberkahan yang dilimpahkan pada Ramadhan 1435 H ini. Walau dengan tertatih-tatih mengejar segala ketertinggalan amalan di bulan mulia itu. Semuanya dimudahkan oleh Allah. Sepanjang doa yang terlantun memang terselip salah satu doa: Allahumma yassir wala tu’assir. Ya Allah mudahkanlah dan jangan Engkau persulit.


(Sumber foto dari sini)

    Maka pengalaman puasa di Tapaktuan ini terasa berbeda ketika di Jakarta. Alhamdulillah saya tidak merasakan batuk yang seringkali mendera saat saya berpuasa. Makanan insya Allah senantiasa terjaga, terkendali, dan tidak berlebihan. Terutama tidak minum yang dingin-dingin di saat berbuka.

Shalat tarawih pun benar-benar dijalankan dengan penuh kekhusyukan. Apalagi rata-rata para imam salat di masjid atau meunasah bacaannya bagus-bagus seperti para masyaikh atau imam Masjidil Haram itu. Suatu saat air mata saya meleleh deras ketika mendengar bacaan imam salat magrib di masjid kompleks Gedung Keuangan Negara di Banda Aceh. Bacaannya seperti bacaan Ahmad Saud. Mungkin pada saat itu frekuensi hati lagi menyambung dengan langit.

Baca lebih lanjut.

PATRIOTISME SAMPAI AKHIRAT


PATRIOTISME SAMPAI AKHIRAT

071814_0401_PATRIOTISME1.jpg

“War costs money”

Franklin D Roosevelt, Januari 1942

Wajahnya kusut tapi dengan senyum yang tak pernah lepas. Kumis yang menyambung dengan jenggot di dagu. Penampilannya tidak seberapa tinggi. Berkulit coklat. Umurnya mendekati lima puluhan. Laki-laki itu membawa secarik kertas datang ke ruangan Seksi Penagihan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Tapaktuan. Saya menyambut dengan tangan terbuka, menjabat erat tangan, dan mempersilakan duduk untuk menjelaskan maksud kedatangan.

Ia warga Tapaktuan. Pemilik sebuah CV yang sudah lama bangkrut. Sekarang hanya mengandalkan bisnis fotokopi. Jauh dari kondisi jayanya pada tahun 2008 ke bawah sebagai penyuplai kebutuhan kantor. Rumahnya sudah diberi plang oleh sebuah bank. Ternyata ia tiba untuk memenuhi undangan kami. Sedianya ia diminta datang membahas penyelesaian utang pajaknya pada hari Selasa pekan depan, namun dikarenakan ia punya urusan di hari itu, Rabu pekan ini ia sempatkan diri memenuhi panggilan.

“Saya tahu Pak saya masih punya utang. Dan saya datang ke sini bukan untuk meminta keringanan atau penghapusan. Saya akan tetap bayar semuanya. Tapi tidak bisa sekarang. Mohon kesempatannya untuk bisa mencicil,” katanya menjelaskan. “Saya tidak mau punya utang kepada siapa pun. Utang kepada orang lain ataupun kepada negara. Saya tak mau mati membawa utang. Setiap utang akan diminta pertanggungjawabannya,” tambahnya lagi.

Baca Lebih Lanjut

TAX GOES TO SCHOOL: INVESTASI MASA DEPAN DI KOTA PALA


TAX GOES TO SCHOOL: INVESTASI MASA DEPAN DI KOTA PALA


 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Hari ini membuktikan kalau para pelajar SMA Negeri 1 Tapaktuan tidak hanya mementingkan dirinya sendiri melainkan juga tahu tentang tanggung jawabnya sebagai warga negara yang baik. Ilmu pajak ini harus dapat dipahami dan disebarkan kepada yang lain. Contohnya kepada orang tua masing-masing. “Tanya kepada mereka, sudah bayar pajak atau belum?”

Hal ini dinyatakan oleh Eli Darmi, Kepala SMA Negeri 1 Tapaktuan, dalam sambutannya di acara Tax Goes To School yang diselenggarakan di aula SMA Negeri 1 Tapaktuan, Rabu (4/6). Tak kurang dari 63 pelajar mengikuti acara itu. Acara yang digagas oleh Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Tapaktuan bekerjasama dengan SMA Negeri 1 Tapaktuan ini merupakan salah satu agenda sosialisasi tahunan ke sekolah-sekolah yang ada di Kabupaten Aceh Selatan.

“Sosialisasi ini merupakan road show investasi pemahaman pentingnya pajak buat pembangunan negeri. Karena merekalah calon pembayar pajak di masa depan,” ujar Kepala KPP Pratama Tapaktuan, Jailani, saat dimintakan keterangannya. Dalam sambutannya ia berpesan agar pelajar SMA Negeri 1 Tapaktuan tidak menyia-nyiakan waktu mudanya dengan cara belajar yang baik di sekolah ini. “Sekolah ini dibiayai dengan pajak yang dibayarkan Wajib Pajak dan dikumpulkan oleh negara,” tegasnya.

Kepala Seksi Ekstensifikasi KPP Pratama Tapaktuan, Suardjono, sebagai Ketua Panitia acara ini menambahkan, materi penting yang disampaikan kepada pemula ini antara lain materi dasar tentang manfaat pajak, peranan pajak, dan cara pembayaran pajak. Yang terakhir ini wajib disampaikan karena masih rancunya pemahaman di masyarakat bahwa bayar pajak itu di kantor pajak. “Padahal tidak demikian. Bayar pajak ya ke bank,” jelasnya.

Sekolah yang didirikan pada tahun 1959 di kota pala ini merupakan salah satu sekolah terbaik di Aceh Selatan. Sudah banyak prestasi yang ditorehkannya. Di antaranya sekolah ini mampu mengirimkan seorang siswanya menjadi duta Aceh dalam Olimpiade Siswa Nasional tingkat nasional. Tak heran dalam acara Tax Goes To School ditampilkan pula siswa-siswi berbakat di bidang seni seperti tarik suara dan pembacaan puisi.

Direncanakan dalam bulan yang sama, KPP Pratama Tapaktuan melanjutkan road shownya ke SMA Negeri Unggul Aceh Selatan. [RizaA]

*

Riza Almanfaluthi

Diunggah pertama kali di situs intranet Sumber Daya Manusia DJP

 

 

 

 


 

RIHLAH RIZA #35: CINCIN WARISAN SETAN


RIHLAH RIZA #35: CINCIN WARISAN SETAN

Kinan bertanya kepada Mbahnya, “Bapak pakai cincin apa?” Laki-laki tua yang sedang sakit itu sambil tertawa menjawab sekenanya, “Cincin warisan setan.” Ingatannya yang sudah mulai terbatas karena stroke mungkin hanya mampu mengaitkan benda itu dengan salah satu judul novel silat Wiro Sableng karangan Bastion Tito. Novel-novel yang pernah dijualnya sewaktu menjadi pedagang buku bekas.

Cincin dengan batu warna hijau dan ikatan besi yang disepuh dengan warna keemasan itu pemberian adik iparnya yang bekerja di Arab Saudi. Karena sakit, Bapak tak pernah memakainya lagi. Kemudian saya pakai beberapa bulan sewaktu bertugas sebagai petugas banding di Pengadilan Pajak. Teman satu tim saya protes. Menurutnya saya seperti om-om atau bapak-bapak kalau memakai cincin itu. Jadi semakin kelihatan tua. Di dalam benak mereka cincin itu hanya bisa dikaitkan pada satu sosok pelawak bernama: Tessy.

Sepertinya teman-teman saya se-Direktorat Keberatan dan Banding memang tak ada yang memakai cincin. Lalu saya tak memakainya lagi. Saya tak tahu apa nama batu yang menghiasi cincinnya. Bertahun-tahun kemudian, hari ini, saya tahu jenis batu itu. Batu pirus berwarna biru kehijau-hijauan. Sayang sekali, cincin itu hilang.

**

Entah di Tapaktuan, entah di Banda Aceh, bertubi-tubi ajakan teman-teman untuk pergi mengunjungi toko penjual batu akik atau mulia itu tidak membuatku tak bergeming. “Ngapain coba? Buang-buang waktu aja,” pikir saya. Waktu itu ada yang lebih menarik daripada sekadar melototin batu: snorkeling atau snorkelling. Mengapung dan menyelam sambil menikmati keindahan bawah laut menjadi kesenangan baru saya di Tapaktuan untuk mengisi hari-hari sepi saya. Melototin biota laut itu sesuatu.

Pembicaraan teman-teman di mes, di warung, dan di kantor kalau kumpul ya berkisar perbatuan. Bahkan mereka bikin grup facebook bernama Tapaktuan Stones. Mereka sudah melakukan ekspedisi ke sungai Trangon mencari batu-batu untuk bisa digosok. Ini benar-benar sebuah penggalian potensi (galpot). Tapi potensi batu. Menggali pakai beliung, mencungkil pakai linggis, dan memalu pakai palu bebatuan di sepanjang pinggiran sungai.

Gali potensi bebatuan. Insya Allah penerimaan pajak tercapai. Loh kok? Apa kaitannya? Ekspedisi Trangon II (Foto koleksi Dony Abdillah)

Air bening mengalir di sungai Trangon (Foto koleksi Dony Abdillah)


Hasil pencapaian 100% lebih :melet (Foto koleksi Dony Abdillah)

Aceh memang kaya dengan jenis bebatuan. Ini bisa dikarenakan struktur pembentukan pulau Sumatera di waktu dahulu kala dan keberadaan barisan Pegunungan Leuser. Salah satunya batu Giok Beutong yang menjadi primadona batu ada di Meulaboh. Dulu pernah ada perusahaan Cina yang melakukan kegiatan pertambangan. Perizinan yang mereka dapatkan hanya sebatas izin usaha pertambangan bahan galian C. Perusahaan itu membawa batu-batu sebesar gajah keluar dari Aceh dan mengekspornya ke luar negeri.

Masyarakat tak tahu apa yang perusahaan itu gali dan dapatkan di sana. Setelah sepuluh tahun berjalan, barulah masyarakat sadar batu macam mana pula yang perusahaan Cina itu incar. Ternyata batu giok yang sangat berharga. Akhirnya pemerintah daerah terkait bersama masyarakat menutup izin dan akses pertambangan itu. Entah berapa ribu ton batu giok yang hilang dan entah berapa pajak yang seharusnya dibayar lenyap karena kecurangan ini.

Teman-teman ini tak berputus asa mengajak saya. Dan tahu betul bagaimana ‘meracuni’ orang. Mereka seperti bandar narkoba—dalam arti yang positif. Kasih satu atau dua batu secara gratis lalu kalau sudah ‘nyandu’ dan ‘sakau’ tinggal beli sendiri saja. Terbukti sukses mereka jalankan operasi itu kepada saya sebagai TO (target operasi) mereka selama ini.

Enam batu yang sudah digosok disodorkan kepada saya oleh teman jurusita Seksi Penagihan bernama Rizaldy. Ia berdasarkan surat keputusan mutasi, pindah dari Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Tapaktuan ke KPP Pratama Meulaboh. Kantor barunya dekat dengan rumahnya. Sebagai hadiah perpisahan dengan saya, Pak Rizaldy meminta saya memilih dua dari enam batu itu.

Berdasarkan advokasi dan provokasi teman-teman, saya ambil dua batu yang terbaik. Jenis batu idocrase dan pancawarna. Lalu Mas Suardjono—Kepala Seksi Ekstensifikasi—memberi saya batu Giok Beutong terbaiknya. Seminggu kemudian batu idocrase yang susah saya jelaskan warnanya ini sudah saya ikatkan dengan ikatan perak. Beberapa minggu kemudian diajak sama teman ke salah satu pengrajin batu giok di Tapaktuan. Saya pun manut. Saya beli dengan sukarela tiga buah batu dan satu liontin Giok Beutong berbentuk simbol “love”.

Bang Rahmadi Kuncoro—Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi I—lalu memberi saya sebuah batu mulia aquamarine warna hijau. Lalu saya juga ikut patungan membeli batu Lumut Sungai Dareh, Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat. Seperti diketahui daerah itu menjadi terkenal setelah Presiden Amerika Serikat Barack Obama memasang cincin berbatu lumut Sungai Dareh di jari manis tangan kanannya. Kemudian saya pun mau saja ikut ekspedisi kedua Grup Tapaktuan Stones ke sungai Trangon. Tidak lama setelah itu, saya pun membeli batu zamrud dengan ikatan cincin perak untuk saya pasang di jari manis tangan kiri saya.

Semuanya menjadi serta merta. Sekarang mata saya selalu otomatis memindai tangan orang. Entah di televisi atau foto atau bertemu langsung. Apakah dia memakai cincin atau tidak? Cincinnya dihiasi dengan batu atau tidak? Batunya dari jenis batu akik atau batu mulia? Kalau dari batu akik maka batu akik jenis apa? Kalau batu mulia apakah itu zamrud, rubi, safir atau seperti apa? Kalau ke teman sendiri, pemindaian itu dilakukan dengan meminta cincinnya dicopot dari jemarinya untuk saya lihat dengan teliti kecermelangan batu dan detil ikatannya.

Semuanya menjadi serta merta. Saya jadi tahu macam-macam jenis batu walaupun masih sedikit pengetahuannya. Jadi tahu bagaimana batu itu disebut indah atau tidak. Jadi bertambah perhatian—walau masih sedikit—kepada teman facebook yang memamerkan batu jualan mereka. Pun ke tempat lapak batu dan cincin untuk sekadar melihat-lihat menjadi antusiasme baru. Maka saya baru sadar atas sesuatu yang dulu saya pertanyakan. Mengapa setiap lapak batu kaki lima selalu dikerumuni banyak orang? Ternyata batu akik dan batu mulia itu mempunyai pasar dan penggemarnya sendiri.

Antusiasme baru itu hampir sama dengan berkunjung ke toko buku. Tetapi tidak harus sampai berjam-jam. Secukupnya saja. Karena saya sadar, saya jangan sampai kena “sawan batu”. Istilah yang menunjuk kepada kegilaan terhadap batu. Seseorang bisa dikatakan mengalami penyakit gila nomor ke sekian ini jika ia sudah tidak memakai logika sehatnya dengan membeli batu mahal tanpa kecermatan dan kehati-hatian. Tentunya sesuatu yang berlebihan itu tidak baik.

Dan yang paling penting, memakai cincin itu bisa diniatkan untuk ibadah. Bukankah memakai cincin itu sunnah Rasulullah saw? Niatkan memakai cincin sebagai bentuk kecintaan kita kepada Baginda Rasulullah saw. Entah dengan ikatan perak atau besi. Entah di jari tangan kanan atau pun di jari tangan kiri. Entah batu dari negeri Habasyah atau bukan.

Bisa berpahala dengan beberapa prasyarat tentunya. Pertama, ikatannya bukan emas, karena laki-laki diharamkan memakai cincin emas. Kedua, tidak diniatkan untuk pamer-pamer. Ketiga, tidak menimbulkan kesombongan. “Nih, gue punya zamrud. Ente punya ape? Halah cuma akik ini.” Satu titik kesombongan di hati sudah membuat kita tidak bisa mencium bau surga dalam jarak lima ratus tahun perjalanan. Sedangkan satu hari di akhirat sana sama seperti seribu tahun di bumi.

Keempat, ini yang teramat penting, jangan sampai memakai cincin menjadi jalan tergadaikannya akidah kita. Cincin itu bukan sarang makhluk gaib atau apa pun namanya. Apalagi menganggap bahwa cincin itu menjadi jalan terkabulkannya semua hasil kerja dan keinginan kita atau biasa disebut sebagai cincin bertuah. Makanya saya heran ketika ditanya berapa mahar cincin itu? Mahar? Mahar apaan? Ternyata saya baru tahu sebuah batu bisa bernilai tinggi jika ada “khadam”nya. Harga tinggi bukan untuk sebentuk cincin itu melainkan sebagai mahar untuk apa yang ada di dalamnya. Tapi sungguh kita tekor bandar kalau berlaku syirik dalam memakai cincin. Apalagi cincin warisan setan. Semoga kita dilindungi dari hal yang demikian.

Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanya permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak…” (QS. Al Hadid 20)

Semuanya menjadi serta merta.

***

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

13 Mei 2015

Judul dari novel jadul cerita silat zaman dahulu kala karangan Bastion Tito: Wiro Sableng.

RIHLAH RIZA #33: NIKMATI SATU DETIK ITU DAN JANGAN MENUNGGU


RIHLAH RIZA #33: NIKMATI SATU DETIK ITU DAN JANGAN MENUNGGU

 

Why look so canny at every penny? You’ll take no money within the grave.

(Snow White and the Huntsman)

 

Jam dinding bertuliskan Direktorat Jenderal Pajak Kanwil DJP Aceh itu sekarang sudah tertempel di dinding kamar saya. Ini pemberian dari Kepala Kantor Wilayah DJP Aceh seusai saya menjadi narasumber sosialisasi KEP-10/PJ/2014 tentang Pembentukan Gerakan “DJP Bersih di Tangan Kita” di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak akhir Maret lalu. Jadi kalau bangun dari tidur saya tak perlu meraba-raba tempat tidur lagi mencari hp untuk melihat jam. Sekarang cukup dengan membuka mata saja. Ini bermanfaat sekali insya Allah.

Sekarang alat penunjuk waktu sudah ada di mana-mana. Di setiap hp dan komputer pasti ada informasi mengenai hal ini. Otomatis jam tangan—entah yang analog atau digital tapi tidak pintar—sekarang sekadar aksesoris. Tapi benda itu tetap dibutuhkan di saat alat-alat elektronik dilarang dibawa atau dinyalakan seperti pada waktu ujian atau di dalam pesawat. Dan di dalam kubur, jenazah juga tak akan membawa jam.

Tapi mereka tahu satuan waktu. Betapa satu detik saja hidup di dunia akan benar-benar memengaruhi kondisi mereka di alam kubur. Mereka meminta-minta sedetik atau sekejap saja agar bisa balik ke dunia dan beramal saleh. Barulah mereka tahu amal saleh yang sedikit pun akan menjadi pembeda apa yang akan mereka dapatkan dan di mana akhir mereka berkedudukan. Surga atau neraka. Kita kelak akan menjadi mereka pula. Lalu mengapa kita tidak menyadari betapa berharganya satu detik itu ketika kita masih hidup?

Satu detik akan menjadi relatif pada masing-masing orang. Satu detik akan terasa lama buat siapa yang menggenggam bara di tangan. Jangankan satu detik, satu jam saja bagi para pecinta akan terasa seperti kilatan cahaya di langit. Mencintalah maka waktu akan berjalan dengan cepat. Seperti waktu yang begitu singkat bagi para pegawai DJP ketika pulang bertemu dengan sanak keluarganya. Mereka yang dicinta yang bisa dijumpai sepekan atau sebulan sekali.

Dan tahukah Anda keberadaan saya di Tapaktuan pun ternyata sudah lima bulan lebih sejak kedatangan atau enam bulan sejak surat keputusan pemindahan. Tak terasa. Mengapa? Karena saya berusaha mencinta, Insya Allah. Mencinta takdir yang hinggap dalam hidup. Mencinta Tapaktuan. Mencinta senjanya yang setiap hari berganti-ganti keindahannya. Sungguh, akan terasa lama bagi siapa yang menunggu.

Kemudian ingatan saya terpelantingkan pada sebuah kalimat yang pernah diucapkan oleh Lev Grossman, penulis buku The Magicians, “For just one second, look at your life and see how perfect it is. Stop looking for the next secret door that is going to lead you to your real life. Stop waiting. This is it: there’s nothing else. It’s here, and you’d better decide to enjoy it or you’re going to be miserable wherever you go, for the rest of your life, forever.” Nikmati satu detik itu dan jangan menunggu.

Seperti saya menikmati detik-detik sepi di Tapaktuan pada tanggal 9 April 2014 ini. Tapaktuan benar-benar menjadi kota sepi sekali di saat pencoblosan. Kata penduduk setempat, situasi ini seperti pada saat lebaran. Tapi penduduk ternyata sedang meramaikan Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang dipusatkan di pajak (baca: pasar) inpres. Ada empat TPS yang ada di sana. Dan saya berdua dengan teman sekantor saya, AA Fikri, yang memegang hak suara dari tempat lain, ternyata diprioritaskan untuk mencoblos duluan setelah menyerahkan formulir A5. Padahal banyak penduduk yang menunggu antrian di bawah tenda yang disiapkan panitia. Alhamdulillah berkah.

Memasuki bilik suara, saya buka empat lembar kertas suara itu. Sebagai pendatang di sini saya diberikan empat hak suara untuk DPR RI, DPD, DPR Aceh, dan DPR Kabupaten. Saya sudah menentukan pilihan saya sebelum memasukinya. Saya buka lebar-lebar kertas suara untuk memastikan tidak ada yang rusak. Dan situasi seperti ini, saat mencoblos, sejak tahun 1997, adalah saat mendebarkan bagi saya. Karena ini menyangkut hajat hidup orang banyak. Selalu saya ucapkan bismillah ketika memulai mencoblos. Semoga pilihan ini tidaklah salah. Saya titipkan suara ini kepada mereka untuk perbaikan bangsa.

Mulanya saya sudah pesimis tidak menggunakan hak suara karena ribetnya mengurus pindah TPS dari Bogor ke Tapaktuan. Kalaupun saya menjadi golongan putih (golput pakai huruf kecil) tetapi golput saya bukan karena alasan ideologis melainkan keterbatasan. Kalau itu tidak masalah. Tetapi saya harus memastikan ikhtiar saya sudah maksimal untuk mendapatkan hak suara saya. Dan saya mendapatkan suntikan semangat luar biasa ketika teman-teman saya di Bogor dan Jakarta benar-benar berjuang habis-habisan untuk idealisme yang mereka usung. Saya terlecut. Tercambuki. Agar tidak menjadi orang-orang yang tertinggal. Orang yang duduk-duduk saja. Orang yang datang perang ketika perang sudah usai.

Setelah perenungan habis-habisan malam itu, besok paginya—dua minggu sebelum hari H pencoblosan—saya datang bersama AA Fikri ke Kantor Komisi Independen Pemilihan (KIP) Kabupaten Aceh Selatan. KIP ini kalau di luar Aceh sama saja dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Awalnya ditolak oleh salah satu komisioner KIP di sana. Artinya kami harus melewati prosedur dengan mengurus pindah pilih dari TPS asal di Bogor. Saya beritahukan informasi tentang surat edaran KPU Pusat, calon pemilih pindah cukup datang ke KPU setempat dan menunjukkan KTP untuk bisa mendapatkan formulir Model A-5 KPU asalkan saya sudah terdaftar di Daftar Pemilih Tetap (DPT). Setelah di cek melalui situs online KPU ternyata saya memang terdaftar di DPT. Pada akhirnya saya sah bisa memilih.

Pertanyaan paling mengemuka adalah mengapa saya capek-capek mengurus ini dan itu dalam rangka pesta rakyat ini? Sedangkan saya tidak kenal dengan para caleg itu. Tapi sungguh inilah jawabannya. Semata dalam rangka ikhtiar memberikan sumbangsih buat negara. Supaya tidak golput. Karena buat saya, saya sudah dikasih otak untuk memilih caleg-caleg baik. Maka mengapa tidak mempergunakan anugerah yang Allah berikan kepada saya untuk sedikit berpikir keras memilah dan memilih. Alasan lainnya adalah kontribusi balik buat dakwah dan kebaikan.

Ah, kerja saya belumlah tak seberapa dibanding mereka yang telah berjuang dan berdoa siang dan malam. Cuma satu suara ini yang bisa saya berikan untuknya, untuk mereka. Mungkin bagi Anda satu suara itu tak seberapa, tapi bagi saya satu itu tak ternilai harganya. Bahkan teman saya sampai bilang seharga satu milyar rupiah pun, satu suara ini tak akan saya jual. Karena semua bermula dari satu. Anda tahu Niagara? Ia kumpulan dari sedikit tetes-tetes mata air itu. Anda tahu musik yang sering Anda dengar itu? Semua bermula dari satu nada yang dikumpulkan dan menjadi indah.

Dari jauh, dari Tapaktuan, inilah yang bisa saya persembahkan untuk umat, negeri, dan bangsa ini sebagai tanda cinta kepada mereka yang telah membelokkan saya dari jalan-jalan sesat kepada jalan-jalan penuh kebaikan dan keberkahan.

Inilah jalan pertengahan yang bisa saya ambil dari dua kelompok orang. Yakni ketika sebagian masyarakat bilang, “Saya hanya mau mencoblos mereka yang memberi uang.” Dan sebagian lainnya bilang dengan penuh apatis (skeptis, pesimis, dan murung melihat masa depan) untuk tidak menggunakan hak suaranya. Inilah jalan saya. Jalan yang kelak akan saya wariskan kepada tiga anak saya kelak. Jalan perjuangan. Jalan senyap dari puja-puji namun penuh onak dan caci maki. Insya Allah.

**

Siang hari setelah mencoblos, setelah meminum segelas kopi Aceh yang nikmat itu, jarum merah pertanda detik yang lekat saya pandangi dari atas tempat tidur masih berjalan tepat waktu di jam dinding hadiah ini. Hawa laut biru di depan mess bebas suka cita masuk rumah dan memenuhi rongga dada. Ini yang saya suka dari Tapaktuan. Tapi ini tak akan lama. With love, this, too, will pass very quickly.

2014-04-07 11.45.30

Formulir Model A.5-KPU

 

 

riza

Minum kopi dulu usai mencoblos di Warung Kopi Terapung. (Sketsa).

 

OLYMPUS DIGITAL CAMERA

Jam dinding itu.

 

 

***

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

Tapaktuan, 09 April 2014

 

 

 

 

 

RIHLAH RIZA #32: PAHLAWAN ITU BUKAN SAYA


RIHLAH RIZA #32: PAHLAWAN ITU BUKAN SAYA

 

 

Suatu waktu kalau Anda berkunjung ke Tapaktuan datanglah sebentar di salah satu sudutnya. Ambillah barang satu atau dua gambar di sana. Itu sudah cukup dikatakan kalau Anda sudah benar-benar datang ke kota kecil ini. Ini sebuah dinding beton penahan longsor dari sebuah bukit. Di dinding itu bertuliskan ucapan selamat datang dan banyak mural sederhana yang menceritakan aktivitas penduduk Tapaktuan. Letaknya berada di ujung jalan masuk terminal atau berada di depan warung kopi terkenal: Terapung. Tempat para supir travel berisitirahat setelah usai perjalanan dari Medan atau pun Banda Aceh. Di suatu waktu itu, di suatu pagi itu, saya mengangkangi sudutnya.

Suatu waktu setelah dari sana Anda juga perlu bergerak ke arah utara. Mengunjungi situs makam Tengku Syaich Tuan Tapa. Tuan yang menjadi legenda di kota ini. Tuan yang pernah bertempur dengan naga dan jejak kaki raksasanya tertancap di karang pinggiran samudera. Makamnya tidak seperti makam orang-orang biasa, bentuknya besar memanjang, dan cukup terawat. Anda bisa masuk ke dalam kompleks makam karena pintu pagarnya tak terkunci. Di sebelah kanan makam terdapat makam dengan ukuran biasa dari seorang penguasa Tapaktuan bernama Datuk Radja Amat Djintan yang wafat pada tahun 1928 M. Di suatu waktu itu, di suatu pagi itu, saya terpekur memandangi rumah keabadian tempat dua manusia berkalang tanah.

Suatu waktu setelah Anda mengunjungi situs makam itu bergeserlah sedikit ke utara lagi. Ke sebuah rumah, tempat seorang Kapiten Belanda di tahun 1929 berfoto bersama dengan teman-temannya dan dua ekor anjing hitam. Mereka berfoto di halaman depan rumah. Rumah yang kini tak berpenghuni. Foto saat mereka mapan dan merasa berhak untuk berbuat apa saja kepada pribumi. Sedangkan di pelosok pedalaman, perlawanan itu tetaplah berlangsung sampai Jepang datang di tahun 1942. Di suatu waktu itu, di suatu pagi itu, saya menggigit dan memamah sejarah tanpa tandas karena saya sisakan sebagian untuk saya simpan di memori kepala.

Suatu waktu setelah Anda mengunjungi semuanya, beristirahatlah sebentar. Sejenak saja. Mendekatlah. Dan jangan menjauh. Duduk bersama saya di tepian pantai ini. Tempat biasa saya melabuhkan atau malah melarungkan rindu. Tempat kata-kata memungut satu per satu dirinya sendiri menjadi sajak dan gigil. Mungkin kita akan duduk di sini sampai matahari bulat di hadapan habis dilahap samudera. Tenang saja di sini, kita nikmati potongan senja, sambil memandang putih buih, mendengar gemuruh ombak, menghirup aroma asin laut, dan merasakan sepoi angin yang membelai wajah. Di suatu waktu itu, di suatu saat itu, saya ingin menceritakan kepada Anda sesuatu. Sudilah Anda mendengarnya.

Suatu ketika saya pulang ke Jakarta dari Bandara Sultan Iskandar Muda, Banda Aceh. Dengan menggunakan “singa terbang”, para penumpang harus transit di Bandara Kualanamu, Medan dan kami harus turun terlebih dahulu dari pesawat. Saat itu sudah jam setengah tujuh malam. Satu jam kemudian kami diminta masuk pesawat kembali. Di situlah kericuhan dimulai, ada dua orang penumpang dari Banda Aceh yang tidak mendapatkan tempat duduk. Tempat duduknya semula telah diisi penumpang dari Bandara Kualanamu. Sedangkan yang tersisa hanya satu kursi kosong dengan nomor yang berbeda.

Pramugari tidak bisa berbuat apa-apa karena sudah dapat dipastikan telah terjadi kesalahan dalam sistem booking mereka. Petugas “Singa Terbang” di bandara turun tangan dan meminta agar salah satu dari penumpang itu terbang dengan menggunakan pesawat lain yang—kata petugas itu—telah siap untuk terbang juga. Tapi sang penumpang tidak mau karena merasa berhak di pesawat ini. Sang penumpang tidak bisa disalahkan karena ia berangkat dari Banda Aceh. Katanya pun, kalau ia berangkat dari Bandara Kualanamu ia masih bisa memahami dan mau pindah pesawat. Tapi karena ia bayar untuk naik pesawat dengan jam dan nomor penerbangan dari Banda Aceh maka ia bersikeras berada di pesawat yang sama.

Perdebatan semakin memanas, ditambah para penumpang lain membela sang penumpang dari Banda Aceh. Sedangkan dua penumpang yang naik dari Bandara Kualanamu santai saja di tempat duduknya, merasa tidak ada masalah. Sampai-sampai kepala kru hendak melaporkannya kepada pilot karena kericuhan tanpa kejelasan akhir ini. Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Saya pikir alangkah eloknya kalau petugas “Singa Terbang” menjanjikan akan memberikan kompensasi layak kepada sang penumpang ketika mau pindah pesawat. Tapi itu tidak pernah terlontar dari mulut petugas. Ujung-ujungnya perdebatan tetap berlangsung.

Di tengah suasana tidak nyaman ini, di antara wajah gelisah para penumpang yang mengharapkan pesawat segera terbang, berdirilah seorang pemuda bertubuh gempal. Tanpa basa-basi ia menawarkan diri kepada pramugari untuk menjadi volunteer. Ia bersedia pindah pesawat. Bergegas ia ambil tasnya dan langsung keluar pesawat. Usai sudah semuanya. Sang penumpang dari Banda Aceh bisa duduk. Penumpang lain ikut senang. Pesawat pun segera bisa terbang. Solusinya sederhana dan tak sulit. Mesti ada yang harus berkorban. Dan pengorbanan itu tidak ditunjukkan dari para empunya masalah. Tapi dari pemuda tidak dikenal. Pemuda yang akan terbang lebih malam dan tiba di Bandara Soekarno Hatta lebih lama dari kami semua. Sebuah solusi yang tidak pernah terlintas dalam benak saya. Di suatu waktu itu, di suatu saat itu, pemuda itu pahlawannya. Bukan saya.

Pahlawan itu adalah orang yang mengorbankan segala. Ia yang berani mewakafkan dirinya bermanfaat buat orang banyak. Di atas pengorbanan itu berdirilah prinsip yang teramat kokoh tak tergoyahkan apa pun. Prinsip tak akan tegak di atas dinar dan dirham yang hanya memuaskan perutnya saja. Maka pada malam itu sebatas kekaguman kepada sang pemuda yang hanya bisa dipersembahkan. Bukankah—mengutip Anis Matta—kekaguman adalah sebagian cara kita membalas utang budi kepada para pahlawan?

Suatu waktu usai sudah cerita ini terkisahkan kepada Anda. Malam telah jelang. Saatnya untuk pulang. Dan saya bukanlah pahlawan karena telah berjasa mengantarkan Anda berkeliling Tapaktuan. Bukan. Terlalu berlebihan soalnya. Cukuplah saya menjadi pahlawan buat kalian di Citayam yang senantiasa saya rindukan setiap malam-malam sepi di tanah seberang. Bukan untuk dikagumi, melainkan diteladani. Itu pun jika saya memilikinya, memiliki keteladanan itu. Di suatu waktu, di saat itu, semoga itu saya adanya.

 

 

Selamat Datang di Kota Naga (Foto koleksi pribadi).

 

Kompleks makam Tengku Syaich Tuan Tapa (Foto Koleksi Pribadi)

Makam Tengku Syaich Tuan Tapa (Foto koleksi pribadi).

Makam Datuk Radja Amat Djintan (Foto koleksi pribadi).

Rumah Kapiten Hofstede Tapa Toean di tahun 1929 (Wikipedia) dan masa kini (Foto koleksi pribadi).

 

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

Tapaktuan 22.59 03 Maret 2014

 

RIHLAH RIZA #31: SHAHRUKH DAN LIANG KUBUR


RIHLAH RIZA #31: SHAHRUKH DAN LIANG KUBUR

 

 

Shahrukh Mirza adalah anak keempat dari Timur Lenk, penakluk besar Asia. Selama 42 tahun kekuasaannya, Shahrukh berhasil mempertahankan dinasti Timurid dari perpecahan dan kebangkrutan. Di Herat, pusat pemerintahannya, ia mengumpulkan para cendekiawan untuk menjadikan kota itu sebagai corong peradaban Islam. Ia membangun perpustakaan besar untuk mendukung keilmuan. Kegiatan ilmiah dan perekonomian pun akhirnya berkembang pesat.

**

Kalau sudah hari Jumat, mess ini harus sudah siap-siap ditinggalkan penghuninya. Kebanyakan teman-teman satu mess pulang ke Medan atau Pekanbaru. Lengkap sudah sepi yang saya rasakan di Tapaktuan kalau kebetulan pas saya tidak pulang ke Citayam. Salah satu kegiatan yang biasa saya lakukan untuk membunuh sepi ini adalah dengan membaca buku. Tidak banyak buku yang saya bawa dari Citayam ke Tapaktuan ini. Namun internet memudahkan semuanya, ketika tidak ada lagi buku yang belum dibaca, mengunduh ebook menjadi jalan satu-satunya agar saya dapat terus membaca buku.


Sedikit buku itu (Foto koleksi pribadi).

 

Kebetulan membaca buku sudah menjadi tradisi keluarga kami. Profesi bapak saya yang mendukung tradisi itu. Salah satu profesi bapak adalah penjual majalah bekas, novel, dan teka-teki silang. Bapak beli majalah, buku, dan TTS itu di Pasar Senen, Jakarta. Otomatis sejak kami kecil kami sudah terbiasa membaca. Dari mulai majalah anak-anak, remaja, sampai ibu-ibu. Sampai sekarang saya masih ingat tentang sebuah cerita pendek yang biasa menjadi sisipan di majalah ibu-ibu. Saya lupa nama majalah itu, entah Femina, Kartini, atau Kartika atau yang lainnya. Garis besarnya demikian.

Ada seorang pemuda berkenalan dengan seorang perempuan di sebuah taman. Setiap hari mereka bertemu di sana. Sampai kemudian timbul benih-benih cinta di antara mereka berdua. Tapi tidak berapa lama perempuan itu menyatakan dengan sebenarnya kepada sang lelaki kalau hubungan ini harus diakhiri. Tidak bisa diteruskan. Cerita yang dituturkan dari pihak lelaki ini berakhir dengan sebuah kenyataan, sang lelaki harus menerima bahwa cinta yang mulai tumbuh ini kandas di tengah jalan karena perempuan itu sebenarnya adalah banci.

Tahun delapan puluhan masih belum ada majalah islami. Jadi jangan harap ketemu majalah Sabili dan Annida di lapak dagangan bapak. Dua majalah ini baru saya baca sewaktu kuliah di STAN bertahun-tahun kemudian. Pun, majalah Panji Masyarakat sebagai majalah islami yang penyebarannya paling luas saat itu tidak menjadi barang dagangan bapak, mungkin karena peminat dan pembelinya sedikit.

Membaca itu jendela dunia. Bisa tahu semua. Bisa tahu apa saja. Bukannya sombong, guru geografi di SMP sampai bosan melihat saya yang selalu pertama kali mengacungkan tangan setiap ada pertanyaan yang diajukannya. Kalau pak guru itu tahu, majalah intisari bekas inilah yang sebenarnya menjadi bacaan yang bergizi buat saya saat itu sehingga mampu menjawab pertanyaannya.

Bapak juga pembaca buku. Ada buku yang menjadi kitab wasiatnya. Selalu dibaca terus menerus walau sudah berulang kali khattam. Buku yang sudah lapuk dan menguning. Ditulis oleh Dale Carnegie yang berjudul Bagaimana Menghilangkan Cemas & Memulai Hidup Baru. Buku yang harus dijaga hati-hati oleh kami dan jangan bergeser dari tempatnya ditaruh kecuali oleh dirinya sendiri. Kalau tidak, seisi rumah akan dimarahinya. Sayang buku itu terbakar habis bersama kamar yang ditempati bapak waktu kejadian kebakaran rumah saya di tahun 2010 lalu.

Buku Carnegie ini menjaga pikiran bapak agar tetap positif. Saya menyetujuinya. Waktu kecil dulu saya sudah baca buku itu sampai habis. Puluhan tahun kemudian, di Tapaktuan ini, saya bawa dan baca buku yang ditulis oleh Dale Carnegie Associate. Sudah pernah saya sebutkan di tulisan saya sebelumnya. Buku sejenis lainnya adalah bukunya ‘Aidh bin Abdullah al-Qarni yang berjudul Don’t be Sad: Cara Hidup Positif Tanpa Pernah Sedih & Frustasi.

Mau tidak mau buku tersebut menjaga dan membawa nilai-nilai positif buat saya. Berusaha untuk tidak berburuk sangka, dendam, putus asa, benci, cemas, dan takut. Selalu bekerja dengan lebih baik dan berusaha sebarkan kebaikan karena saya yakin kebaikan itu akan datang kembali kepada saya dengan energi yang lebih besar lagi. Terpenting lagi adalah berusaha mensyukuri nikmat Allah yang telah diberikan begitu banyak kepada saya. Puas dengan apa yang diberikan Allah membuat kita menjadi orang yang terkaya di dunia. Inilah yang disebut saya, di Tapaktuan ini, di sebuah tempat yang jauh dari orang-orang yang saya cintai, sebagai upaya menjaga nalar tetap positif.

Tapi menurut saya tidak berhenti di situ, semata menjaga nalar positif, melainkan perlu juga menjaga amal tetap positif. Ketika waktu berlebih dan beban kerja tidak sedahsyat di Jakarta, sudah semestinya kalau amal-amal yang terkait dengan ruhiyah tetap juga pada kuadran positif. Maka bacaan yang sangat menunjang itu adalah Kitab Hadis Riyadhus Shalihin yang ditulis oleh Imam Nawawi. Kitab yang direkomendasikan para ulama untuk dapat dimiliki oleh setiap keluarga muslim. Membacanya pun perlu trik. Tak perlu sekaligus dibaca, melainkan baca satu hadis dalam sehari namun konsisten membacanya. Renungi lalu amalkan.

Ah, terlalu banyak cakap awak ini. Tapi memang inilah obat sepi saya dalam kesendirian. Benar, karena dalam kesendirian ada keinsafan dan kesadaran. Kesadaran tentang bahwa kita nanti pun akan sendiri. Sendiri dengan sebenar-benarnya sendiri. Siapa coba yang akan menemani kita kala dipendam dalam tanah nanti? Almutanabbi, pujangga Arab, pernah mengatakan, “Tempat duduk yang paling mulia di dunia ini adalah pelana kuda. Dan teman yang paling baik sepanjang zaman adalah buku.”

Tapi saat itu, bukan buku lagi sebagai teman melainkan amal. Yang baik atau yang buruk? Itu tergantung dari apa yang kita kumpulkan selama hidup. Amal baik itu menjelma menjadi sosok rupawan yang akan menemani kita di liang kubur sampai kiamat tiba. Tapi sebaliknya amal buruk itu menjelma menjadi sosok buruk rupa dan bau yang kita pun akan jijik didekatinya.

Sebuah syair Arab menyatakan, “Untuk medan pertempuran, prajurit-prajurit telah diciptakan baginya, dan bagi buku, penulis dan penyairlah tempatnya. Shahrukh sebagai penakluk bekerja di atas pelana kuda mengarungi medan pertempuran untuk dapat mempersatukan kembali wilayah yang pernah digenggam bapaknya. Al-Mutanabbi dan al-Hasan al-Lu’lu’i telah disediakan buat mereka buku sebagai temannya. Untuk liang kubur, saya atau kita telah disiapkan baginya. SOS, siapa teman sejati yang akan menemani kita? Amal baik atau amal buruk?

Karena dalam kesendirian ada keinsafan dan kesadaran.

 


Patung dada Shahrukh Mirza (Wikipedia).

 


The Great Arab Poet, Abu al Tayyeb al Mutanabbi (Gambar dari sini)

 

 

***

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

Tapaktuan, 15 Maret 2014