Yang penting bukan seberapa keras Anda terbentur, tapi seberapa kuat tekad Anda untuk tetap maju walau terbentur, seberapa banyak Anda dapat menarik pelajaran dan bergerak merangsek ke depan.
(Rocky Balboa)
Hari ini Tapaktuan hangat dan cerah. Matahari memancarkan sinarnya ke lautan biru Samudera Hindia. Ombak putih menjadi zikir harian kota kecil ini. Sedangkan di atas, langit biru sedang bercengkerama dengan sedikit awan putih.
Mereka sepertinya bersepakat menemani rencana perjalanan kami kali ini. Bukan ekspedisi mencari batu, melainkan eskpedisi menyusuri salah satu tempat eksotis di Aceh Selatan: Gua Kalam.
Menurut legenda yang beredar di masyarakat Aceh Selatan, Gua Kalam ini tempat bertapanya Tuan Tapa dan tempat Putri Naga tinggal setelah diselamatkan Tuan Tapa dari cengkeraman sepasang naga yang menculik putri itu.
Letaknya tidak seberapa jauh dari pusat kota. Sekitar satu kilometer di belakang Masjid Raya Istiqamah. Setelah gagal dalam penelusuran gua bawah tanah di Yogyakarta tahun 2013 lalu, saya akhirnya bisa mewujudkannya hari ini. Pengalaman menyusuri gua pertama kali dalam seumur hidup saya.
Kami berangkat bersepuluh. Semuanya adalah pegawai Kantor Pelayanan Pajak Pratama Tapaktuan. Walau sudah berdomisili di Tapaktuan ini bertahun-tahun, mereka baru pertama kali pergi ke gua ini. Saya pun demikian, sudah setahun di sini barulah bisa menyempatkan diri.
Untuk ke tempat ini kami telah menyiapkan banyak hal. Antara lain seperti topi yang melindungi kepala dari sengatan matahari; kaos lengan panjang, celana panjang, dan sandal gunung untuk menerobos hutan; senter pada saat menyusuri gua; air minum secukupnya; pakaian ganti; dan kantung plastik untuk melindungi benda elektronik dari air.
Kami memarkirkan mobil di tanah lapang dekat pekuburan. Dekat sebuah plang bertuliskan: Dilarang berdua-duaan bagi yang bukan muhrim. Di sebuah gubug kecil dekat sungai kami memulai perjalanan ini. Di sana sudah menunggu tiga orang penduduk asli yang akan mengantarkan kami masuk ke Gua Kalam. Kami harus berjalan kaki dengan menaiki bukit, memasuki hutan, dan menyusuri sungai yang menjadi sumber air PDAM ini.
Aroma pala menyeruak ke hidung kami saat mendaki bukit. Tak aneh kalau Tapaktuan juga berjuluk Kota Pala karena di perbukitan sekitar kota ditanam banyak tanaman rempah-rempah yang menjadi idola bangsa Eropa dulu berdatangan ke Nusantara ini.
Seringkali kami mendengar suara binatang bersautan yang memenuhi seantero lembah. Di tengah perjalanan kami juga menjumpai gubuk-gubuk kecil para peladang dengan bekas perapian semalam yang sepenuhnya belum padam.
Setengah perjalanan kami ditempuh dengan menyusuri jalan setapak penuh belukar. Untungnya pemandu lokal kami yang terdepan dan membawa parang telah membabat semua penghalang kecil kami ini. Setelah itu kami menjumpai pinggiran sungai. Dari sanalah mula perjalanan berbasah-basah ria.
Kami harus berhati-hati menyusuri bebatuan sungai yang airnya bening ini. Saking jernihnya air sungai ini dasarnya pun terlihat. Terkadang kami mesti berjalan di bawah tumbangan pohon besar yang melintang di atas sungai. Kami sering menjumpai fuli pala, kulit biji pala yang berwarna kemerahan, berceceran di sepanjang pinggiran sungai.
Butuh waktu satu setengah jam berjalan santai dari titik awal perjalanan kami sampai berada di mulut Gua Kalam yang menganga di depan. Tingginya kurang lebih sembilan meter. Senter sudah mulai dinyalakan karena kegelapan yang begitu pekat ketika kami memasukinya. Fadhlan, teman saya yang memakai senter khusus di kepalanya menunjukkan kepada saya langit-langit gua yang lebih tinggi daripada pintu gua. Di sana sekelompok batman kelelawar sedang tidur terusik dengan kedatangan kami.
Ketika kami memasuki gua lebih dalam lagi, semakin banyak kelelawar yang terganggu dan berterbangan di atas kami. Jumlahnya belumlah ratusan ribu seperti gua-gua sarang kelelawar di tempat lain. Terbukti kami tidak mencium atau pun berjalan di atas tumpukan kotoran kelelawar yang menyengat baunya. Jangan pula khawatir kalau ada yang menetes dan jatuh di kepala kita, karena itu air dari langit-langit gua, bukan kotoran.
Menyusuri kegelapan gua seperti ini saya teringat The Cave ataupun Sanctum. Atau sejenis film dokumenter di National Geographic yang menayangkan perburuan ular piton besar yang bersembunyi di dalam gua. Kelelawar bukan makanan pokok sang ular, hanya cemilan saja. Mamalia seperti kami adalah mangsa terbaik. Ah, segera saya tepis pikiran buruk itu.
Ada bagian sungai di dalam gua itu yang dalam dan harus kami lalui . Tinggi airnya setengah pinggang orang dewasa. Tapi itu tak jauh. Kurang lebih sepuluh meter saja. Setelah itu bebatuan kembali. Di tengah gua, di dinding sebelah kiri atas, ada lubang besar yang memberikan bantuan pencahayaan kepada kami. Mungkin lubang ini pun menjadi pintu bagi para nokturno itu.
Selalu ada cahaya di ujung terowongan. Dan memang sejatinya Gua Kalam ini terowongan di atas sungai yang membawa air dari hulu. Kalau diperkirakan jarak ujung terowongan ini mencapai 100 meter dari gerbang yang tadi kami lewati. Untuk mencapainya kami harus menaiki bebatuan yang besar . Lagi-lagi kami harus berhati-hati jangan sampai terpeleset. Ranting dan dahan pohon mati yang tumbang membantu kami naik ke atas.
Akhirnya kami sampai di ujung gua. Di sebelah kanannya, di tempat yang tertinggi itulah tempat Tuan Tapa bertapa. Untuk menaikinya lebih baik jangan memakai sandal karena pijakannya yang licin. Saya mendaki dinding batu setinggi sepuluh meter itu.
Di tempat bertapa Tuan Tapa ini ada sebuah batu besar dengan jejak airnya. Itulah yang oleh masyarakat Tapaktuan disebut cermin Putri Naga. Barangkali dulunya air masih mengalir di batu itu sehingga bisa dijadikan cermin buat putri yang diselamatkan Tuan Tapa ini.
Saya melepas lelah di sana sambil melihat langit-langit gua dengan stalaktitnya yang jauh di atas. Yang terdengar hanya suara hutan dan gemericik air sungai. Saya tidak memikirkan hal-hal yang aneh dan mistis di sini. Pemandu kami juga tak pernah sedikit pun menceritakannya. Tak terlihat sesaji di sepanjang perjalanan tadi atau pun di tempat Tuan Tapa ini. Tidak seperti tempat serupa di tanah Jawa.
Walaupun lembab tempat ini memang cocok buat menyepi. Saya sangat menikmati keheningan itu. “Amazing Saudara-saudara!!!” teriak saya kepada teman-teman di bawah sana.
Oji Saeroji bergegas naik pula ke atas menyusul saya. Setelah sampai, dia langsung ambil pose seperti seorang pertapa menunggu pangsit IPK yang tak kunjung cair-cair. Mas Suardjono mengabadikan momen itu dengan kamera handphone.
Dari tiga belas orang yang ikut, hanya lima orang saja yang naik ke atas. Tapi kami tak lama di sana. Kami berlima bergegas ke lantai gua kembali. Lalu kami pun bersiap pulang. Seperti biasa perjalanan pulang terasa tidak selama perjalanan berangkat. Itu pun setelah diselingi dengan mandi sepuasnya di sungai.
Walau sempat jatuh bangun terpeleset selama perjalanan itu, hari ini sudah cukup buat saya. Sambil mengepalkan tangan kanan ke atas seperti Rocky Balboa usai berlatih keras saya berteriak, “Amazing Saudara-saudara!!!”
Plang Peringatan (Foto pribadi).
Di perjalanan kami menemukan batu yang seperti ditempelkan di dinding bukit.(Foto pribadi).
Pepohonan pala yang banyak di tanam di hutan pegunungan Leuseur (Foto pribadi).
Sungai yang kami lalui (Foto pribadi).
Jernih banget… (Foto Fahri Siregar).
Gerbang Gua Kalam (Foto Fahri Siregar).
Lubang yang kami temui ketika berada di dalam gua. Tempat keluarnya kelelawar itu (Foto pribadi).
Langit-langit Gua Kalam. (Foto Sopan)
Cahaya di ujung terowongan (Foto pribadi).
Derasnya air yang ada di dalam Gua Kalam (Foto pribadi).
Suasana dalam gua dilihat dari sisi ujung tempat bertapa Tuan Tapa (Foto Sopan).
Ujung Gua Kalam. Di atas adalah tempat Putri Naga tinggal (Dokumentasi pribadi).
Memanjat ke atas (Foto Sopan).
Di samping cermin Putri Naga (Foto pribadi).
Dasar Gua Kalam dilihat dari ketinggian. Mas Yan sama Fahrol lagi ngapain tuh? (Foto pribadi).
Selfi (Foto Sopan).
Persiapan pulang. Mendiskusikan apa? Batu? (Foto Sopan).
***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
Tapaktuan, 11 Oktober 2014
amazing saudara saudarah…kpn ajak kite ke sono bi?
LikeLike
Waah, keren sekali bang, tulisannya juga, saya udah lama penasaran akan Goa Kalam ini, da ingin sekali menjejekinya. Semoga hasrat saya terwujud nantinya. 😀
LikeLike
Terima kasih. Amin. Semoga cepat terwujud. Jika saya masih di sini, insya Allah saya bisa mengantarnya. 😀
LikeLike
Ya, bang saya senang dengan hal baru. Semoga itu terwujud, saya juga baru belajar dan coba2 nulis dan motret. 😀
kalo berkenan sila main2 ke ikbalfanika.wordpress.com
😀
LikeLike
Satu hal: fokus dan jangan menyerah. On 2014 10 22 14:09, “Blog Riza Almanfaluthi” wrote:
>
LikeLiked by 1 person
Ini jalan masuknya dari mana ya bang?? Dari kota Tapak Tuan arah kemana?? Saya penasaran sama goa kalam ini. Oya, kalo kesana sendirian aman gak ya??Thanks..
LikeLike
Jalan masuknya dari jalan sbelah masjid raya istiqamah lurus kebelakang. Aman sih aman…tapi kalau belum pernah ke sana bagaimna mungkin akan tahu karena tidak ada penunjuk arahnya. Ini lewati hutan dan sungai. So lebih baik bersama teman yg sudah pernah ke sana nanti kalau sudh tahu dan hafal jalannya bolehlah sendirian. Demikian. On 2014 11 7 01:34, “Blog Riza Almanfaluthi” wrote:
>
LikeLike
Abang masih dinas di Tapak Tuan? Kalo’ saya ada rencana main kesana, boleh saya kontak abang?? :D. Btw, ini juga ada tulisan tentang wisata tapak tuan bang http://mardevinkartianto.blogspot.com/2013/12/objek-wisata-aceh-hidden-paradise-7.html
LikeLike
Alhamdulillah masih di Tapaktuan. Siap…bisa dikontak. Insya Allah. Ok…thanks banget atas tulisannya. On 2014 11 7 02:17, “Blog Riza Almanfaluthi” wrote:
>
LikeLike